PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-17


Bagus Seta juga semenjak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri dengan ilmu sehingga biar pun ia belum memiliki kedigdayaan yang hanya dicapai oleh seseorang dengan latihan-latihan yang matang, namun ia sudah memiliki tubuh yang kuat, hati yang tabah dan pikiran yang cerdas.
Nama yang diberikan ayah bundanya kepadanya, yaitu Bagus Seta, selain untuk mengingat nama Joko Seta bekas tunangan ibunya yang gugur di dalam perang membela Kerajaan Panjalu, juga amat cocok dengan kulit tubuh anak ini yang putih kuning dan wajahnya yang amat tampan. Yang amat menyolok pada diri Bagus Seta adalah sepasang matanya yang bersinar-sinar dan amat tajam itu dan mulutnya yang membayangkan hati yang tabah, kemauan yang keras, dan watak yang berbudi dan welas asih.
Ketika Kadipaten Selopenangkep diserbu oleh gerombolan perampok Lembah Serayu, Bagus Seta sedikitpun tidak menjadi takut. Seperti halnya dua orang bibinya yang masih kecil, yaitu Setyaningsih dan Pusporini, Bagus Seta juga siap untuk ikut berperang! Sebatang keris kecil terselip di pinggang, bahkan goloknya yang kecil, yang biasa ia pakai berlatih jika diajar oleh ayahnya, kini tergantung di pinggangnya.
“Ibu, kalau ada perampok jahat berani masuk ke rumah kita, kita gempur mereka sampai habis!” demikian kata-kata yang keluar dari mulut anak ini.
“Betul, aku juga tidak takut!” kata Setyaningsih dengan suara nyaring.
“Aku juga!” kata Pusporini dengan mata bercahaya.
“Hushhh...! Anak-anak, kalian tidak boleh keluar,” pesan Kartikosari dan Roro Luhito yang telah siap menerjang musuh. “Bersembunyi saja di dalam kamar dan baru boleh melawan kalau sampai ada musuh yang menyerbu masuk ke kamar kalian.”
Setyaningsih dan Pusporini tidak berani membantah ibu mereka, juga di depan ibunya yang memerintah kan agar dia berdiam di dalam kamar, Bagus Seta tidak berani membantah. Akan tetapi begitu ia mendengar malam itu suara hiruk-pikuk di luar kamarnya dan mendengar dari para pelayan yang ketakutan bahwa para gerombolan perampok sudah menyerbu istana kadipaten, hati Bagus Seta berdebar penuh kemarahan dan ketegangan.
Ia marah sekali karena menganggap para perampok itu pengecut, melakukan penyerbuan pada saat ayahnya tidak berada di rumah. Coba kalau ayahnya berada di rumah, sudah lama para perampok itu dibasmi habis. Ia merasa penasaran sekali akan perintah dan larangan ibunya. Kenapa ia harus bersembunyi di dalam kamar? Ia tidak takut sama sekali terhadap para perampok! Memalukan benar! Putera Adipati Tejolaksono yang terkenal sakti mandraguna harus bersembunyi karena serbuan perampok!
Tidak! Ia tidak mau bersembunyi lagi dan membiarkan ibunya dan kedua eyang puterinya menghadapi para perampok sendiri. Apa lagi ketika malam itu suara pertempuran makin hebat, Bagus Seta tak dapat menahan dirinya lagi. Terdengar olehnya suara pertempuran itu makin mendekat dan kini bahkan terdengar suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan orang bertanding di luar kamarnya, di dalam taman! Cepat Bagus Seta membuka daun jendelanya dan memandang keluar.
Lampu-lampu penerangan yang tergantung di sudut-sudut taman menambah cahaya bulan dan di dalam taman yang remang-remang itu tampaklah banyak orang berkelebat dan saling bertanding. la mengenal belasan orang pengawal istana ayahnya yang dengan gagah berani melawan serbuan para perampok yang berjumlah besar, dua kali lebih besar dari pada jumlah para pengawal.
Melihat daun jendela terbuka dan seorang anak laki-laki tampak di jendela, dua orang perampok yang bertubuh tinggi besar segera melompat maju dan lari menghampiri Bagus Seta. Anak ini tidak takut, bahkan ia segera melompat keluar dari jendela dengan golok terhunus di tangan kanan dan keris di tangan kiri
Melihat ini, dua orang perampok itu tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, anak kecil berani bukan main!”
“Wah, pakaiannya indah. Tentu bukan anak sembarangan. Di dalam kamarnya tentu banyak terdapat barang berharga!” kata perampok ke dua.
“Keparat jahanam, kalian perampok-perampok jahat! Jangan memasuki kamarku!” bentak Bagus Seta sambil meloncat ke depan jendela menghadang ketika ia melihat betapa dua orang perampok itu hendak memasuki kamarnya.
Dua orang perampok itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Biar pun mereka ini orang-orang kasar dan perampok liar, namun tadinya mereka tidak berniat memusuhi seorang kanak-kanak.
Akan tetapi melihat sikap Bagus Seta, mereka menjadi marah juga dan sambil tertawa mereka menerjang maju, perampok pertama mengayun goloknya dengan kuat, hendak memenggal leher anak itu sekali mengayun golok.
Ayunan goloknya ini cepat dan kuat sekali dan dua orang perampok itu sudah memastikan bahwa si anak kecil tentu akan roboh binasa. Mereka sudah mengilar ketika mengerling ke arah dalam kamar dari jendela. Memang kamar yang indah dan mereka ingin sekali menjadi orang-orang pertama, memasukinya dan memilih isinya yang berharga.
“Aihhh!”
Perampok yang mengayun golok berseru kaget karena goloknya membacok angin kosong ketika Bagus Seta dengan cepat dan tangkas mengelak ke kiri, dan lebih besar lagi rasa kaget perampok itu ketika tiba-tiba pahanya sakit sekali dan robek berdarah, kena hantam golok kecil di tangan Bagus Seta! Untung baginya bahwa anak berusia sepuluh tahun itu tenaganya belum matang, kalau lebih kuat sedikit saja bacokan itu, tentu pahanya sudah menjadi buntung!
Perampok yang terluka pahanya itu menjadi marah sekali, akan tetapi pahanya terasa amat perih dan nyeri sehingga ia tidak dapat menerjang maju. Hanya temannya yang kini dapat menduga bahwa anak kecil itu bukan bocah sembarangan, sudah meloncat maju dan ayun goloknya melakukan serangan bertubi-tubi.
Namun, makin besar keheranan dua orang perampok itu karena betapa-pun cepatnya si perampok membacok, selalu bacokannya mengenai tempat kosong. Anak itu gesitnya melebihi seekor kera!
Pada saat itu, dari tempat pertempuran datang pula dua orang perampok. Memang jumlah perampok lebih banyak sehingga para pengawal terdesak dan karena para perampok itu sudah Ingin sekali menyerbu istana untuk merampok harta benda dan memperkosa puteri-puteri kini dua orang perampok itu yang melihat dua orang teman mereka mengeroyok seorang anak kecil di dekat jendela terbuka, cepat menghampiri.
Mereka terheran-heran dan kagum melihat betapa seorang anak kecil dengan golok di tangan kanan dan keris di tangan kiri dapat melayani terjangan seorang kawan mereka begitu gesitnya!
“Aaahh, anak Ini tentu putera adipati! Puteranya hanya seorang, siapa lagi kalau bukan anak setan ini?” Demikian. kata seorang di antara mereka.
Bagus Seta yang mendengar ucapan ini lalu meloncat mundur sambil menghardik, “Sudah tahu aku putera Adipati Tejolaksono yang sakti mandraguna, kalian masih berani datang?”
Sejenak empat orang perampok itu tercengang akan tetapi mereka lalu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Dia ini lebih berharga dari pada segala benda rampasan. Gagak Lembah Serayu tentu akan memberi hadiah besar kepada kita kalau kita menyerahkan anak ini sebagai tawanan!”
Mendengar ucapan ini, tiga orang perampok yang tidak terluka itu lalu menubruk maju seakan berlumba hendak berdulu-duluan menangkap Bagus Seta. Anak ini cepat melompat ke kanan menghindarkan diri sambil menyabet dengan goloknya.
“Tranggggg...!”
Dua buah golok perampok menangkisnya dengan pengerahan tenaga keras. Tentu saja tenaga Bagus Seta tidak dapat melawan tenaga dua orang perampok kasar itu. Golok kecil di tangannya terlempar jauh! Perampok-perampok itu tertawa dan menubruk lagi. Akan tetapi biar pun goloknya sudah hilang, Bagus Seta tidak menjadi gugup atau takut. Melihat dirinya ditubruk tiga orang, ia cepat menggerakkan keris kecilnya, menyambut tangan-tangan mereka dengan tusukan keris ke depan!
“Eh-eh, bocah ini seperti anak harimau saja!” kata seorang perampok sambil menarik kembali tangannya yang nyaris tertusuk keris. Akan tetapi kakinya melayang dari kiri dan tepat mengenai pinggang Bagus Seta yang jatuh terguling-guling dan kerisnya terlepas dari pegangan.
Namun, anak itu meloncat bangun lagi, sudah slap menghadapi para perampok dengan kedua tangan kosong! Melihat sikap ini, mau, tak mau empat orang perampok itu memandang kagum dan terheran-heran. Belum pernah selama hidup mereka yang penuh kekejaman itu mereka bertemu dengan seorang anak kecil yang memiliki keberanian seperti ini! Seekor harimau sekali pun agaknya tentu akan tunggang-langgang kalau sudah dihajar dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan jauh lebih kuat. Anak ini sudah kehilangan golok dan keris, sudah pula terjengkang roboh, akan tetapi masih bangkit lagi dan sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, apa lagi menyerah!
Rasa penasaran membuat tiga orang perampok yang tak terluka itu menjadi marah. Masa tiga orang gagah seperti mereka tidak mampu merobohkan seorang anak kecil? Alangkah akan malu hati mereka kalau hal itu diketahui kawan-kawan mereka.
Tentu mereka akan menjadi bahan ejekan. Karena marah, berubahlah keinginan hati mereka yang tadi hendak menawan Bagus Seta, menjadi nafsu untuk membunuhnya! Dengan golok di tangan terangkat tinggi-tinggi, tiga orang itu kini melangkah maju, slap untuk menghancurkan tubuh yang kecil itu dengan golok mereka yang tajam.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara auman yang menggetarkan taman. Bumi yang terpijak serasa bergoyang. Tiga orang perampok itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri seperti berubah menjadi arca. Entah dari mana datangnya, tak jauh dari situ berdiri seekor harimau yang besarnya seperti lembu! Seekor harimau berbulu putih yang besar dan menyeramkan sekali!
Akan tetapi kalau para perampok dan juga sebagian pengawal yang bertanding di dekat tempat itu terkejut dan gentar, sebaliknya Bagus Seta menjadi girang sekali. Ia menoleh dan melihat harimau putih itu, segera mengenalnya sebagai harimau yang pernah ia jumpai di dalam hutan bersama ayahnya, harimau yang telah menggondolnya. Karena anak ini pun maklum bahwa ia tidak akan menang menghadapi pengeroyokan para perampok, maka ia lalu lari menghampiri binatang itu dan memeluk lehernya. Harimau itu merendahkan tubuhnya sambil menggereng dan di lain saat Bagus Seta telah menunggang di atas punggungnya!
“Paman sardulo, amuk para perampok itu! Basmi mereka, usir mereka... Bagus Seta menepuk-nepuk punggung harimau itu sambil berbisik di dekat telinganya.
Anak ini memang pandai menunggang kuda, akan tetapi menunggang kuda jauh sekali bedanya dengan menunggang harimau yang tanpa kendali tanpa sela itu. Maka ia duduk sambil menelungkup dan merangkul leher menengkeram bulu yang panjang putih pada leher harimau.
Harimau itu kembali mengaum dan tubuhnya menerjang maju. Tiga orang perampok yang tadi hendak membunuh Bagus Seta, berbareng mengangkat golok untuk menyerang dalam pembelaan diri mereka, akan tetapi hanya satu kali sang harimau putih mengangkat kaki depan sebelah kanan, menampar atau mencakar dan tiga batang golok mereka terlepas dan pegangan, bahkan lengan seorang di antara mereka kena cakar sampai robek-robek dagingnya! Yang dua orang membalikkan tubuh dan lari, diikuti dua orang temannya yang sudah terluka, yaitu yang tadi terluka golok pahanya dan yang terluka lengannya.
Harimau itu dengan Bagus Seta di punggungnya, lalu berlari perlahan memasuki taman. Gegerlah mereka yang sedang berperang di dalam taman.
Para perampok menjadi ketakutan dan otomatis bubar meninggalkan lawan. Beberapa orang perampok yang mencoba untuk melawan harimau putih, roboh oleh tamparan kaki depan harimau itu yang berbeda dengan harimau-harimau biasa, bergerak seperti seorang manusia, bukan menubruk atau menggiglt seperti harimau lain. Akan tetapi gerakan kaki depannya amat kuat sehingga senjata-senjata tajam selalu terlempar kalau bertemu kaklnya.
Sebentar saja, para perampok yang menyerbu kadipaten menjadi geger dan bubar meninggalkan kadipaten. Bermacam-macam cerlta mereka. Bahkan yang tidak sempat bertemu dengan harimau putih itu dapat bercerita bahwa “penjaga kadipaten” harimau yang sebesar gajah telah mengamuk! Ada yang bilang bahwa Itu adalah sang adipati sendiri yang berubah menjadi harimau putlh.
Bahkan para pengawal yang sempat melihat harimau di dalam taman, menjadi panik. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang berusaha merampas kembali Bagus Seta. Akan tetapi mereka ini pun roboh oleh tamparan sang harimau yang kemudian melarikan Bagus Seta dari dalam taman sambil berlompatan cepat sekali! Bagus Seta merasa ngeri juga dan terpaksa ia meramkan mata sambil memeluk leher harimau lebih kuat lagi. Angin berdesir di pinggir telinganya dan tubuhnya kadang-kadang terkena lecutan rumput alang-alang di kanan kiri.
“Paman sardulo... ke mana kau membawaku pergi? Kembalilah, kita harus membantu ibuku... harus membasmi dan mengusir para perampok jahat...!” Bekali-kali Bagus Seta berbisik di dekat telinga si harimau, akan tetapi harimau putih itu tidak mempedulikannya lagi dan berlari terus keluar masuk hutan dan naik turun gunung.
Malam telah berganti pagi ketika harimau putih tiba di lereng sebuah gunung, lalu mengaum dan berhenti. Bagus Seta yang merasa lelah sekali lalu melorot turun dari atas punggung harimau, memandang kepada kakek tua yenta berpakaian putih yang tahu-tahu telah berdiri di depan harimau. Kakek itu berdiri sambil memegang tongkat bambu gading, tangan kiri mengelus jenggot panjang yang putih itu dan mulutnya tersenyum.
“Terpujilah Sang Hyang Wishnu...! Kakek tua renta itu berkata halus. “Suratan takdir tak dapat dihapus oleh siapa pun juga di dunia ini! Kulup, Bagus Seta, kedatanganmu ini meyakinkan hatiku bahwa engkau memang berjodoh dengan aku. Engkaulah yang kelak akan mempertahankan kebesaran Sang Hyang Wishnu, angger...!
Bagus Seta memang seorang anak kecil yang baru berusia sepuluh tahun. Namun ia telah banyak mempelajari tata susila dan tahu menghormat dan menghargai seorang tua yang suci dan bijaksana. Biar pun masih kecil, ia maklum bahwa kakek di hadapannya ini bukanlah seorang manusia biasa dan bahkan menjadi majikan dari sang harimau putih yang hebat. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
“Jadi Eyangkah yang menyusuh paman sardula putih datang menolong saya dari pada pengeroyokan perampok? Saya mengucap syukur dan menghaturkan banyak terima kasih, Eyang.”
Kakek itu tertawa, suara ketawanya halus dan sepasang matanya yang bersinar amat tajam itu berseri-seri gembira. “Sardulo pethak, kau dengar, alangkah pandainya sang adipati di Selopenangkep mendidik puteranya! Heh-heh-heh, angger Bagus Seta. Tidak ada yang menolong atau ditolong. Sardulo pethak kusuruh datang ke Selopenangkep hanya untuk mempersiapkan diri kalau-kalau memang engkau berjodoh denganku, Angger. Kalau bukan karena kehendakmu sendiri engkau ikut dengannya, dia tidak akan memaksamu. Bukankah engkau sendiri yang ikut bersamanya,' kulup?”
“Tidak salah, Eyang. Memang saya menunggangi punggungnya. Akan tetapi... saya tidak mengerti mengapa dia membawa saya ke sini menghadap Eyang.”
“Kekuasaan berada di tangan Sang Hyang Widhi, Angger. Bahkan semua dewata dan manusia hanya mempunyai tugas kewajiban, namun keputusan terakhir sepenuhnya berada di tangan Yang Maha Kuasa. Akupun hanya berusaha, angger, dan agaknya usahaku mendapat berkah Sang Hyang Wishnu yang memelihara dan menjaga semua kebaikan. Engkau berjodoh untuk menjadi muridku, kulup, dan kepadamulah aku harus menurunkan semua pengertian yang kumiliki.”
“Banyak terima kasih saya haturkan kepada Eyang. Menurut wejangan Ayah saya, amatlah bahagia menjadi murid seorang yang maha sakti seperti Eyang. Akan tetapi, saya harus kembali ke Selopenangkep, Eyang. Selopenangkep diserbu penjahat, Kanjeng Ibu tentu terancam bahaya. Bagaimana saya dapat mendiamkannya saja dan berada di sini dalam aman tenteram sedangkan Kanjeng Ibu terancam bahaya?”
“Ha-ha-ha, bagus sekali, sekecil engkau sudah mengenal dharma bakti kepada orang tua! Akan tetapi engkau lupa, Bagus Seta, bahwa kehadiranmu di sana sama sekali tidak akan membantu ibumu,melainkan menambah beban ibumu karena harus melindungimu. Jangan khawatir, Angger. Engkau ikutlah bersamaku dan kelak pasti engkau akan bertemu kembali dengan orang tuamu.”
“Memang saya tidak dapat membantu ibu, Eyang. Akan tetapi... apa pun yang terjadi di Selopenangkep, saya harus menyaksikannya. Kata Kanjeng Rama, bukanlah watak seorang ksatria kalau melarikan diri dari pada bahaya meninggalkan orang lain yang terancam malapetaka. Mencari keselamatan sendiri tanpa mempedulikan orang lain, apa lagi Kangjeng ibu sendiri, adalah perbuatan pengecut yang hina!”
Kakek itu merangkul pundak sambil membungkuk, lalu membelai kepala Bagus Seta.
“Wahai muridku yang bagus dan baik! Engkau benar-benar calon seorang ksatria budiman yang selalu mengingat wejangan baik di dalam hati. Semoga pengetahuanmu tentang itu akan mendarah daging pada dirimu, tidak hanya akan menjadi hafalan-hafalan kosong belaka melainkan kau nyatakan di dalam semua sepak terjangmu dalam hidup! Tidak salah seujung rambutpun wejangan Ramandamu, Angger. Akan tetapi, sekali ini keadaannya berbeda. Engkau bukan melarikan diri, melainkan dituntun oleh tangan gaib Sang Hyang Wishnu sendiri sehingga engkau datang kepadaku. Sekali lagi kukatakan, janganlah kau khawatir dan marilah kau ikut aku. Sudah tentu saja aku tidak hendak memaksakan kehendakku, karena aku selalu bertindak sesuai dengan -kehendak Sang Hyang Widhi. Sukakah engkau menjadi muridku, Bagus Seta?”
Anak itu menyembah lagi.
“Demi semua Dewata di Suralaya, Eyang. Saya suka sekali menjadi murid Eyang.”
“Nah, kalau begitu, mulai saat ini juga engkau kuangkat menjadi muridku. Aku dikenal sebagai Ki Tunggaljiwa dan ketahuilah, muridku, bahwa sesungguhnya Ramandamu itu masih cucu muridku sendiri! Bagus Seta, biar pun engkau masih seorang kanak-kanak, tentu Ramandamu pernah bercerita kepadamu. Tahukah engkau guru ramandamu?”
Jantung anak itu sudah berdebar tegang saking kagetnya mendengar bahwa kakek ini masih eyang guru ayahnya! Tentu saja ia sudah banyak mendengar dari ayahnya tentang guru-guru ayahnya maka tanpa ragu-ragu ia menjawab.
“Menurut penuturan Kanjeng Rama, pertama-tama yang menjadi guru Kangjeng Rama adalah Kanjeng Eyang Pujo sendiri, ayah angkat Kanjeng Rama. Kemudian Kanjeng Rama digembleng oleh Eyang Buyut Resi Bhargowo, dan yang terakhir, guru Kanjeng Rama adalah sang bijaksana yang sakti mandraguna Rakyana Patih Narotama.”
Kakek itu mengangguk-angguk.
“Benar sekali apa yang kaudengar dari Ramandamu itu, Angger. Yang membuat Ramandamu menjadi seorang ksatria sakti mandraguna seperti sekarang ini adalah karena beliau menjadi murid mendiang Ki Patih Narotama. Ketahuilah, bahwa bersama mendiang Sang Prabu Airlangga, Ki Patih Narotama adalah murid-murid terkasih dari Sang Bhagawan Satyadharma yang bertapa di puncak Gunung Agung di Ball. Nah, adapun Bhagawan Satyadharma itu adalah kakak seperguruanku sendiri, Angger.”
Terkejutlah hati Bagus Seta. Ia menyembah lagi dan berkata penuh takjub.
“Kalau begitu... Eyang adalah Eyang guru dari Kanjeng Rama dan saya... adalah cucu buyut Eyang...”
“Ha-ha-ha, tidak perlu terlibat dalam urutan yang tiada artinya, muridku. Engkau adalah terpilih menjadi muridku, karena itu engkau adalah muridku dan kau boleh saja menyebutku Bapa Guru. Nah, setelah kau menjadi muridku, kau tentu tahu, apakah kewajiban pertama dari seorang murid kepada gurunya?”
“Kalau saya tidak keliru, kewajiban pertama adalah mentaati semua perintah dan petunjuk sang guru.”
“Tepat sekali, Angger. Nah, sekarang perintahku yang pertama kali, engkau harus ikut bersamaku ke puncak dan lenyapkan, semua kegelisahan hatimu tentang Selopenangkep.”
Bagus Seta masih seorang kanak-kanak. Berat sekali rasanya mentaati perintah ini, apa lagi harus melupakan Selopenangkep. Mana mungkin? Akan tetapi sebagai seorang anak gemblengan yang tahu akan arti kata kegagahan dan memegang teguh kata-kata yang sudah keluar dari mulut, ia tidak berani membantah, lalu bangkit berdiri dan mengikuti gurunya yang mulai mendaki Gunung Merapi. Sardulo pethak,-si macan putih, tampak gembira sekali melihat Bagus Seta ikut naik ke puncak.
Seperti seekor anak kambing yang nakal, ia melonjak-lonjak dan kadang-kadang lari mendahului mendaki lereng, dan di lain saat ia sudah berlari lagi turun, mengitari Bagus Seta, dan mendorong-dorong punggung anak itu dari belakang, seperti rnengajak berlumba lari. Karena diapun masih seorang kanak-kanak, Bagus Seta timbul kegembiraannya dan tak lama kernudian iapun sudah lupa akan kegelisahannya dan bermain-main di sepanjang jalan pendakian itu bersama sardulo pethak.
Kakek tua renta itu memang benar adik seperguruan Sang Bhagawan Satyadharma di Gunung Agung yang terkenal maha sakti itu. Berbeda dengan Sang Bhagawan Satyadharma yang terkenal menjadi seorang pendeta, adik seperguruan yang jauh lebih muda ini semenjak dahulu suka melakukan perantauan.
Akan tetapi kakek ini yang memakai nama sederhana, yaitu Ki Tunggaljiwa, tidak suka menonjolkan diri di dunia ramai dan ke mana pun juga ia pergi, ia selalu mengunjungi puncak-puncak gunung yang sunyi, jarang bertemu dengan manusia dan hidup bertani di tempat sunyi. Karena itulah maka jarang ada orang mengenalnya. Andai kata ada yang melihatnya sekali pun tentu akan mengira bahwa dia seorang petani tua biasa saja. Pada-hal sesungguhnya kakek ini adalah orang yang memiliki ilmu amat tinggi!
Mengapa kini Ki Tunggaljiwa yang biasanya hidup menyendiri itu secara tiba-tiba mengambil murid? Bukan sedikit anak-anak yang ia lihat bertulang baik dan berjiwa bersih yang cukup berharga untuk diambil murid selama ia melakukan perantauannya, akan tetapi tadinya ia memang tidak ingin mencampuri urusan dunia, maka hatinyapun menjadi dingin dan hambar, tidak ingin mempunyai murid, bahkan ingin membawa semua ilmunya yang dianggap tiada gunanya itu ke alam baka.
Akan tetapi, sungguh di luar perkiraannya, terjadilah hal-hal yang membuat ia terkejut dan prihatin sekali. Ia melihat ada usaha-usaha untuk mendesak agama yang dianut oleh rakyat terbanyak di daerah Daha (Panjalu), Jenggala dan terus timur sampai ke Bali, yaitu agama yang memuja Sang Hyang Wishnu! Kalau yang mengancam ini hanyalah penyembah-penyembah Bathara Kala atau Bathari Durgo yang tidak banyak pengikutnya, ia tidak merasa khawatir.
Akan tetapi musuh-musuh yang akan muncul ini merupakan bahaya-bahaya besar karena selain didukung oleh kerajaan-kerajaan besar, juga dikendalikan atau dijagoi oleh orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi sekali. Melihat ancaman yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang ini, hati Ki Tunggaljiwa merasa risau dan ia tahu bahwa kini tibalah saat baginya untuk berdharma bakti kepada dunia, kepada manusia dengan perbuatan-perbuatan yang nyata.
Ia sudah amat tua, dan betapa pun saktinya, la bukan sebangsa ular yang yang ditakdirkan dapat berganti kulit. Dia seorang manusia yang tidak akan luput dari pada kematian. Maka ia pikir bahwa jalan terbaik baginya adalah menurunkan atau mewariskan seluruh ilmunya kepada seorang murid yang terbaik.
Memang apa yang dikhawatirkan Ki Tunggaljiwa itu tidaklah berlebihan kalau dilihat dari perkembangan keadaan negara di waktu itu. Semenjak Kerajaan Kahuripan yang tadinya menjadi amat besar dan kuat sebagai lanjutan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sang Prabu Airlangga dipecah menjadi dua seperti keadaan waktu itu, yaitu menjadi Kerajaan Panjalu yang kemudian terkenal dengan sebutan Kerajaan Daha dan Kerajaan Jenggala, maka keadaan menjadi lemah. Hal ini mungkin karena pemecahan kerajaan menjadi dua mendatangkan pandangan dan kesan yang amat tidak menguntungkan kerajaan-kerajaan keturunan Sang Prabu Airlangga.
Raja-raja yang tadinya takluk, menganggap pemecahan itu sebagai kelemahan dan banyaklah di antara mereka yang memberontak dan berdiri sendiri, tidak mengakui kedaulatan kedua kerajaan itu.
Hal ini menjadi lebih memburuk dan berbahaya ketika pada masa itu ancaman membesar dari Kerajaan Sriwijaya yang memasukkan pengaruhnya lewat Pulau Jawa di sebelah barat. Tadinya, ketika Sriwijaya masih menghadapi musuh utamanya yaitu Kerajaan Cola (India selatan) yang terus menerus menyerang Sriwijaya dan setiap kali mengalahkan pasukan-pasukan Sriwijaya, maka Sriwijaya tidak ada kesempatan untuk mendesak Daha (Panjalu) dan Jenggala.
Akan tetapi pada waktu itu, terjadilah perdamaian antara Sriwijaya dan Cola, juga dengan kerajaan dari India utara dari mana Sriwijaya mendapat banyak pelajaran tentang ilmu dan agama, yaitu Agama Buddha (Mahayana). Setelah terdapat perdamaian ini, Sriwijaya merasa dirinya kuat kembali dan mulailah melakukan desakan ke selatan, yaitu kepada musuh lamanya, Mataram yang kini menjadi Panjalu atau Daha dan Jenggala itu.
Seperti telah menjadi catatan sejarah, semenjak dahulu Sriwijaya dan Mataram selalu bertentangan. Hanya pada masa jayanya Sang Prabu Airlangga, terjadilah hubungan baik, yaitu ketika Sang Prabu Airlangga menikah dengan puteri dari Sriwijaya yang kemudian menjadi ibu dari sang prabu di Jenggala. Akan tetapi, setelah terjadi pertikaian antar saudara antara kedua orang pangeran putera Sang Prabu Airlangga, hal ini kembali merenggangkan perhubungan dengan Sriwijaya.
Apa lagi setelah Sang Prabu Airlangga dan puteri dari Sriwijaya telah meninggal dunia, hubungan dengan Sriwijaya boleh dibllang terputus sama sekali. Namun tentu saja hal ini tidak memutuskan cita-cita
Sriwijaya untuk menanam pengaruhnya di Jawadwipa dan terutama sekali untuk keperluan Agama Buddha yang dianutnya. Selain itu, juga Kerajaan Cola yang kini sudah berbaik dengan Sriwijaya tidak mau ketinggalan, ikut membonceng dan mencari kesempatan menanam pengaruh dan mencari keuntungan di pulau yang indah dan lohjinawi (subur makmur) itu. Golongan ini mempergunakan para penganut Sang Hyang Syiwa untuk mencari kedudukan.
Dahulu, memang pernah Agama Buddha yang memegang kekuasaan, yaitu ketika Pulau Jawa berada di bawah pimpinan Raja-raja Syailendra. Akan tetapi, pada jaman Mataram di bawah raja yang berjuluk Rakai Pikatan, agama yang memuja Sang Bathara Syiwa menjadi berkembang karena raja ini beragama Syiwa.
Dan pada masa itu dua agama itu, yaitu Agama Buddha dan Agama Syiwa yang merupakan pecahan dari pada Agama Hindu lama, mengalami masa kebesarannya. Akhirnya, setelah Kerajaan Mataram berpindah ke timur di bawah pimpinan Sang Prabu Airlangga, kedua agama ini mulai terdesak dan karena sang raja memuja Sang Bathara Wishnu, maka rakyatpun banyak yang mengikuti jejak raja.
Dan sekarang, menurut wawasan Ki Tunggaljiwa yang menjadi seorang penyembah Sang Hyang Wishnu, mulailah tampak ancaman dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola. Kakek ini sama sekali tidak prihatin akan pertentangan antara kerajaan, akan tetapi ia merasa prihatin sekali melihat betapa Agama Wishnu terancam kebesarannya oleh agama-agama lain.
Ki Tunggaljiwa tahu akan hal itu karena beberapa bulan yang lalu, ketika ia melakukan perjalanan merantau ke barat, dan hendak bertapa dan bersunyi diri di Gunung Sanggabuwana, bertemulah ia di sana dengan seorang tokoh Agama Syiwa dan seorang pendeta Buddha.
Sebagai manusia-manusia biasa, biar pun tiga orang tokoh besar ini sudah mempunyai kepandaian tinggi, terjadilah perdebatan yang berlarut-larut hingga memanaskan suasana dan kedua orang tokoh Agama Syiwa dan Agama Buddha itu dalam keadaan hati panas menyatakan bahwa agama mereka sudah siap untuk mengembalikan kekuasaannya di Daha (Panjalu) dan Jenggala.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar