PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-19
“Ha-ha-ha! Tanpa tedeng aling-aling memang kuakui bahwa aku utusan
Kerajaan Cola! Dan Biku Janapati memang utusan Sriwijaya! Akan tetapi
kau tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Tunggaljiwa. siapakah tidak tahu
kepada engkau dan kakak seperguruanmu Bhagawan Satyadarma di Gunung
Agung? Siapakah tidak tahu betapa dahulu, semenjak di Balidwipa, kalian
mengusahakan agar dapat menguasai Jawa? Buktinya, anak Balidwipa, murid
Bhagawan Satyadarma, menjadi Raja Kahuripan! Dan kini putera-puteranya
merajai Jenggala dan Panjalu. Tentu saja engkau melindungi mereka!
Pendeknya, Kerajaan Cola dan Sriwijaya akan maju terus, dan kamipun akan
maju terus!”
Ki Tunggaljiwa menggeleng kepalanya. “Kalau begitu Sriwijaya dan Cola
takkan berhasil, dan Andika berdua juga akan menghadapi banyak
tantangan!”
“Ahh..., begitukah? Dan siapa yang akan menentang kami? Engkaukah, Ki Tunggaljiwa!”
“Mungkin... kalau perlu,” jawab Ki Tunggaljiwa dengan sikap tenang.
Wasi Bagaspati mengedikkan kepala, membusungkan dada dan matanya
mengeluarkan sinar berkilat. “Babo-babo... Ki Tunggaljiwa, kami anak
murid Sang Hyang Shiwa memang bertugas membasmi yang jahat!”
“Aku tidak akan menyangkal, Wasi Bagaspati. Sang Hyang Shiwa memang
berwenang membasmi akan tetapi pengertianmu tentang yang baik dan yang
jahat kacau-balau dan hanya menurutkan nafsu dan mencari kemenangan
pribadi belaka. Dengan demikian, kalau engkau menentang yang benar,
berarti engkau bahkan mengkhianati tugas suci Sang Hyang Shiwa.”
“Bagus! Jadi menurut pendapatmu, siapa yang benar? Orang-orang macam
engkau inikah? Atau adipati antek Panjaiu ini? Huh, kalau saja dahulu
aku diberi kesempatan, sudah kubasmi Airlangga dan Narotama, biang
keladi utama sehingga agama-agama lain menjadi muhdur dan hanya
menonjolkan penyembahan Sang Hyang Wishnu! Hayo, Ki Tunggaljiwa,
majulah, biar kumusnahkan sekarang juga agar kelak tidak mendatangkan
banyak korban. Engkaulah biang keladi utama sekarang!”
“Wasi Bagaspati, Andika sudah berjanji kepadaku tidak akan menggunakan
kekerasan!” Tiba-tiba Biku Janapati berkata dengan suaranya yang tenang
dan mantap.
Mendengar ini, Sang Wasi Bagaspati tertawa dan kepalanya menengadah ke atas.
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Biku Janapati. Aku tidak akan menggunakan
kekerasan, akan tetapi kalau tua bangka ini maju, hemmm, dia akan
menemui kebinasaanl Orang Mataram semenjak dahulu adalah orang-orang
sombong dan pengecutI”
Kalau Ki Tunggaljiwa tersenyum tenang saja mendengar semua kata-kata
yang kasar dan menghina itu, adalah Adipati Tejolaksono yang tidak dapat
menahan sabar. Tadinya hanya kedua telinganya saja yang merah. Akan
tetapi makin lama, warna merah menjalar ke leher dan seluruh mukanya.
Apa lagi ketika mendengar bahwa Ki Tunggaljiwa adalah saudara
seperguruan Sang Bhagawan Satyadharma, ia menjadi terkejut karena
Bhagawan Satyadharma adalah eyang gurunya, dan kini melihat Ki
Tunggaljiwa yang masih terhitung eyang gurunya pula itu diperhina orang,
mendengar pula Mataram dan orang-orang Mataram disebut sombong dan
pengecut, malah tadi nama Airlangga dan Narotama disebut-sebut, adipati
yang jauh lebih muda ini segera melangkah maju dan menudingkan
telunjuknya ke arah Wasi Bagaspati samba berkata tandas,
“Heh, nanti dulu, Sang Wasi Bagaspati! Andika mudah saja memaki-maki
orang Mataram! Saya mendengar tadi bahwa Andika adalah utusan Kerajaan
Cola! Padahal melihat warna mata, rambut dan kulit, Andika adalah bangsa
saya juga! Akan tetapi Andika sudah merendahkan diri menjadi antek
kerajaan asing! Andika bertugas demi kepentingan Bangsa Cola di seberang
lautan! Sebaliknya, kami keturunan orang Mataram mengabdi kepada tanah
air dan bangsa! Dan Andika masih berani menyebut orang-orang Mataram
sombong dan pengecut?”
“Uaaahhh, babo-babo, si keparat! Engkau bocah masih bau pupuk berani
kurangajar terhadap seorang kakek seperti aku? Majulah kalau kau ingin
musnah hari ini!”
“Eyang guru Ki Tunggaljiwa tentu sependapat dengan saya bahwa sebagai
anak murid Sang Hyang Wishnu yang taat, saya tidak akan menyerang orang
lain tanpa sebab dan hanya akan melayaninya apa bila diserang!”
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk girang, akan tetapi Wasi Bagaspati
menjadi makin marah sehingga matanya melotot mukanya merah. “Eyang guru?
Jadi Ki Tunggaljiwa ini eyang gurumu? Murid siapa engkau, bocah?”
“Mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama pernah membimbing hamba.”
“Hua-ha-ha-ha-ha! Hanya murid si Airlangga dan Narotama sudah berani menentang aku, Wasi Bagaspati?”
“Saya sama sekali tidak menentang seorang tua bernama Wasi Bagaspati, yang saya tentang adalah kelaliman...”
“Huuuuushhh, keparat! Kau bilang aku lalim? Heh, Adipati Tejolaksono,
tahukah engkau bahwa dengan mata meram aku sanggup membinasakanmu?
Berani kau menerima dua kali pukulanku?”
“Saya tidak menantang, hanya akan membela diri kalau diserang.”
“Bagus! Kalau begitu aku akan menyerangmu dengan dua kali pukulan. Nah, kau terimalah pukulan tangan kananku, bocah!”
Wasi Bagaspati tidak melangkah maju, tetap berdiri di tempatnya semula,
sejauh dua meter dari Tejolaksono, tangan kanannya dldorongkan ke depan,
kelihatannya perlahan saja, namun datanglah angin pukulan yang amat
dahsyat menyambar ke arah dada Tejolaksono!
Tejolaksono adalah seorang sakti. la rnaklum bahwa pukulan jarak jauh
yang ampuhnya menggila dan tidak mungkin dielakkan karena jarak
lingkungannya tak dapat diduga berapa luasnya. Terpaksa ia lalu
mengerahkan seluruh tenaga disalurkan kepada kedua lengannya, sampai ke
ujung-ujung jari kemudian kedua tangannya itu dikipatkan ke depan untuk
menghalau pukulan lawan. Ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang
sudah berkali-kali ternyata keampuhannya dalam menghadapi lawan tangguh.
Sudah banyak sekali lawan sakti roboh olehnya dengan aji pukulan Pethit
Nogo ini.
Adipati Tejolaksono sudah mahir sekali menggunakan aji pukulan ini
sehingga terkenal menjadi buah bibir orang bahwa dengan Aji Pethit Nogo,
sang adipati sanggup memukul permukaan sungai sehingga dalam beberapa
detik lamanya air itu terpecah atau terpisah sampai tampak dasar sungai!
Kini ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo dengan pengerahan seluruh
tenaganya, dapat dibayangkan hebatnya dan agaknya si penyerang yang
tertangkis tentu akan patah-patah tulang lengannya.
“Syuuuuutttt...!”
Dari tangan kanan Wasi Bagaspati dan dari kedua tangan Adipati
Tejolaksono meluncur angin yang saling menghantam di tengah udara, di
antara tangan mereka yang hanya terpisah satu meter.
“Dessss...!”
Sang adipati merasa betapa kedua telapak tangannya panas seperti dibakar
dalam pertemuan tenaga yang tak tampak itu, dan menurut perasaannya,
betapa pun hebat tenaga Sang Wasi Bagaspati, namun tidak banyak
selisihnya dengan tenaga saktinya sendiri. Akan tetapi, alangkah kaget
dan herannya ketika tanpa dapat ia cegah lagi, tubuhnya terlempar ke
belakang seperti ditolakkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Untung ia
tidak kehilangan akal dan cepat berjungkir balik di udara menggunakan
Aji Bayu Sakti sehingga ia dapat melayang turun ke bawah dan tidak
sampai terbanting ke atas tanah.
“Hemmm... kau dapat bertahan?
Coba yang kedua kali dan terakhir ini, terimalah!” kata pula Wasi
Bagaspati dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan. Lebih tepat disebut
meluncur karena kedua kakinya tidak tampak bergerak akan tetapi
tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur maju. Kini tangan kirinya yang
mendorong dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari tangannya
merenggang.
Sang adipati berlaku hati-hati sekali. Jelas bahwa tadi tangkisan aji
pukulan Pethit Nogo tidak kuat menahan pukulan sang wasi, maka kini ia
kembali mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan aji pukulan Bojro
Dahono yang ia pelajari dari Ki Patih Narotama. Pukulan Bojro Dahono ini
setingkat lebih dahsyat dari pada Aji Pethit Nogo dan memiliki hawa
panas seperti api dari dalam kawah Gunung Merapil Kalau tidak yakin
betul bahwa lawannya seorang yang saki mandraguna, kiranya Adipati
Tejolaksono tidak akan menggunakan aji ini karena ia tidak mempunyai
permusuhan apa-apa dengan kakek itu.
“Wessssssssss...!” Telapak tangan mereka bertumbuk di udara, belum
saling menempel, dalam jarak setengah meter, akan tetapi dari kedua
telapak tangan mereka mengebul asap dan uapl Hawa dil sekitar tempat itu
menjadi panas dan kiranya kedua orang itu menggunakan aji pukulan yang
berhawa panas!
Kembali seperti halnya tadi, Tejolaksono merasa bahwa tenaga lawan
tidaklah banyak lebih kuat dari pada tenaganya sendiri. Ia hanya kalah
seusap. Akan tetapi aneh sekali, kini tangannya itu terbetot oleh tenaga
dahsyat yang tak tampak dan betapa pun ia mempertahankan diri, tetap
saja ia terbetot dan tangannya makin maju mendekati tangan lawanI Ia
mengerahkan tenaga menarik, namun percuma, kini bahkan kakinya terseret
dan di lain saat, bagaikan besi tertarik besi sembrani, telapak
tangannya yang penuh dengan Aji Bojro Dahono itu menempel pada telapak
tangan Wasi Bagaspati!
Begitu telapak tangannya menempel pada telapak tangan lawan, Adipati
Tejolaksono terkejut bukan main. Ia merasa betapa hawa saktinya tersedot
tanpa dapat dicegah lagi, memasuki telapak tangan lawan dan kulit
tangannya sendirI terasa seperti dibakar api Kawah Condrodimuko! la
mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan tangan, namun sia-sia karena tenaganya “amblas” ke dalam telapak tangan lawan.
“Huah-ha-ha-ha! Hayo kerahkan seluruh tenagamu, keluarkan semua aji
kesaktianmu, coba lepaskan tanganmu kalau engkau mampu, bocah!”
Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan kelihatan enak-enak saja sedangkan
Tejolaksono mulai bermandi peluh dan mukanya berubah pucat, napasnya
terengah-engah menahan nyeri dan panas. Kalau dilanjutkan ia tentu akan
kehabisan tenaga yang disedot oleh lawan, dan seperti orang kehabisan
darah, akhirnya ia akan roboh lemas!
“Lepaskan suamiku...!”
Ayu Candra sudah meloncat maju dan mengirim pukulan ke arah lambung Wasi
Bagaspati. Ayu Candra adalah puteri mendiang Ki Adibroto, seorang warok
Ponorogo aliran putih yang sakti, tentu saja pukulannya tidak boleh
dipandang ringan.
Apa lagi semenjak menjadi isteri Tejolaksono, ia telah memperoleh banyak
kemajuan berkat bimbingan suaminya. Akan tetapi, pukulannya tidak
pernah menyentuh kulit lambung Wasi Bagaspati.
Kira-kira dalam jarak sejengkal jauhnya dari lambung, pukulan itu
bertemu dengan tenaga yang berhawa panas sehingga Ayu Candra yang
memukul bahkan terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Wanita itu
tentu roboh kalau saja tidak cepat dipeluk dari belakang oleh puteranya,
Bagus Seta.
“Ah, Angger adipati, harap Andika mundur karena Wasi Bagaspati bukanlah lawan Andika!”
Mendengar ucapan Ki Tunggaljiwa ini, Wasi Bagaspati tertawa dan
Tejolaksono bingung. Tangannya sudah melekat dan tenaga saktinya disedot
terus oleh kakek lawannya yang luar biasa itu. Bagaimana ia dapat
mundur? Melepaskan tangannya saja tidak mampu! Akan tetapi pada saat
itu, Ki Tunggaljiwa memegang pundaknya dan dari tangan kakek itu
menjalar hawa yang amat dingin yang menembus punggung berkumpul di
pusar, mendatangkan tenaga yang amat hebat.
Tejolaksono, seorang yang sakti mandraguna, tahu akan bantuan ini dan
cepat menyalurkan hawa itu ke arah lengannya dan... terdengar suara
seperti api disiram air dingin. Dari telapak tangan yang saling menempel
itu keluar asap dan sekali tarik, Tejolaksono berhasil melepaskan
tangannya. Ia tidak membuang waktu lagi dan cepat melompat mundur. Akan
tetapi karena ia lelah sekali, ia jatuh terduduk lalu bersila dan
mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
“Ha-ha-ha, bagus sekali, Tunggaljiwa! Memang bocah ini bukan lawanku.
Hayo engkau majulah. Engkau lawanku. Kita tua sama tua!” Wasi Bagaspati
menantang sambil membusungkan dadanya yang tipis. Ketika Tejolaksono dan
Ayu Candra memandang wajah kakek penyembah Bajhara Shiwa ini, mereka
bergidik dan menjadi gentar. Kini mengertilah Tejolaksono mengapa ia
tadi tidak berdaya sama sekali menghadapi kakek itu. Ia jauh kalah kuat
perbawanya. Sekarang pun memandang wajah kakek itu, ia seakan-akan
melihat wajah itu mengeluarkan cahaya mencorong yang membuat hatinya
gentar. Hebat bukan main Wasi Bagaspati ini.
Akan tetapi menghadapi Wasi Bagaspati yang brangasan dan tinggi hati
ini, Ki Tunggaljiwa tetap tenang dan penuh kesabaran. Ia agaknya tidak
memandang mata kepada Wasi Bagaspati yang menantangnya, sebaliknya ia
lalu menjura ke arah Biku Janapati dengan sikap menghormat. Pendeta
Buddha ini sejak tadi hanya menjadi penonton saja dan sedikitpun tidak
ada perubahan pada wajahnya yang amat tenang seperti air telaga yang
dalam.
“Aku tidak akan berdebat dengan orang yang telah dikuasai amarah.
Saudaraku Biku Janapati, bagaimana pendapat Andika? Apakah aku harus
melayani tantangan Wasi Bagaspati?”
Pendeta Buddha yang tak berambut itu menarik napas panjang. “Sadhu,
sadhu! Harus diakui bahwa dalam hal pengendalian perasaan, Andika lebih
menang setingkat dari pada Saudara Wasi Bagaspati, Ki Tunggaljiwa!
Memang tidak selayaknya orang-orang tua seperti kita berkelahi seperti
orang-orang muda! Bertempur bukanlah permainan para pertapa dan pendeta,
melainkan tugas para ksatria. Saudara Wasi Bagaspati, simpanlah kembali
aji-aji kesaktianmu. Biarlah kalau kelak terjadi keharusan pertempuran,
murid-murid kita yang akan mewakili kita.”
“Ha-ha-ha, engkau untung sekali, Ki Tunggaljiwa! Usiamu yang tinggal
sedikit diperpanjang beberapa tahun lagi. Kalau Biku Janapati tidak
membujukku, betapa-pun kau mengeluarkan seluruh keampuhanmu, pasti hari
ini engkau kukirim kembali ke alam asalmu!”
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan membungkuk. “Akupun amat berterima kasih
kepada Biku Janapati atas pengertiannya yang mendalam dan kepadamu yang
telah bersikap murah kepadaku, Wasi Bagaspati. Aku setuju dengan
pendapat Biku Janapati, biarlah kelak murid-murid kita yang akan
mewakili kita dan tentu saja biarlah kelak Sang Hyang Widhi Wisesa yang
akan menentukan. Becik ketitik ala ketara (yang baik tampak yang buruk
kelihatan)!”
“Berat..., berat...! Ki Tunggaljiwa seorang bijaksana dan sakti
mandraguna, sungguh merupakan lawan berat. Marilah, Wasi Bagaspati, kita
pergi. Selamat tinggal, Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Tri Ratna memberi
penerangan kepada Andika!”
“Doa restuku mengiringi perjalananmu, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati!”
Dua orang kakek itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja lenyap dari
tempat itu. Adipati Tejolaksono dan isterinya mengikuti bayangan mereka
dengan hati kagum dan gentar. Tejolaksono menghela napas panjang dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sungguh amat berbahaya... I” Ia bergidik kalau teringat pengalamannya
tadi. Semenjak muda ia sudah seringkali menghadapi lawan tangguh, akan
tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya menghadapi Wasi Bagaspati
yang dalam dua kali gebrakan saja hampir menewaskannya dalam keadaan
mengerikan, menyedot semua hawa sakti dari dalam tubuhnya
“Wasi Bagaspati belum seberapa, Angger adipati. Aku yang tua masih
sanggup menanggulanginya. Akan tetapi baiknya Biku Janapati
berpemandangan luas dan hatinya bersih. Kalau dia yang dimabuk nafsu
amarah seperti Wasi Bagaspati, tidak dapat aku membayangkan apa jadinya.
Ilmu kesaktian pendeta Buddha itu sedikitnya dua tingkat lebih tinggi
dari-pada tingkat Wasi Bagaspati!”
Adipati Tejolaksono melongo, kaget dan khawatir sekali. Kalau Panjalu
dan Jenggala diancam bahaya serangan orang-orang sesakti itu,
benar-benar amat mengkhawatirkan! Kemudian ia teringat bahwa kakek ini
masih eyang gurunya, maka ia segera memegang tangan isteri dan
puteranya, diajak menjatuhkan diri berlutut dan menyembah orang tua itu.
“Mohon Eyang mengampunkan hamba yang tidak tahu bahwa Eyang adalah Paman
guru Sang Prabu Airlangga dan Rakyana Patih Narotama. Ternyata Eyang
adalah Eyang guru hamba sendiri!”
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, kemudian iapun duduk
bersila seperti tadi. “Kalian duduklah baik-baik dan dengarkan aku
bicara,” katanya. Sikapnya tak pernah berubah, tetap tenang dan kini
matahari yang telah naik tinggi menyoroti rambutnya yang putih seperti
perak sehingga berkilauan menambah keagungannya.
“Kiranya Hyang Widhi telah membuka rahasia dengan kunjungan dua orang
pendeta tadi. Angger adipati, setelah Andika menyaksikan dan
mendengarkan semua, apakah Andika berdua isteri masih ragu-ragu untuk
menyerahkan pendidikan puteramu kepadaku? Ketahuilah bahwa menurut
penglihatanku, hanya puteramu ini yang kelak akan sanggup menyelamatkan
Panjalu, dan terutama sekali menyelamatkan kewibawaan dan kebesaran Sang
Hyang Wishnu. Kalian tadi telah menyaksikan sendiri betapa saktinya
pihak lawan.”
Suami isteri itu saling berpandangan dengan pucat. Betapa pun berat rasa
hati mereka harus berpisah dari Bagus Seta, namun mereka dapat melihat
kebenaran kata-kata kakek itu.
Musuh yang mengancam negara amat sakti dan kalau tidak ada yang
menanggulanginya, akan berbahaya sekali. Mereka amat mencinta putera
tunggal mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang
berpemandangan picik dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dari
sepasang mata Ayu Candra bertitik dua air mata, akan tetapi Tejolaksono
makium dari pandang mata isterinya bahwa isterinya sudah merelakan
puteranya. Maka ia lalu berkata,
“Setelah melihat keadaan dan menginsyafi dasar pengangkatan anak kami
sebagai murid Eyang guru, hamba hanya pasrah kepada kebijaksanaan Eyang.
Semoga saja Bagus Seta kelak tidak akan mengecewakan mengemban tugas
yang maha berat itu.”
Ki Tunggaljiwa tertawa.
“Bagus sekali kalau kalian berdua sudah rela, Angger. Aku hanya
mempunyai kesempatan selama lima tahun dan semoga dalam waktu itu, Sang
Hyang Wishnu akan memberi bimbingan kepada puteramu sehingga berhasil
dalam mengejar ilmu. Ketahuilah, dua orang pendeta tadi memiliki
kesaktian yang amat tinggi. Dalam hal ilmu, kiranya engkau sendiri tidak
akan kalah banyak oleh mereka, akan tetapi dalam hal kekuatan batin,
ah, mereka itu sukar dilawan dan dikalahkan. Mereka sudah matang dalam
gemblengan tapa dan mantra. Andai kata tadi engkau menggunakan Aji
Triwikrama, agaknya tidaklah begitu terpengaruh oleh perbawanya yang
amat kuat, namun betapa pun juga, tidak akan mudah mengalahkan Wasi
Bagaspati, apa lagi Biku Janapati. Nah, sekarang harap Andika berdua
pulang ke Kadipaten Selopenangkep. Masih ada hal yang harus kauhadapi
Angger, namun betapa pun berat, harus banyak hal yang harus kauhadapi,
Angger adipati. Namun, betapa pun berat, harus dapat kauhadapi dengan
tabah karena segala macam hal yang menimpa diri manusia telah ditentukan
oleh Hyang Widhi, sesuai dengan karma dan sesuai pula dengan
perbuatan-perbuatan manusia sendiri, sehingga segala hal itu amatlah
adil dan wajar. Segala hal yang terjadi pada diri manusia adalah akibat,
dan mencari sebab dari luar adalah perbuatan bodoh, Angger, karena
sebab-sebabnya adalah perbuatan dan pakarti kita sent diri.”
Berdebar jantung Tejolaksono. Teringatlah ia akan semua perbuatannya
selama ini. Diawali dengan perburuan di hutan dan pembunuhan anak
harimau, pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa. Kemudian teringat ia akan
pengalamannya dengan Endang Patibroto yang belum sempat ia ceritakan
kepada Ayu Candra.
Teringat akan ini semua, ia menundukkan mukanya, menduga-duga apa
gerangan yang akan menjadi akibat dari pada semua perbuatannya itu. Dan
adipati yang arif bijaksana dan sakti mandraguna ini mengkirik, ngeri ia
melihat kenyataan semua perbuatannya itu. Ah, betapa lemahnya manusia.
Betapa manusia diombang-ambingkan oleh nafsunya sendiri sehingga
terbentuklah sebab-sebab yang akan menelurkan akibat-akibat yang di
kemudian hari tidak akan diakui sebagai akibat perbuatannya sendiri,
lalu menimbulkan sengsara! Tiba-tiba sang adipati merasa nelangsa
batinnya dan ia lalu bersembah sungkem di depan Ki Tunggaljiwa dan
berkata, suaranya menggetar penuh perasaan haru,
“Duhai, Eyang... hamba mohon petunjuk untuk menggayuh (menjangkau) kesempurnaan, Eyang.”
Kakek itu tertawa, suara ketawanya ramah dan lunak.
“Ha-ha-ha-ha, Angger Adipati Tejolaksono. Kata-katamu amatlah lucu.
Kesempurnaan apakah yang dapat dijangkau, Angger? Dan mengapa mencari
kesempurnaan? Lihatlah dirimu sendiri, telitilah sedalam-dalamnya,
lihatlah baik-baik segala warna-warni dan bentuk-bentuk, dengarlah
segala suara, ciumlah segala ganda (bau), adakah sesuatu di dunia ini
yang kurang atau belum sempurna? Segala sesuatu ciptaan Hyang Widhi
Wisesa adalah sempurna, Angger, termasuk jasmani dan rohani kita manusia
adalah sempurna. Sempurna, bersih dan suci. Yang menjadi persoalan
hanyalah betapa cara menjaga kebersihan itu, mempertahankan kesucian
itu. Jadi persoalannya hanyalah usaha, ikhtiar yang berupa laku-lampah
dan karya kita. Segala perbuatan dan ucapan kita haruslah sesuai dengan
isi hati dan pikiran sehingga tidak ada perbedaan antara lahir dan
batin, atau jelasnya, perbuatan kita adalah pencerminan dari pada isi
hati kita. Perbuatan yang sesuai lahir batin inilah, Angger, yang akan
menentukan akibat-akibat di belakang hari dalam kehidupan kita.”
“Perbuatan yang bagaimanakah, Eyang? Mohon petunjuk.”
“Tengoklah sekeliling kita, Angger. Adakah sebuah bendapun yang tiada
guianya bagi. kita? Semua berguna, semua demi kenikmatan hidup kita.
Demikianlah sifat Hyang Widhi Wisesa, sekalian isi alam diberikan kepada
manusia. Memberi, memberi, dan member!, tanpa pamrih! Tidak pernah
meminta, tidak pernah menuntut, berkah dan anugerah berlimpah-limpah
dalam pemberian yang ikhlas tanpa pamrih. Tidak pilih kasih! Lihat
cahaya matahari. Siapa pun adanya dia, bodoh atau pintar, kaya atau
miskin, boleh menikmatinya. Pendeknya, seluruh ciptaan Hyang Widhi
Wisesa diberikan kepada siapa saja yang mau dan dapat menikmatinya!
Lalu, apakah balas jasa manusia terhadap semua berkah yang tak kunjung
habis itu? Apakah yang telah diberikan oleh manusia? Janganlah hanya
pandai meminta, meminta, dan meminta lagi! Kita harus meniru sifat yang
amat indah itu, ialah memberi, memberi, dan memberi tanpa pamrih!
Melakukan kewajiban sebagai manusia tanpa pamrih, berarti membantu
kelancaran perputaran roda kesempurnaan yang diciptakan Hyang Widhi
Wisesa.”
“Kewajiban dan perbuatan yang bagaimanakah kiranya, Eyang? Maafkan,
Eyang, sungguh pun sudah banyak hamba dengar dari para guru, namun
petunjuk Eyang akan menjadi penambah sinar terang dalam jalan hidup
hamba.”
Ki Tunggaljiwa tersenyum.
“Memang, manusia harus senantiasa belajar, dan biarlah semua wawasanku
ini tidak akan sia-sia. Terutama sekali kutujukan kepada muridku, Bagus
Seta karena wawasan ini pun merupakan pelajaran baginya.”
Bagus Seta yang tadi berada dalam pelukan ibunya, kini duduk bersila dan mendengarkan penuh perhatian.
“Semua sikap dalam hidup sudah digambarkan secara jelas dalam Bhagawad
Gita ketika Sang Hyang Wishnu dalam diri Sang Bhatara Kresna memberi
wejangan kepada Sang Harjuna. Akan tetapi sebagai dasar permulaan, aku
mempunyai dua macam pelajaran yang amat mudah dan sederhana, mudah
dimengerti sungguh pun belum tentu mudah dijalankan. Pertama: JANGAN
MENYUSAHKAN HATI ORANG LAIN! Pelajaran pertama ini amat luasnya, Angger
dan jangan mengira akan mudah saja dilaksanakan. Karena, jika pelajaran
pertama ini sudah mendarah daging pada diri kita, maka kita tidak
melakukan segala macam perbuatan jahat yang merugikan atau menyinggung
perasaan, pendeknya merugikan lain orang. Nah, kalau pelajaran pertama
ini sudah benar-benar menjadi watak, mulailah kita meningkat kepada
pelajaran ke dua, yaitu: SENANGKANLAH HATI ORANG LAIN! Senangkanlah hati
orang lain sesering dan sebanyak mungkin karena sifat ini sesuai dengan
semua ciptaan Sang Hyang Widhi yang serba sempurna. Hidup adalah suatu
berkah dan nikmat, maka harus dinikmati bersama dengan landasan kasih
sayang antar manusia yang sesungguhnya adalah senasib di dalam dunia
ini.”
Tejolaksono mendengarkan penuh perhatian. Filsafat yang keluar dari
mulut kakek itu amatlah sederhana, namun apa bila benar-benar dijalankan
manusia, kiranya tidak ada perlunya lagi manusia mengejar-ngejar
kesempurnaan seperti banyak dilakukan orang sehingga sesat ke mana-mana.
Cara hidup baik yang sesungguhnya amat sederhana dan mudah itu menjadi
sulit dan membingungkan karena dituangkan dalam wejangan-wejangan dan
pelajaran-pelajaran yang rumit-rumit dan sukar dimengerti.
Setelah menerima banyak wejangan tentang sifat-sifat ksatria dan tentang
pembelaan keadilan dan kebenaran, Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra
berpamit kembali ke Selopenangkep. Ayu Candra dapat menekan keharuan
hatinya, hanya memeluk dan mencium pipi puteranya sambil berbisik, “Yang
baik-baik dan rajin engkau belajar di sini, Anakku!”
“Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya tidak akan mengecewakan hati Kanjeng
Rama Ibu dan Bapa guru,” jawab Bagus Seta dengan tabah. Ada keharuan
membayang di pandang mata anak itu, akan tetapi wajahnya tetap berseri
dan hal ini menjadi tanda bahwa anak ini sudah mulai pandai menguasai
perasaannya. Melihat ini, kembali Tejolaksono menjadi kagum. Dalam waktu
dua bulan lewat saja sudah tampak perubahan besar pada diri puteranya,
kemajuan yang kiranya belum tentu dapat dicapai puteranya itu selama
setahun dalam gemblengannya. Ia maklum bahwa mengenai kekuatan batin, Ki
Tunggaljiwa sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga ia percaya
bahwa puteranya tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang takkan pernah
dapat ia ajarkan kepada puteranya itu. Hatinya menjadi lega dan gembira,
dan sedikitpun pada wajahnya tidak tampak kedukaan seperti terdapat
pada wajah isterinya ketika mereka berdua menuruni lereng Gunung
Merapi…..
********************
Setelah suami isteri itu turun dari puncak Gunung Merapi, barulah
Adipati Tejolaksono mendapat waktu dan kesempatan untuk menceritakan
pengalamannya yang hebat di Blambangan. Ia menceritakan segala yang
dialami Endang Patibroto, tentang tipu muslihat Blambangan dan tentang
pengalamannya bersama Endang Patibroto yang terjeblos ke dalam
perangkap, dalam sumur yang hampir saja menewaskan mereka berdua.
Akhirnya ia menceritakan pula apa yang terjadi di dalam ruangan di bawah
tanah itu, betapa dalam menghadapi kematian yang agaknya tak dapat
dielakkan lagi, dia dan Endang Patibroto telah terangkap menjadi suami
isteri.
Mula-mula mendengar cerita suaminya, Ayu Candra menjadi terharu sekali
dan merasa amat kasihan kepada Endang Patibroto yang bernasib malang.
lapun menjadi ikut gelisah dan tegang ketika mendengar cerita betapa
suaminya bersama Endang Patibroto menghadapi lawan yang amat banyak,
kemudian terjeblos ke dalam lubang jebakan menderita ancaman maut yang
mengerikan. Ketika mendengar penuturan suaminya dengan suara
tersendat-sendat tentang hubungan suaminya dengan Endang Patibroto
sebagai suami isteri, wajah Ayu Candra menjadi pucat sekali dan sejenak
suasana menjadi sunyi. Hanya langkah-langkah kaki mereka saja yang
terdengar dan kini langkah Ayu Candra agak lemas.
Tejolaksono memegang tangan isterinya dan berdiri berhadapan di sebuah lereng.
“Nimas, aku harap Adlnda tidak akan menjadi marah. Percayalah, Nimas,
bahwa hal ini terjadi di waktu kami menghadapi maut yang kami anggap tak
dapat dihindarkan lagi sehingga pikiran kami menjadi gelap. Andai kata
tidak dalam keadaan seperti itu, aku yakin hal itu tidak akan terjadi.
Adinda tentu tahu bahwa kalaupun aku berhasrat mengambil selir, tentu
dengan persetujuanmu lebih dahulu. Maka, harap Adinda tidak marah dan
kalau hal ini menyinggung perasaanmu harap kau suka memaafkan kami...”
Kini Ayu Candra tersenyum, wajahnya berseri dan ia membenamkan mukanya di dada suaminya.....
Komentar
Posting Komentar