PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-20
Alangkah girang dan besar hati Tejolaksono. Ia maklum akan kehalusan
budi Ayu Candra. Ia lalu memegang wajah isterinya di antara kedua
tangan, diangkatnya muka yang cantik jelita itu sehingga muka mereka
berhadapan, mata mereka saling tatap. Tejolaksono melihat betapa pandang
mata isterinya benar-benar tutus ikhlas, tidak ada sedikitpun bayangan
amarah atau cemburu. Ia amat bersyukur dan berterima kasih maka
diciumnya mata yang indah itu. Ayu Candra meramkan matanya dan merangkul
leher suaminya yang amat dikasihinya.
Ketika suami isteri ini tiba kembali di Kadipaten Selopenangkep, mereka
disambut oleh Roro Luhito dan puterinya, Pusporini, kemudian puteri
Kartikosari yang bernama Setyaningsih, dan seorang lagi yang amat
mengejutkan dan menggirangkan hati suami isteri itu, yakni Endang
Patibroto!
Melihat Endang Patibroto, Ayu Candra lalu maju dan merangkulnya.
“Adikku wong ayu, Endang Patibroto..., aku sudah mendengar semua tentang
dirimu. Ahhh, betapa banyak kesengsaraan kau derita, Adikku. Biarlah
mulai sekarang kita bersama menikmati kebahagiaan, dan aku sungguh
girang dapat memelukku seperti seorang kakak, Adikku.”
Endang Patibroto sekilas mengerling kepada Tejolaksono yang tersenyum
kepadanya, maka mengertilah wanita ini bahwa Tejolaksono telah membuka
rahasia mereka kepada Ayu Candra. Hal ini amat menggelisahkan hatinya
tadi, menjadi ganjalan karena ia merasa malu kepada Ayu Candra dan
selalu mengkhawatirkan pertemuan ini. Apa lagi ketika ia tiba di
Selopenangkep dan mendengar tentang tewasnya ibu kandungnya, hatinya
makin trenyuh dan gelisah.
Akan tetapi setelah kini bertemu, sikap Ayu Candra benar-benar tak
pernah ia sangka-sangka dan hatinya menjadi lega dan terharu sekali.
Wanita ini telah ia bunuh ayah ibunya (baca Badai Laut Selatan), dan
kini bahkan seakan-akan ia “curi” suaminya, akan tetapi menerimanya
seramah ini. Ia balas merangkul dan per-kata lirih,... terima kasih...,
engkau baik sekali... sudi menerima orang yang buruk watak dan buruk
nasib seperti aku... biarlah mulai saat ini aku mengaku ayunda
kepadamu... dan aku akan mentaatimu seperti mentaati kakak sendiri...”
Melihat betapa dua orang wanita itu berpelukan terharu, Roro Luhito
mengerutkan keningnya. Wanita inI tahu benar akan watak Endang
Patibroto, dan sudah mengenal pula watak Ayu Candra. Sifat dan watak
kedua orang wanita ini bagaikan bumi dan langit. Endang Patibroto liar
dan keras, berdarah panas dan tidak punya rasa rendah hati sama sekali,
sukar ditundukkan. Adapun Ayu Candra lemah lembut dan manja atau ingin
dimanjakan suaminya. Betapa mungkin dua orang wanita ini menjadi madu?
Dia tadi kaget bukan main mendengar percakapan dua orang wanita ini
karena semenjak datang ke Selopenangkep pagi tad!, Endang Patibroto
tidak pernah bercerita tentang itu.
“Anaknda adipati, harap ceritakan bagaimana dengan hasil usaha kalian mencari Bagus Seta. Mana dia? Mengapa tidak ikut pulang?”
Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara keras untuk menutupi
ketidaksenangan hatinya melihat Endang Patibroto dan Ayu Candra
berpelukan sebagai madu. Roro Luhito sama sekali bukan tidak setuju
kalau Adipati Tejolaksono mernpunyai selir. Dia sendiri adalah isteri ke
dua, isteri selir. Akan tetapi karena persatuan antara Endang Patibroto
dan Ayu Candra, menurut pemandangannya, dapat menimbulkan hal-hal yang
tidak baik dan ada bahaya meruntuhkan kebahagiaan rumah tangga
Tejolaksono, maka ia merasa tidak setuju di dalam hatinya. Tentu saja
bagi Roro Luhito, yang terpenting adalah kebahagiaan Tejolaksono karena
adipati ini adalah keponakannya, putera dari kakaknya,
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra menceritakan tentang keadaan Bagus
Seta yang dalam keadaan selamat dan menjadi murid kakek sakti Ki
Tunggaljiwa, Roro Luhito menjadi lega hatinya. Sebagai orang tua, ia
maklum bahwa pada saat itu merupakan pertemuan segi tiga yang mesra
antara Tejolaksono dan kedua orang isterinya, maka ia lalu menggandeng
tangan Pusporini dan Setyaningsih sambil berkata,
“Anaknda adipati tentu lelah dan ingin beristirahat. Marilah, kedua anakku, kita ke belakang.”
Setyaningsih yang digandeng Roro Luhito, beberapa kali menengok ke arah
Endang Patibroto. Semenjak Endang Patibroto datang pagi tadi, anak ini
selaIu memandang kakaknya itu dengan pandang mata kagum dan penuh kasih.
Sudah banyak ia mendengar dari mendiang ibunya tentang kakaknya ini
yang menurut ibunya amat sakti mandraguna. Kini setelah ibunya meninggal
dunia, munculnya kakaknya ini seakan-akan menjadi pengganti ibunya.
Sebaliknya, Endang Patibroto juga amat mencinta adik kandungnya ini.
Adipati Tejolaksono yang bercakap-cakap dengan kedua isterinya, agaknya
penuh dengan kebahagiaan dan suasana tenteram damai penuh kasih
menyelimutl mereka bertiga. Agaknya kekhawatiran Roro Luhito adalah
kekhawatiran kosong belaka. Ayu Candra telah rela dan ikhlas terhadap
Endang Patibroto, demi cinta kasihnya yang murni terhadap suaminya.
Bahkan malam hari itu, sebagai isteri pertama yang bijaksana, Ayu Candra
membujuk suaminya agar menemani Endang Patibroto di dalam kamarnya.
Sukar dilukiskan betapa besar kebahagiaan hati Tejolaksono dan Endang
Patibroto yang melihat bahwa hubungan mereka dapat perlangsung dengan
amat baiknya, tiada halangan sesuatu. Dan dalam pertemuan yang mesra itu
Endang Patibroto menceritakan tentang perang yang dilakukan Jenggala
dan Panjalu terhadap Kadipaten Blambangan. Kedua kerajaan ini mengirim
pasukan besar. Bahkan Panjalu mengirim pasukan istimewa yang dipimpin
sendiri oleh Pangeran Darmokusumo dan setelah kedua pasukan ini
menggabung, penyerbuan Blambangan dimulai.
Blambangan dilanda serbuan besar-besaran dan biar pun Blambangan
melakukan perlawanan mati-matian, namun kadipaten ini bukanlah lawan
pasukan kedua kerajaan yang dipimpin orang-orang pandai. Apa lagi ada
Endang Patibroto di dalam pasukan itu yang mengamuk hebat dan banyak
senopati Blambangan roboh di dalam tangan wanita sakti ini. Dalam waktu
beberapa hari saja pertahanan Blambangan dapat dipatahkan, kadipaten
diserbu, dan Adipati Menak Linggo tewas pula di tangan Endang Patibroto.
Juga Ki Patih Kalanarmodo dan Senonatl Mayangkurdo, Klabangkoro dan
Klabangmuko semua tewas dalam perang yang pendek namun dahsyat.
Hanya Sindupati yang dapat melarikan diri, berhasil menyelamatkan diri
dengan sebuah perahu menyebrang selat dan bersembunyi di Bali-dwipa,
dimana ia mencari orang-orang pandai untuk memperdalam ilmunya sambil
bersembunyi dari pengejaran musuh.
“SETELAH Blambangan terbasmi, aku meninggalkan pasukan dan berpamit dari
Pangeran Darmokusumo untuk pergi lebih dulu karena kuanggap tugasku
sudah selesai. Hanya sayang sekali, si keparat Sindupati dapat
meloloskan diri, agaknya ia melarikan diri ke Bali-dwipa, akan tetapi
aku tidak sempat mengejarnya, Kakangmas. Karena... karena... aku ingin
sekali segera menyusulmu ke Selopenangkep.”
Adipati Tejolaksono tertawa dan mencium isterinya ini yang bercerita sambil rebah dalam pelukannya.
“Mati hidup berada di tangan Hyang Widhi, adinda Endang Patibroto.
Agaknya memang belum tiba saatnya Sindupati menerima hukumannya. Memang
tepat sekali adinda cepat-cepat datang ke Selopenangkep karena...
hemm... aku telah rindu sekall...”
Sejenak sunyi di antara mereka karena Endang Patibroto terbuai dalam
belaian suaminya yang mesra dan penuh kasih sayang. Kemudian terdengar
ia berkata,
“...Kakangmas, sesungguhnya... baru berpisah hampir dua bulan bagiku...
pun amat berat. Akan tetapi... ah, terus terang saja, Kakangmas. Sebelum
bertemu dengan engkau dan... ayunda Ayu Candra, hatiku amat gelisah dan
khawatir. Aku telah banyak melakukan kisalahap dahulu terhadap ayunda
Ayu Candra, dan tadinya aku takut untuk bertemu muka, takut untuk
mengakui hubungan antara kita, takut dan malu. Tadinya aku bahkan hendak
diam-diam pergi minggat saja, biar aku hidup sebagai pertapa, biar
selamanya tidak bertemu dengan ayunda Ayu Candra, betapa pun akan
beratnya penanggulangan hatiku yang penuh dendam rindu kepadamu,
tapi...”
Adipati Tejolaksono menghentikan kata-kata isterinya dengan ciuman.
Kemudian ia tertawa. “Cukuplah, Yayi, tidak perlu dilanjutkan
persangkaan yang bukan-bukan itu, karena buktinya sekarang tidak seperti
yang kau khawatirkan, bukan?”
Endang Patibroto menarik napas panjang dengan hati lapang.
“Memang, dan aku bersyukur kepada Dewata, berterima kasih kepada ayunda
Ayu Candra yang bijaksana dan berbudi luhur. Sesungguhnya, akan
kelirulah kalau aku menuruti kata hati lalu minggat meninggalkanmu untuk
selamanya seperti yang tadinya terniat di hatiku. Aduhh... betapa akan
sengsaranya hatiku kalau begitu. Untung..., untung sekali ada sesuatu
yang memaksa aku harus bertemu dengan engkau, Kakangmas. Yang memaksakan
datang ke Selopenangkep dan yang mencegah aku pergi minggat
mengasingkan diri.”
Adipati Tejolaksono menunda belaian kasih sayangnya dan menatap wajah dalam rangkulannya, memandang penuh pertanyaan.
“Apakah sesuatu itu, Yayi?”
Tiba-tiba ia melihat air mata berlinangan di mata yang indah itu. Endang
Patibroto menangis! Akan tetapi bukan tangis karena duka, buktinya
bibir yang merah membasah itu tersenyum! Segera Tejolaksono mengecup
sepasang mata itu untuk menghapus beberapa titik air mata bening yang
turun ke pipi. Kedua lengan Endang Patibroto merangkul lehernya dengan
ketat dan mulutnya berbisik dekat telinga Tejolaksono,
“Kakangmas... Joko Wandiro...”
Suaranya menggetar penuh perasaan dan jantung Tejolaksono berdebar pula mendengar disebutnya nama kecilnya.
“...aku... aku telah mengandung..., semenjak kita berpisah dari
Blambangan...“ Dan kini air mata makin deras berlinang dari sepasang
mata itu. Air mata kebahagiaan! Selama sepuluh tahun menjadi isteri
Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto tidak mempunyai anak dan kini ia
telah mengandung keturunan Joko Wandiro, pria yang dahulu untuk pertama
kalinya telah merebut kasih hatinya namun bertentangan karena keadaan.
“Heeeiiii...?” Saking kaget dan girangnya, Adipati Tejolaksono melompat
turun dari pembaringan, memandang kepada Endang Patibroto dengan mata
terbelalak.
“Ti... tidak girangkah... hatimu... mendengar hal itu..., Kakanda...?”
“Girang? Ha-ha-ha-ha! Hampir gila aku karena girang! Aduh, adinda pujaan
hati, kekasih hatiku, engkau masih bertanya apakah aku girang...?
Ha-ha-ha!” Adipati Tejolaksono merangkul dan mengangkat tubuh isterinya,
dipondong dan dibawa berjingkrakan dan berputaran di dalam kamar
mereka!
Malam penuh madu asmara, penuh kebahagiaan bagi kedua orang ini. Malam
yang indah di mana seluruh perasaan cinta kasih ditumpahkan dan saling
dilimpahkan satu kepada yang lain. Malam bahagia yang agaknya menyangkal
kekhawatiran hati Roro Luhito.
Dan agaknya memang demikianlah kalau ditengok keadaan Ayu Candra yang
rebah sendirian di dalam kamarnya, kadang-kadang tersenyum puas karena
selain puteranya selamat dan menjadi murid seorang sakti, suaminya telah
berkumpul kembali dengan kekasih lama. Sebagai seorang wanita, ia
berperasaan halus dan sejak dahulupun ia sudah menduga bahwa ada jalinan
kasih yang terpendam di antara suaminya dan Endang Patibroto. Kini
agaknya Endang Patibroto sudah insyaf, sudah merubah wataknya yang liar
dan ia merasa puas. Malam itu, biar pun tidur sendirian di dalam
kamarnya, Ayu Candra tidur pulas tanpa mimpi.
Akan tetapi, jalan hidup manusia sudah ada garisnya yang ditentukan oleh
Tuhan. Garis ini wajar dan sudah semestlnya terjadi demikian, sudah
adil dan baik, sesuai dengan karma manusia masing-masing. Berat atau
ringan, duka atau suka dalam menerima garis ini tergantung kepada
manusia sendiri. Manusia tak mampu merubahnya.
Manusia hanya wajib mengisi hidupnya dengan kebaikan karena hanya dengan
cara ini sajalah, dengan menumpuk kebaikan dan menjauhi kejahatan,
manusia akan dapat “meluruskan” garis hidupnya di kemudian hari karena
Tuhan itu Maha Adil. Dosa-dosa yang lalu hanya dapat ditebus dengan rasa
tobat yang setulusnya disertai pemupukan perbuatan-perbuatan yang baik
dan penerimaan hukuman dengan ikhlas dan sadar. Perbuatan-perbuatan baik
barulah benar kalau dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan anugerah
atau hadiah!
Kekhawatiran Roro Luhito bukanlah kekhawatiran dungu, bukan ditimbulkan
karena hati iri atau dengki, bukan pula oleh benci atau marah. Roro
Luhito seorang wanita yang sudah tua, sudah banyak makan garam dunia,
sudah berpengalaman dan wawasannya juga tajam berdasarkan pandangan
luas.
Pada malam berikutnya, terbuktilah apa yang dikhawatirkan oleh Roro
Luhito. Adipati Tejolaksono, sebagai seorang suami bijaksana, sungguh
pun dendam rindunya terhadap Endang Patibroto masih menggelora, pada
malam ke dua itu berdlam di dalam kamar Ayu Candra. Seperti biasa, suami
isteri yang saling mencinta ini berkasih-kasihan, berbisik-bisik di
atas pembaringan dan dalam kesempatan ini, Tejolaksono menceritakan
isterinya tentang Endang Patibroto yang telah mengandung!
“Kiranya Hyang Widhi Wisesa juga memberkahi perjodohanku dengan Endang
Patibroto, nimas Ayu. Buktinya, ikatan jodoh yang kami laksanakan di
dalam ruangan bawah tanah dalam menghadapi maut itu ternyata dianugerahi
dewata dan dia kini telah mengandung dua bulanl” Untuk menjaga perasaan
isterinya pertama ini, sang adipati menekan kegirangan hatinya, namun
dalam suaranya masih jelas terdengar kegirangan yang meluap-luap. Ayu
Candra mula-mula tersenyum dan ikut merasa bahagia. Akan tetapi, ketika
suaminya hampir pulas, Ia tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan
menangislah Ayu Candra!
Sebagai seorang sakti mandraguna yang memiliki tubuh selalu dalam
keadaan siap siaga, sedikit saja keadaan tidak wajar telah membuat
Adipati Tejolaksono lenyap kantuknya dan ia bangklt duduk. Dlpandangnya
isterinya dan la bertanya Iirih dan halus,
“Yayi dewi... mengapa kau menangis? Apakah yang menyusahkan hatimu?”
Pertanyaan ini membuat Ayu Candra makin sedih dan menangis sampai
mengguguk, menyembunyikan mukanya di atas bantal. Setelah dua tiga kali
suaminya bertanya, barulah ia menjawab dengan suara tersendat-sendat,
“Aku... aku teringat akan Bagus Seta...!,
“Aaah, mengapa, Yayi? Bukankah putera kita itu sudah aman tenteram di
bawah bimbingan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa? Bayangkan betapa kelak ia
akan pulang sebagai seorang ksatria yang gagah perkasa dan...!”
“Kakangmas... aku... besok akan pergi menyusulnya di puncak Merapi...!”
“Ehhhh...?” Tejolaksono terkejut dan memegang kedua pundak isterinya,
dibangunkannya isterinya itu duduk di depannya. Rambut yang terurai itu
menutupi sebagian muka Ayu Candra. “Kenapa begitu, Nimas?”
“Aku... aku tidak dapat berpisah darinya... aku akan menjaga dan
menemaninya di sana sampai ia lulus dari perguruan di sana... aku...
aku...” Ayu Candra terisak-isak.
Tejolaksono menarik napas panjang, bingung dan tidak mengerti. “Nimas
Ayu, engkau tentu maklum bahwa aku sendiri-pun merasa berat berpisah
dari Bagus Seta, akan tetapi... kita sudah melihat peristiwa yang
terjadi di sana dan sudah mendengar semua penuturan Eyang Guru Ki
Tunggaljiwa. Betapa pun berat rasa hatiku berpisah dari putera kita,
terpaksa kutahankan karena...”
“Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain, Kakangmas!
Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang
selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku... aku tidak punya
siapa-siapa...”
Diam-diam Tejolaksono tersentak kaget. Jantungnya berdebar dan ia maklum
bahwa inilah sebuah di antara akibat dari pada perbuatannya! “Aduh,
nimas Ayu... mengapa engkau berpendapat begitu? Ingatlah, Nimas... anak
Endang Patibroto adalah anakku, dan anakku berarti anakmu pula,
bukan?Ahhh, apakah akan jadinya kalau engkau pergi menyusul Bagus Seta?
Hal ini tidak mungkin, tidak boleh kaulakukan, Nimas. Engkau tahu bahwa
kalau hal itu kaulakukan, berarti engkau akan menghancurkan hatiku...
betapa engkau tega melakukan hal seperti itu...”
Ayu Candra mengangkat mukanya memandang wajah suaminya. Melihat betapa
sepasang alis suaminya berkerut, sepasang mata itu sayu dan sedih, ia
lalu menubruk, merangkul dan membenamkan muka di dada suaminya. “Duh...
Kakangmas... ampunkan hamba... ampunkan hamba yang picik dan lemah...
Kakangmas, legakan hatimu, aku... aku takkan melakukan hal itu... betapa
pun berat rasa hatiku, akan kukuat-kuatkan...”
Rasa hati Tejolaksono seperti disiram air embun di puncak Semeru. Batu
seberat gunung yang menindih hati serasa diangkat. Lapang bukan main
rasa dadanya. Diciumnya ubun-ubun kepala Isterinya dengan sepenuh kasih
sayangnya dan ia berbisik, “Aku tahu... aku tidak pernah meragukanmu,
Yayi... aku tahu bahwa engkau adalah isteriku yang tercinta, seorang
isteri yang setia dan bijaksana...”
Agaknya urusan itu akan menjadi beres kembali dan hanya sampai sekian
saja karena Ayu Candra sudah kelihatan tenang kembali dan hati
Tejolaksono sudah menjadi lega dan girang. Akan tetapi sang adipati ini
tidak melihat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar kamarnya. Kalau
saja ia tahu, tentu ia tidak akan dapat begitu bahagia memadu kasih
dengan Ayu Candra.
Dengan gerakan yang amat ringan, Endang Patibroto meninggalkan jendela
kamar Ayu Candra. Ia menahan suara isak tangisnya dengan kedua tangan
yang didekapkan rapat-rapat ke depan mulut dan hidung, kemudian setelah
agak jauh, ia lari memasuki taman yang gelap dan sunyi. Ia tidak berani
kembali ke kamarnya, karena khawatir kalau-kalau suara tangisnya
terdengar oleh bibi Roro Luhito.
Kini ia berada di taman sari yang sunyi dan gelap dan di sinilah, di
atas sebuah bangku di bawah pohon kenanga, Endang Patibroto menangis
mengguguk. Dengan kekerasan hatinya ditahannya tangis Itu, dan kini ia
hanya terisak-isak dan duduk melamun. Percakapan antara Tejolaksono dan
Ayu Candra masih terngiang-ngiang di telinganya dan jantungnya serasa
ditusuk-tusuk.
Apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi! Ayu Candra tidak rela ia
menjadi isteri Tejolaksono, tidak rela ia berada di situ! Memang tidak
terang-terangan menyatakan ketidakrelaannya, akan tetapi sama saja
artinya. Masih terngiang dalam telinganya ucapan Ayu Candra sambil
menangis tadi.
“Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain! Engkau dan
diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat
dengan kalian, akan tetapi aku... aku tidak punya siapa-siapa...”
Ayu Candra bahkan rela hendak meninggalkan kadipaten! Ah, betapa mungkin
ia mendesak kedudukan Ayu Candra seperti ini? Dahulu ia sudah melakukan
banyak hal yang menyakitkan hati Ayu Candra. Membunuh ayah kandung dan
ibu tirinya, bahkan hendak membunuh Ayu Candra. Dan sekarang, ia
merampas suaminya dan hendak merebut pula kedudukannya? Tidak! Sampai
matipun tidak sudi ia melakukan hal tak tahu malu ini! Dialah yang harus
pergi dari situ! Memang sejak semula ia sudah ingin pergi, akan
tetapi... cinta kasihnya terhadap Joko Wandiro demikian besar... ingin
ia selalu berdampingan, dan karena kandungannya, ia tak ingin berpisah
lagi dari suaminya itu, ayah dari anak dalam kandungannya.
Akan tetapi sekarang jelas baginya bahwa tidak mungkin terlaksana
keinginan hatinya itu. Ayu Candra hanya di lahirnya saja mau menerimanya
dengan rela, akan tetapi batinnya menolak dan membencinya!
Dan Adipati Tejolaksono amat mencinta Ayu Candra! Dia tidak sudi kalau
harus memperebutkan cinta! Dia tidak sudi kalau harus tunduk,
memperlihatkan kelemahan hatinya. Tidak, hidup seperti itu akan
membuatnya sengsara dan sewaktu-waktu ia tentu takkan dapat
mengendalikan hatinya lagi dan mungkin timbul keributan kalau ia sampai
bertentangan dengan madunya. Ia tidak ingin menimbulkan ribut dan dosa
lagi. Ia akan pergi mengasingkan diri, mencari tempat sunyi.
Biar pun hatinya mengambil keputusan demikian, namun Endang Patibroto
merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk yang membuatnya menangis
tersedu-sedu lagi. Teringat ia akan Tejolaksono, terbayang ia akan
segala kemesraan yang dinikmatinya malam tadi. Ia tahu bahwa
sesungguhnya pria inilah yang ia idam-idamkan semenjak dahulu. Dan
sekarang, setelah menjadi miliknya, harus ia lepaskan lagi!.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya diikuti suara yang halus pula, menggetar penuh keharuan,
“Ayunda... mengapa ayunda menangis...?”
Mendengar suara adik kandungnya ini, makin sedih hati Endang Patibroto.
Ia meraih Setyaningsih, merangkul dan mendekapnya sambil menangis makin
sesenggukan. Setyaningsih biar pun baru berusia sebelas tahun, akan
tetapi anak ini mewarisi watak ayahnya, yaitu mendiang Pujo, satria yang
sakti mandraguna, bijaksana, berpandangan luas dan bersikap tenang.
Setyaningsih biar pun saudara sekandung Endang Patibroto, namun wataknya
jauh berbeda. Tidak mudah terseret perasaan sehingga biar pun kini air
matanya juga turun bercucuran, namun ia dapat menahan diri, tidak sampai
mengguguk seperti tangis Endang Patibroto. Wanita perkasa ini dahulu
juga memiliki watak yang kuat, akan tetapi kekuatannya berdasarkan
kekerasan, bukan seperti Setyaningsih yang berdasarkan ketenangan,
“Ayunda, apakah ayunda teringat ke: pada ibunda? Ah, ayunda. Kanjeng Ibu
sudah seda (tewas) sebagai seorang wanita utama, sebagai seorang
prajurit perkasa. Selayaknyakah kalau puteri-puterinya menangisinya
terus? Ayunda, harap ayunda jangan menangis...”
Setyaningsih membelai-belai rambut kakaknya dengan penuh kasih sayang.
“Aduh, adikku Setyaningsih...”
Endang Patibroto mencium pipi adiknya dan sambil memegangi kedua pundak anak itu, mereka berpandangan.
“Engkau benar, Setyaningsih, tidak perlu banyak menangis karena menangis
adalah tanda kelemahan. Dan kita berdua bukanlah orang-orang lemah,
kita berdua adalah keturunan suami isteri yang sakti mandraguna! Kini
ayah bunda kita telah meninggal dunia, adikku dan aku hanya mempunyai
engkau, engkaupun hanya mempunyai aku! Karena itu... kita harus pergi
data sini, Setyaningsih, sekarang juga.”
Setyaningsih memandang ayundanya dengan sepasang mata terbelalak kaget
dan heran. Ucapan ayundanya ini sama sekali tak pernah disangkanya. Biar
pun ia baru berusia sebelas tahun, namun dia bersama Pusporini sudah
mengerti bahwa ayundanya ini menjadi garwa selir Adipati Tejolaksono.
“Akan tetapi... Ayunda... bukankah ayunda telah menjadi isteri rakanda adipati?”
Endang Patibroto menghela napas panjang.
“Benar, adikku. Akan tetapi rumah ini adalah mink ayunda Ayu Candra.
Setelah ibu kita sekarang meninggal dunia, kita berdua tidak berhak lagi
tinggal di sini.”
“Mengapa begitu, ayunda? Kalau ayunda menjadi isteri rakanda adipati,
ayunda mempunyai hak sepenuhnya tinggal di sini. Siapakah yang akan
melarang Ayunda? Saya kira tidak ada seorang pun yang akan, merasa
keberatan dan...”
“Sudahlah, Setyaningsih. Engkau masih terlalu kecil untuk dapat mengerti
urusanku. Pendeknya, malam in! juga aku akan pergi dari sini. Kalau
engkau kasihan dan mencinta kepada ayundamu ini, marilah engkau ikut
bersamaku.”
Sambil berkata demikian, Endang Patibroto bangkit berdiri. Setyaningsih bangkit pula dan memegang tangan ayundanya erat-erat.
“Ayunda menjadi penggantl kanjeng ibu. Aku ikut...”
“Anak baik, seharusnya begitulah. Mari kita pergi!” Endang Patibroto
memondong tubuh Setyaningsih dan dibawanya meloncat cepat meninggalkan
taman sari, menghilang di dalam kegelapan malam.
Beberapa kali Setyaningsih menoleh dan memandang lampu-lampu yang
menerangi gedung kadipaten sampaI akhirnya bayangan gedung itu lenyap.
Dua matanya menjadi basah dan di dalam hati anak ini timbul kesangsian
apakah ia akan dapat melihat kembali gedung Kadipaten Selopenangkep ini.
Pada keesokan harinya, keluarga kadipaten menjadi gempar ketika melihat
lenyapnya Endang Patibroto dan Setyaningsih. Lenyap begitu saja tanpa
meninggalkan pesan, bahkan pakaian Setyaningsih di dalam kamarnyapun
masih lengkap yang berarti bahwa anak itu lenyap hanya membawa pakaian
yang dipakainya malam itu!
Roro Luhito menghela napas dan memeluk puterinya yang menangis karena
hilangnya Setyaningsih, saudara tirinya yang amat dikasihinya.
“Ahhh, kukira tentu Endang Patibroto yang membawa Setyaningsih pergi.
Agaknya masih juga belum berubah watak yang keras dan aneh luar biasa
dari Endang Patibroto. Aku sudah merasa tidak enak hati dan menduga
tentu akan terjadi sesuatu yang tidak baik ketika ia datang. Ah, angger,
anakku adipati, kuatkanlah hatimu menghadapi ujian Hyang Widhi yang
amat berat ini.”
Kembali Roro Luhito menghela. napas lalu menggandeng tangan Pusporini
diajak masuk ke belakang. Tak tahan ia menyaksikan pandang mata sayu
Adipati Tejolaksono.
Hanya suami isteri itulah yang mengerti apa sebabnya Endang Patibroto
melarikan diri. Mereka dapat menduganya. Tentu Endang Patibroto telah
mendengar percakapan antara mereka semalam! Melihat sinar mata suaminya
yang begitu sayu, wajah yang pucat dan muram, tarikan mulut yang
membayangkan kedukaan yang hebat, Ayu Candra lalu membalikkan tubuhnya,
terisak dan lari memasuki kamarnya.
Adipati Tejolaksono melangkah dengan lemas mengikuti isterinya, memasuki
kamar. Ketika Ayu Candra melihat suaminya masuk kamar, ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki suaminya, menangis dan
berkata,
“Aduh, Kakangmas Adipati. Semua adalah kesalahanku...! Karena kelemahan
dan kepicikanku..., tentu diajeng Endang Patibroto mendengarnya dan
merasa tersinggung hatinya... padahal sungguh mati aku sudah menghapus
perasaan itu, Kakangmas. Pergilah menyusulnya, Kakangmas. Bujuklah agar
suka kembali ke sini dan aku akan mohon ampun kepadanya...!”
Sejenak Adipati Tejolaksono termenung. Terbayanglah di depan matanya
segala peristiwa dahulu di waktu dia masih muda. Watak Endang Patibroto
amatlah keras liar dan aneh.
Biar pun akhir-akhir ini Endang Patibroto bersikap amat mesra, lembut,
dan merupakan seorang wanita yang mencintanya dengan seluruh jiwa raga,
yang sepenuhnya wanita, namun agaknya, tepat seperti wawasan Roro
Luhito, Endang Patibroto masih belum berubah wataknya yang keras dan
aneh luar biasa.
Dan mengingat akan watak ini, agaknya akan sia-sia belaka kalau Ia
menyusul. Selain amatlah sukar mencari seorang wanita sesakti Endang
Patibroto yang melarikan diri, juga andai kata bertemu kiranya tidak
mudah membujuknya untuk pulang ke Selopenangkep.
la tahu bahwa Endang Patibroto mencintanya, namun kekerasan hati wanita
itu akan mengalahkan cinta kasihnya karena wanita itu berwatak baja,
tidak mau tunduk terhadap siapa pun juga.
Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bangun Ayu Candra. ,
“Tidak akan ada gunanya, Nimas. Seorang yang berhati baja seperti
diajeng Endang Patibroto, tidak akan mudah dibujuk. Dia tidak akan
menyerah sampai mati, kalau tidak karena kehendak sendiri. Dia sudah
pergi, dan satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah menanti sampai
dia suka pulang sendiri. Apa boleh buat... seorang manusla hanya dapat
menerima apa yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi...”
Semenjak terjadi peristiwa ini, terjadi perubahan yang amat besar di
dalam Kadipaten Selopenangkep. Perubahan yang amat terasa oleh seluruh
penghuni kadipaten. Ayu Candra seringkali termenung dan berduka, tidak
hanya karena rindunya kepada Bagus Seta, juga karena rasa penyesalan di
dalam hati karena wanita yang halus budi ini tak pernah berhenti
menyesali diri sendiri dan menganggap dialah yang menyebabkan larinya
Endang Patibroto sehingga akibatnya, dia pula yang menyebabkan suaminya
selalu berduka.
Tubuh Adipati Tejolaksono menjadi kurus dan adipati yang sakti ini
kehilangan cahaya kegairahan sinar matanya. Sikapnya menjadi makin
tenang dan pendiam sungguh pun terhadap Ayu Candra tidak pernah berubah
kemesraan cinta kasihnya.
Kadipaten yang bertahun-tahun selalu gembira dan suasana riang dengan
adanya tiga orang yaitu Setyaningsih, Pusporini dan Bagus Seta, kini
kelihatan sunyi karena dua dari tiga orang anak itu telah pergi dan kini
tinggal Pusporini seorang.
Karena di situ hanya tinggal Puspotini seoranglah maka sang adipati dan
isterinya melimpahkan rasa sayangnya kepada anak ini. Seakan-akan anak
ini yang merupakan penghibur bagi mereka.
Memang Pusporini seorang anak yang dapat mendatangkan kegembiraan.Dia
amat lincah dan gembira, cerdik dan pandai bicara. Melihat kecerdikan
Pusporini, Adipati Tejolaksono lalu mulai mendidik anak ini dengan ilmu
silat den kedigdayaan.
Roro Luhito amat girang melihat hal ini. Terutama sekali girang karena
anak keponakannya itu dan isterinya mendapat hiburan dengan adanya
Pusporini, maka iapun melepas tangan dan membiarkan puterinya menerima
gemblengan sang adipati yang memiliki ilmu kesaktian jauh lebih tinggi
dari pada dia sendiri. Maka mulai tenteram pulalah keadaan hati Adipati
Tejolaksono dan isterinya.
Memang mereka selalu masih merindukan Bagus Seta dan menyesalkan
kepergian Endang Patibroto, akan tetapi hati mereka terobat oleh
kelincahan dan keriangan Pusporini. Hanya di waktu malam yang sunyi,
kadang-kadang apa bila teringat akan puteranya dan akan Endang
Patibroto, Ayu Candra suka menangis dan suaminya selalu siap untuk
menghiburnya.....
Komentar
Posting Komentar