PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-91
Sang Wasi Bagaspati, diikuti oleh Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik
lari ke timur dan karena bulan yang hanya sepotong itu tertutup awan,
maka mereka berhatihati melalui lereng yang belum mereka kenal baik itu.
Sampai jauh mereka menuruni lereng, akan tetapi keadaan di situ sunyi
saja. Mereka berhenti dan memandang penuh perhatian ke bawah, meneliti
kalau-kalau dapat melihat obor atau pergerakan. Namun sunyi saja dan
suara monyet cecowetan diseling suara burung malam menandakan bahwa di
bawah sana pun tidak ada manusianya!
“Wah, jangan-jangan kita tertipu...!” kata Ni Dewi Nilamanik, tidak
berani mengatakan bahwa Sang Wasi Bagaspati yang sebenarnya tertipu.
“Si keparat Adiwijaya, kalau betul berani menipu, kuhancurkan
kepalanya!” Wasi Bagaspati berseru dan berkelebat kembali mendaki
puncak, diikuti oleh adik seperguruannya yang diam-diam mendongkol
karena is telah diganggu, dan Ni Dewi Nilamanik.
“Mana musuhnya?” “Mana pasukan Jenggala?”
Pertanyaan-pertanyaan yang terdengar dari mulut para anak buahnya itu
membuat Wasi Bagaspati makin marah dan kakinya menendang ke kanan kiri
sehingga para anak buahnya yang sudah panik menjadi makin bingung dan
mawut.
Wasi Bagaspati menendang pintu pondok sehingga daun pintu terlempar,
kemudian ia menerjang masuk sambil memaki, “Adiwijaya pengkhianat
laknat!” Akan tetapi, ketika ia memasuki pondok, tentu saja ia tidak
lagi dapat menemukan Adiwijaya dan Retna Wilis.
“Ah, mereka telah melarikan diri...!” Ni Dewi Nilamanik berseru.
“Retna Wilis tak mungkin lari, akan tetapi dilankan oleh bedebah itu.
Kita harus kejar, can sampai dapat!” ia lalu melompat keluar lagi
diikuti oleh adik seperguruannya, sedangkan Ni Dewi Nilamanik keluar
dart pondok untuk memimpin anak buah mereka mencari Adiwijaya yang
melarikan Retna Wilis.
Setelah malam berganti pagi, barulah Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo
dapat menyusul dan menemukan Adiwijaya yang melarikan Retna Wilis sampai
di pantai laut selatan sebelah barat. Adiwijaya yang cerdik sengaja
lari ke barat setelah menipu Wasi Bagaspati dengan mengatakan bahwa
musuh datang dart timur.
Akan tetapi, betapa pun cepatnya ia lari, tentu saja ia tidak dapat
menangkan kecepatan larinya kedua orang kakek yang amat sakti itu.
“Adiwijaya, manusia khianat yang ingin mampus!”
Wasi Bagaspati membentak dan biar pun ia masih jauh di belakang,
suaranya sudah terdengar dekat sekali sehingga Adiwijaya menjadi
terkejut dan menghentikan larinya, memutar tubuh dan memandang kedua
kakek yang berlari makin dekat itu dengan wajah pucat.
Retna Wilis baru setengah sadar, maka ia terhuyung-huyung lalu jatuh
terduduk di atas pasir, menaandang bengong dan seperti orang
terheran-heran.
“Ampun... Sang Wasi...!” Adiwijaya berkata ketika kedua orang kakek itu
sudah datang dekat. “Saya... saya tidak bermaksud buruk...!”
“Jahanam! Pengkhianat! Engkau sengaja menipuku dan hendak melarikan Retna Wilis?”
“Ampun... Retna Wilis tidak lari, hanya hamba... hamba terangsang sekali
semalam, ingin... memilikinya... hamba yang bersalah... dia tidak tahu
apa-apa “
Dalam keadaan yang amat gawat ini Adiwijaya masih ingat untuk membela
Retna Wilis dan menimpakan semua kesalahan di pundaknya. Biarlah ia mati
asalkan Retna Wilis selamat, pikirnya.
“Ha-ha-ha, pandai sekali memutar lidah. Memang engkau seorang yang amat
pandai menipu dan cerdik sekali, akan tetapi sekarang aku tidak lagi mau
ditipu dua kali, dan engkau harus mampus!”
Sambil berkata demikian, Wasi Bagaspati memukul dari jarak jauh dengan pukulan sakti.
Angin pukulan yang keras meniup ke arah Adiwijaya. Akan tetapi dengan
cekatan sekali Adiwijaya melompat ke kiri, mengelak sehingga pukulan itu
hanya mengenai pasir yang membuat pasir berhamburan.
“Hemmm, kiranya engkau juga berani melawanku?”
“Wasi Bagaspati, di saat terakhir ini biarlah aku membuat pengakuan.
Dengarlah baik-baik. Aku adalah hamba dari Gusti Puteri Retna Wilis,
lahir batin. Aku selamanya, sejak dahulu sampai mati sekali pun, akan
tetap setia kepadanya. Aku yang mengusulkan agar dia suka bersekutu
denganmu untuk mencapai cita-citanya. Akan tetapi ternyata engkau
mengkhiianatinya, juga berniat buruk terhadap dirinya. Aku harus
menyelamatkannya, membebaskannya dari tanganmu yang keji! Dan biar pun
aku maklum bahwa aku bukan lawanmu, namun aku bersumpah untuk membela
gustiku Retna Wilis dan melawanmu sampai detik terakhir!”.
“Ha-ha-ha, manusia macam engkau masih bicara tentang kesetiaan! Lupakah engkau akan perbuatan-perbuatanmu dahulu di Jenggala?”
“Wasi Bagaspati, sekali-kali akan tiba saatnya bagi setiap orang manusia
untuk menyesali perbuatan-perbuatannya yang lalu. Setelah berjumpa
dengan gustiku Retna Wilis, aku sadar dan aku siap menerima segala
hukuman atas dosa-dosaku. Akan tetapi kesetiaanku terhadap gustiku ini
adalah tulus ikhlas, dan boleh engkau mentertawakan aku sekarang, karena
kelak akan tiba saatnya pula bagimu untuk menyesali perbuatanmu atau
ka!au tidak, engkau akan terlambat!”
“Keparat, terimalah kematianmu!” Kini tubuh Wasi Bagaspati menerjang ke
depan. Ia tahu bahwa laki-laki itu memiliki ketangkasan yang cukup
sehingga kalau diserang dari jarak jauh akan memakan waktu lama dan
membuang tenaga sia-sia belaka..
“Wuuuuuttttt...!” Pukulan tangan kiri yang menampar dari samping itu
hebat bukan main. Terasa oleh Adiwijaya angin berhembus kuat dan
seolah-olah lengan kakek itu seperti pohon besar tumbang menimpanya.
Ia cepat meloncat dan mengelak, akan tetapi angin pukulannya masih
mendorongnya sehingga ia roboh. Biar pun demikian, dengan ajinya
Trenggiling Wesi, begitu tubuhnya menyentuh tanah, ia bergulingan dan
dapat meloncat bangun tanpa terluka.
“Wah, lumayan juga ilmumu itu!”
Wasi Bagaspati mengejek dan kembali ia melangkah maju dan mengirim
pukulan dengan kedua yang berganti-ganti menampar dari kanan kiri.
Memang tingkat kesaktian Adiwijaya jauh berada di bawah tingkat Wasi
Bagaspati maka serangan ini membuat Adiwijaya menjadi repot sekali.
Mengelak ke kanan dipapaki tangan kanan, meloncat ke kanan, dihantam
oleh tangan kiri. ia memiliki kecepatan, akan tetapi kini pukulan
pukulan dari kedua tangan Wasi Bagaspati mengandung hawa pukulan yang
lebih cepat dari pada gerakan tubuhnya, maka berkali-kali Adiwijaya
terbanting keras dan hanya oleh ajinya Trenggiling Wesi saja ia mampu
meloncat bangun setelah bergulingan.
Makin lama makin pening kepalanya, dan setiap kali meloncat bangun, ia
terhuyung-huyung. Akan tetapi, seperti yang diucapkannya tadi, ia nekat
dan mengambil keputusan untuk melawan sampai detik terakhir.
Wasi Bagaspati menjadi penasaran. Ketika sekali lagi Adiwijaya meloncat bangun, ia menerjang maju seperti harimau menerkam.
Adiwijaya cepat menjatuhkan diri ke kiri untuk mengelak, namun jari-jari
tangan kanan Wasi Bagaspati masih berhasil menampar pundak kanannya.
Biar pun hanya kena diserempet, namun Adiwijaya merasa pundaknya seperti
terbakar dan ia terguling roboh. Wasi Bagaspati tertawa bergelak,
menghampiri dan mengangkat kakinya yang besar untuk mengijak hancur
kepala Adiwijaya. Kakek ini hendak memenuhi janjinya, yaitu akan
menghancurkan kepala Adiwijaya.
“Jangan bunuh dial” Tiba-tiba terdengar suara Retna Wilis nyaring dan
dara ini sudah menerjang Wasi Bagaspati dengan pukulan keras dari
samping.
“Siuuuuuttttt...!”
Tenaga Retna Wilis belum pulih semua, dan kepalanya masih pening, akan
tetapi begitu melihat Adiwijaya hendak dibunuh, serentak ia membentak
dan menyerang.
Wasi Bagaspati kaget dan membalikkan tubuh sambil menangkis.
“Deesssss...!”
Tubuh Retna Wilis terpelanting jauh dan giranglah hati Wasi Bagaspati
yang maklum bahwa biar pun sudah sadar, gadis itu masih belum pulih
tenaganya.
Maka ia cepat menengok untuk membunuh Adiwijaya kemudian menawan kembali
Retna Wilis. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika ia menoleh, ia
melihat di depannya telah berdiri Bagus Seta dengan kedua lengan
dipalangkan di depan dada!.
“Wasi Bagaspati, sungguh sayang engkau tak pernah mau bertobat,” kata Bagus Seta.
“Bagus Seta! Engkau selalu menghalangi niatku, engkau musuhku terbesar dan hari ini aku harus mencabut nyawamu!”
Sambil berkata demikian, Wasi Bagaspati telah mencabut senjata cakra,
dan kini Wasi Bagaskolo yang melihat munculnya pemuda sakti itu telah
siap-siap pula dengan keris hitamnya.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan muncullah Ni Dewi Nilamanik dengan
pasukannya, yang berjumlah dua ratus orang lebih. Pasukan di bawah
pimpinan Ni Dewi Nilamanik ini segera mengurung tempat itu.
Melihat ini, hati Wasi Bagaspati menjadi besar. Biar pun ia tidak
dibantu Retna Wilis menghadapi Bagus Seta, akan tetapi di situ ada Wasi
Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan dua ratus orang lebih pasukan yang
telah digemblengnya. Menghadapi seorang lawan saja, biar pun sakti
seperti Bagus Seta, dan juga Adiwijaya serta Retna Wilis yang masih
belum sehat benar, masa tidak mampu mengalahkannya?
“Ha-ha-ha, Bagus Seta. Apakah engkau mampu menyelamatkan diri sekarang?”
Ia membentak sambil tertawa lalu menerjang pemuda itu diikuti adik
seperguruannya. Bagus Seta bergerak cepat melompat dan tubuhnya
berkelebat, tahu-tahu telah berada di luar pengurungan para anak buah
pasukan.
Melihat ini, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terkejut, cepat mengejar
dan menyerang. Bagus Seta mengelak dan balas menyerang dengan kedua
senjatanya yang kecil dan aneh, yaitu setangkai kembang cempaka putih
dan pengikat rambutnya dari sutera. Gerakan tiga orang sakti ini amat
cepat dan dahsyat sehingga tubuh mereka lenyap, bergulung-gulung menjadi
bayangan yang sukar dilihat oleh mata manusia biasa.
“Gusti Puteri... mari kita lari... kita bisa membuka... jalan berdarah,
lebih baik kita gunakan kesempatan ini untuk menyelamatkan diri...“ kata
Adiwijaya yang merasa serba salah jika gustinya ikut bertanding.
Sepihak adalah Bagus Seta dan mungkin di belakangnya ada pasukan
Jenggala, berarti musuh gustinya. Pihak lain adalah rombongan Wasi
Bagaspati, yang sekarang juga telah menjadi musuh, lebih baik
cepat-cepat menyelamatkan diri
Akan tetapi pada saat itu Retna Wilis telah sadar benar-benar dan
tenaganya telah pulih kembali. Benturan tenaga dengan Wasi Bagaspati
yang membuat ia terlempar dan roboh tadi sama sekali tidak melukainya,
bahkan telah menyadarkan dan memulihkan keadaannya.
Kini ia telah berdiri tegak dengan muka merah dan mata mengeluarkan api kemarahan.
Teringatlah ia kini apa yang dianggapnya seperti mimpi itu ternyata adalah kenyataan!
Tadinya ia hanya mengira bahwa ia dalam mimpi dan kini samarsamar
teringatlah olehnya akan segala yang telah dialaminya, betapa ia ikut
menari-nari seperti orang gila, kemudian betapa ia diminumi jamu
berkali-kali oleh Ni Dewi Nilamanik, ketika menari dibelai dan
terbangkit gairah yang belum pernah dirasai selama hidupnya, betapa ia
menurut saja ketika dibawa ke pondok oleh Wasi Bagaspati, dan... ah,
mengingat akan semua itu, hampir Retna Wilis berteriak saking malu dan
marahnya.
Kini Adiwijaya mengajak dia melarikan diri!
“Tidak! Harus kubunuh mereka semua!” bentaknya, bahkan saking marahnya
ia lalu mengibaskan tangan Adiwijaya yang hendak mengajaknya lari,
kemudian tubuhnya melesat ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru
nyaring,
“Perempuan rendah menjijikkan, engkau harus mati di tanganku!”
Melihat datangnya serangan yang demikian dahsyatnya, Ni Dewi Nilamanik
menjadi pucat wajahnya dan cepat ia meloncat ke belakang, berlindung di
belakang anak buahnya.
“Breesssss...!”
Terjangan Retna Wilis disambut oleh banyak orang anggota pasukan anak
buah Wasi Bagaspati dan terjungkallah empat orang dalam keadaan tidak
bernyawa dengan tubuh hangus terkena pukulan dan tendangan dara perkasa
yang sudah marah sekali ini.
Kemudian Retna Wilis mengamuk, bagaikan api menyalanyala membakar apa
saja yang berada di dekatnya. Maju dua orang roboh dua orang, maju empat
orang roboh empat orang. Ia terus mengamuk sambil mengejar Ni Dewi
Nilamanik yang berusaha melarikan diri ke sana-sini di antara anak
buahnya yang menyerbu Retna Wilis seperti sekumpulan... laron menyerbu
api.
Melihat ini, Adiwijaya tidak mau tinggal diam dan ia pun lalu menerjang
pasukan yang mengeroyok Retna Wilis itu. Karena Retna Wilis bergerak
cepat sekali dan selalu mengejar ke mana pun Ni Dewi Nilamanik lari,
maka sebentar saja Adiwijaya yang kini dikeroyok pula, terpisah jauh
dari dara itu.
Amukan Retna Wilis membuat pasukan siluman anak buah Wasi Bagaspati itu
kocar-kacir dan mawut. Juga Adiwijaya merupakan seorang lawan yang kuat
sekali biar pun tidak sedahsyat Retna Wilis, namun sukar bagi pasukan
itu untuk merobohkannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan keadaan pasukan menjadi makin
mawut ketika di situ terjun dua orang yang amat perkasa dan yang
langsung menerjang dan merobohkan pasukan-pasukan itu dengan amukan kaki
tangan mereka yang tangkas. Pasukan siluman menjadi lebih panik ketika
mengenal bahwa yang datang mengamuk ini bukan lain adalah Ki Patih
Tejolaksono dan isterinya, Endang Patibroto!
Akhirnya Retna Wilis dapat berhadapan dengan Ni Dewi Nilamanik yang
tidak dapat melarikan diri lagi karena pasukannya terpecah-pecah,
sebagian mengeroyok Adiwijaya, sebagian besar menahan amukan Tejolaksono
dan Endang Patibroto, dan terpaksa dia hams menyambut sendiri Retna
Wilis yang memandangnya penuh kebencian.
“Ni Dewi Nilamanik, biar engkau lari ke neraka sekali pun, tetap akan kukejar sampai alai berhasil membunuhmu!”
Betapa pun juga, Ni Dewi Nilamanik bukanlah seorang lemah. Dia telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sesungguhnya kalau dicari di antara
orang-orang biasa, jarang ditemukan orang yang dapat menandinginya. Biar
pun ia maklum akan kesaktian Retna Wilis yang membuat hatinya gentar,
namun menghadapi jalan buntu ini ia menjadi nekat dan berkata,
“Retna Wilis, tidak begitu mudah engkau hendak membunuhku. Engkau hendak
mengenal kedigdayaan Ni Dewi Nilamanik, penitisan Sang Hyang Bathari
Durgo? Majulah!”
Retna Wilis berteriak marah dan menerjang dengan pukulan Wisalangking
yang kalau mengenai tubuh lawan akan membuat tubuh itu menjadi hitam
terkena hawa beracun.
Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik yang sudah nekat cepat meloncat ke kiri
menghindarkan pukulan ini, kemudian pengebut merahnya menyabet dari kiri
mengarah leher Retna Wilis.
Dara perkasa ini mengubah pukulan yang luput menjadi cengkeraman ke arah
ujung pengebut dengan maksud merampak senjata itu namun Ni Dewi
Nilamanik sudah mengerti akan niat lawan, maka ia menggerakkan
pergelangan tangan sehingga ujung pengebutnya membalik, kemudian dengan
gerakan melingkar ujung cambuknya yang berubah menjadi kaku menusuk ke
arah ulu hati Retna Wilis.
Dara sakti ini menurunkan lengan yang tadi hendak mencengkeram, menangkis sambil mengerahkan tenaga sakti.
“Pyarrr!”
Ujung cambuk atau kebutan yang tadi mengeras itu ambyar dan menjadi
lemas kembali terkena tamparan tangan Retna Wilis yang ampuh. Retna
Wilis tidak berhenti sampai di situ, cepat tangan kirinya menyodok
dengan jari tangan terbuka ke arah leher Ni Dewi Nilamanik.
Wanita ini terkejut sekali, cepat ia menarik tubuh atas ke belakang
sehingga terhindar dari pada tusukan jari tangan yang ampuh itu. Akan
tetapi tubuh Retna berkelebat cepat dan kaki tangannya bergerak-gerak
seperti angin puyuh mengamuk.
Demikian cepatnya gerakan dara ini yang telah memainkan Ilmu Sllat
Pancaroba yang amat cepat, ganas dan dahsyat. Ni Dewi Nilamanik
kewalahan dan menjadi bingung.
Dalam pandang matanya, seolah-olah tubuh Retna Wilis berubah menjadi
tiga sehingga tiga pasang tangan berikut tiga pasang kaki menyerangnya
dari setiap penjuru! Ia berlaku nekat, memutar cambuknya sekuat tenaga.
Retna Wilis tidak mau membuang banyak waktu, dan ia membiarkan ujung
cambuk atau kebutan itu mengenai pundaknya sambil mengerahkan tenaga
sakti melindungi pundak, kemudian, kemudian ia menubruk maju
mencengkeram tangan yang memegang kebutan merah.
“Aihhhhh...!” Ni Dewi Nilamanik menjerit kesakitan ketika tangannya
terasa seperti dibakar api menyala, terpaksa melepaskan kebutan yang
kini telah terampas oleh Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik memandang dengan mata terbelalak kepada dara yang kini
melangkah maju perlahan-lahan dengan bibir tersenyum dingin dan mata
bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Ia mundur-mundur ketakutan,
wajahnya pucat, semua semangat perlawanannya lumpuh.
Tiba-tiba Retna Wilis menggerakkan kebutan itu. Sinar merah menyambar
dan sebelum Ni Dewi Nilamanik tahu apa yang terjadi kebutan itu telah
melibat lehernya.
Ia cepat menggunakan kedua tangan untuk melepaskan ujung kebutan yang
membelit lehernya, mengerahkan tenaga, namun bulu-bulu yang kuat dan
terbuat dari ekor kuda itu mencekik makin erat, diiringi suara ketawa
Retna Wilis.
“Auggghhh... am... ampunn...!”
Ni Dewi Nilamanik menjerit, akan tetapi yang keluar dari lehernya hanya suara orang tercekik.
Ia tak dapat bernapas lagi dan perlahan-lahan Retna Wilis yang sudah
memegang ujung kebutan dengan tangan kiri dan gagang kebut an dengan
tangan kanan, menggunakan kedua tangannya menarik sehingga kebutan itu
makin lama makin erat mencekik leher Ni Dewi Nilamanik.
Muka Ni Dewi Nilamanik makin pucat, matanya terbelalak lebar, lidahnya
yang merah dan yang biasanya dapat menimbulkan gairah dan rangsang pada
hati setiap pria kini terjulur keluar, makin lama makin panjang,
tubuhnya yang tadinya meronta-ronta kuat kini hanya berkelonjotan dan
tubuh itu tentu sudah rebah terjengkang kalau tidak tertahan oleh
kebutan yang mencekik lehernya.
Makin lama kebutan itu makin kuat mencekik leher dan tak lama kemudian
terdengar suara aneh yang tidak menyerupai suara manusia keluar dari
mulut Ni Dewi Nilamanik, disusul robohnya tubuhnya terjengkang ke
belakang dan menggelindinglah kepala karena leher itu telah putus
seperti disayat pisau!
Retna Wilis membuang kebutan merah yang kini menjadi lebih merah lagi
oleh darah ke dekat mayat Ni Dewi Nilamanik, memandang jijik, juga
terkejut karena melihat betapa tubuh Ni Dewi Nilamanik, yang tadinya
montok padat dan berkulit halus itu kini telah menjadi tubuh peyot
keriputan, tubuh seorang nenek, adapun kepala yang menggelinding dengan
muka di atas itu memperlihatkan mata melotot dan lidah terjulur, akan
tetapi yang membuat Retna Wilis terheran adalah melihat betapa muka itu
kini menjadi muka seorang nenek-nenek.
Mengertilah ia bahwa Ni Dewi Nilamanik yang usianya sudah hampir enam
puluh tahua itu tadinya kelihatan cantik oleh pengaruh ilmu hitam dan
ramuan jamu, dan kini pengaruh itu lenyap bersama nyawanya, seperti muka
seorang nenek berusia seratus tahun!
Baru setelah banyak sekali anak buah Ni Dewi Nilamanik datang
menyerbunya dari empat jurusan menggunakan senjata-senjata tajam, Retna
Wilis sadar dan cepat menggerakkan tubuh, diputar dengan kedua tangan
terpentang menampar ke kanan ldri. Senjata-senjata para pengeroyok
beterbangan disusul robohnya empat orang sekaligus dan mulailah Retna
Wilis mengamuk seperti seekor harimau betina membela anaknya.
“Retna...!”
“Retna Wilis...!”
Dara sakti itu menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat bahwa
tidak jauh dari situ, ia melihat Ki Patih Tejolaksono dan Endang
Patibroto juga mengamuk, merobohkan para anak buah Wasi Bagaspati dengan
tangkas dan gagah perkasa.
“Mari kita basmi bedebah-bedebah ini, anakku!” Endang Patibroto berteriak, suaranya penuh keharuan.
Akan tetapi Retna Wilis tidak menjawab, hanya mengamuk lebih hebat lagi,
seolah-olah ia hendak menandingi kegagahan ayah dan bundanya.
Melihat sepak terjang Retna Wilis, Tejolaksono dan Endang Patibroto sendiri merasa ngeri.
Mereka melihat betapa sekali pukul dara itu membuat kepala seorang
pengeroyok pecah berhamburan, darah dan otak muncrat, betapa dara itu
menangkap lengan seorang pengeroyok, diputarnya sehingga tubuh itu
terangkat ke atas lalu dibanting sampai remuk.
Amukan Retna Wilis benar-benar menggiriskan dan sepak terjangnya bukan seperti manusia lagi!
Pertandingan antara Bagus Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati
dan Wasi Bagaskolo terjadi amat hebat pula. Gerakan mereka amat cepat
dan mereka tidak bertanding seperti manusia biasa sehingga mereka itu
berpindah-pindah, makin lama makin menjauhi pantai dan naik ke
gunung-gunung batu karang, bahwa kedua orang lawannya yang bertanding
sambil kadang-kadang lari itu memancingnya ke sebuah tempat di mana
telah bersembunyi pasukan siluman yang menjadi inti pasukan gemblengan
Wasi Bagaspati, sejumlah dua puluh orang! Maka setelah mereka tiba di
lereng sebuah gunung anakan, tiba-tiba dari tempat-tempat bersembunyi
muncul pasukan itu yang berpakaian serba merah, yang langsung melepaskan
anak panah ke arah tubuh Bagus Seta!
Pemuda ini terkejut sedetik, namun ia segera menggunakan pengikat
rambutnya diputar sedemikian rupa sehingga menimbulkan angin dan semua
anak panah dapat digulung dengan angin berpusing ini dan diruntuhkan
sebelum mencapai sasaran.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Wasi Bagaspati yang menghantamkan
senjata cakra di tangannya ke arah kepala Bagus Seta dari belakang,
sedangkan dari kanan Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke arah lambung.
“Dessss...! Singggg...!”
Bagus Seta tanpa menoleh mengangkat setangkai kembang cempaka di atas
kepala menangkis senjata cakra sehingga senjata itu terpental, sedangkan
pengikat rambutnya berubah menjadi kaku menangkis keris yang menusuk
lambungnya sehingga keris itu mengeluarkan bunyi keras dan tergetar
hebat, hampir terlepas dari pegangan tangan Wasi Bagaskolo.
Kedua kakek itu mencelat mundur dan kembali dua puluh orang pasukan
siluman sudah mengurung Bagus Seta, terbagi menjadi dua rombongan.
Rombongan pertama mengitari Bagus Seta sambil berlari dari ldri ke
kanan, adapun rombongan ke dua juga lari mengelilingi pemuda itu dari
kanan ke kin. Sambil berlari mereka itu mengeluarkan suara seperti orang
menembang dan anehnya, suara tembang mereka itu menimbulkan suara yang
menyeramkan dan pengaruh yang menakutkan.
Bagus Seta maklum bahwa pasukan ini bukan pasukan biasa, melainkan
pasukan yang digembleng dengan ilmu hitam. Kalau ia tertarik oleh
gerakan mereka yang berlari mengelilinginya, tentu ia akan menjadi
pening dan kabur pandangan matanya, juga kalau ia memperhatikan suara
tembang mereka, tentu ia akan hanyut dan mungkin kalau lawan yang kurang
kuat batinnya, tidak lama kemudian tentu akan ikut berlari-lari dan
bertembang!
Ia mencoba dan mendorongkan tangan kirinya yang memegang kembang cempaka
ke arah kiri. Dengan dorongan yang mengandung tenaga mujijat ini ia
dapat merobohkan lawan tanpa lawan itu dapat bangun kembali, sedikitnya
tentu pingsan.
Hawa sakti yang merupakan angin kuat menyambar dan tiga orang anggota
pasukan sebelah dalam itu terpelanting, akan tetapi tepat seperti dugaan
Bagus Seta, mereka itu bangkit kembali. Kiranya mereka itu telah
“dimasuki” kekuatan mantera hitam oleh Wasi Bagaspati dan kekuatan
mereka tergabung sehingga masing-masing anggota memiliki tenaga dua
puluh orang!
Tiba-tiba mereka itu memekik. dan tampak ujung-ujung tombak yang mereka pegang menyambar ke dalam kurungan.
Bagus Seta menggerakkan tangan, menangkis semua ujung tombak dengan
angin pukulan tangannya. Terdengar suara mengaung dan dari atas meluncur
turun senjata cakra dan senjata keris hitam, seolah-olah kedua senjata
itu hidup dan menyerang Bagus Seta.
Pemuda yang sedang sibuk menghadapi hujan tombak dari pasukan yang masih
berlari mengelilinginya, melihat datangnya dua buah senjata ampuh ini
cepat meloncat dan mengelak.
Dua buah senjata itu seperti benda hidup, ketika luput menyerang, menukik dan membalik untuk melakukan serangan ke dua!
“Hemm, penggunaan ilmu hitam tiada gunanya, Wasi Bagaspati!”
Bagus Seta berkata dan tiba-tiba tubuhnya meloncat tinggi ke atas
sehingga semua tusukan tombak luput dan sambil meloncat ini ia telah
menangkis dua buah senjata ampuh itu dengan senjata-senjatanya.
Cakra dan keris hitam itu terlempar, melayang-layang kacau dan kembali
ke tangan pemiliknya masing-masing. Sedang Bagus Seta sudah melayang
keluar dari kepungan. Sejenak dua puluh orang anggota pasukan siluman
menjadi kacau, akan tetapi mereka sudah dapat mengejar dan mengepung
kembali.
Bagus Seta menjadi bingung juga. Dia tidak mau membunuh, apa lagi
membunuh dua puluh orang anggota pasukan ini yang dianggap hanya sebagai
alat, akan tetapi kalau mereka ini tidak dienyahkan lebih dulu, sukar
baginya untuk menyerang dua orang pendeta sesat yang selalu di luar
barisan.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Puteraku Bagus Seta! Kau lawanlah dua ekor monyet tua itu dan serahkan pasukan kadal ini kepada kami!”
Itulah suara Pusporini dan benar saja, begitu Pusporini dan Joko Pramono
datang menyerbu, pasukan siluman menjadi kacau-balau dan kurungan atas
diri Bagus Seta menjadi buyar.
Tadinya memang mereka datang bersama dalam usaha mereka mencari Retna Wilis.
Akan tetapi karena Bagus Seta mempergunakan ilmunya yang tidak lumrah
dimiliki manusia biasa, Tejolaksono, Endang Patibroto, Joko Pramono dan
Pusporini, tertinggal jauh dan mereka baru tiba di tempat itu setelah
terjadi pertempuran hebat di situ.
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat Retna Wilis dikeroyok
banyak orang lalu serta-merta terjun ke dalam medan pertempuran membantu
puteri mereka itu.
Adapun Pusporini dan Joko Pramono yang melihat pertandingan hebat antara
Bagus Seta dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo bersama
banyak orang anggota pasukan berpakaian merah, segera lari ke tempat
pertandingan yang jauh itu dan membantu Bagus Seta menerjang pasukan
berpakaian merah.
Setelah mendapat bantuan Pusporini dan ia tahu cukup sakti untuk
menanggulangi pasukan siluman itu, Bagus Seta lalu menggunakan
kesaktiannya untuk, mendesak Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo.
Dua orang pendeta dari tanah barat ini terdesak hebat dan kewalahan.
Mereka telah mengeluarkan segala aji-aji dan mantra, segala ilmu hitam
mereka, namun kesemuanya itu dapat dipunahkan dengan mudah oleh Bagus
Seta.
“Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Jangan salahkan aku kalau terpaksa sekali aku melakukan kewajibanku membunuh kalian berdua!”
Seru Bagus Seta dan tubuhnya berkelebat ke depan, kembang cempaka putih
diangkat menyerang Wasi Bagaspati dengan pukulan ke arah kepala,
sedangkan pengikat rambutnya dikibaskan ke arah dada Wasi Bagaskolo.....
Komentar
Posting Komentar