PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-05


Endang Patibroto berjongkok, memegang pundak Raden Sungkono yang ternyata terluka parah, terutama di lambungnya. “Kakang... ke mana dibawanya suamiku...”
“Di penjara istana... paduka larilah... paduka akan ditangkap... hamba... hamba tak kuat, aduhhhh...” Sungkono menjadi lemas tubuhnya.
“Kakang...! Kakang Sungkono...” Akan tetapi Endang Patibroto tahu bahwa panggilannya tak terjawab. Sungkono pengawal setia itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Ia meletakkan kepala pengawal itu ke atas tanah, lalu berdiri seperti arca.
Suaminya ditangkap gara-gara Pangeran Darmokusumo! Dia menggertakkan giginya. Dia harus membebaskan suaminya, biar pun harus mengorbankan nyawa. Ia harus menyerbu penjara istana, biar dikepung seluruh prajurit Jenggala!
Suaminya tak bersalah, suaminya tak berdosa. Dan kalau hendak menangkap Pangeran Darmokusumo si pengkhianat dianggap dosa, dialah yang berdosa, bukan suaminya.
“Kakangmas pangeran...!” Ia menjerit lalu terduduk mendeprok di atas tanah, dekat mayat Sungkono, menangis! Baru kali ini Endang Patibroto menangis hebat semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit.
Kemudian ia memegang pundak mayat itu dan berbisik,
“Terima kasih, kakang... terima kasih atas pembelaanmu sehingga kau mengorbankan nyawa untuk suamiku... maafkan aku, tak dapat aku mengurus mayatmu sebab aku harus membebaskan suamiku... selamat tinggal, kakang Sungkono!”
Ia lalu meloncat bangun, mukanya beringas dan lahirlah kembali Endang Patibroto wanita sakti mandraguna. Air matanya berhenti mengucur dan pandang matanya berkilat ketika tubuhnya melesat jauh ke depan, menuju dinding tinggi yang mengelilingi Kota Raja Jenggala.
Karena sudah sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, tentu saja Endang Patibroto sudah hafal akan keadaan di istana dan tahu pula di mana letaknya tempat tahanan.
Tempat tahanan ini merupakan sebuah gedung besar di sudut belakang kelompok bangunan istana, terbuat dari pada dinding batu yang tebal dan kuat, dikelilingi pekarangan yang lebar.
Malam itu amat sunyi di lingkungan istana. Endang Patibroto yang berkelebat melalui jalan di atas wuwungan, melihat betapa penjagaan di tempat-tempat biasa diperketat, bahkan tampak seragam-seragam prajurit yang biasanya tidak tampak menjaga keraton. Ia dapat menduga bahwa pasukan pengawal keraton yang tadinya tidak berapa besar jumlahnya, kini ditambah dengan pasukan-pasukan prajurit.
Tetapi berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, juga dilindungi kegelapan malam, Endang Patibroto berhasil menyusup melalui wuwungan-wuwungan, sampai akhirnya dia berada dekat dengan rumah tahanan.
Dari atas wuwungan dapur istana di belakang, ia mengintai. Rumah tahanan itu berada di depannya, di bawah
Ketika ia mengintai, kagetlah hatinya melihat banyaknya prajurit dan pengawal memenuhi pekarangan rumah tahanan itu.
Bukan main! Sedikitnya tentu ada tiga ratus orang prajurit yang mengawal ketat, menjaga rumah tahanan itu seperti semut-semut merubung bangkai jangkerik. Bahkan ia melihat pula banyak prajurit berada di atas wuwungan rumah itu, siap dengan busur serta anak panah! Kalau ia nekat menyerbu, agaknya takkan mungkinlah menembus penjagaan yang sekuat itu.
Kiranya sang prabu Jenggala benar-benar sudah siap sedia menunggu kedatangannya! Ia mengertak gigi, hatinya panas bukan kepalang. Apa pun yang akan terjadi, ia harus dapat membebaskan suaminya! Siapa pun orangnya, sekali pun sang prabu sendiri, tidak boleh menahan suaminya, tak boleh membelenggu suaminya, kecuali sudah melalui mayatnya!
Endang Patibroto termenung, mengasah otak mencari akal. Ia tak mau secara sembrono menyerbu begitu saja. Bukan karena ia takut. Ditambah lima kali jumlah itu pun ia tidak akan takut, mati bukan apa-apa baginya.
Tetapi ia harus dapat membebaskan suaminya dan hal ini takkan mungkin terlaksana bila ia berlaku nekat. Ia harus cerdik. Sesudah termenung sejenak, tubuhnya lalu berkelebat, melayang turun di bagian yang tak terjaga.
Kurang lebih satu jam kemudian tampak asap mengebul di bagian sebelah kanan dapur istana.
“Kebakaran...! Kebakaran...!” teriak penjaga yang melihat asap dan api.
“Air...! Air...!”
“Hayo bantu padamkan..., lekas sebelum membesar apinya...!”
Seorang perwira berseru keras ketika melihat anak buahnya tersebar panik.
“Hei! Jangan membantu semua! Sebagian tetap menjaga di sini!”
Karena tindakan tegas sang perwira, keadaan tidak begitu panik lagi, dan hanya beberapa orang penjaga secukupnya saja yang ditugaskan untuk membantu pemadaman api yang membakar atap bangunan itu.
Akan tetapi pada menit-menit berikutnya, kembali tampak asap mengebul, kini di sebelah utara dekat kandang kuda.
“Kebakaran lagi! Itu di sana, dekat kandang!”
“Dan itu di sana ada api! Dekat gudang!”
“Tolong! Bantu! Kebakaran di mana-mana...!”
Kini tak dapat dicegah lagi, kepanikan terjadi dengan hebat. Para prajurit tersebar seperti semut digebah. Seorang di antara para prajurit, yang memisahkan diri, agaknya hendak mencari ember atau alat lain untuk pemadam kebakaran, tiba-tiba saja menerima pukulan dua jari yang ditekuk, tepat mengenai leher di bawah telinga kiri. Hanya terdengar suara “ngukkk!” dan prajurit ini roboh lamas tak sadarkan diri.
Endang Patibroto cepat-cepat menanggalkan pakaian luar prajurit ini, kemudian dengan cepat pula mengenakan pakaian itu pada tubuhnya sendiri. Tubuh prajurit ini lebih besar dari padanya, akan tetapi karena pakaian itu ia kenakan di luar pakaiannya sendiri, maka tidaklah terlalu besar amat.
Rambutnya kini tersembunyl di dalam topi prajurit dan jadilah ia kini seorang prajurit yang tampan dan gagah. Endang Patibroto menyambar tombak prajurit itu kemudian dia pun berlari-lari.
Tak lama kemudian, ia pun tampak di antara para prajurit dan pengawal yang bercampur-aduk, sehingga tidak ada bahaya baginya ketahuan kepala pasukan. Keadaan amat panik dan lima tempat kebakaran yang dibuat olehnya cukup membuat para prajurit tidak begitu memperhatikan rumah tahanan.
Dengan pura-pura berdiri tegak dengan tombak di tangan, Endang Patibroto lalu beraksi “menjaga” di' depan jendela kamar tahanan. Ketika mendapat kesempatan, ia membuka daun jendela dari kayu itu. Jeruji-jeruji besi di bagian belakang daun jendela yang sebesar lengan-lengan manusia bukan apa-apa bagi Endang Patibroto.
Ia mengerahkan aji kekuatannya kemudian sekali tangannya mementang, dua buah jeruji melengkung lebar, bahkan bagian atas yang menancap pada kayu terlepas! Bagaikan seekor burung ia melompat masuk dan tak lupa menarik daun jendela dari dalam hingga jeruji yang tidak sebagaimana mestinya itu tidak tampak dari luar. Cepat ia lari ke dalam.
“Hai..., kawan, mau apa kau masuk ke sini?”
Tiba-tiba muncul empat orang penjaga penjara, yaitu petugas penjara.
Endang Patibroto meniru suara pria lalu berkata.
“Kepala pasukan menyuruh melihat apakah Pangeran Panjirawit masih ada di tempatnya. Di luar banyak terjadi kebakaran, kepala pasukan khawatir kalau-kalau pangeran dilarikan musuh.”
“Mana bisa? Kami menjaga di sini siapa dapat melarikannya? Akan tetapi, baik kau lihat sendiri, kawan.”
Karena keadaan di luar yang panik membuat para penjaga di sebelah dalam juga panik sehingga dalam keadaan kacau itu peristiwa masuknya seorang prajurit yang mestinya tidak wajar dianggap biasa. Bersama empat orang petugas penjara itu,
Endang Patibroto dibawa masuk ke sebelah belakang. la melihat bahwa petugas di dalam tahanan hanya ada delapan orang, maka hatinya menjadi lega.
“Nah, itulah dia. Masih meringkuk seperti tikus. Apa kau sangka siluman yang menjadi isterinya itu dapat...”
“Ngekk!”
Sebuah tinju mengenai ulu hati si pembicara yang roboh tak bersuara dan tak bernapas lagi. Tiga yang lain terkejut, akan tetapi tiga kali tubuh Endang Patibroto bergerak dan tiga kali terdengar suara mengaduh dibarengi robohnya tiga orang. Mendengar ribut-ribut ini, empat petugas yang lain datang. Inilah yang dikehendaki Endang Patibroto.
“Eh, ada apakah... Empat orang petugas yang masih mengira Endang Patibroto seorang prajurit biasa, datang berlarian dan bertanya. Namun pertanyaan mereka segera disambut gerakan kaki tangan yang luar biasa cepatnya dan hampir berbareng empat orang itu pun roboh semua.
“Endang...!“
“Pangeran...!”
Mereka berpelukan, saling dekap eraterat seakan-akan takut kalau-kalau mereka terpisah lagi...
“Aku tahu, kau takkan membiarkan aku dikeram terus, isteriku...”
Pangeran Panjirawit merangkul dan menciumi isterinya...
Air mata Endang Patibroto membasahi pipi dan dagu suaminya. “Ah, kakanda... maafkan hamba... telah membikin sengsara kakanda...”
“Hushhh...!”
Pangeran Panjirawit langsung menutup mulut isterinya dengan bibir, untuk mencegahnya melanjutkan kata-kata, lalu berkata, “Kau tak pernah salah, aku yakin. Apakah yang telah terjadi? Benarkah engkau menyerbu ke Panjalu? Aku tidak percaya...”
“Nanti saja, kakanda. Kita belum bebas. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat keluar dari sini.”
Pangeran Panjirawit baru ingat akan hal ini dan keningnya berkerut penuh kekhawatiran. Ia memandang isterinya yang berubah menjadi seorang prajurit dan kalau saja keadaan tidak sedang berbahaya seperti itu, tentu ia akan mentertawakan dan menggoda isterinya sedemikian rupa sampai isterinya menghentikan godaannya dengan cium, gigit dan cubit. Biasanya memang begitu kalau di rumah. Kemudian ia melirik ke arah petugas tahanan yang menggeletak malang-melintang.
“Benar, kakanda. Sebaiknya kakanda menyamar,” kata Endang Patibroto yang agaknya mengikuti gerak mata dan sikap suaminya. Hatinya lega bukan main melihat suaminya dalam keadaan sehat selamat dan hanya hal inilah yang terasa di hatinya. Yang lain-lain tidak ia hiraukan.
Cepat Endang Patibroto membelejeti (menanggalkan) pakaian luar seorang di antara para petugas tahanan yang tubuhnya sama besar dengan tubuh suaminya, kemudian cepat membantu suaminya mengenakan pakaian itu.
Pada saat itu terdengar pintu depan digedor-gedor dari luar. Teriakan perwira menggema ke dalam rumah tahanan,
“Haii! Penjaga-penjaga di dalam, apakah kalian tuli? Ataukah tertidur? Keparat, hayo buka pintu ini...!”
Endang Patibroto memegang lengan suaminya. “Cepat, pangeran.”
Ia cepat menarik lengan suaminya melalui ruangan dalam, terus menuju ke jendela yang jerujinya sudah ia buka tadi. Dari belakang jendela itu terdengar suara hiruk-pikuk para prajurit, dan pintu depan kini digedor-gedor dengan kerasnya, bahkan mulai didorong oleh banyak prajurit.
“Cepat, kakanda. Melalui jendela ini!” bisik Endang Patibroto.
“Tapi... tapi di luar banyak prajurit, yayi. Bagaimana engkau...?”
Di dalam hatinya Endang Petibroto terharu. Dalam keadaan seperti itu, suaminya masih mengkhawatirkan dirinya, tidak menghiraukan diri sendiri. Sama pula dengan dia, baginya mati tidak apa-apa asal suaminya selamat!
“Jangan khawatir, kakanda sayang, adinda akan meiindungi.”
Endang Patibroto kini mengerahkan Aji Gelap Musti memukul ke arah jendela dan...
“Krekkk!” jeruji-jeruji itu patah-patah semua. “Mari kugendong, pangeran, agar kami dapat lari lebih cepat, menggunakan ajiku Bayu Tantra!”
Pangeran Panjirawit maklum akan kesaktian isterinya, juga maklum bahwa dalam usaha melarikan diri ini sepenuhnya tergantung dari tenaga isterinya. Ia lalu merangkul pundak isterinya dari belakang, membiarkan dirinya digendong sambil mengempit pinggang yang ramping itu dengan kedua kakinya.
Mulutnya berbisik di dekat telinga isterinya, “Aku sudah siap... mati bersama...”
“Tidak, kita hidup bersama, suamiku,” bisik Endang kembali. Ia melangkah mundur tiga tindak lalu mengerahkan Aji Bayu Tantra dan tubuhnya melesat melalui jendela.
Daun jendela itu tertabrak hingga terbuka lebar. Pangeran Panjirawit sungguh pun sudah yakin akan kesaktian isterinya, tak dapat tidak menjadi kagum sekali ketika tubuhnya “diterbangkan” melalui lubang jendela yang tidak berapa lebar, begitu tepat dan hanya sedikit pundaknya menyentuh pinggir jendela!
Di luar para prajurit masih sibuk memadamkan api dan sebagian pula mendongkrak pintu depan rumah tahanan.
Ketika melihat munculnya seorang prajurit muda yang menggendong seorang berpakaian penjaga, mereka tertegun dan terbelalak heran. Akan tetapi pada waktu tubuh prajurit itu meloncat jauh dan mereka mengenal wajah si penjaga yang digendong, berteriak-teriaklah mereka.
“Pangeran lolos...! Kepung...! Tangkap...! “
Segera banyak prajurit maju menghadang dengan tombak dan pedang di tangan. Endang Patibroto telah menduga bahwa ia harus bertanding mati-matian, maka tanpa membuang banyak waktu, kaki tangannya langsung bergerak dan empat orang prajurit roboh. la tidak biasa menggunakan tombak, maka tombak tadi sekarang ia serahkan kepada suaminya, sedangkan ia sendiri menyambar sebatang pedang lawan yang ia robohkan.
Maka mulailah Endang Patibroto mengamuk. Suaminya yang berada di punggungnya juga menggerakkan tombak ke kanan kiri merobohkan prajurit yang datang dari jurusan ini.
Meski pun punggungnya menggendong Pangeran Panjirawit, akan tetapi gerakan Endang Patibroto masih sangat lincah dan ganas. Pedangnya berkelebat bagaikan kilat, sinarnya bergulung-gulung dan banyak prajurit roboh.
Akan tetapi, makin banyak yang roboh semakin banyak pula yang datang, seperti semut mengeroyoknya dan teriakan-teriakan mereka amat bising.
Endang Patibroto mulai khawatlr, mengkhawatirkan suaminya, ia dapat mengamuk lebih leluasa, akan tetapi takut kalau-kalau suaminya terpisah dan terluka.
“Pangeran, buang tombak dan pegang erat-erat!” bisiknya.
Biar pun Pangeran Panjirawit tak mengerti mengapa ia harus membuang tombak, namun percaya penuh kepada isterinya, ia melemparkan tombaknya dan memeluk leher isterinya erat-erat.
“Awas, pangeran!” bisik Endang Patibroto.
Dengan pedangnya dia menyapu dengan gerakan mendadak sehingga lima enam orang prajurit yang tak menyangka-nyangka wanita itu akan berjongkok dan menyapu ke bawah, roboh dengan kaki buntung atau setengah buntung terbabat pedang!
Dan tiba-tiba, bagaikan seekor burung, Endang Patibroto sudah mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuhnya ke atas genteng rumah tahanan! Akan tetapi sebelum kakinya menginjak genteng, belasan batang anak panah menyambar dari depan seperti hujan!
“Celaka... awas anak panah, Endang... I”
Pangeran Panjirawit berteriak cemas. Akan tetapi kembali dia kagum bukan main karena meski pun tubuhnya masih melayang di udara, namun dengan memutar pedang sampai pedang itu mengeluarkan bunyi mengaung, semua anak panah dapat dipukul runtuh.
Bahkan tangan kirinya pun menyambar dan... dua batang anak panah bisa ditangkapnya. Tubuhnya terus ke depan sambil tangan kirinya bergerak menyambitkan anak panah ke depan.
Terdengar teriakan dua orang pemanah yang dadanya termakan senjatanya sendiri. Kini Endang Patibroto sudah turun ke atas genteng. Segera la dikeroyok oleh belasan orang pengawal yang memiliki ilmu silat lumayan.
Di sini Endang Patibroto mengamuk kembali, dalam waktu singkat telah merobohkan lima orang pengeroyok dengan pedangnya.
Akan tetapi kini banyak pengawal dan perwira yang berkepandaian sudah berlompatan naik ke atas genteng. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang.
Endang Patibroto yang sudah banyak pengaiamannya bertempur di waktu mudanya (baca Badai Laut Selatan), mengerti bahwa tidak akan mungkin dapat melayani mereka semua. Sedangkan kini fajar hampir menyingsing.
Kalau malam sudah berganti pagi, tidak mungkin lagi dapat melarikan diri keluar dari kota raja. Ia harus dapat melarikan suaminya sekarang juga. Harus!
“Kakanda, tutup kedua telinga kakanda...”
Ia berbisik dan maklumlah Pangeran Panjirawit bahwa isterinya hendak menggunakan Aji Sardulo Bairowo. Ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi sepasang telinganya.
Benar saja, Endang Patibroto lalu mengeluarkan suara pekik dahsyat, melengking tinggi mengatasi semua suara hiruk-pikuk para prajurit!
Semua pengeroyoknya yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu sangat terkejut, bahkan ada delapan orang yang tidak mampu menahan, roboh bergulingan di atas genteng terus jatuh ke bawah! Yang lain-lain tersentak mundur, kaget dan ngeri.
Kesempatan ini digunakan oleh Endang Patibroto untuk mengerahkan tenaga meloncat ke atas genteng bangunan yang berdekatan, yaitu bangunan dapur istana.
Banyak anak panah mengaung dan bercuitan di kanan kiri, bawah dan atasnya, namun tidak sebuah pun yang mengenainya. Tiba-tiba Endang Patibroto merasa betapa tubuh suaminya di atas punggungnya menegang.
“Ada apa, pangeran?”
“Ti... tidak apa-apa...“ Suaminya mengerang ditahan. “Lekas pergi, Endang, lekas...!”
Dengan hati berdebar Endang Patibroto mempercepat larinya. Para pengejarnya sudah tertinggal jauh dan anak-anak panah tidak dapat mencapainya lagi. Ia amat khawatir.
Apakah suaminya menjadi gentar? Akan tetapi kini selamatlah sudah. Dia mempercepat pula larinya dan sebentar saja ia sudah berhasil keluar dari dinding kota raja, terus berlari menuju ke selatan.
“Kita selamat dan bebas, pangeran...!” bisiknya sambil lari terus.
“...syukurlah..., mari kita istirahat, isteriku...“
“Nanti, kakanda. Biar jauh dulu...”
Endang berlari terus, larinya masih amat cepat sehingga bagaikan terbang saja layaknya. Dusun-dusun dilalui, juga hutan-hutan, dan sementara itu angkasa sudah mulai memerah terbakar sinar sang surya.
“Endang... nimas... berhentl dulu... aku... aku tidak kuat...”
Endang Patibroto menghentlkan larinya dengan tiba-tiba, wajahnya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, hampir tidak berani dia menurunkan suaminya, tidak berani melihat suaminya.
Jangan-jangan...!
“Paduka... paduka... kenapa... kakanda...?”
“...ughh, terluka..., anak panah...“
Endang Patibroto menahan isak, lari ke sebuah gubuk di tengah sawah yang berada tak jauh dari situ. Kemudian ia menurunkan suaminya yang ternyata sudah lemas tubuhnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan cemas hatinya ketika melihat punggung suaminya tertancap anak panah.
“Kakanda...!” Ia menjerit, merebahkan suaminya ia sendiri berlutut memeriksa.
Seluruh bulu di tubuhnya berdiri ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap dalam sekali, hampir sampai ke gagangnya, agaknya menembus celah-celah tulang iga.
“Kakanda pangeran...!” kembali ia menjerit dan memeluk, menangis terisak-isak.
Sebagai seorang ahli, sekali pandang tahulah ia bahwa suaminya takkan dapat tertolong lagi. Anak panah itu menancap amat dalam, menembus bagian yang penting. Jika dicabut tentu akan mempercepat suaminya meninggalkannya.
“Aduh, pangeran..., suamiku... bagaimana...?”
Pangeran Panjirawit meraih leher isterinya hingga tubuh Endang Patibroto kini juga rebah di sampingnya, miring beradu muka. Diciumnya mulut isterinya, dihisapnya air matanya, tangannya mengelus-elus rambut, lalu mulutnya berbisik,
“Isteriku, mutiara hatiku... ingatkah engkau akan pembicaraan kita mengenai takdir? Mati hidup manusia dalam tangan Hyang Widhi...”
Endang Patibroto memandang suaminya dan mellhat mulut itu tersenyum! Ahh, hampir ia lupa bahwa suaminya menghadapi maut, bahwa mereka berada di gubuk sawah.
Rebah beradu muka seperti ini mebuat ia merasa seakan-akan mereka masih di dalam istana, tidur di atas pembaringan, rebah miring beradu muka, bercengkerama, bersenda gurau, bermain cinta mencurahkan kasih sayang.
“Kakangmas pangeran...!”
Ia menjerit lagi dan merangkul leher suaminya, mendekap muka itu ke atas dadanya, seakan-akan ia hendak membenamkan muka itu ke dalam dasar hatinya, menjadi satu dengan dirinya, takkan dilepaskan lagi.
“Ah, semua gara-garaku, kakanda... paduka tertimpa bencana karena hamba...!
Dengan muka masih terbenam di dada isterinya, Pangeran Panjirawit berbisik,
“Hushhh, aku tidak pernah menyalahkan engkau, jiwaku. Apa pun yang kau lakukan, aku akan berfihak kepadamu, apa pun juga yang kau lakukan...!”
Walau pun ucapan ini menunjukkan kasih sayang yang tiada batasnya, namun menusuk perasaan Endang Patibroto karena mengandung pula keyakinan bahwa ia telah bertindak salah.
Maka cepat-cepat dia berkata, “Suamiku, dengarlah baik-baik. Betapa pun juga, isterimu tidak melakukan hal-hal yang jahat. Dengarlah...”
“Aku percaya, Endang...”
“Tapi harap paduka mendengarkan... beginilah sebenarnya yang terjadi.”
Dengan suara mengandung isak Endang Patibroto menceritakan betapa ia telah berhasil mencari si pembunuh gelap yaitu Wiku Kalawisesa, juga betapa ia bahkan sudah berhasil membunuh si laknat dan mengorek rahasia dari mulutnya, betapa kakek itu mengaku bahwa ia bersekutu dengan Pangeran Darmokusumo yang bermaksud jahat, yaitu hendak memberontak.
“Nah, hamba memang menyerbu ke sana. Akan tetapi hanya untuk menawannya dan untuk memaksanya mengaku. semua perbuatan dan dosanya di depan sang prabu, akan tetapi... hamba... hamba gagal...”
“...nimas... aku percaya... augghh... dekaplah aku, nimas, dekaplah aku erat-erat...”
Hati Endang Patibroto terasa seperti ditusuk-tusuk keris berkarat. Didekapnya suaminya, diciuminya.
“Kakangmas... aku tahu... kakangmas tak mungkin dapat disembuhkan lagi...”
“...oohhh, kekasihku..., jadi kau sudah tahu...? Susahkah hatimu, sayang...”
Endang Patibroto mencium lagi.
“Tidak, pangeran, karena kita akan berangkat bersama. Hamba akan ikut, ke mana jua pun paduka pergi. Ingat akan kata-katamu tadi, kakangmas? Kita mati bersama!”
Tubuh yang telah lemas itu tiba-tiba bertenaga lagi, dekapannya amat kuat dan terdengar pangeran itu mengguguk, menangis!
“Mengapa, suamiku? Jangan takut, kematian bukan apa-apa, dan lagi, hamba berada di samping paduka...!”
“Tidak! Tidak...! Sekali lagi tidak...!”
Pangeran itu mencengkeram pundak Endang Patibroto seakan-akan hendak menarik tenaga dari isterinya.
“Betapa pun hancur hatiku oleh perpisahan ini, namun tidak! Engkau tidak boleh ikut bersamaku... aku tidak rela membiarkan isteriku membunuh diri...”
Endang Patibroto tersenyum, air matanya masih bercucuran.
“Suamiku, kakanda pujaan hatiku, lupakah kakanda akan nama hamba? Hamba adalah Endang Patibroto! Ingat, kakanda, Patibroto? Hamba adalah seorang isteri yang setia, yang siap sedia dengan segala kesenangan hati untuk ikut mati bersama suaminya!”
“Tidak! Endang, isteriku. Aku pasti akan mati penasaran! Rohku pasti akan menjadi setan gentayangan kalau kau membunuh diri! Aku tidak suka. Tidak suka!”
Pangeran itu memekik-mekik keras. Pucat wajah Endang Patibroto, kaget hatinya dan ia bangkit duduk. Dipegangnya wajah suaminya, dipandangnya baik-baik dan dia mendapat kenyataan bahwa suaminya masih sadar sepenuhnya.
“Apa... apa maksud paduka...”
Kembali tubuh pangeran itu menjadi lemas, napasnya terengah-engah akibat tadi dikuasai nafsu amarah.
“Endang... kalau benar kau mencintaku... sepenuh jiwa raga seperti aku mencintamu... kau mutiara hatiku... sebelum aku mati... supaya aku dapat mati tenang, kau berjanjilah untuk memenuhi pesanku ini, yaitu kau... kau jangan ikut, jangan membunuh diri... kau berjanjilah, sayang... demi cintaku...!
Jantung Endang Patibroto serasa dikerat-kerat, perih dan sakit. Air matanya membanjir, dia terisak-isak, sesenggukan, tersedu-sedan dan tidak dapat menjawab untuk beberapa lamanya. Dia maklum bahwa suaminya tidak ingin melihat dia mati membunuh diri dan... tiba-tiba ia teringat bahwa bila ia mati, siapakah yang akan membalas dendam ini kepada Pangeran Darmokusumo? Teringat akan pangeran yang menjadi biang keladi kematian suaminya ini, timbul semangatnya untuk hidup, dan ia menggangguk sambil berkata,
“Hamba berjanji, kakangmas...”
“Aahhh, terima kasih, Endang. Kini lega hatiku. Ke sinilah, adinda... mendekatlah engkau, kekasih...!.
Kembali Endang Patibroto rebah berhadapan muka, saling berpelukan dan berbisik-bisik seperti pengantin baru.
“Endang... ingatkah engkau... Dahulu... ketika kita berpengantinan...?”
“Aduhhh... kakanda...”
Endang Patibroto menjerit dari dasar hatinya, tubuhnya menggigil saking sakit hatinya mendengar ucapan itu.
“Eh… ehh, biarkan aku mengenangkan kemball peristiwa itu, manis. Biarkan aku mati membawa kenangan masa kita berpengantinan. Ahhh... mula-mula...engkau tidak suka kudekati... engkau seperti hendak menolakku...”
“Kakangmas...”
“Aku tahu... tadinya engkau tidak mencintaku... akan tetapi... ohh, akhirnya cinta kasihku yang murni dan sepenuh jiwa raga... ha-ha, meruntuhkan juga hati bajamu... mencairkan gunung es... dan kau menjadi panas membara... kau menjadi kawah Gunung Bromo... sampai nanar aku oleh cintamu, nimas... sampai mabuk aku... mabuk kebahagiaan... ah, tiada wanita keduanya sepertimu, adindaku...”
Tangan Pangeran Panjirawit membelai-belai, bibirnya mencium-cium, pandang matanya sangat mesra.
Terisak-isak Endang Patibroto.
“Kakanda, hamba bersumpah... sungguh pun amat berat hamba harus hidup menyendiri, paduka tinggalkan... hamba tidak akan membunuh diri, hamba akan menanti maut seperti ditakdirkan Hyang Widdhi... akan tetapi... paduka sabarlah... sabarlah menanti hamba...!”
“Endang... auugghhh... terlalu lama kutahankan... tidak kuat lagi aku... Endang Patibroto, isteriku, ciumlah... ciumlah...”
Sambil menangis sesunggukan Endang Patibroto menangkap kedua pipi suaminya, lalu mencium mulut yang terengah-engah itu, mencium mesra sepenuh hatinya.
Tiba-tiba ia merasa betapa tubuh suaminya mengejang, mengerang dan menghembuskan napas panjang. Endang Patibroto merasa dunia berputar, pandang matanya gelap, tetapi dia meramkan mata, tidak melepaskan ciuman, menyedot dari mulut suaminya, seakan hendak menghisap napas terakhir itu... terasa darah... darah suaminya... terasa pelukan tangan suaminya mengendur, lepas, tampak suaminya tersenyum, lalu segala berputaran, gelap, lalu merah, seribu bintang menari... dan ia pun tidak ingat apa-apa lagi.
Endang Patibroto pingsan dengan tubuh masih menelungkupi mayat suaminya, bibir mereka masih saling menempel, kedua tangan Endang Patibroto merangkul leher.
Angin pagi yang bertiup di sawah itu menerobos memasuki gubuk, menggerak-gerakkan ranibut Endang Patibroto yang tadi dilepas sanggulnya oleh suaminya dan yang sekarang menyelimuti tubuh mereka berdua.
Wajah mayat Pangeran Panjirawit tersenyum, matanya setengah terbuka, seperti mata orang mengantuk, seperti matanya bila sedang bercinta dengan isterinya. Ia tidak nampak seperti mati, melainkan seperti orang tidur bermimpi indah, mimpi bercumbu rayu dengan isteri tercinta.
Anak panah yang menancap di punggungnya kini membengkok karena tertindih tubuhnya ketika melepaskan napas terakhir dan tubuhnya yang miring menjadi terlentang.
Endang sadar, serasa bangun dari mimpi buruk. Membuka mata. Ahh, suaminya masih tidur seperti biasa.
Suaminya akan bangun agak siang seperti biasa, sekarang tidur kelelahan dengan wajah membayangkan kelelahan dan kepuasan, kebahagiaan yang nikmat, Endang Patibroto tersenyum. Melihat wajah yang puas dan bahagia itu mendatangkan nikmat luar biasa di dalam hatinya. Ah, ia harus cepat bangun, menyediakan santapan pagi untuk suaminya.
Meski di situ banyak abdi dalam, tetapi ia selalu menyediakan santapan suaminya dengan tangannya sendiri. Pekerjaan ini benar-benar menyenangkan hatinya seperti menyiapkan pakaian, membereskan pembaringan, tak boleh pelayan melakukannya, dilakukan sendiri dengan kasih sayang. Ia menunduk dan mencium perlahan dan... matanya terbelalak, lehernya serasa dicekik dan dalam sekejap mata teringatlah ia kembali, datanglah semua itu seperti cahaya kilat menyambar.
“Aduh... kakanda...!”
la menjerit, masih tak percaya, memandang anak panah di punggung, meraba-raba wajah suaminya, meraba dada, pergelangan tangan sampai dia yakin bahwa suaminya benar-benar telah meninggalkannya.
“...kakanda pangeran... suami hamba...!”
Ia memeluk tubuh itu, menangis sampai mengguguk, merintih, mengerang seperti orang tersiksa hebat.
“Tangkap...! Tangkap...!”
Bagaikan seekor harimau betina yang marah, Endang Patibroto yang sedang menangis mengguguk itu membalikkan tubuh. Wajahnya yang pucat penuh air mata amat beringas, rambutnya masih terurai riap-riapan, matanya bersinar-sinar kemarahan. Dia melihat ada tiga belas orang prajurit mengepung gubuknya, dengan tombak dan pedang ditodongkan, seperti para pemburu mengurung seekor harimau yang sudah tersudut.
Sejenak Endang Patibroto menyapu mereka dengan pandang mata, kemudian menoleh ke wajah suaminya yang tersenyum. Inilah! Ya, untuk inilah suaminya tidak menghendaki ia ikut mati.
Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya mencelat keluar gubuk. Bagaikan angin puyuh tubuhnya segera bergerak, berputaran di antara para pengepung yang cepat menggerakkan senjata masing-masing.
Terdengar tombak-tombak berpatahan, pedang-pedang beterbangan, jerit-jerit kesakitan dan dalam waktu sebentar saja tiga belas orang prajurit itu telah menggeletak mati semua di tengah sawah!.
“Hayoh, majulah semua prajurit Jenggala dan Panjalu! Amuk-amuk suramrata jayamrata! Inilah Endang Patibroto, isteri Pangeran Panjirawitl”
Ia menepuk-nepuk dadanya, matanya liar memandang, kemudian dia melihat penduduk kampung di dekat sawah itu berbondong-bondong keluar karena mendengar ribut-ribut.
Melihat mereka ini, Endang Patibroto yang sudah menggila saking marah dan dukanya, segera meloncat menyambut mereka.
Seorang lelaki tinggi besar yang berada paling depan cepat ditangkapnya seperti seekor burung rajawali menangkap anak ayam, diangkatnya ke atas, diputar-putarnya sehingga penduduk kampung itu kaget dan gentar. Lalu dibantingnya laki-laki itu sampai kepalanya pecah. Endang Patibroto mengamuk, membuat penduduk kampung tersebar cerai-berai seperti gabah diinteri!
“Wanita gila mengamuk!”
“Bukan! Dia silumanl”
“Iblis mengamukl”
Penduduk kampung melarikan diri dan beberapa orang yang kurang cepat menjadi korban amukan Endang Patibroto.
Setelah dusun itu kosong, Endang Patibroto kembali ke gubuk kemudian menangisi mayat suaminya. la tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya diikuti orang-orang dari jauh. Itulah pasukan Blambangan yang dipimpin Raden Sindupati.
Dari tempat sembunyinya, tidak jauh dari gubuk itu, Raden Sindupati menyaksikan gerak-gerak Endang Patibroto, kagum melihat wanita itu membunuh tiga belas orang prajurit Jenggala yang hendak menangkapnya, dan ngeri menyaksikan Wanita itu mengamuk ke dusun membuat semua penghuni dusun lari cerai-berai.
Namun dia masih belum yakin benar akan tingginya ilmu kepandaian Endang Patibroto. Ketika Endang Patibroto menyerbu tempat tahanan dan membebaskan suaminya, ia tidak berani membawa pasukannya masuk ke kota raja, hanya menanti di luar dinding, maka ia tidak melihat sepak terjang wanita sakti itu yang menggiriskan.
“Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko, kalian ikut bersamaku menghadapinyal” katanya tenang. Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi pucat wajahnya.
“Tapi... tapi...” mereka meragu.
Hati mereka terasa menggiris menyaksikan kehebatan wanita itu yang tidak saja sudah membunuh Wiku Kalawisesa, tetapi juga sudah berani menyerbu Panjalu malah berhasil membebaskan suaminya dari keraton Jenggala dan tadi baru saja membunuhi tiga belas orang prajurit dan penduduk kampung.
“Hemm, beginikah sikap prajurit? Takut apa? Aku berada di samping kalian, dan juga, ini hanya siasat. Paman Brejeng, kalau kau melihat kami terdesak, kau dan semua kawan maju, lakukan apa yang sudah kupesan padamu.”
Raksasa tua Ki Brejeng hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang ke arah gubuk dengan pandang mata termenung, seperti orang sedih.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar