PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-93
Vanlah, Gusti Puteri. Hambalah orangnya yang telah mencelakakan secara tidak langsung kehidupan rumah tangga ibunda. Bukankah hamba seorang manusia terkutuk yang patut mad? Harap Paduka lekas turun tangan membunuh hamba, karena kebaikan Paduka merupakan slksaan hebat yang tak tertahankan oleh batin hamba.”
Retna Wilis menggeleng kepis.
“Dosamu masih belum hebat, Paman. Engkau hanya melakukan tugas sebagal
prajurit Blambangan dan apa yang kaulakukan terhadap kanjeng ibu, selain
dalam pelaksanaan tugas, juga malah berjasa.”
“Berjasa...?” Sindupati memandang heran.
Retna Wilis tersenyum pahit.
“Engkau berjasa karena kalau kanjeng ibu tidak kehilangan Pangeran Panji
Rawit tentu tidak akan bertemu dengan kanjeng rama, dan... aku... tentu
tidak akan ada!”
“Ah itu masih belum semua, Gusti Puteri. Dengarlah baik-baik! lbunda,
paduka menjadi marah dan pasukan Jenggala dan Panjalu, juga bersama
kanjeng rama paduka, menyerbu menghancur kan Blambangan. Hamba lalu lari
lagi dan kemudian hamba bersekutu dengan utusan-utusan Cola dan
Sriwijaya, terutama dengan Wasi Bagaspati dan dengan Suminten dan
Pangeran Kukutan sehingga hamba berhasil menjadi patih Jenggala dengan
nama Patih Warutama. Hamba telah mengorbankan nyawa banyak orang, tidak
ada kejahatan dan kekejian yang tidak hamba lakukan, hamba peristeri
kekasih hamba dan... dan... hamba peristeri pula anaknya, puterinya yang
terlahir karena dahulu berhubungan dengan hamba, beristeri puteri hamba
sendiri. Nah, adakah dosa yang lebih besar dari pada itu?”
Retna Wilis menggeleng kepala, takjub.
“Tak dapat terbayangkan olehku betapa engkau pernah melakukan kesesatan
sehebat itu, Paman. Akan tetapi itu bukan urusanku, dan kalau sekarang
Paman menyesali perbuatan itu, baik sekali.”
Adiwijaya makin penasaran. “Akan tetapi, hamba... hamba malah membunuh
mereka ibu dan anak, hamba pada waktu melarikan diri karena sekutu hamba
dihancurkan, telah membunuh Pangeran Kukutan dan mencelakakan Suminten.
Hamba...berganti nama menjadi Adiwijaya dan mengelabuhi paduka... dosa
hamba tak terampunkan...”
Retna Wilis tetap menggeleng kepala.
“Akan tetapi setelah menjadi pembantuku, engkau selalu baik kepadaku, Paman.”
“Hamba akui bahwa semenjak bertemu dengan Paduka, hamba kehilangan semua
watak kotor dan keji, hamba telah mendapatkan pegangan dan telah
bersumpah untuk bersetia kepada Paduka. Hamba menganggap Paduka seperti
sesembahan hamba, seperti... anak hamba yang hamba sayang..., akan
tetapi, hamba sungguh tidak patut, hamba seorang manusia terkutuk. Hamba
mohon, bunuhlah hamba agar hamba terbebas dari pada siksaan batin,
Gusti.”
“Tidak, Paman. Aku tidak akan membunuhmu. Engkau boleh jadi pernah
menyeleweng dan jahat, akan tetapi aku pun bukan seorang baik-baik, dan
segala kejahatan itu tidak dapat menandingi kedurhakaanku terhadap
kanjeng rama dan kanjeng ibu. Tidak, Paman. Kita sama-sama jahat,
karenanya kita dapat menyesali perbuatan kita berdua yang sesat, dapat
sama-sama menderita siksaan batin dari penyesalan hati.”
Tiba-tiba Adiwijaya atau Sindupati meloncat berdiri,peluhnya mengalir seperti air matanya.
“Retna Wilis, masih belum tergugah hatimu untuk membunuh aku? Sindupati
seorang manusia berhati iblis! Dengarlah, Retna Wilis. Aku... aku telah
melakukan hal yang terkutuk..., Ketika engkau masih kecil di Wilis, aku
pernah berkunjung kepada ibumu, Aku memancing ibumu sehingga engkau yang
sedang berlatih di pohon ditinggalkan kemudian diculikoleh sekutuku,
yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Kemudian aku... dengar
baik-baik, ketika ibumu sedang tidur, aku memukulnya pingsan dan aku...
aku memperkosanya!”
Retna Wilis mengeluarkan jerit lirih dan is pun meloncat bangun, berdiri
berhadapan dengan Sindupati yang berwajah pucat sekali. Mereka bertemu
pandang, sejenak tak berkata-kata dan tidak bergerak, kemudian Sindupati
berkata perlahan,
“Nah, cukuplah sekarang. Kau bunuhlah aku, Retna Wilis.”
Akan tetapi, tiba-tiba sekali Retna Wilis tersedu menutupi mukanya
dengan kedua tangan dan menangis. “Tidak..., aku tidak akan membunuhmu,
aku... aku tetap lebih jahat dari pada engkau, Paman. Aku lebih
menyakitkan hati kanjeng ibu dari pada perbuatanmu terhadapnya “
“Retna Wilis...!”
Sindupati berseru setengah memekik, heran, menyesal, terharu dan berduka bercampur aduk menjadi satu dalam suaranya.
Retna Wilis menurunkan kedua tangannya dan memandang Sindupati,
“Paman, kita sama-sama jahat, dan sama-sama menyesal, sama-sama tidak
mempunyai masa depan yang terang, tidak tahu harus bagaimana melanjutkan
hidup ini. Karena itu... jangan... jangan kau tinggalkan aku, Paman.
Engkaulah satu-satunya sahabatku yang dapat kupercaya, engkau pengganti
orang tuaku...”
“Aduh, Gusti Puteri...!”
Sindupati menubruk kaki Retna Wilis, menyembah dan mencium ujung ibu
jari kaki gadis itu, jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Retna
Wilis berjongkok dan mengangkat bangun laki-laki setengah tua itu,
memegang kedua pundak dan berkata,
“Jangan begitu, Paman. Mulai saat ini, Paman kuanggap sebagai paman
kandung sendiri, mewakili kedua orang tuaku. Bimbinglah aku, Paman,
berilah petunjuk bagaimana aku harus melanjutkan hidup ini.”
Dengan suara serak saking terharu hatinya Sindupati berkata,
“Baiklah, Retna Wilis. Engkau kuanggap sebagai keponakanku, bahkan
sebagai anakku yang akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku. Jangan
khawatir, Anakku. Aku akan menggunakan seluruh sisa hidupku demi
membahagiakanmu dan akan menuntunmu untuk merubah jalan hidupmu melalui
jalan kebenaran. Biar pun aku seorang bekas manusia sejahat-jahatnya aku
masih belum lupa bagaimana caranya menjadi manusia baik. Bahkan semua
pengalamanku dapat kujadikan contoh keburukan. Marilah, Anakku, masa
depanmu tidak segelap yang kau khawatirkan. Pertama-tama lenyapkan rasa
bencimu terhadap... ayah bundamu. Sanggupkah?”
Retna Wilis mengangguk.
“Aku sebetulnya tidak membenci mereka, Paman. Hanya, aku... aku segan ditundukkan.”
“Nah, kalau engkau benar menganggapku sebagai pamanmu, sebagai pengganti
orang tuamu, engkau harus taat kepadaku. Tanamkan rasa sayang kepada
ayah bundamu, dan buang jauh-jauh cita-citamu untuk menjadi ratu dunia!”
Retna Wilis mengangkat mukanya memandang, kemudian mengangguk pula.
“Akan tetapi, ayah bundaku, semua keluargaku, tentu akan memandang rendah kepadaku, seorang anak durhaka...!”
“Tidak, Anakku. Engkau akan menjadi seorang semulia-mulianya di dunia
ini, akan menjadi tokoh penegak kebenaran dan orang tuamu, seluruh
keluarga, kelak akan menjunjung tinggi padamu.”
“Akan tetapi, bagaimana aku dapat melawan rangsangan hatiku sendiri,
Paman? Ada sesuatu yang mendorongku, yang tertanam di lubuk hatiku
semenjak aku menjadi murid Nini Bumigarba.”
“Harus kaulawan dengan kekuatan batinmu, dan...”
“Ha-ha-ha-ha, burung gagak berbulu hitam, bagaimana bisa mengubah bulu menjadi putih?”
Sindupati dan Retna Wilis terkejut dan membalikkan tubuh. Kiranya di situ telah berdiri Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!
“Ha-ha-ha-ha, Retna Wilis. Mengapa engkau begin bodoh mau mendengarkan
ocehan seorang pengkhianat kotor seperti dia ini? Kedua tangannya,
seluruh tubuhnya sendiri sudah penuh kotoran, mana mungkin dia dapat
membersihkan engkau? Lebih baik engkau bersekutu denganku, dan kalau
kita bertiga membasmi tokoh-tokoh Jenggala dan Panjalu, engkau kelak
akan dapat menjadi ratu terbesar di seluruh Jawa-dwipa!”
Melihat perubahan pada wajah Retna Wilis yang kembali bersikap dingin
dan beringas, Sindupati maklum bahwa ucapan Wasi Bagaspati itu
mendatangkan kesan di hati Retna Wilis.
Ia khawatir sekali kalau-kalau gadis itu terpengaruh oleh wataknya yang
lama kembali, maka kemarahannya timbul dan dengan nekat is meloncat,
menerkam dan menyerang Wasi Bagaspati!
Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya, menyambut terjangan Sindupati dengan pukulan tangan miring.
“Krakkk!”
Tubuh Sindupati terlempar ke dekat kaki Retna Wilis dan sebagian besar tulang-tulang iganya patah-patah!
Melihat Sindupati menggeletak megap-megap di dekat kakinya, seketika
lenyaplah pengaruh liar di hati Ratna Wilis. Ia menubruk, berlutut di
dekat tubuh yang sudah berkelojotan itu.
“Paman... Paman Sindupati...!”
Dengan terengah-engah Sindupati mengeluarkan bisikan lirih sekali,
“Anakku... sadarlah... lawanlah pengaruh buruk... selamat tinggal...
selamat berjuang ke jalan kebenaran... aku layak mati... penuh dosa...”
Tiba-tiba tubuhnya mengejang lalu lemas. Sindupati, alias Warutama, alias Adiwijaya menghembuskan napas terakhir.
Retna Wilis bangkit perlahan-lahan, pandang matanya membuat Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo mengkirik.
“Eh, Retna Wilis, perlu apa mendengarkan ocehan orang sekarat? Lebih
baik bersama kami mengejar kemuliaan hidup. Hidup di dunia hanya satu
kali dan berapa lamanya orang hidup? Kalau tidak mengejar kemuliaan
sekarang, kelak terlambat dan menyesal pun tiada gunanya lagi,” kata
Wasi Bagaskolo.
“Manusia-manusia iblis!” Tiba-tiba Retna Wilis meloncat cepat sekali
menerjang Wasi Bagaskolo yang berdiri paling dekat. Kakek ini terkejut
dan cepat menangkis.
“Dukkkk!”
Girang hati Wasi Bagaskolo ketika ia menangkis itu ia mendapat kenyataan
bahwa tenaga Retna Wilis tidaklah sehebat pada pertandingan yang lalu.
Dia hanya terhuyung. Hal ini menandakan bahwa kesaktian dara itu belum
pulih kembali. Hal ini memanglah benar. Selain Retna Wilis masih
menderita karena pertandingan yang lalu, juga dia menderita tekanan
batin yang amat berat sehingga hal ini pun banyak mengurangi dan
melemahkan tenaga sakti di tubuhnya.
Retna Wilis yang marah sekali melihat Sindupati tewas, juga maklum bahwa
tenaganya masih belum pulih sebagai akibat ketika ia ditawan dan
kemudian bertanding dengan kedua orang kakek itu, maka ia cepat mencabut
pedang pusaka Sapudenta dari punggungnya.
Namun Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang sudah waspada dan maklum
bahwa selain tenaga saktinya masih belum pulih, juga dara ini sedang
menderita tekanan bath sehingga tidaklah sekuat biasa, tidak menjadi
gentar biar mereka telah kehilangan senjata pusaka mereka.
“Retna Wilis, lebih baik engkau menyerah secara baik-baik, menjadi
pengganti Dewi Nilamanik, menjadi seorang dewi penitisan Sang Bathari,
hidup mulia dan penuh kesenangan. Menyerahlah dari pada aku menggunakan
kekerasan “
Retna Wilis tidak menjawab, melainkan mengeluarkan seruan keras dan
tubuhnya sudah meluncur ke depan, tangannya memutar pedang pusaka
Sapudenta dan berubah menjadi gulungan sinar panjang membabat ke arah
tubuh ke dua orang kakek itu.
Namun Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo sudah mengelak dengan loncatan
mundur, kemudian membalas dengan pukulan-pukulan sakti dari kanan Retna
Wilis terus meloncat ke depan menghindarkan diri dan membalikkan tubuh,
pedang di tangan, siap bertanding mati-matian.
Namun, tertindih oleh derita batin bertubi-tubi, dara ini menjadi agak
pening dan diamuk oleh kemarahan sehingga ketenangannya goyah. Hal ini
menyebabkan serangan-serangannya seperti gerakan orang nekat tanpa
perhitungan lagi, mengamuk dengan dorongan amarah yang bagaikan api
menyala-nyala.
Betapa pun juga, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang mempunyai niat
menawan dara ini hidup-hidup dan menaklukkannya untuk dapat menggunakan
tenaganya, tidaklah dapat melaksanakan niat ini dengan mudah karena biar
pun Retna Wilis berkurang banyak kekuatannya, namun is masih merupakan
lawan yang dahsyat.
Setelah lewat ratusan jurus, tiba-tiba Wasi Bagaskolo mengeluarkan
aji-aji ilmu hitamnya, berteriak keras dan cuaca menjadi gelap karena
timbul awan hitam menutup sinar matahari, bergumpal-gumpal di atas
kepala mereka.
Kemudian, atas isyaratnya, Wasi Bagaskolo berseru keras dan menerjang
Retna Wilis menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan menyerang ke
arah kedua kaki dara
perkasa itu.
Diserang secara buas ini, Retna Wilis agak terkejut dan cepat ia
menggerakkan pedang ke bawah untuk melindungi kedua kakinya, bahkan lalu
menusukkan pedangnya ke arah tubuh Bagaskolo yang menggelinding dekat
ke arah tubuh Bagaskolo yang menggelinding dekat-dekat kakinya dengan
kedua tangan bergerak mencengkeram.
Saat itu, Wasi Bagaspati yang sudah siap sedia dan meloncat ke atas
lenyap ke dalam uap atau awan hitam, meluncur ke bawah dan menerkam
Retna Wilis. Dara itu sedang menusuk ke bawah ketika mendengar
berkesiurnya angin dari atas, maklum bahwa Wasi Bagaspati menerjangnya
secara hebat, maka ia lalu meloncat dan menarik kakinya untuk
menghindarkan cengkeraman Wasi Bagaskolo, dari bawah dan memutar
pergelangan tangan sehingga pedangnya membalik dan membacok ke atas
memapaki tubuh Wasi Bagaspati.
Wasi Bagaspati yang memang hanya mengacaukan lawan agar perhatiannya
terpecah, sudah dapat menghindar dan meloncat ke belakang tubuh Retna
Wilis dan tiba-tiba dara ini merasa betapa kedua kakinya sudah direnggut
dan dipeluk oleh kedua lengan Wasi Bagaskolo yang kuat!
Ia mengeluarkan seruan lirih dan hendak menggerakkan pedang menusuk
punggung Wasi Bagaskolo, akan tetapi perhatiannya yang dicurahkan ke
bawah itu, biar pun hanya beberapa detik, cukup bagi Wasi Bagaspati
untuk bergerak, tangan kin membabat pergelangan tangan Retna Wilis yang
memegang pedang dan tangan kanan mencengkeram pedang pusaka Sapudenta!
“Eiihhhhh!”
Retna Wilis memekik, mengerahkan tenaga mempertahankan pedang dan dua
tenaga sakti raksasa yang memperebutkan pedang itu membuat pedang
terlepas dari pegangan Retna Wilis, bukan terampas lawan melainkan
mencelat jauh dan lenyap ke dalam jurang!
Retna Wilis marah sekali, tiba-tiba tubuhnya meronta, bergoyang semua
dengan getaran hebat sehingga Wasi Bagaspati terpaksa meloncat ke
belakang, sedangkan Wasi Bagaskolo yang memeluk kedua kaki itu dapat
dilontarkan pula sampai lima meter jauhnya di mana kakek ini jatuh dan
bergulingan lalu meloncat bangun.
Mereka berdua kini tertawa menyeringai, girang bahwa mereka berhasil
melucuti dara itu dan dalam keadaan tak bersenjata tentu akan lebih
mudah ditangkap. Perasan inilah yang mencelakakan Wasi Bagaskolo.
Orang yang mabuk kesenangan akan berkurang kewaspadaannya, memandang
rendah lawan dan karenanya menjadi lengah. Mereka tidak tahu bahwa dalam
gebrakan terakhir tadi, Retna Wilis yang kehilangan senjata telah
menyambar tanah pasir ke dalam genggaman tangan kanannya, diam-diam ia
mengerahkan aji kesaktiannya sehingga tanah pasir yang digenggamnya itu
menjadi senjata yang luar biasa ampuhnya, yaitu Pasir sakti, pasir yang
berubah seperti bubuk baja yang mengandung bisa!
Wasi Bagaskolo yang kini merasa bahwa dia sanggup menandingi dan
mengalahkan dara yang sudah lemah itu, mengeluarkan seruan girang dan
menerjang maju, menggunakan kedua tangan hendak mencengkeram, akan
tetapi dia didahului oleh Wasi Bagaspati yang melihat gerakan adik
seperguruannya dan hendak membantu.
Wasi Bagaspati lebih hati-hati dan maklum bahwa kalau dara itu tidak ia
desak lebih dulu, masih sukar untuk dapat ditangkap adik seperguruannya.
Maka ia menerjang maju dengan cepat dari sebelah ldri Retna Wilis,
mengirim pukulan tangan kiri dengan tenaga sakti, beberapa detik lebih
dulu dari gerakan Wasi Bagaskolo yang hendak menerkam dari depan.
“Plakkk...!”
Tangan kin Retna Wilis menangkis pukulan ini tanpa menoleh karena
perhatiannya tetap ditujukan kepada Wasi Bagaskolo di depannya.
Biar pun pukulan sakti Wasi Bagaspati yang ditangkisnya itu membuat
tangan kirinya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh, hal ini tidak
mengurangi perhatiannya ke depan.
Pada saat itu Wasi Bagaskolo menubruk dan Retna Wilis menyambitkan pasir
yang berada di dalam genggaman tangan kanannya. Sinar hitam menyambar
ke arah muka dan dada Wasi Bagaskolo dari jarak dekat sekali.
“Augggghhhrrr...!”
Pekik mengerikan keluar dari kerongkongan Wasi Bagaskolo yang tiba-tiba
terjengkang ke belakang, roboh terbanting dan kedua tangannya yang tadi
membentuk cakar hendak mencengkeram tubuh Retna Wilis, kini mencakari
muka dan dadanya sendiri sampai kulit dan dagingnya robek-robek!
“Dessss...!”
Tubuh Retna Wilis terbanting keras dan terguling-guling.
Hebat sekali pukulan yang dilakukan Wasi Bagaspati yang marah
menyaksikan tewasnya Wasi Bagaskolo sehingga dia mengirim pukulan yang
mengenai punggung Retna Wilis.
Dara itu bergulingan dan darah mengucur dari bibirnya, akan tetapi ia
masih dapat bangkit dengan tubuh lemah namun semangat menyala-nyala,
pantang mundur pantang menyerah, siap untuk melawan sampai mati.
Pandang matanya berkunang, kepalanya pening, tubuhnya bergoyang-goyang,
namun sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya yang berlepotan
darahnya sendiri.
“Engkau... engkau membunuh adikku...?”
Wasi Bagaspati kembali menerjang dengan pukulan sakti. Retna Wilis
mengangkat tangan menangkis dan kembali ia roboh terguling-guling, akan
tetapi biar pun dengan susah payah, ia masih dapat bangkit kembali.
Ketika Wasi Bagaspati yang sudah marah sekali itu lari menghampiri,
tiba-tiba terdengar suara halus, “Sahabatku, mengapa Andika melanggar
janji?”
Dan di depannya telah berdiri dengan sabar dan kening dikerutkan sambil menggeleng-geleng kepala.
Sejenak Wasi Bagaspati memandang penuh kemarahan, kemudian ia mendengus
dan mengham piri mayat Wasi Bagaskolo, mengambilnya dan memanggulnya,
kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia hendak pergi meninggalkan tempat
itu.
Akan tetapi dengan gerakan cepat sekali, amat mengherankan bagi tubuhnya
yang gendut pendek, Biku Janapati telah menyusulnya ketika Wasi
Bagaspati hendak menuruni sebuah jurang.
“Berhenti dulu, Wasi Bagaspati,” kata Biku Janapati.
Wasi Bagaspati yang memanggul mayat Wasi Bagaskolo membalikkan tubuh dan sikapnya beringas, “Andika mau apa, Biku Janapati?”
“Aku hendak menagih janji, dan aku hendak mempertanggungjawabkan
perbuatanku ketika menanggungmu, sahabatku Wasi Bagaspati. Andika
seorang yang sudah banyak mempelajari ilmu, tentu saja tadinya kuanggap
bahwa Andika benar-benar telah dapat insyaf dan sadar, karena itu aku
berani menanggungmu. Siapa tahu, kiranya Andika telah menjadi hamba
nafsu yang paling rendah sehingga Andika membutakan mata hati dan tidak
melihat lagi antara baik dan buruk. Aku telah menanggungmu dengan segala
akibatnya dan melihat betapa engkau masih saja menuruti nafsu angkara
murka, terpaksa aku sendiri yang turun tangan membasmimu.”
Wasi Bagaspati marah sekali dan melemparkan mayat Wasi Bagaskolo ke atas
tanah. Karena dia berdiri di pinggir jurang, maka tanpa ia sengaja
mayat itu terlempar ke tepi dan terus menggelundung memasuki jurang!
Akan tetapi, saking marahnya kepada Biku Janapati, Wasi Bagaspati tidak
mempedulikan hal itu dan ia menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek
gundul itu.
“Keparat engkau Janapati! Engkau yang menjadi sahabatku semenjak dari
tanah barat, kini hendak memusuhiku dan membela orang keturunan
Mataram?”
“Andika yang telah lupa akan segala awal dan akhir, Wasi Bagaspati.
Lupakah Andika bahwa sesungguhnya Andika hanya ikut dan membonceng
kepada kami utusan... Sriwijaya...ketika memasuki Jawadwipa? Lupakah
bahwa kalau tidak bersama utusan Sriwijaya yang masih ada hubungan
keluarga dengan Mataram, Andika dan para pengikut Andika tidak mungkin
dapat tiba di sini?
Dahulu Andika berjanji untuk memperkembangkan Agama Shiwa, akan tetapi
setelah tiba di sini Andika mengumbar angkara murka. Berkali-kali saya
peringatkan, dan yang terakhir malah saya menebus nyawa Andika dari
tangan Bagus Seta dengan tanggung jawab sepenuhnya. Sekarang, tiada lain
jalan bagiku, terpaksa hams melenyapkan Andika yang selalu menjadi
pengacau ketenteraman.”
“Pendeta gundul yang sombong! Kaukira aku takut kepadamu?”
Wasi Bagaspati berteriak dan menerjang Biku Janapati.
“Sadhu-sadhu-sadhu... siapa mengira bahwa setua ini hamba terpaksa
melakukan dosa lagi...“ kata Biku Janapati yang cepat menangkis dan
balas menyerang.
Dua orang kakek sakti itu segera bertanding di pinggir jurang dengan seru.
Retna Wilis yang sudah terluka itu ketika terbanting tadi dapat bangkit
kembali dengan susah payah dan siap menghadapi pukulan lawan terakhir.
Akan tetapi ia melihat munculnya Biku Janapati dan betapa pendeta ini
membelanya. ia menjadi lemas dan limbung, tubuhnya terhuyung hampir
terguling, kepalanya pening.
Sebuah lengan dengan halus dan lemah-lembut merangkul pundaknya dan
mencegahnya roboh terguling. Retna Wilis merasa bahwa hanya lengan
Adiwijaya sajalah yang akan menyentuhnya dengan kasih sayang seperti
itu, maka ia memejamkan matanya.
Akan tetapi ia teringat bahwa pamannya itu telah tewas, maka cepat ia
membuka mata dan menoleh. Jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat
bahwa yang merangkul pundaknya itu bukan lain adalah Bagus Seta, yang
memandangnya dengan tersenyum dan tangan kanan pemuda itu telah memegang
pedang Sapudenta yang tadi hilang terjatuh ke dalam jurang.
“Eng... engkau... Bagus Seta...?” Retna Wilis bertanya gagap dan
melepaskan rangkulan pemuda itu, membalikkan tubuh menghadapinya.
“Benar, adikku Retna Wilis. Aku rakandamu Bagus Seta yang selalu membayangimu.”
“Berikan pedangku itu!” Retna Wilis berkata, memaksa diri bersikap gagah biar pun seluruh tubuhnya lemas.
“Hendak kau pakai untuk apakah? Untuk membunuhku sebagai murid Eyang Bhagawan Ekadenta?”
“Ohh, tidak, tidak...! Akan kupakai membunuh Wasi Bagaspati!”
Bagus Seta tersenyum, memegang tangan adiknya, menariknya dan
menyarungkan pedang Sapudenta di sarung pedang yang menempel di punggung
Retna Wilis.
“Jangan mencampuri urusan mereka, Adikku. Lihat, mereka berdua datang ke
tanah air kita tanpa ada yang mengundang, keduanya menimbulkan
kekeruhan dengan cara mereka sendiri dan sekarang biarkanlah keduanya
menyelesaikan segala persoalan yang timbul sebagai akibat dari perbuatan
mereka sendiri. Mulai sekarang, berhati-hatilah dalam melangkahkan
sesuatu, Adikku, karena setiap langkah, setiap perbuatan kita menjadi
sebab timbulnya akibat di kemudian hari.
“Kita akan memetik setiap buah yang tumbuh dari pohon yang kita tanam
sendiri, oleh karena itu, kita harus dapat memilih pohon perbuatan yang
baik agar buahnya pun kelak buah yang baik. Semua hal yang menimpa din
kita adalah hasil dari pada perbuatan kita sendiri, Adikku sayang,
karena itu kita harus menjaga perbuatan dengan jalan membersihkan hati
dan pikiran sebab perbuatan timbul dari pada hati dan pikiran.
“Kalau hati dan pikiran kita bersih, perbuatan kita pun tentu bersih,
sebaliknya hati dan pikiran kotor tak mungkin menimbulkan perbuatan yang
bersih.”
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras disusul pekik yang menyeramkan
keluar dari dalam jurang di depan. Kedua orang kakek yang bertanding
tidak tampak lagi dan perlahan-lahan Bagus Seta menarik tubuh Retna
Wilis yang dirangkul pundaknya itu mendekati tepi jurang lalu menjenguk
ke bawah. Jauh di dasar jurang, di antara batu-batu dan air sungai
kecil, tampak menggelatak tiga mayat orang dalam keadaan remuk, yaitu
mayat dari Wasi Bagaspati, Biku Janapati, dan Wasi Bagaskolo.
Melihat mayat-mayat itu, Retna Wilis teringat akan mayat Sindupati. ia
menengok, memandang mayat itu, melepaskan rangkulan Bagus Seta dan lari
menghampiri, berlutut dan menangisi mayat Sindupati.
Bagus Seta berjalan mendekati, dan di antara isak tangis Retna Wilis, terdengar suaranya,
“Berbahagialah dia ini yang telah sadar dan bertobat dari pada
dosa-dosanya sehingga mati dalam keadaan sadar. Riwayat hidup Sindupati
ini dapat dijadikan tauladan dan peringatan bagi kita, Retna Wilis,
bahwa tiada perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran akan
mendatangkan kebahagiaan. Sikapnya yang baik sekali terhadapmu,
sedikitnya telah menebus sebagian dari pada dosa-dosanya yang lalu, dan
nyatanya, dalam saat terakhir ia telah sadar akan dosa-dosanya dan
bertobat. Sadar akan dosa sendiri dan bertobat merupakan kebahagiaan
besar, Adikku.”
Biar pun menangisi mayat Sindupati, namun setiap kata-kata yang keluar
dari mulut Bagus Seta terdengar jelas oleh Retna Wilis. ia lalu
mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.
“Adakah... harapan bagiku... yang murtad yang penuh noda dan dosa ini... untuk kembali ke jalan benar?”
Bagus Seta tersenyum, merangkul adiknya dan diajak berdiri.
“Tidak ada dosa yang takkan terhapus asal dengan tebusan penyesalan dan
bertobat lahir batin tanpa paksaan, melainkan dengan kesadaran. Engkau
terluka Retna Wilis. Mari kita menyempurna kan jenazah Sindupati,
kemudian ikutlah dengan aku, kakakmu yang akan membimbingmu ke arah
jalan benar dan kebahagiaan.”
Mereka lalu membuat api besar dan membakar jenazah Sindupati.
Abunya mereka tanam di hutan itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali di pantai laut selatan tampak Bagus Seta dan Retna Wilis
bergandengan tangan, berjalan perlahan menuju ke timur di mana sinar
matahari yang cerah telah membakar angkasa.
Kedua orang kakak beradik ini tidak merasa betapa lidah air laut
menjilat-jilat kaki mereka karena mereka seperti terpesona atau tertarik
oleh sinar matahari kemerahan yang makin lama makin terang itu.
Keduanya mendapatkan keyakinan, terutama sekali Retna Wilis, bahwa
seperti halnya sinar matahari pagi, masa depannya dengan bimbingan
kakaknya akan makin gemilang. Bayang-bayang hitam kedua orang muda itu
makin tampak nyata mengikuti di belakang mereka.
Bayangan kedua kakak beradik sakti mandraguna yang menuju ke arah
munculnya Sang Surya itu makin lama makin mengecil, merupakan dua titik
hitam yang lambat laun lenyap, meninggalkan ombak-ombak memerah di
pantai yang mereka lalul tadi, meninggalkan jejak kaki di pasir yang
terhapus oleh air laut.
Laut dan pasir tidak kehilangan sesuatu, tidak pernah merasa kehilangan karena mereka pun tidak merasa mendapatkan sesuatu.
Akan tetapi kita sebagai manusia, merasa kehilangan dengan lenyapnya dua
orang kakak beradik, Bagus Seta dan Retna Wilis itu. Kita merasa
kehilangan di samping menemukan hal-hal yang amat berguna, yaitu
kenangan-kenangan akan segala peristiwa yang terjadi dalam cerita
“Perawan Lembah Wilis” yang bersama menghilangnya kedua kakak beradik
itu pun akan berakhir sampai di sini.
Selalu menjadi harapan pengarang setiap mengakhiri karangannya, semoga
karangan ini sedikit banyak mengandung manfaat bagi para pembaca, bukan
hanya mendatangkan keyakinan yang menebalkan iman akan kekuasaan Tuhan
Yang Maha Kasih dan Maha Adil.
Sebab sesungguhnya manusia yang bisa menyerahkan segala sesuatu ke
tangan Tuhan tanpa meninggalkan kewajiban ikhtiar, yang penuh
kepercayaan akan Keputusan Tuhan, yang dapat menerima segala yang
menimpanya dengan kesadaran bahwa Kehendak Tuhan tak dapat ditentang
sehingga tiada rasa penasaran dan kesombongan dalam gagal dan hasil.
Manusia seperti inilah yang dalam hidupnya akan dapat menikmati
ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan.....
Komentar
Posting Komentar