PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-16


Sekali tendang, daun pintu ambrol dan tubuhnya melesat ke dalam dengan penuh kemarahan. Tangannya menyambar dan terangkatlah tubuh tinggi besar itu seperti seekor anak ayam disambar elang. Di lain saat tubuh Tejolaksono sudah berada di luar rumah dan sekali ia membanting, tubuh orang tinggi besar -itu sudah ia banting. Orang itu menjerit satu kali dan tak bergerak lagi karena kepalanya pecah dan tulang-tulang iganya berantakan! Wanita di dalam jatuh pingsan dengan pakaian robek-robek!
Adipati Tejolaksono yang sudah menjadi marah laksana seekor harimau kelaparan mencium darah, kini berlari ke depan. Ia menyelinap ke kanan ketika mendengar pekik wanita yang meronta-ronta dan dipanggul di atas pundak seorang perampok yang tertawa-tawa.
Wanita ini masih muda, rambutnya awut-awutan, pakaiannya robek-robek hampir telanjang. Ia meronta dan menjerit minta dilepaskan.
Tiba-tiba tubuh wanita itu terlepas karena sekali pundak perampok itu tercium jari tangan Tejolaksono, seketika tangannya lumpuh. Wanita itu terjatuh lalu melarikan diri Si perampok memandang ganas kepada Tejolaksono, akan tetapi sebelum ia sempat bergerak, kaki Tejolaksono menyambar ke depan, mengenai pusatnya dan perampok itu terlempar sampai lima meter dan roboh dengan mata mendelik dan napas putus karena isi perutnya sudah hancur lebur di balik kulit perut yang menjadi biru menghitam!
Kini mengamuklah Adipati Tejolaksono. Biar pun ia menggunakan tangan kosong, namun ketika ia menyerbu ke dalam pertempuran, mawutlah pihak perampok. Siapa saja pihak perampok yang kena digerayang tangannya yang penuh dengan Aji Pethit Nogo, tentu terpelanting dengan kepala pecah, tidak usah dipukul sampai dua kali! Para prajurit Panjalu menjadi besar hati melihat ini, apa lagi ketika mereka mengenal siapa jagoan Sakti yang membantu mereka Ini.
“Sang Adipati telah tiba...!”
“Gusti Adipati Tejolaksono telah pulang...!”
“Hidup Gusti Adipati...!”
Adipati Tejolaksono yang sudah marah sekali berkelebat maju dan sekali bergerak, tiga orang perampok terpelanting tak bernyawa lagi terkena pukulan kedua tangan dan disusul sebuah tendangannya! Kini Tejolaksono melihat pemimpin perampok yang bermuka hitam bermata besar.
Pemimpin ini memegang sebatang golok besar yang sudah berlepotan darah. Pemimpin perampok inilah yang sudah menjatuhkan banyak korban di antara para prajurit dan penduduk dusun karena memang ia kuat sekali. Meluap kemarahan Adipati Tejolaksono. la melompat jauh dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan si kepala rampok.
“Setan keparat!” Tejolaksono memaki.
Perampok bermuka hitam itu tadl sedang enak membabati musuh maka tidak melihat sepak terjang Tejolaksono yang menggiriskan hati. Kini ia tertawa, “Ha­ha-hal Babo-babo, siapa lagi ini yang ingin mampus?”
Goloknya membabat dari kanan ke kiri, mengarah leher Adipati Tejolaksono. Ia sudah tertawa-tawa membayangkan betapa leher itu akan putus dan muka yang tampan itu akan menggelinding bersama kepalanya seperti korban-korbanya yang lain karena goloknya menyambar amat cepatnya dan kelihatannya takkan dapat dihindarkan lawan.
“Singgg...“
Ia terbelalak karena tahu-tahu goloknya mengenai angin ketika orang yang diserangnya itu menunduk. Goloknya lewat tidak ada sejengkal dari kepala orang itu dan tahu-tahu entah bagaimana ia tidak tahu, orang itu sudah menyentuh siku kanannya dan goloknya terlepas dari pegangan karena tiba-tiba lengannya lumpuh.
Golok itu sebelum tiba di tanah, telah disambar oleh Tejolaksono sehingga kini golok berpindah tangan! Kepala rampok itu marah sekali, menggunakan tangan kirinya memukul, pukulan dengan kepalan tangan sebesar buah kelapa!
Tejolaksono mengangkat tangan kiri menangkis
“Krakkkk!” Orang itu berteriak kesakitan karena tulang lengannya patah! la terbelalak, kini bare merasa jerih!
“Siapa siapa engkau?” tanyanya gagap.
“Adipati Tejolaksono namaku!”
“Aahhhhh...!”
Kepala perampok bermuka hitam itu berteriak kaget, tetapi pada saat itu juga kepalanya sudah mencelat ketika lehernya terbabat putus oleh goloknya sendiri!
Para prajurit Panjalu bersorak gembira, sebaliknya para perampok menjadi panik dan ketakutan. Karena mereka ini sudah kacau-balau, enak saja Adlpati Tejolaksono dan para prajurit memba bati mereka sehingga banyak sekall anak buah perampok roboh binasa. Yang lain-lain segera lari pontang-panting menyelamatkan diri.
Adipati Tejolaksono mematah-matahkan golok rampasannya dengan kedua tangan hingga menjadi tujuh potong.
Kemudian kedua tangannya itu digerakkan ke depan dan “cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet!” tujuh sinar meluncur ke depan dan robohlah tujuh orang perampok yang betusaha lari karena punggung mereka telah dimasuki potongan-potongan golok itu. Bahkan yang menyisip tulang sampai tembus keluar dari dada. Para prajurit bersorak-sorak dan mengejar para perampok yang makin ketakutan.
Hanya belasan orang perampok saja yang berhasil melarikan diri dan dusun itu kini penuh dengan tumpukan mayat para perampok!
Setelah memberi pesan kepada para sisa prajurit agar melakukan penjagaan di daerah itu, Adipati Tejolaksono lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda itu terus ke barat, menuju Kadipaten Selopenangkep yang sudah tak jauh lagi letaknya. Hatinya makin gelisah karena dari para prajurititu ia mendengar bahwa kadipaten sudah beberapa kali diserbu pasukan perampok yang amat kuat.
Hari telah menjadi senja ketika ia memasuki kota kadipaten yang kelihatan sunyi, namun penuh dengan para pengawal yang melakukan penjagaan. Para perwira pengawal menyambut kedatangannya dengan wajah gembira, namun dengan pandang mata duka. Adipati Tejolaksono tidak mau membuang banyak waktu lagi, terus membalapkan kuda memasuki kota, menuju ke gedung kadipaten. Ia merasa betapa semua pandang mata para pengawal kepadanya mengandung iba dan duka, maka hatinya berdebar tidak enak ketika ia melompat turun dari kuda, menyerahkan kuda kepada seorang pengawal, kemudian ia meloncat dan lari memasuki gedungnya.
“Gusti Adipati tiba...!”
“Gusti Adipati pulang..., kita tertolong... I!”
Teriakan-teriakan ini menggema di seluruh kadipaten, bahkan masuk ke dalam gedung kadipaten sebelum Adipati Tejolaksono sampai ke ruangan dalam. Maka barn saja ia melewati pendopo, ia disambut Ayu Candra yang menjatuhkan diri berlutut, merangkul kakinya dan menangis!
Di belakang Ayu Candra yang berpakaian perang, ringkas dan dalam keadaan siap, menyambut pula Setyaningsih dan Pusporini, dua orang gadis cilik yang juga menangis...
BAHKAN dua orang gadis cilik ini pun berpakaian ringkas, pakaian untuk bertanding dan di pinggang mereka yang kecil tampak gagang keris!
Dapat dibayangkan betapa gelisah dan kaget hati Tejolaksono menyaksikan penyambutan isterinya ini. Cepat ia membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya bangun sambil berkata,
“Tenangkanlah hatimu, yayi, dan ceritakan apa yang terjadi di sini.”
Ayu Candra masih terisak-isak ketika ia dituntun suaminya memasuki ruangan dalam dan diajak duduk di situ. Setyaningsih dan Pusporini tidak berani --ikuf masuk dan segera mengundurkan diri.
“Aduh, Kakangmas... malapetaka telah menimpa keluarga kita selama Kanda pergi...“ Ayu Candra kembali menangis. “...Bagus Seta... bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito...”
Adipatl Tejolaksono merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik. Punggung dan tengkuknya terasa dingin sekali.
Kemball ia meraih isterinya dan bertanya, suaranya gemetar,
“Ada apa dengan mereka? Mana Bagus Seto...?”
“...serangan pertama... sebulan yang lalu... di malam hari terjadi tlba-tiba. Keadaan menjadi kacau dan...dan anak kIta itu hilang...”
“Apa...? Tertawan oleh Lima Gagak Serayu?” Pertanyaan ini mengandung kemarahan besar terhadap pimpinan para penyerbu itu.
“Mudah-mudahan tidak begitu, Kakangmas AdIpati. Mereka itu amat keji dan kejam! Ada di antara para pengawal kita yang melihat bahwa pada malam terjadinya penyerbuan itu ada seekor harimau putih yang besar sekali larikeluar dari taman sari dan... dan Bagus Seta menunggang di punggungnya...”
“Aahhhh... harimau putih...? Ki Tunggaljiwa...?”
“Mudah-mudahan begitulah seperti yang diperkirakan pula oleh mendiang... bibi Kartikosari...”
“Haaaa...?” Kini Adipati Tejolaksono benar-benar terkejut, sampai pucat mukanya.
“Mendiang...?”
Ayu Candra terisak-isak dan berkata tersendat-sendat, “Tiga hari berikutnya... dalam perlawanan terhadap para musuh yang dipimpin sendiri oleh bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito... bibi Kartikosari tewas di tangan musuh...”
“Dan bibi Roro Luhito...?”
“Terluka parah... kini beristirahat di kamarnya...”
“Duh Jagad Dewa Bathara...!”
Adipati Tejolaksono duduk termenung seperti arca. Wajahnya pucat, matanya sayu dan bibirnya menggigil. Isterinya hanya rnenangis terisak-isak. Adipati Tejolaksono ingin sekali memukul kepala sendiri. Mala petaka hebat terjadi di rumahnya. Puteranya lenyap, bibinya tewas dan yang seorang terluka, rakyatnya banyak yang dirampok, dibakar rumahnya, diperkosa dan dibunuh, para prajuritnya banyak pula yang tewas.
Dan dia..., dia bersenang-senang memadu kasih bersama Endang Patibroto! Akan tetapi, haruskah ia menyalahkan diri sendiri? Ah, tidak bisa! Mereka berdua bukan sengaja hendak bersenang-senang! Mereka berdua bukan sengaja hendak memadu kasih karena terdorong nafsu belaka! Tidak! Mereka berduapun terancam bahaya hebat yang nyaris merenggut nyawa mereka. Dan keberangkatannya ke Blambangan adalah karena tugas yang dibebankan sang prabu ke atas pundaknya, seperti juga pada saat ini Endang Patibroto dibebani tugas menyerbu Blambangan.
Nyawa manusia di tangan Hyang Widhi. Nyawa manusia setiap saat terancam maut. Kalau Hyang Widhi menghendaki, tiada kekuasaan apa pun di dunia ini yang dapat merubah jalan hidup seseorang. Yang dapat merubah saat datangnya kematian!
“Bagaimanakah Bibi Kartikosari dan Bibi Roro Luhito yang sakti mandraguna sampai terkalahkan oleh musuh?”
“Kedua orang bibi Itu tidak dapat menahan kemarahan ketika mendengar akan sepak terjang dan kekejaman para perampok yang merusak dusun-dusun di sekitar Selopenang kep. Mereka membawa pasukan dan mengejar jauh keluar kadipaten, ke dusun-dusun. Akan tetapi pasukan mereka terkepung dan karena jumlah lawan jauh lebih banyak, mereka terje bak dan dikeroyok oleh Lima Gagak Serayu dengan anak buah mereka.Bibi Kartikosari terlu ka parah dan biar pun dapat dilarikan pleh Bibi Roro Luhito yang juga luka-luka sampal ke kadipaten, namun Bibi Kartikosari meninggal karena terlalu banyak kehilangan darah. Bebera pa kali kadipaten diserbu musuh, namun kami dan para pengawal yang setia dapat memper tahankan kadipaten.”
“Sudahlah, keringkan air matamu, nimas. Setelah aku berada di sini, aku akan membalaskan kematlan Bibi Kartikosari, kemudlan setelah musuh dapat terbasmi, aku akan menyusul Bagus Seta ke Merapi.”
Adipati Tejolaksono tidak membuang waktu lagi. Ia menengok Roro Luhito yang biar pun terluka parah namun tidak membahayakan nyawanya. “Sayang kau datang terlambat... sebetulnya aku dan Bibimu Kartikosari tidak akan kalah melawah Lima Gagak Serayu... akan tetapi... musuh terlalu banyak... dan Bibimu Kartikosari mengamuk, memisahkan diri... ah, maafkan, anakku. Kami tidak dapat menjaga... puteramu Bagus Seta...
“Sudahlah, Kanjeng Bibi. Yang sudah terjadi tidak perlu disesalkan lagi. Semua sudah dikehendaki Hyang Widhi. Pembelaan sudah cukup dan saya amat berterima kasih. Saya sendiri akan menghajar Lima Gagak Serayu!” kata Adipati Tejolaksono.
Adipati ini segera mengumpulkan semua pengawal dan barisan bantuan dari Panjalu, menyusun barisan dan rnembagi-bagi tugas. Sebagian dari pada pasukan bertugas menjaga kadipaten, dipimpin sendiri oleh Ayu Candra. Kemudian Adipati Tejolaksono memimpin pasukan pilihan, keluar dari kadipaten dan mulailah pasukan istimewa ini melakukan pengejaran dan pembersihan ke dusun-dusun di sekitar Selopenangkep. Karena dipimpin sendiri oleh Adipati Tejolaksono yang sakti mandraguna,maka semangat pasukan ini hebat sekali.
Setiap gerombolan perampok yang mengganas dan bertemu dengan pasukan ini dihancurkan, jarang ada yang dapat melarikan diri. Mawutlah gerombolan-gerombolan perampok Bagelen dan Lembah Serayu. Mereka mundur terus bahkan lalu menggabung dengan induk pasukan di sebelah barat, dan terus dikejar oleh Adipati Tejolaksono.
Pasukan sang adipati makin lama makin besar karena ke mana pun pasukan itu tiba, selalu disambut oleh rakyat yang menjadi girang sekali dan di situlah pasukan bertambah besar dengan adanya rakyat yang menggabungkan diri untuk membalas dendam kepada perampok yang mengganas selama ini.
Bala bantuan dari Panjalu yang diminta oleh Adipati Tejolaksono yang mengirim utusan ke sana, tiba tak lama kemudian, maka makin kuatlah barisan Kadipaten Selopenangkep. Akhirnya, setelah mengejar dan menghancurkan banyak gerombolan sebulan kemudian pasukan Adipati Tejolaksono yang kini menjadi besar jumlahnya bertemu dengan induk pasukan Lima Gagak Serayu. Terjadilah perang tanding yang amat hebat!
Perang tanding yang terjadi di lembah Serayu ini amat hebat dan ia jadi cerita prajurit yang lobos dari maut untuk diceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Perang ini terkenal dengan sebutan Perang Serayu yang amat dahsyat.
Ribuan orang, sebagian besar di pihak gerombolan Bagelen dan gerombolan Lembah Serayu, tewas dalam perang ini. Biar pun pihak pasukan Adipati Tejolaksono kalah banyak, namun mereka ini menang semangat dan memang pasukan pengawal Kadipaten Selopenangkep dan pasukan bantuan dari Panjalu adalah pasukan istimewa yang rata-rata terdiri dari prajurit-prajurit gemblengan dan pilihan.
Apa lagi karena mereka ini semua dipenuhi dendam kemarahan terhadap para gerombolan yang sudah mengacau daerah mereka, sudah membinasakan dan merusak dusun-dusun. Sepak terjang barisan di bawah pimpinan Adipati Tejolaksono seperti banteng ketaton (terluka). Menurut cerita, sampai tiga hari tiga malam perang tanding ini berlangsung, dan mereka yang berhenti untuk makan atau tidur digantikan oleh rombongan lain.
Adipati Tejolaksono sendiri menjadi buah bibir semua orang yang ikut beryuda, baik dari pihak lawan maupun pihak kawan. Barisan Selopenangkep menjadi makin besar semangatnya menyaksikan sepak terjang Adipati Tejolaksono sedangkan pihak lawan menjadi giris hatinya.
Menurut cerita para prajurit kemudian, jika lapar, sang adipati ini mengepal nasi. dan makan dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri yang memegang keris terus mengamuk. Setiap kepal nasi yang memasuki mulut diantar dengan nyawa seorang musuh yang roboh oleh kerisnya! Bahkan ada yang bilang bahwa sang adipati ini tidur sambil berperang! Jasmaninya tertidur, akan tetapi dalam tidur itu sang adipati bermimpi mengamuk dan berperang merobohkan banyak sekali prajurit lawan!
Pada hari ke tiga, terjadilah perang tanding yang amat dahsyat antara Adipati Tejolaksono yang dihadapi oleh Lima Gagak Serayu sendiri! Di sinilah letak pertandingan yang akan memutuskan keadaan perang itu. Lima Gagak Serayu adalah lima orang kakak beradik yang tinggi besar dan memiliki kesaktian yang luar biasa, juga masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, akan tetapi rata-rata bertubuh kebal. Banyak prajurit Selopenangkep yang roboh dan tewas di tangan mereka ini. Golok dan tombak tak dapat melukai tubuh mereka dan sekali mereka menggunakan bedog (golok) mereka yang lebar dan berat, tentu tubuh lawan terpotong menjadi dua.
Karena inilah maka Adipati Tejolaksono sengaja mencari mereka dan kini, di waktu siang dan panas sedang membakar medan perang, sang adipati bertemu dengan lima orang pimpinan barisan musuh itu.
Orang pertama dari mereka adalah Gagak Dwipa, yang paling sakti di antara mereka. Sama tinggi besar dengan adik-adiknya, hanya karena ia paling kurus maka kelihatan paling tinggi. Permainan bedog di tangannya amat cepat dan kuat dan memang dialah yang terpandai di antara kelima orang Gagak Serayu itu.
Orang ke dua adalah Gagak Kroda yang memiliki tubuh paling besar dengan otot-otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh, terutama di kedua lengannya yang sebesar kaki manusia lumrah. Demikian kuat dan kebal si Gagak Kroda ini sehingga ia bersombong bahwa setiap pagi ia “sarapan” golok dan tombak yang harus ditusuk-tusukkan dan dibacok-bacokkan pada tubuhnya untuk menghilangkan gatal-gatal dan kekakuan tubuhnya!
Orang ke tiga adalah Gagak Tirta yang di samping kesaktiannya, juga memiliki keistimewaan bermain di dalam air. Kabarnya dia ini sanggup menyelam ke dalam air sampai setengah hari lamanya! Senjatanya juga bedog, akan tetapi dia memiliki sebuah senjata rahasia yang aneh, yaitu sehelai jaring yang kuat sekali.
Orang ke empat dan ke lima adalah Gagak Maruta dan Gagak Legawa.
Sejenak Adipati Tejolaksono yang berdiri berhadapan dengan lima orang lawannya itu memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. Ia memandang dengan penuh perhatian lima orang yang telah membikin kacau daerahnya ini, dan sinar matanya menyapu mereka seperti lecutan cambuk sakti. Lima orang itu tak tahan menentang pandang mata Adipati Tejolaksono dan untuk menyembunyikan kegentaran hati mereka tertawa-tawa mengejek.
“Heh, si keparat Gagak Serayu berlima! Sudah lama aku mendengar kejahatan kalian di sepanjang Lembah Serayu, akan tetapi selama itu aku berdiam diri saja karena jalan hidup kita memang tak pernah saling bersilang. Akan tetapi mengapa kalian berani mengganggu Selopenangkep secara pengecut, selagi aku tidak berada di sana?”
“Babo-babo, Adipati Tejolaksono! Sudah lama kami menanti saat ini untuk berhadapan dengan senjata di tangan denganmu! Ingatkah engkau ketika engkau dahulu masih menjadi seorang bocah gunung yang hina? Ingatkah engkau bahwa sejak dahulu engkau memusuhi orang-orang dari Bagelen dan Lembah Serayu?”
“Hemmm, aku tidak ingat lagi karena terlampau banyak orang jahat yang terpaksa menjadi lawanku. Aku tidak memusuhi siapa-siapa kecuali orang jahat, dari mana pun datang dan asalnyal”
“Ha-ha-ha-ha! Demi setan jin brekasakan! Kau hendak memungkiri? Lupakah engkau kepada Ki Krendoyakso dari Bagelen? Dia adalah kakak segemblengan kami! Dan lupa pula engkau kepada Sang Dibyo Mamangkoro? Dia adalah bekas junjungan kami!”
Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Mengertilah ia kini mengapa mereka ini memusuhinya, adapun Dibyo Mamangkoro adalah dia sendiri yang membunuhnya (baca Badai Laut Selatan)!
“Ah, kiranya kalian ini segolongan mereka? Tentu saja aku masih ingat kepada tokoh-tokoh jahat itu. Nah, inilah dadaku, Gagak Serayu! Inilah aku Adipati Tejolaksono yang takkan undur setapakpun menghadapi keganasan kalian. Majulah, tandingilah Tejolaksono!”
“Ha-ha-ha-ha!” Kembali Gagak Dwipa tertawa bergelak. “Sesumbarmu seperti hendak mengeringkan air Kali Serayu! Ketahuilah bahwa saat kematianmu sudah berada di depan mata, Tejolaksono. Kau rasakan ini... haaiiiiittttt...” Gagak Dwipa menerjang maju sambil menggerakkan bedognya secepat kilat.
Adipati Tejolaksono hanya merendahkan tubuh sedikit untuk mengelak, akan tetapi pada saat itu, empat orang Gagak yang lain sudah menyambar dari kiri kanan dan bedog mereka menyambar-nyambar sampai mengeluarkan suara berdesing.
Adipati Tejolaksono mengerahkan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya menjadi seringan kapas tertiup angin, melayang ke sana ke marl menghindarkan diri dari pada hujan sinar kilat senjata kelima, orang pengeroyoknya. Iapun cepat mencabut keris Megantoro dari pinggangnya dan terjadilah pertandingan yang luar biasa hebatnya.
Lima orang itu selain bertenaga besar dan dapat bergerak cepat, juga memiliki kerja sama yang amat rapi sehingga gerakan mereka seolah-olah teratur sekali, dapat saling menjaga dan saling bantu. Mereka ini memang sedang mainkan ilmu silat barisan yang mereka sendiri namakan Gagak Yuda. Gerakan mereka teratur seperti seekor burung gagak bertanding dan kelima orang itu merupakan kedua cakar, kedua sayap, dan sebuah paruh yang dapat bekerja sama dengan baik, kadang-kadang sekaligus menerjang maju, kadang-kadang yang satu menyerang yang lain melindungi.
Di lain pihak, Adipati Tejolaksono memiliki kelincahan yang sedemikian cepatnya sehingga lima pasang mata lawan sampai-sampai menjadi silau dan kabur.
Pertandingan itu seakan-akan lima ekor burung gagak mengepung seekor garuda! Selain amat seru menyeramkan, juga amat indah ditonton sehingga para anak buah kedua belah pihak yang kebetulan bertempur di dekat tempat itu, otomatis tanpa diperintah menunda pertandingan mereka sendiri dan berdiri melingkari medan pertempuran itu, menonton dan menjagoi pimpinan masing-masing! Hanya mereka yang jauh saja yang masih melanjutkan perang tanding.
Pertandingan antara Tejolaksono dan lima orang Gagak Serayu itu makin seru dan hebat. Tejolaksono memang sakti, lebih lincah dan lebih kuat, namun ia menghadapi kerja sama yang amat rapi sehingga tidak banyak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Ksatria yang sakti itu maklum bahwa kalau ia melanjutkan cara bertanding seperti ini, yaitu hanya mempertahankan dan membela diri, ia akan celaka karena setiap serangan kelima orang itu tidak boleh dipandang ringan, penuh dengan tenaga yang didasari hawa sakti. Apa lagi, ia telah berperang tanpa mengenal istirahat sehingga tubuhnya mulai lelah. Ia harus cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini dengan pengerahan tenaga yang dahsyat. Sayang bahwa perasaannya tidaklah se-marah dan sakit hati seperti sebelum lima orang Gagak Serayu ini memperkenalkan diri sebagai adik seperguruan Ki Krendoyakso tokoh Bagelen itu.
Tadinya ia memang marah dan sakit hati atas kematian Bibi Kartikosari, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa mereka ini saudara Ki Krendroyakso, ia dapat memaklumi sikap mereka memusuhinya dan lenyaplah sakit hatinya. Mereka ini memang musuh dan mereka memusuhi nya adalah hal yang sewajarnya. Dan karena ia tidak marah dan tidak lagi merasa sakit hati, akan percuma sajalah kalau ia menggunakan Aji Triwikrama, sebuah aji yang hanya dapat dilakukan dalam keadaan marah dan sakit hati. Ia lalu mengumpulkan tenaga batinnya dan meledaklah pekiknya yang dahsyat, yaitu pekik Dirodo Meta yang keluar dari dadanya.
Lima orang lawannya tergetar dan terkejut. Saat itu dipergunakan oleh Tejolaksono untuk, menubruk dada Gagak Dwipa yang merupakan lawan paling tangguh. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya. Lima orang itu benar-benar sudah merupakan lima orang dengan satu perasaan agaknya. Tanpa dikomando lagi, lima batang golok itu sudah menangkis kerisnya dengan kekuatan yang amat hebat!
“Tranggggg...!”
Pengerahan tenaga yang amat hebat dari Adipati Tejolaksono tersalur di dalam keris Megantoro dan akibat dari pertemuan senjata ini hebat sekali karena berbareng dengan suara yang amat nyaring ini tampak api berpijar menyilaukan mata dan lima batang golok itu patah semua! Akan tetapi, karena sebuah di antara golok yang patah itu meleset dan menyambar turun menggores lengan sang adipati, maka keris itu pun terlepas dari tangan Tejolaksono!
Melihat bahwa lawan yang dikeroyok ini pun kehilangan senjatanya, Lima Gagak Serayu menjadi girang dan sambil berteriak ganas mereka menubruk dan mengirim serangan serentak. Namun Tejolaksono juga sudah siap. Begitu lima orang lawan bergerak menyerang nya penuh nafsu, la melihat kesempatan baik sekali. Tubuhnya mengelak ke kiri, melewatkan tiga pukulan lawan dan sengaja menerima hantaman dua orang gagak yang ia terima dengan dada dan pundaknya sambil mengerahkan tenaga, namun berbareng jari-jari tangan kanannya menusuk dengan Aji Pethit Nogo ke arah dada Gagak Legawa dan tangan kirinya menangkis pukulan susulan dari Gagak Dwipa.
“Dessss... krakkk...!”
Tubuh Tejolaksono yang menerima pukulan Gagak Maruta di dada kiri dan hantaman Gagak Legawa di pundak itu hanya tergoncang seperti sebatang pohon beringin diserang angin lalu, akan tetapi jari-jari tangan kanannya amblas masuk ke dalam dada Gagak Legawa, mematahkan tulang-tulang iganya! Gagak Legawa berteriak ngeri dan roboh berkelojotan.
Seorang di antara lima Gagak Serayu, menjadi korban dan tewas. Para prajurit Selopenangkep yang menonton pertandingan dahsyat itu bersorak gembira, sebaliknya pihak pasukan Lembah Serayu marah dan gelisah.
“Siuuuuuttttt...!”
Benda yang berubah menjadi bayang-bayang hitam yang amat lebar itu adalah senjata rahasia Gagak Tirta, yakni sehelai jaring yang amat lebar dan ujungnya dikelilingi mata kaitan terbuat dari pada baja. Jaring itu sendiri terbuat dari pada kawat-kawat halus yang amat kuat. Dengan jaring pusakanya yang ampuh ini, Gagak Tirta sanggup menangkap hidup-hidup seekor harimau!
Karena secara otomatis, tiga orang Gagak yang lain dengan kemarahan meluap-luap melihat kematian Gagak Legawa juga menerjang maju dengan pukulan tangan kosong dari kanan kiri sehingga tertutuplah jalan keluar bagi Tejolaksono, maka adipati ini pun memutar tubuh menangkis pukulan-pukulan itu dan sengaja membiarkan dirinya disambar jaring. Ia tidak takut menghadapi jaring itu, bahkan adipati yang sakti dan cerdik ini hendak menggunakan kesempatan ini untuk mencapai kemenangannya.
Empat orang Gagak Serayu berseru girang dan anak buah mereka bersorak ketika melihat betapa tubuh Adipati Tejolaksono terselimut dan tertangkap oleh jaring itu, Tejolaksono meronta dan mendapat kenyataan bahwa jaring ini benar-benar amat kuat, dan pada saat itu, Gagak Tirta menyendal tali jaringnya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Tejolak sono terguling roboh!
Makin riuh sorak sorai anak buah Gagak Serayu dan makin kecil hati para prajurit Selopenangkep melihat jagoan mereka tertangkap! Akan tetapi pada saat yang memang dinanti-nanti oleh Tejolaksono itu, tiba-tiba tubuh sang adipati yang terguling tadi terus bergerak bergulingan dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Tahu-tahu tubuh yang berada dalam libatan jaring ini telah menggelundung ke arah lawan. Empat orang Gagak Serayu kaget dan meloncat, namun kurang cepat bagi Gagak Tirta yang memegang ujung tali jaring. Kakinya tertangkap tangan Tejolaksono yang menyambar dari dalam jaring sehingga Gagak Tirta dapat ditarik roboh!
Gagak Maruta yang berada paling dekat, cepat menubruk maju untuk menolong adiknya, hendak merampas adiknya yang kakinya terpegang lawan.
“Maruta... mundur...!”
Gagak Dwipa memperingatkan adiknya, namun terlambat karena pada saat Tejolaksono yang menggunakan aji kekuatan sakti, sudah melompat bangun dengan kaki Gagak Tirta rnasih dipegangnya dan tubuh lawan ini ia ayun sedemikian rupa merupakan senjata yang luar biasa. Gagak Maruta hendak menghindar, namun terlambat.
“Prakkk...!” Suara keras beradunya kepala Gagak Maruta dengan kepala Gagak Tirta ini disusul pekik yang mengerikan, pekik kematian dua orang kakak beradik itu yang pecah kepalanya! Darah dan otak keluar muncrat-muncrat dan Adipati Tejolaksono cepat membebaskan diri dari libatan jaring untuk menghadapi lawannya yang kini hanya tinggal duaorang lagi, yaitu Gagak Dwipa dan Gagak Kroda. Akin tetapi, pada saat itu para anak buah pasukan Lembah Serayu sudah menerjangnya dan disambut pula oleh prajurit-prajurit Selopenangkep yang mendapat hati.
Ketika Tejolaksono keluar dari jaring dan melihat, ternyata dua orang pimpinan musuh itu sudah lenyap, lari sambil membawa pergi mayat tiga orang adik mereka! Tejolaksono tidak mengejar, melainkan memimpin anak buahnya menghajar musuh.
Perang itu selesai pada sore hari itu juga. Karena kehilangan pimpinan, para pasukan Lembah Serayu yang terdiri dari perampok-perampok dan bajak menjadi kacau, apa lagi karena mereka sudah jerih dan ketakutan ketika mendengar berita bahwa Lima Gagak Serayu yang mereka agul-agulkan itu kalah oleh Adipati Tejolaksono. Bubarlah mereka, melarikan diri ke seberang barat Sungai Serayu. Ada pula yang melarikan diri ke utara untuk bersembunyi di dalam hutan-hutan di kaki dan lereng Gunung Slamet, Gunung Beser, atau Gunung Ragajembangan.
Adipati Tejolaksono dan pasukannya membuat pembersihan, mendapat kemenangan besar dan disambut oleh rakyat dari Lembah Serayu sampai ke Selopenangkep dengan penuh kegirangan dan terima kasih. Akan tetapi sang adipati sendiri tetap tidak bergembira, bahkan wajahnya muram dan keningnya selalu berkerut. Ia tetap gelisah teringat akan putera tunggalnya, Bagus Seta…..
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar