PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-85


Karena sepak terjang Retna Wilis yang selain mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah fihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis dan para pasukannya.
Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biar pun semangat tempur para prajurit masih tinggi, namun para perwira yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan-pasukannya untuk mundur.
Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan baru, namun mereka maju terus sehingga tubuh semua prajurit berlumuran darah lawan.
Mereka bergerak bagaikan kemasukan iblis, tertawa-tawa serta bersorak-sorak, apa lagi karena sepak-terjang Retna Wilis semakin buas dan ganas. Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, jika disambitkan sekaligus dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasirsekti.
Masih baik bagi para prajurit Ponorogo bahwa gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andai kata dia mengamuk tanpa menunggang kuda, tentu akibatnya akan jauh lebih mengerikan lagi. Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak pernah turun dari punggung kudanya.
Makin dekat serbuan para prajurit Wilis ke kadipaten, makin kuatlah perlawanan prajurit-prajurit Ponorogo, bahkan kini orang-orang sakti di fihak barisan Ponorogo sudah mulai membantu pula.
Begitu orang-orang sakti yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu, barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan merobohkan banyak korban.
Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah Sang Ratu Wilis sendiri.
Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan, membuka jalan darah merobohkan setiap lawan yang menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!
“Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya, Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari maut di tanganku!” kata Retna Wilis sambil menudingkan cambuk di tangan kirinya.
Semenjak mengamuk tadi, Retna Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.
“Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis! Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi, sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!”
Ki Warok Surobledug membentak.
“Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa kami turun tangan!”
Panembahan Ki Ageng Kelud juga berkata sambil menudingkan tongkatnya.
Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek, membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik. Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!
Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling.
Retna Wilis kaget dan marah.
Kudanya telah menjadi korban anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dan tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh kudanya yang berkelojotan.
Pada saat itu, Patih Adiwijaya meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri, menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang dipimpin Ki Warok Surobledug meneijang dengan senjata mereka.
Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan tetapi ia merupakan perisai dan biar pun Retna Wilis yang melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti,tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak Adiwijaya!
“Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku? Engkau terluka sendiri...”.
Retna Wilis berkata penuh sesal. Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan apa-apa baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu menolong diri sendiri.
Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung racun!
“Cepat mundurlah dan obati lukamu!” kemudian sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.
Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke depan, disambut oleh rombongan warok.
Kini dara itu tidak lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar pedang Sapudenta!
Selain hantaman tongkat di tangan Ki Ageng Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang warok sakti lainnya.
Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis, mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan.
Melihat datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya menyambut tongkat Ki Ageng Kelud.
Tangan kirinya bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan darah muncrat dari dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke punggung.
Biar pun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan leher Retna Wilis!
Dara perkasa ini berseru kagum, tidak mempedulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terns membelit kaki dan pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan Aji Wisalangking.
Pukulannya cepat sekali, membuat kedua tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu dalam keadaan hangus bagian mukanya!
Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud yang ia tahu amat sakti, tidak mempeduli kan hantaman empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti.
Biar pun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang dan menumbangkan pohon jati sebesar orang!
Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor lalat yang hinggap di tubuh.
Melihat dara itu menusuk dada Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi marah dan penasaran.
Kolor mereka yang tadi memukul tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu, kemudian-mereka mengerahkan seluruh tenaga dan bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh dara itu terguling.
Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!
Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah berakar di bumi!
Empat orang warok itu mendengus-dengus mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!
Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang sudah tidak berkepala lagi itu.
Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata berupa apa pun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.
Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak, Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-pasukan musuh.
Karena pihak Ponorogo melihat betapa para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke Panjalu.
Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan dia roboh pingsan.
Retna Wilis cepat memerintahkan beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka patihnya yang setia itu.
Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.
“Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biar pun jatuh, Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh. Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya, memang hamba bodoh sekali...” katanya, hatinya merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di pundaknya, memberi obat dan membalutnya.
“Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan? Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun. Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi besar.”
“Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima perang seperti Paduka”
Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran. Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan-perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga kehormatan-kehormatan wanita cantik.
Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat yang tinggal di sekitar Ponorogo.
“Aduh, Kakangmas..., apa yang harus kulakukan... Aduh dewata, lebih baik dicabut saja nyawa Endang Patibroto dari pada menderita batin seperti ini...”.
Endang Patibroto mengeluh dan menangis di dalam kereta sehingga Limanwilis yang duduk pula di situ hanya melongo dan menghela napas panjang dengan hati penuh iba. Dia tidak dapat menghibur, maklum betapa hancur hati junjungannya itu.
Ketika akhirnya kereta itu memasuki halaman Kepatihan Panjalu, Endang Patibroto meloncat turun dan lari memasuki kepatihan dengan agak terhuyung. Patih Tejolaksono bersama Ayu Candra dengan kaget sekali menyambut kedatangan Endang Patibroto yang masuk sambil menangis. Lebih-lebih lagi rasa kaget dan cemas hati Patih Tejolaksono ketika Endang Patibroto menubnik kakinya dan menangis,
“Aduh, Kakangmas bagaimana dengan anak kita itu ,apakah yang hams kulakukan, Kakangmas?!”
Ayu Candra cepat merangkul pundak madunya. “Dinda Endang ada apakah? Apa yang terjadi? Bagaimana Retna Wilis!“ Ayu Candra sudah pula menangis melihat madunya tersedu-sedu seperti itu.
Patih Tejolaksono menghela napas dan menekan batinnya, lalu ia mengangkat bangun tubuh Endang Patibroto sehingga wanita itu bangkit berdiri, lalu kedua tangannya memegang pipi ldri kanan, memaksa wajah yang basah air mata itu bertemu pandang dengannya. Tejolaksono tcrsenyum, senyum penuh ketenangan dan ia berkata,
“Adinda Endang Patibroto, ke manakah ketenanganmu? Pandanglah aku, apakah dunia sudah begitu sempit sehingga engkau kehilangan akal? Tenanglah dan mari kita duduk di dalam untuk membicarakan persoalan yang menyusahkan hatimu.”
Tejolaksono merangkul pundak isterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Ayu Candra memegang tangan Endang Ptibroto yang masih terisak dan memandang wajah madunya yang pucat itu dengan hati cemas.
Endang Patibroto merasa makin seperti diremas-remas hatinya setelah ia bertemu dengan suami dan madunya. ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya pada bantal dan menangis lagi. Ayu Candra juga menangis dan hendak menubruknya, akan tetapi Tejolaksono memegang pundaknya dan memberi isyarat dengan gelengan kepala agar Ayu Candra membiarkan Endang Patibroto menangis dulu.
Hal ini akan melepaskan kerisauan hatinya. Ia mengerutkan kening memandang tubuh Endang Patibroto yang bergoyang-goyang dalam tangisnya. Bukan watak Endang Patibroto untuk menangis seperti itu. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat dengan Retna Wilis.
Benar saja, setelah dibiarkan menangis sejenak, Endang Patibroto akhirnya dapat meredakan gelora hatinya dan ia bangkit duduk menghapus air matanya.
“Maafkan aku, Kakangmas, maafkan Ayunda...”
“Dinda Endang Patibroto, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi?” tanya Tejolaksono sambil memegang tangan kiri isterinya. Ayu Candra memegang tangan kanan madunya.
Pegangan suami dan madunya itu memberi kekuatan kepada Endang Patibroto, mengertilah ia bahwa betapa pun keadaannya, kedua orang itu tidak akan membiarkan dia sengsara seorang diri.
Maka diceritakanlah semua pengalamannya, bercerita diseling isak tertahan. Mendengar cerita Endang Patibroto, Ayu Candra memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Juga Tejolaksono terkejut sekali, merasa dadanya seperti ditusuk dan is menghela napas panjang sambil menggelengkan kepalanya.
“Duh Jagat Dewa Bathara...! Mengapa dia bisa menjadi begitu? Anakku...!” dengan wajah pucat Tejolaksono mengeluh. “Urusan ini hebat sekali, harus kita laporkan kepada sang prabu dan kita rundingkan dengan kakangmas Pangeran Darmokusumo. Dan untuk membujuk Retna Wilis, agaknya aku sendiri yang harus menemuinya...”
Endang Patibroto menggeleng kepala dengan sedih. “Agaknya akan sia-sia, Kakangmas. Dia tidak dapat dibujuk, wataknya keras melebihi baja...”
Mendengar ini, Tejolaksono dan Ayu Candra saling pandang. Anak Endang Patibroto, bagaimana tidak sakti mandraguna dan keras hati, demikian bisik hati mereka.
“Dan mempergunakan kekerasan juga percuma. Kesaktiannya mengerikan. Segala aji kesaktian kukeluarkan dan pada waktu itu saya sudah bertekad untuk membunuhnya saja. Akan tetapi tidak ada pukulanku yang dapat merobohkannya, sama sekali aku tidak berdaya melawannya! Dia memiliki kesaktian seperti Nini Bumigarba mengerikan!”
Tiba-tiba Endang Patibroto mengangkat muka memandang Ayu Candra dan berkata,
“Ah, Bagus Seta! Dialah yang akan dapat menundukkannya! Mengapa aku melupakan anak kita itu? Bagus Seta, di mana dia? Dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan untuk menundukkan Retna Wilis, anak durhaka seperti iblis itu!”
“Husshhhh Adinda jangan berkata begitu.”
Tejolaksono merangkul isterinya. “Betapa pun juga, dia anak kita, anak yang kita sayang kita hams berusaha menginsyafkannya. Memang Bagus Seta yang agalcnya memiliki kesaktian untuk menundukkannya, seperti juga Sang Sakti Bhagawan Ekadenta tentu akan dapat menundukkan Nini Bumigarba.”
“Di mana Bagus Seta? Harap panggil dia agar kita dapat merundingkan dan minta nasehat serta pendapatnya,” kata Endang Patibroto.
Terdengar suara Ayu Candra, sayu dan sedih karena memang ibu ini pun berduka melihat puteranya lebih pantas menjadi pendeta dari pada seorang satria.
“Berhari-hari dia hanya mengeram diri dalam sanggar pamujan, bersamadhi..”
“Sekali ini perlu kita panggil dia,” kata Tejolaksono. “Biar aku sendiri yang akan memanggilnya.”
Patih yang diam-diam merasa prihatin sekali itu lalu melangkah keluar kamar meninggalkan kedua isterinya, menuju ke sanggar pamujan di ujung taman untuk memanggil puteranya yang berhari-hari bersamadhi di tempat itu.
Endang Patibroto teringat akan Limanwilis dan dua orang adiknya, maka bersama Ayu Candra ia segera keluar dan menemui mereka bertiga yang masih menunggu di pendopo, kemudian memerintahkan para abdi untuk memberi tempat istirahat bagi tiga orang tokoh Wilis itu.
Setelah tiba di tempat pemujaan atau tempat samadhi, Tejolaksono melihat pintu pondok tertutup dan dari celah-celah jendela pondok ia melihat puteranya tekun bersamadhi, duduk bersila dan berada dalam keadaan yang hening.
Hatinya menjadi tidak tega untuk mengganggu puteranya secara kasar. Dia sendiri sebagai seorang yang ahli dalam samadhi, mengerti betapa tidak enaknya orang yang sedang bersamadhi dibangunkan secara kasar.
Maka ia lalu bersila di luar pondok, mengheningkan cipta dan mengarahkan seluruh kehendaknya untuk menghubungi puteranya melalui getaran perasaannya. Tak lama kemudian, terdengarlah suara puteranya,
“Saya datang, Kanjeng Rama!”
Tejolaksono bangkit berdiri dan puteranya keluar pula dari tempat samadhi itu, kemudian Tejolaksono menggandeng tangan puteranya sambil berkata,
“Bagus Seta, ibumu Endang Patibroto sudah pulang dan ada urusan penting sekali yang ingin dibicarakan dan minta pertimbanganmu.”
Bagus Seta mengangguk dan dengan tenang sekali keduanya memasuki istana kepatihan. Ayu Candra dan Endang Patibroto sudah menanti di ruangan dalam di mana mereka mereka berempat dapat bicara tanpa gangguan para abdi yang dilarang memasuki ruangan itu.
Endang Patibroto sudah agak tenang dan tidak menangis lagi, sungguh pun jelas tampak kerisauan hatinya membayang di wajahnya yang masih pucat dan matanya yang masih merah kebanyakan menangis. Juga Ayu Candra masih mengerutkan alis dan ada berbekas di wajahnya bahwa dia habis menangis.
“Selamat datang, Kanjeng Ibu!” Bagus Seta menghaturkan sembah kepada ibu tirinya yang diterima oleh Endang Patibroto dengan rangkulan.
“Anakku Bagus Seta, ibumu amat mengharapkan pertolonganmu untuk menyelamatkan adikmu si Retna Wilis.”
Patih Tejolaksono dan kedua orang isterinya lalu menceritakan secara bergantian tentang keadaan Retna Wilis yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Bagus Seta. Setelah ia mendengar seluruhnya, pemuda yang amat tenang sikapnya ini mengangguk-angguk dan berkata,
“Patut dikasihani keadaan adikku Retna Wilis yang dicengkeram oleh pengaruh sesat. Akan tetapi, kalau watak adinda Retna Wilis sedemikian keras seperti yang diceritakan Ibunda, agaknya amat tidak baik kalau digunakan kekerasan untuk mempengaruhi atau membujuknya. Sedangkan bujukan Kanjeng Ibu Endang Patibroto sendiri tidak diturutnya, apa lagi orang lain. Adapun digunakannya pasukan Panjalu untuk memukul Kerajaan Wilis, sungguh pun hal ini kelak agaknya tak dapat dihindarkan lagi, namun tentu akan mendatangkan korban amat banyak. Betapa pun juga karena urusan Wilis ini bukan hanya urusan pribadi keluarga kita, melainkan urusan kerajaan, akan terlalu sembrono bagi kita kalau kita menanggulanginya sendiri. Sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama untuk melaporkan hal ini kepada sang prabu untuk dirundingkan bagaimana sebaiknya menghadapi ancaman Kerajaan Wilis. Adapun tentang diri adinda Retna Wilis sendiri, biarlah saya akan berusaha untuk membantunya mendapatkan kesadaran. Sekarang saya mohon diri dari Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua, hari ini juga saya akan pergi menemui adinda Retna Wilis.”
“Aduh, terima kasih, anakku angger Bagus Seta. Lapang rasa dadaku setelah engkau sanggup untuk menemui Retna Wilis. Kalau engkau yang turun tangan, aku yakin pasti akan berhasil, Anakku!” kata Endang Patibroto dan wajahnya yang tadinya suram itu kini berseri gembira.
Bagus Seta menundukkan mukanya.
“Segala keputusan berada sepenuhnya di tangan Sang Hyang Widdhi, Kanjeng Thu. Manusia hanya wajib berikhtiar, menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Hamba mohon doa restu Paduka bertiga.”
“Berangkatlah, Bagus. Aku membekali pangestu!” kata Tejolaksono dengan Pandang mata kagum kepada puteranya.
“Hati-hati di jalan, Anakku!” kata Ayu Candra, agak terharu.
“Bagus Seta, kau tolonglah adikmu Retna Wilis,“ berkata Endang Patibroto dengan suara memohon.
Setelah Bagus Seta berangkat, hanya berjalan kaki dan tidak membawa bekal apa-apa, dengan pakaian tetap putih sederhana sungguh pun kini ia dibuatkan pakaian putih dari kain sutera halus oleh ibunya, Tejolaksono lalu menemui Liman-Wilis bertiga, kemudian bersama kedua isterinya ia langsung menghadap sang prabu yang segera membuka persidangan untuk membicarakan Kerajaan Wilis yang mengancam keselamatan daerah Panjalu.
Baru saja persidangan dibuka, datang punggawa yang membawa pelaporan bahwa Ponorogo telah diserbu dan telah jatuh ke tangan Kerajaan Wilis! Tak lama kemudian datanglah menghadap Sang Adipati Diroprakosa sendiri yang bercerita dengan air mata bercucuran akan hancurnya Ponorogo dan tewasnya para tokoh Ponorogo dan para pembantu-pembantu sakti di tangan Ratu Wilis yang memiliki kesaktian yang luar biasa.
Mendengar ini, terdengar isak tangis dan Endang Patibroto cepat menyembah sang prabu dan mohon diizinkan mengundurkan diri
Sang prabu yang arif bijaksana maklum akan isi hati Endang Patibroto. Tentu saja wanita ini merasa sungkan dan tidak enak hatinya mendengar betapa puterinya, Ratu Wilis, akan menjadi bahan percakapan, maka sang prabu memberi izin.
Endang Patibroto mohon maaf kepada suaminya dan kepada para hadirin lainnya, kemudian meninggalkan persidangan dengan hati remuk. Ia langsung memasuki kepatihan,masuk ke dalam kamarnya dan membanting tubuhnya ke atas pembaringan, merintih-rintih di dalam hatinya, bersambat kepada mendiang ibunya.
Tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang dinding dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Aduh, Ibunda ampunkan hamba ampunkan anakmu yang berdosa!”
Dan ia menutupi muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih.
Terbayang di depan matanya yang dipejamkan akan semua pengalamannya di waktu dia muda dahulu. Betapa ia pun sudah banyak mendatangkan sakit hati kepada ibunya sendiri (baca Badai Laut Selatan). Bukankah sekarang ini dia hanya memetik buah yang dahulu ditanamnya sendiri?
Bukankah dahulu ibunya sendiri, yang mengandungnya dan melahirkannya, juga mengalami derita batin karena dia, seperti yang ia alami sekarang?
Sementara itu, di dalam persidangan sang prabu dengan bijaksana minta pendapat Tejolaksono tentang Kerajaan Wilis yang jelas hendak melanggar kedaulatan Jenggala dan Panjalu, bahkan telah menyerbu dan merampas Ponorogo yang menjadi daerah Panjalu atau setidaknya menjadi kadipaten yang tunduk kepada Panjalu.
Sang prabu yang maklum bahwa Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto, mengharapkan pendapat dari patih mudanya yang menjadi senopati pula, dan yang menjadi ayah dari Retna Wilis yang menggegerkan itu.
“Duh, Gusti Sinuwun sesembahan hamba,” Tejolaksono berkata dengan suara tegas tanpa ragu-ragu. “Sungguh pun Ratu Wilis adalah puteri hamba, akan tetapi urusan ini adalan urusan kerajaan, dan biar pun puteri hamba sendiri, kalau mendatangkan kekacauan dan kalau hamba akan diperintah oleh Paduka, hamba akan berangkat dan menggempur Wilis!”
Sang prabu mengangguk-angguk. “Aku percaya akan kesetiaanmu, wahai patihku yang perkasa. Akan tetapi Kerajaan Wilis hanya kerajaan baru yang kecil, dan karena ratunya adalah puterimu, maka sebaiknya dicari jalan lain untuk menghindarkan perang yang akan menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan belaka bagi rakyat. Baru saja rakyat menderita oleh kekacauan Jenggala, maka sebaiknya kalau kita mencoba untuk menghindarkan perang baru. Puteraku, Pangeran Darmokusumo, bagaimana pendapatmu?”
“Kanjeng Rama, perkenankanlah hamba berwawancara dengan yayi Patih Tejolaksono.” Putera mahkota itu menyembah.
Sang prabu mengangguk dan Pangeran Darmokusumo lalu menghadapi Tejolaksono,
“Yayi Patih Tejolaksono. Usaha apakah yang telah kaulakukan menghadapi urusan Wilis ini?”
“Rakanda Pangeran, isteri hamba Endang Patibroto sudah mengunjungi Retna Wilis dan membujuknya, bahkan ketika puteri kami itu tidak menurut, telah pula menyerangnya, akan tetapi anak itu yang telah menerima pendidikan Nini Bumigarba, amat sakti sehingga Endang Patibroto sendiri tidak mampu mengalahkannya. Kini hamba mengutus Bagus Seta untuk mencoba untuk membujuknya.” jawab Tejolaksono.
“Hemm, kalau begitu sebaiknya kita bersabar, menanti hasil yang dicapai Bagus Seta. Sementara itu, penjagaan di tapal batas harus diperkuat, dan hubungan para kadipaten di sebelah barat harus dipererat sehingga setiap perubahan dan setiap gerakan Wilis akan dapat segera kita ketahui.” kata sang prabu.
Setelah para tokoh Kerajaan Panjalu diminta pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka juga cocok, persidangan dibubarkan dan Tejolaksono bersama Ayu Candra cepat kembali ke kepatihan untuk menghibur hati Endang Patibroto.
Adapun Limanwilis dan dua orang adiknya yang lebih mengenal keadaan di Wilis, ditugaskan untuk pergi menyelidik untuk mengikuti perkembangan dan gerakan-gerakan Kerajaan Wilis.
Kita tinggalkan dulu keadaan di Panjalu yang tetap tenang berkat kebijaksanaan sang prabu yang amat sayang kepada keluarga Tejolaksono, dan mari kita menengok keadaan di Kerajaan Wilis.
Biar pun Kerajaan Wilis sudah berhasil mengalahkan Ponorogo, akan tetapi dalam peperangan itu Wilis kehilangan pula banyak prajurit. Ada seperempatnya yang tewas atau terluka parah dalam perang dan untuk menghimpun tenaga baru, Wilis membutuhkan waktu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar