PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-89


Tongkat yang menyambar ke arah kepalanya itu ditangkis oleh Joko Pramono dengan lengan tangan terus dicengkeram dan ditekuk ke bawah lengan, dikempit sehingga tongkat itu tidak dapat ditarik kembali oleh pemiliknya.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Cekel Wisangkoro untuk menggerakkan tangan kirinya yang terbuka jarinya, menampar ke arah pelipis Joko Pramono.
Pemuda sakti yang menjadi Patih Jenggala ini maklum bahwa kalau ia tidak cepat dapat merobohkan lawan tangguh ini maka pertempuran akan berlarut-larut dan dia sangat mengkhawatirkan keselamatan isterinya yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang sakti.
Maka ketika pukulan atau tamparan tangan kiri Cekel Wisangkoro menyambar pelipisnya dari atas, ia tidak mengelak atau menangkis melainkan miringkan kepala dan menyambut tamparan itu dengan pundaknya, akan tetapi pada detik itu juga, tangan kanannya sendiri menghantam dengan telapak tangan dengan pengerahan Aji Cantuka-sekti, ke arah perut

lawan.

“Dessss...!”
“Ngekkk...!”
Tubuh Cekel Wisangkoro terpental dan kakek ini roboh dan tewas seketika dengan darah mengucur dari semua lubang di tubuhnya, isi perutnya hancur oleh pukulan Joko Pramono. Patih muda ini sendiri terhuyung ke belakang akan tetapi tidak terluka dan. beberapa, menit kemudian ia telah meloncat dan membantu isterinya menghadapi Ni Dewi Nilamanik.
Melihat majunya Joko Pramono, Ni Dewi Nilamanik menjadi gugup. Kebutannya diputar, akan tetapi karena perhatiannya ia tujukan kepada Joko Pramono, ia menjadi kurang waspada terhadap serangan Pusporini yang menampar dengan Aji Pethit Nogo. Biar pun Ni Dewi Nilamanik berhasil mengelak, namun ia terhuyung dan scat itu dipergunakan oleh Joko Pramono untuk mencengkeram ke butannya dan menyendalnya tiba-tiba. Ni Dewi Nilamanik mempertahankan.
“Bretttt...!”
Kebutan itu putus di tengah-tengah dan tubuh Ni Dewi Nilamanik terjengkang. Pusporini dan Joko Pramono menerjang maju untuk “menghabiskan” wanita itu, akan tetapi tiba-tiba ada angin besar menyambar dari depan, membuat mereka terhuyung ke belakangl Kiranya di situ telah berdiri scorang dara muda jelita yang matanya seperti berapi dan kcningnya dikerutkan, sikapnya angkuh dan garang.
“Kau kau Retna Wilis!”
Pusporini berkata,menduga-duga, Sedangkan Joko Pramono juga memandang dengan kagum akan tetapi juga penasaran karena hatinya tidak senang mendengar betapa puteri Endang Patibroto ini menentang semua keluarga termasuk ibunya sendiri.
“Kalian tentu Bibi Pusporini dan Paman Joko Pramono, lebih baik Andika berdua mundur.”
Dara jelita yang bukan lain adalah Retna Wilis sendiri ini menoleh kepada Ni Dewi Nilamanik dan berkata, “Andika mundurlah”
Ni Dewi Nilamanik menjadi merah mukanya. ia amat tidak suka menyaksikan sikap Ratu Wilis yang tidak pernah menghormat siapa pun juga ini, akan tetapi karena ia tadi telah ditolong, diselamatkan dan bahaya maut, ia tidak membantah dan mundur, menyelinap di antara para prajurit.
Pusporini yang memiliki hati keras dan galak, segera menudingkan telunjuknya kepada Retna Wilis dan membentak;
“Bocah kurang ajar! Beginikah sikapmu terhadap bibi dan pamanmu? Kami adalah prajuritprajurit sejati, lebih baik mati di medan laga dari pada mundur!”
Retna Wilis tersenyum mengejek. “Kalau aku yang maju, Andika berdua mau apa? Melawanku? Tiada gunanya!”
“Bocah murtad! Durhaka!”
Pusporini sudah menerjang maju dan menghantam dengan Pethit Nogo mengarah kepala Retna Wilis. Akan tetapi dengan tenang Retna Wilis menggerakkan tangan, menangkap pergelangan Pusporini sehingga wanita ini tak dapat bergerak, kemudian sekali ia mendorong, tubuh Pusporini terlempar sampai lima meter lebih, menimpa dua orang prajurit yang roboh terpelanting.
“Keparat!” Pusporini maju lagi, akan tetapi suaminya mencegahnya.
Terdengar sorak-sorai riuh dan kini perang makin menghebat. Majunya Retna Wilis dibarengi majunya Wasi Bagaspati dan pasukan ini dari depan, sedangkan dari kanan maju pasukan yang dipimpin Wasi Bagaskolo, dan dari kiri maju pasukan yang dipimpin Patih Adiwijaya.
Bala tentara Jenggala mawut tidak karuan, banyak yang tewas dan sisanya lari mundur!
Tiba-tiba di antara hiruk-pikuk pasukan kedua pihak yang berperang campuh, terdengar melengking suara Retna Wilis,
“Pasukan Wilis, dengar ratumu bicara! Tarik mundur semua prajurit dan jangan bergerak sebelum kuberi komando!”
Hebat memang suara Retna Wilis ini. Terdengar sampai jauh dan hebat pula ketaatan para pasukan Wilis yang serentak menghentikan pengejaran bahkan mundur dan tidak mengeluarkan suara berisik.
Retna Wilis mengeluarkan pekik ini karena ia melihat munculnya beberapa orang menghadapinya, di antarnya adalah ibu kandungnya, Endang Patibroto! Ia memandang tajam, meneliti seorang demi seorang.
Akan tetapi yang maju mendekatinya hanya empat orang dan karena ia sudah mengenal ibunya, Joko Pramono, dan Pusporini, maka dengan mudah ia dapat menduga bahwa pria gagah perkasa setengah tua yang berpemandangan tajam sekali dan berdiri di samping ibunya itu tentulah orang yang disebutkan sebagai ayah kandungnya, yaitu Ki Patih Tejolaksono, Patih Muda Panjalu!
“Retna! Engkau lanjutkan perbuatanmu yang laknat ini?” Endang Patibroto sudah tidak dapat menahan lagi kemarahannya, mukanya merah matanya menyinarkan api dan kedua tangannya mengepal tinju.
“Ibu, sudah kukatakan bahwa apa pun juga tidak akan dapat menghentikan aku mengejar dan mencapai citacitaku,” jawab Retna Wilis dengan sikap tenang, sedangkan di samping dan belakangnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik. Mereka bertiga ini, terutama sekali Wasi Bagaspati, merasa kecewa dan tidak senang hatiriya mengapa Retna Wilis menahan pasukannya yang sudah hampir berhasil menaklukkan Jenggala.
“Engkau bersekutu dengan orang jahat, dan demi mengejar cita-citamu yang gila untuk menjadi ratu terbesar, engkau sampai hati untuk mengorbankan nyawa laksaan orang bahkan sampai hati menentang aku, ibumu sendiri dan Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungmu ini?”
Retna Wilis memandang ayahnya itu dengan sinar mata memandang rendah, kemudian berkata,
“Kalau Ibu tidak menghendaki jatuh banyak korban yang sudah menjadi hal wajar dalam perang, Ibu usahakan agar Jenggala dan Panjalu menakluk kepadaku tanpa perang. Kalau mereka itu mau mengakui Ratu Wilis sebagai ratu terbesar dan menjadi kerajaan-kerajaan bawahanku, aku tidak akan menyerang. Adapun mengenai ayahku, aku merasa tidak mempunyai seorang ramanda yang sejak kecil bahkan sejak lahir tidak pernah menjengukku, seorang yang telah menyia-nyiakan Ibu. Orang seperti itu sepatutnya menjadi musuhku, bukan ayahku!”
Ucapan ini mengandung kepahitan yang membuat wajah Tejolaksono menjadi pucat. Endang Patibroto marah bukan main.
“Retna Wilis! Biarlah engkau atau aku yang mati di sini!” ia sudah akan bergerak menyerang, akan tetapi lengannya dipegang oleh Ki Patih Tejolaksono.
“Bersabarlah, Diajeng.”
Kemudian dengan tenang Tejolaksono menghadapi Retna Wilis dan berkata,
“Retna Wilis, tidak perlu kiranya kami membela diri, karena memang setiap orang manusia itu tentu mempunyai sifatsifat buruk yang dilakukan di walctu ia lupa di samping sifat-sifat baiknya. Kalau engkau menentang ayah bunda dan keluargamu, hal itu hanya merupakan penyelewengan pribadi saja. Akan tetapi apa yang kaulakukan ini, hendak menaklulckan Jenggala dan Panjalu, keturunan Mataram, dan bersekutu dengan orang-orang dari kerajaan asing Cola, benar-benar merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan tanah air. Apakah gurumu tidak pernah memberi ajaran tentang ini?”
“Ha-ha-ha! Tejolaksono semenjak dahulu sombong dan keminter (tinggi hati)! Sang Ratu, ayahmu yang tak patut menjadi ayah ini malah berani menghina gurumu, Nini Bumigarba yang mulia!” kata Wasi Bagaspati sambil tertawa-tawa.
Muka Retna Wilis menjadi merah sekali.
“Kehadiranku di sini membawa bala tentara Wilis yang jaya bukan untuk mengobrol tentang keluarga, melainkan sebagai Ratu Wilis yang mengadakan perang terhadap Jenggala! Pendeknya, harap kalian sampaikan pesanku kepada kedua Raja Jenggala dan Panjalu, bahwa kalau dalam waktu tiga bulan sejak hari ini kedua raja itu tidak datang menghadap padaku di Wilis menyatakan takluk, aku akan memimpin barisan dan menggempur Jenggala dan Panjalu yang akan kujadikan karang abang (lautan api)!”
Saking marah dan duka hatinya, tiba-tiba Endang Patibroto mengeluh dan roboh pingsan dalam pelukan suaminya yang cepat merangkulnya.
“Retna Wilis, beginikah engkau membalas budi orang yang menjadi ibu kandungmu? Engkau menghancurkan hati ibumu.” Tejolaksono berkata sambil memandang penuh penyesalan.
“Bukan aku yang menyuruh dia seperti itu. Mengapa ibu sendiri tidak membantu aku agar cita-cita anaknya tercapai?” Retna Wilis mendengus, sedikit pun tidak kelihatan kasihan atau terharu menyaksikan keadaan ibunya.
Wasi Bagaspati tertawa bergelak, sungguh pun hatinya amat tidak setuju akan sikap yang diambil Retna Wilis mengenai Jenggala dan Panjalu. Jenggala sudah hampir takluk, kalau penyerbuan dilanjutkan, besok pagi tentu Jenggala sudah terjatuh ke tangan mereka, tinggal meneruskan penyerbuan ke Panjalu.
Akan tetapi daging yang sudah berada di depan mulut dilepas lagi oleh Retna Wilis, bahkan diberi waktu tiga bulan. Tentu saja waktu itu dapat dipergunakan oleh Jenggala dan Panjalu untuk memperkuat penjagaan!
Pusporini melangkah maju, dan menudingkan telunjuknya, kemarahan besar membuat dadanya yang membusung itu naik turun, matanya seperti mengeluarkan sinar berapi.
“Retna! Tidak ada kejahatan manusia yang melebihi kejahatan seorang anak mendurhaka terhadap orang tua, terutama terhadap ibu kandungnya! Perbuatanmu ini akan dikutuk para Dewata!”
“Dinda Pusporini! Jangan berkata demikian!” Tejolaksono membentak dan Joko Pramono juga menarik tangan isterinya, disuruh mundur. Joko Pramono maklum betapa sakit dan hancur hati Tejolaksono dan Endang Patibroto. Betapa ia pun juga, Retna Wilis adalah anak mereka!
Retna Wilis hanya tersenyum dingin mendengar kutukan bibinya itu, ia lalu mundur dan memerintahkan semua pasukannya untuk kembali ke Wilis.
Biar pun hatinya merasa kecewa sekali, apa lagi kalau diingat bahwa dalam perang yang singkat itu ia telah kehilangan muridnya, Cekel Wisangkoro, Wasi Bagaspati terpaksa membawa pula sisa pasukannya kembali ke Wilis. Betapa pun juga tiga bulan bukanlah waktu yang lama dan kalau sampai kelak Cola berhasil menguasai Jawadwipa dengan jalan ini, tentu dia akan menjadi seorang yang amat besar jasanya bagi negaranya. Di sepanjang jalan mundur ke Wilis, Pasukan yang merasa sebagai bala tentara yang menang perang, berpesta pora dengan perampokan harta benda dan perkosaan wanita di sepanjang jalan keluar masuk dusun.
Sebaliknya, Jenggala berkabung karena kematian banyak prajurit dan senopatinya, juga berduka dan cepat mengingat akan ancaman Retna Wilis yang akan menjadikan Jenggala dan Panjalu karang abang kalau dalam waktu tiga bulan raja kedua kerajaan itu tidak datang menghadap ke Wilis menyatakan takluk! Yang paling prihatin menghadapi ancaman adalah Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Tiga hari kemudian, datanglah Bagus Seta menghadap ramandanya di Jenggala dan kedatangannya disambut girang oleh Endang Patibroto yang menyandarkan harapannya kepada pemuda ini, akan tetapi Tejolaksono menyambut puteranya dengan penyesalan,
“Bagus Seta! Bagaimana barn sekarang engkau datang? Bagaimana hasilmu membujuk adikmu Retna Wilis? Dia datang menyerbu dan mendatangkan banyak korban dalam perang setengah hari lamanya! Ke mana saja engkau pergi?”
Dengan sabar dan tenang Bagus Seta lalu menceritakan usaha pembujukannya yang gagal, kemudian berkata,
“Kanjeng Rama, segala peristiwa yang terjadi memang telah digariskan dan dikehendaki oleh Hyang Widdhi. Malapetaka takkan menimpa manusia kalau tidak dikehendaki oleh Hyang Widdhi, sungguh pun sebabsebabnya timbul dari perbuatan manusia sendiri. Sekarang, lebih penting kita membiarkan hal yang akan datang dengan ikhtiar kita sebagai manusia, sekuatnya untuk mencegah teijadinya hal-hal yang merupakan malapetaka besar.”
“Dia mengancam hendak membikin Jenggala dan Panjalu menjadi karang abang kalau dalam waktu tiga bulan raja-raja kedua negara ini tidak datang menghadapnya di Wilis dan menyatakan takluk. Betapa kurang ajarnya bocah itu!” kata Endang Patibroto. “Ah, puteraku angger Bagus Seta, hanya engkaulah harapan kami. Apa yang hams kami lakukan? Dia amat sakti mandraguna, ditambah, bantuan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang sukar ditandingi.”
“Menurut pendapat hamba, Retna Wilis telah melakukan penyelewengan besar dan dia bersama sekutunya merupakan ancaman bagi Jenggala dan Panjalu. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama dan Thu untuk menyelamatkan negara. Jalan terbaik adalah mempersiapkan pasukan gabungan dari Jenggala dan Panjalu, kemudian mendahului mereka menyerbu ke Wilis sebagai barisan kerajaan yang hendak menumpas daerah yang memberontak. Dengan demikian, lebih mudah menghancurkan mereka dalam sarang mereka sendiri. Kalau hamba tidak salah menafsir, yang menjadi biang keladi dari pada kesemuanya adalah utusan-utusan Cola dan di samping adinda Retna Wilis tentu ada orang yang mengatur kesemuanya ini. Hamba akan menyertai barisan penumpas pemberontak ini.”
Tejolaksono setuju sekali, lalu Patih Panjalu ini menghadap adik iparnya, raja di Jenggala untuk berunding. Raja Jenggala yang muda tentu saja menurut akan siasat penumpasan pemberontak Wilis ini, dan ketika Tejolaksono menghadap Raja Panjalu, kerajaan ini pun setuju.
Maka dalam waktu sebulan saja terbentuklah barisan gabungan yang terdiri dari pasukan-pasukan pilihan dari Panjalu dan Jenggala, dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto sebagai senopati Panjalu, dan Joko Pramono berdua isterinya Pusporini sebagai senopati Jenggala. Jumlah bala tentara gabungan ini tidak kurang dari tiga laksa orang.
Berbeda dengan penyerbuan tentara Wilis ke Jenggala yang cepat terdengar oleh pihak Jenggala, kini gerakan pasukan gabungan yang menyerbu ke Wilis ini terjadi dengan diam-diam dan tidak sampai diketahui pihak Wilis.
Hal ini adalah karena rakyat di sepanjang perjalanan barisan itu semua mendukung bala tentara Jenggala dan Panjalu yang bersikap tertib dan tidak pernah mengganggu rakyat sehingga rakyat malah membantu dan menumpas setiap mata-mata yang menyelidik.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya Retna Wilis, Wasi Bagaspati dan sekutunya ketika tiba-tiba mendengar pelaporan penjaga di kaki gunung yang bermuka pucat bahwa gunung Wilis telah dikurung oleh barisan yang amat besar jumlahnya dari Jenggala dan Panjalu!
Wasi Bagaspati membanting kaki dengan penuh kegemasan ketika mendengar laporan ini.
“Aahhh!” Bentaknya mencela Retna Wilis. “Inilah akibatnya! Paduka telah bersikap terlalu lunak terhadap mereka dan ini garagaranya karena Paduka masih memandang muka ayah bunda Paduka. Kalau dahulu kita terus menyerbu Jenggala, tentu tidak akan terjadi hal seperti yang terjadi sekarang!”
Retna Wilis memandang tajam dan berkata dingin,
“Sang Wasi Bagaspati! Akulah pemimpin tertinggi di Wilis dan Andika hanya membantuku. Segala keputusan datang dariku, dan aku yang bertanggung jawab. Kalau kita sekarang dikurung oleh barisan Jenggala dan Panjalu, apa Andika kira bahwa kita pasti kalah? Biar aku menemui pimpinan mereka. Paman Adiwijaya, persiapkan pasukan pengawal dan perintahkan agar seluruh pasukan siap untuk menggempur begitu ada perintah dariku!”
“Siap melaksanakan perintah Paduka!” jawab Patih Adiwijaya yang cepat pergi untuk mentaati perintah junjungannya.
Wasi Bagaspati menjadi merah, akan tetapi ia hanya memberi isyarat mata kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik untuk menemani Retna Wilis turun dari puncak menghadapi para pimpinan barisan musuh sambil mempersiapkan sisa pasukan mereka yang selama sebulan ini telah digembleng oleh Wasi Bagaspati sendiri sehingga pasukan yang hanya terdiri dari lima ratus orang itu merupakan pasukan siluman yang menggiriskan.
Ketika rombongan Ratu Wilis bersama pasukan pengawalnya ini menuruni puncak, tiba-tiba terdengar suara halus yang terdengar jelas oleh mereka, datang seperti dibawa angin lalu,
“Retna Wilis, sebelum kami memerintahkan barisan yang mengurung menyerbu, engkau diberi kesempatan terakhir untuk berunding dengan Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Turunlah!”
Suara yang halus lirih namun amat jelas itu membuktikan bahwa pemiliknya adalah orang yang sakti mandraguna. Rombongan Retna Wilis mengenal suara ini dan wajah Wasi Bagaspati berubah.
“Itulah suara Bagus Seta,” suaranya agak gemetar. Dia tidak tahu bahwa Retna Wilis pernah berjumpa dengan kakaknya itu,
“Sang Ratu, dia memiliki kesaktian yang luar biasa dan kiranya hanya Padukalah yang akan sanggup menandinginya, dibantu oleh adikku Wasi Bagaskolo. Adapun mengenai tokoh-tokoh yang lain, serahkan saja kepada saya. Kalau kita serentak turun tangan apa bila berhadapan dan berhasil membunuh para pimpinan, dengan sendirinya barisan yang besar itu takkan ada gunanya lagi dan akan dapat kita hancurkan dengan mudah.”
Retna Wilis cemberut.
“Sang Wasi, aku akan menemui mereka dan bagaimana nanti keputusanku, Andika tunggu dan dengarlah saja.”
Wasi Bagaspati tidak membantah lagi, akan tetapi ia berjalan mendekati Ni Dewi Nilamanik dan Wasi Bagaskolo, berbisik-bisik merundingkan sesuatu tanpa dipedulikan oleh Retna Wilis.
Sungguh pun ia setuju dengan siasat kakek itu, akan tetapi hatinya yang angkuh dan keras tidak menginginkan orang lain mendahuluinya seolah-olah dia yang harus taat dan dipimpin.
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan, para pimpinan Wilis yang turun dari puncak dengan para pimpinan barisan penyerbu yang menanti di lereng bawah.
Retna Wilis berdiri tegak, rambutnya berkibar tertiup angin, sikapnya dingin sekali namun sepasang matanya bersinarsinar seperti mengeluarkan kilat. Di sampingnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik. Adiwijaya tidak nampak karena patih yang takut sekali bertemu dengan Endang Patibroto itu sudah menyelinap di belakang rombongan dan hanya melihat dan mendengarkan dari tempat aman dan tidak tampak.
Adapun yang berdiri di bawah adalah Ki Patih Tejolaksono bersama isterinya, Endang Patibroto. Di sebelah kanan berdiri Bagus Seta dan sebelah kiri berdiri Joko Pramono dan Pusporini. Barisan kedua pihak sudah slap siaga dan setiap saat mereka tentu akan saling gempur begitu ada aba-aba dari atasan mereka. Keadaan amat gawat dan tegang sehingga tidak ada suara berisik terdengar.
“Retna Wilis!” Terdengar suara Ki Patih Tejolaksono penuh wibawa. “Wilis telah terkurung rapat oleh barisan Panjalu dan Jenggala yang jumlahnya jauh lebih besar dari pada seluruh pasukanmu. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau masih muda dan perlu disadarkan, kami tidak langsung menyerbu, melainkan ingin mengingatkan bahwa usahamu memberontak ini adalah jalan sesat. lnsyaflah dan menakaluklah. Kami akan menanggungmu agar engkau mendapat hukuman ringan dari gusti sinuwun.”
“Ki Tejolaksono! Akulah Perawan Lembah Wilis, yang kini menjadi Ratu Kerajaan Wilis yang jaya! Jangan mengira aku takut akan kepungan barisanmu. Hanya kematian yang akan dapat menghentikan aku mencapai cita-citaku!”
“Bocah keparat, tak tahu disayang orang tua! Biar lah aku akan melihat kematianmu sebagai melihat pecahnya sebutir telur!” Endang Patibroto berseru, mengangkat tangan kanannya ke atas dan memekik dengan suara melengking dahsyat, “Serbu...!”
Retna Wilis juga mengangkat tangan kanan ke atas, kemudian terdengar suara lengkingnya yang jauh lebih nyaring dan tinggi dari pada pekik ibunya, “Serbu...!”
Bagaikan rombongan-rombongan semut pindah yang ditiup, barisan kedua pihak bergerak, pasukan-pasukan Wilis menyerbu dari atas sedangkan pasukan gabungan Panjalu dan Jenggala menyerbu dari bawah. Pecahlah perang campuh yang amat hebat, suaranya menggegapgempita, seolah-olah menimbulkan gempa bumi di seluruh permukaan pegunungan Wilis.
Dengan didahului Endang Patibroto, Joko Pramono dan Pusporini menerjang maju menyerang Retna Wilis. Sejenak Tejolaksono ragu-ragu dan mengeluh sambil menengadah,
“Ya Dewa Yang Maha Agung! Anakku... mengapa begini? Dewa... ampuni dosa-dosa hamba...!” kemudian, teringat akan kewajibannya, ia pun mengeraskan hati dan ikut menerjang maju. Retna Wilis menyambut terjangan empat orang keluarganya itu dengan kelincahan tubuhnya yang mengelak ke kanan kiri.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, sesuai dengan rencana mereka, cepat maju untuk menandingi Tejolaksono dan keluarganya, akan tetapi tiba-tiba menyambar bayangan putih dan terdengar suara halus,
“Orang luar tidak boleh mencampuri pertikaian antara keluarga. Akulah lawan kalian, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!”
Melihat Bagus Seta menghadang di depannya, kedua orang kakek ini menjadi marah.
Wasi Bagaspati maklum akan kesaktian pemuda ini yang pernah mengalahkannya, akan tetapi karena sekarang di sampingnya ada adik seperguruannya, dia tidak takut. Apa lagi melihat bahwa di situ terdapat pula Retna Wilis yang tentu akan membantunya menghadapi lawan tangguh ini.
Maka ia berteriak keras dan bersama adik seperguruannya ia menerjang maju, disambut dengan tenang oleh Bagus Seta. Adapun Ni Dewi Nilamanik yang maklum pula bahwa dia bukanlah tandingan Bagus Seta, segera maju menyerbu dan membantu Retna Wilis menghadapi empat orang keluarganya sendiri.
Joko Pramono yang merasa agak segan untuk ikut mengeroyok Retna Wilis karena ia merasa bahwa dia hanyalah paman luar dari dara itu, cepat menyambut Ni Dewi Nilamanik sehingga terjadi pertandingan seru di antara mereka, sedangkan Retna Wilis dikeroyok oleh ayah bunda dan bibinya.
Adiwijaya yang tidak berani memperlihatkan diri di depan Endang Patibroto, merasa gelisah sekali, akan tetapi ia sibuk mengatur barisan untuk menyambut serbuan pasukan musuh yang datang bergelombang seperti angin taufan mengamuk.
Namun, ia tidak pernah terlalu jauh meninggalkan Retna Wilis dan selalu memperhatikan keadaan junjungannya yang dipuja dan dikasihinya itu. Namun segera ternyata bahwa barisan Wilis kewalahan menghadapi serbuan barisan yang jauh lebih besar jumlahnya itu.
Apa lagi karena di antara barisan Panjalu terdapat tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis yang telah memberi gambaran dan penjelasan kepada pasukannya tentang keadaan di pegunungan ini sehingga barisan yang mereka pimpin dapat maju dengan mudah karena telah mengenal keadaan pegunungan itu.
Mulailah terjadi banjir darah dan mayat bertumpuk-tumpuk, ada yang terguling ke dalam jurang. Pekik dan sorak bercampur aduk membubung tinggi ke angkasa.
Ni Dewi Nilamanik terdesak hebat oleh terjanganterjangan Joko Pramono. Wanita sakti ini telah menggunakan sebuah kebutan barn dan ia berusaha membendung serangan Joko Pramono yang membanjir, namun tetap saja ia terdesak hebat dan tidak mampu membalas sedikit pun juga terhadap patih muda dari Jenggala ini.
Bahkan dua kali ia telah kena diserempet pukulan pada pundaknya sehingga ia terhuyung dan hampir roboh.
“Retna Wilis, bantulah aku...!”
Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Ratu Wilis yang bertempur tak jauh dari situ. Akan tetapi Retna Wilis seolah-olah tidak mendengamya, atau tidak mempedulikannya.
Retna Wilis sendiri bertanding seperti orang mimpi, seperti orang bingung.
Melihat pukulan-pukulan ampuh yang dipergunakan ayah bunda dan bibinya terhadap dirinya, ia hanya mengelak dan kadang-kadang kalau terpaksa karena tidak sempat mengelak, ia mengangkat tangan menangkis.
Setiap kali menangkis, Tejolaksono atau Endang Patibroto, bahkan Pusporini sendiri yang memiliki kesaktian hebat, tentu terpelanting dan merasa lengan yang tertangkis seperti lumpuh. Kalau Retna Wilis menghandaki, tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan tiga orang pengeroyoknya. Apa lagi kalau ia mau mencabut pedang pusaka Sapudenta. Akan tetapi, dara perkasa ini tidak mau melakukannya, bahkan ia menjadi bingung dan segan. Berkali-kali ia berkata lirih,
“Aku tidak suka menyakiti kalian... tidak mau... membunuh kalian...!”
Ucapannya berkali-kali yang keluar dari lubuk hatinya ini tidak dipedulikan oleh Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Pusporini yang sudah marah sekali.
Dara ini, biar pun merupakan anak dan keponakan yang dekat, yang mereka sayang, hams dibinasakan karena telah menimbulkan bencana perang yang hebat.
Kini mereka bertiga berjuang untuk mengalahkan seorang musuh yang jahat dan berbahaya, bukan lagi merasa berhadapan dengan seorang anak dan keponakan. Karena pihak Retna Wilis hanya mengelak dan kadang-kadang menagkis tanpa balas menyerang, maka pertandingan itu berlangsung lama dan aneh. Yang tiga orang terns menerjang dan mengirim serangan maut, yang dikeroyok hanya meloncat ke sana-sini dan menagkis, seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya.
Pertandingan antara Bagus Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, juga terjadi amat seru dan hebatnya, bahkan lebih hebat dari pada perang campuh itu sendiri karena masing-masing selain mengeluarkan kedigdayaan, juga mengerahkan aji kesaktian yang mujijat.
Wasi Bagaspati mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dan asap hitam bergumpal-gumpal menyambar ke arah Bagus Seta.
Namun pemuda ini dengan tenang juga mendorongkan telapak tangan kirinya dan asap hitam itu membuyar lenyap, bahkan menyambar kembali ke arah Wasi Bagaspati sendiri. Wasi Bagaskolo memekik dan dari mulutnya menyambar uap panas, namun Bagus Seta menghalau uap panas dengan tiupan mulutnya.
Ketika Wasi Bagaspati memekik dan mengeluarkan api menyalanyala dari mulut dan kedua tangannya, lidah api menjilatjilat ke arah Bagus Seta, panasnya melebihi kawah, Bagus Seta meloncat ke atas dan kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa dingin yang serentak memadamkan api itu.
Karena selalu dapat dipunahkan segala ilmu yang dikeluarkan, bahkan mereka itu beberapa kali terdorong mundur oleh hawa pukulan yang panas dan ampuh, yang menyambar keluar dari telapak kedua tangan Bagus Seta, berkali-kali, seperti halnya Ni Dewi Nilamanik, Wasi Bagaspati berteriak-teriak,
“Retna Wilis, lekas bantu kami...!”
Namun teriak-teriakannya tidak didengar atau tidak dipedulikan oleh Retna Wilis yang masih selalu mengelak dan menangkis hujan serangan ayah bunda dan bibinya. Melihat ini. Wasi Bagaspati berseru marah,
“Retna Wilis, engkau berpihak kepada siapakah? Robohkan mereka dan bantu kami menewaskan bocah ini, baru cita-citamu berhasil!”
“Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu. Beginikah sikap seorang prajurit?” Bagus Seta mencela.
“Babo-babo, Bagus Seta! Jangan sombong, lihat senjataku!” Tangan Wasi Bagaspati bergerak dan senjata calda yang mencorong cahayanya telah dipegangnya.
Juga Wasi Bagaskolo telah mencabut keluar sebuah senjata keris berwarna hitam yang ber-eluk tiga dan gagangnya diukir gambar kepala Bathara Kala. Keris hitam ini tidak mencorong cahayanya, akan tetapi begitu tercabut, tercium bau yang amis seperti darah dan busuk seperti bangkai.
“Sungguh sayang senjata yang ampuh disalah-gunakan!” kata Bagus Seta dan ketika kedua tangannya bergerak, tangan kirinya telah memegang setangkai bunga cempaka putih dan tangan kanannya telah melolos tali sutera pengikat rambutnya.
Kini rambut yang tadinya digelung ke atas itu terlepas dan terurai di kanan kin kepalanya, menutupi pundak, sebagian ke depan dan sebagian ke belakang. Wajah yang tampan itu kelihatan agung dan berwibawa, namun penuh ketenangan dan kehalusan.
Sang Wasi Bagaspati menerjang maju dengan senjata cakra di tangan, menghantam dada, sedangkan dari sebelah kanan, Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke lambung kanan pemuda itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar