PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-24


Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia bergerak lebih, cepat dan mengarahkan ujung tombak ke bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.
Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar.
Sanggar pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah belakang, di taman sari.
Cepat ia berkelebat memasuki taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke depan.
“Siuuuuttt... dess! Dessss!”
Dua kali tangannya menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya.
Akan tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali!
Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.
Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni,memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan keampuhan pukulan tangannya.
Ia menjadi penasaran sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak dengan loncatan dan hantaman dua tangan ke arah kepala mereka.
Terdengar suara seperti buah kelapa dipukul pecah dan dua orang Itu terbanting roboh tak bergerak lagi kini karena kepala mereka pecah oleh hantaman kedua tangan sang adipati!
Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan sebentar lalu diam dan tewas.
Ayu Candra yang terus mencecer bagian mata, hampir berhasil pula, akan tetapi tiba-tlba Tejolaksono berseru,
“Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!”
Ayu Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam roboh orang itu dengan memukul dadanya. Orang iu terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.
“Pusporini... dia dilarikan penjahat...!”
“Lekas kau kejar, Kakangmas...!”
Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini, bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.
Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga yang kacau-balau!
Para penjaga di utara dan timur kehilangan sepuluh orang prajurit sedangkan enam orang luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis.
Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara mereka lenyap.
Adipati Tejolaksono terpaksa kembali ke gedung kadipaten dan memanggil semua pembantu nya mendengar pelaporan mereka yang aneh.
Malam itu Kadipaten Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam orang luka-luka dan tiga puluh orang prajurit lenyap, Pusporini terculik dan sebagai gantinya hanya dapat membunuh tiga orang laki-lakl gundul dan menawan seorang.
Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan tangisnya.
“Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan nasib Pusporini...?” Ia mengeluh.
Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan Pusporini. Tejolaksono menghibur,
“Kita harus tenang, Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!”
Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali, kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan perasaannya.
“Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu, kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret tawanan itu ke sini!”
Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono.
Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasia dari tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk tidak menggelengpun tidak!.
“Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!” bentak sang adipati. “Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah, ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau mengaku, dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm...engkau akan kusuruh hukum picis!”
Hukum picis adalah hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan sebatang pisau tajam, air asam garam.
Setiap orang prajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.
Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan.
Melihat ini, sang adipati menjadi curiga, lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan itu meleset!
Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji mata yang selalu dipelototkan.
“Ahhhhh... sungguh kasihan orang ini...”
Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia duduk termenung.
“Apakah artinya semua itu, kakangmas?” tanya Ayu Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.
“Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat!. Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara,hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang menguasai mereka.”
“Si bedebah! Kalau begitu, anakku...” Roro Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.
“Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?”
“Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep. Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep. Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti akan mendapat kemenangan terakhir.”
Biar pun perasaan hati mereka hancur dan penuh kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat penjagaan dan mempertebal kewaspadaan…..
********************
Laki-laki tinggi besar berkepala -gundul yang menculik Pusporini, terus lari meninggal kan kota Kadipaten Selopenangkep. Dia keluar dari kadipaten melalui pintu gerbang selatan di mana para penjaganya tertidur semua setelah tergoda oleh tujuh belas orang wanita cantik. Tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari pintu gerbang itu tanpa terhalang. Larinya cepat sekali, dengan langkah lebar dan selama itu, laki-laki ini tidak pernah mengeluarkan kata-kata, juga mukanya yang tersinar bulan tidak menyatakan atau membayangkan sesuatu.
Keadaan laki-laki ini tiada bedanya dengan empat orang gundul yang menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan yang dirobohkan oleh Adipati Tejolaksono. Laki-laki ini hanya bergerak menurutkan yang memerintahnya dan kini iapun lari menuju ke arah datangnya getaran yang menguasainya, menuju ke sebuah bukit kecil di sebelah barat.
Pusporini yang tadi tertidur pulas akibat aji penyirepan, kini setelah agak lama dibawa lari dan mukanya tertiup angin malam yang dingin, mulai sadar. Mula-mula ia membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mendapatkan dirinya sedang dipondong oleh seorang laki-laki tinggi besar dan dibawa lari di malam gelap!
Karena marah dan kaget, tubuhnya bergerak dan biar pun lelaki itu seperti boneka hidup, tetapi pengaruh yang menguasainya membuatnya cerdik sekali dalam menghadapi lawan.
Ketika merasa betapa gadis dalam pondongannya bergerak, cepat laki-laki itu menangkap pergelangan tangan Pusporini, digenggam dalam jari-jari tangan kirinya yang panjang dan kuat seperti jepitan besi, sedangkan lengan kanannya merangkul kedua kaki dara remaja itu sehingga Pusporini tak dapat berkutik lagi!.
“Lepaskan aku...! Bedebah... lepaskan aku...!”
Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta.
Namun sia-sia belaka. Laki-laki itu sama sekali tidak menjawab, dan ia hanya dapat menggerakkan pinggangnya meronta-ronta sedangkan kaki tangannya sama sekali tidak dapat terlepas dari pergelangan laki-laki tinggi besar Itu.
Tentu saja, dalam hal tenaga kasar, Pusporini sama sekali bukan tandingan laki-laki ini. Akhirnya dara remaja yang cerdik ini sadar bahwa mengandalkan tenaga kasar, ia takkan mungkin dapat terbebas. Ia tidak meronta lagi, juga tidak mengeluarkan suara lagi, bahkan mengendurkan tubuhnya bersandar pada pundak laki-laki itu, meramkan mata mencari akal.
Teringat ia akan dongeng yang pernah diceritakan ibunya tentang Dewi Shinta yang diculik dan dilarikan Sang Prabu Dhasamuka. Keadaannya sekarang ini persis dengan dongeng yang diceritakan ibunya itu. Ia dipondong dalam keadaan tidak berdaya dan dibawa lari.
Laki-laki ini tinggi besar dan mengerikan, patut pula menjadi Prabu Dhasamuka. Dan teringat akan hal ia ingat pula bahwa ibunya menceritakan betapa Dewi Shinta dapat dirampas dari tangan Dhasamuka oleh burung sakti Jentayu, akan tetapi Dewi Shinta yang merasa ngeri karena jatuh ke cengkeraman burung raksasa, lalu mempergunakan aji kesaktian memberatkan tubuh sehingga terlepas dari cengkeraman burung yang tidak kuat membawanya.
Aji memberatkan tubuh itu telah ia tanyakan kepada rakandanya sang adipati yang juga menjadi gurunya. Dan sang adipati yang sakti mandraguna telah mengajarkan aji seperti itu!
Teringat akan ini, Pusporini lalu meramkan mata seperti orang samadhi, mengheningkan cipta menenteramkan batinnya, kemudian ia berkemak-kemik membaca mantera sambil menekan dan menyalurkan hawa sakti dari dalam pusarnya.
Aji kesaktian ini oleh Tejolaksono diberi nama Aji Argoselo dan kini tubuh Pusporini terasa berat seperti sebongkah batu gunung. Orang tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara “uh-uhh...!” dan langkahnya terhuyung-huyung.
Hampir ia tidak kuat dan karena ini tangan kirinya melepaskan kedua lengan Pusporini untuk membantu memeluk kedua kaki dara ini agar tidak terlepas.
Kesempatan inilah yang dinanti-nanti Pusporini. Ia menahan napas, membelalakkan kedua matanya dan menyalurkan hawa sakti menjadi tenaga dahsyat kepada kedua tangannya yang sudah ia isi dengan Aji Pethit Nogo.
Kini kedua tangannya bergerak, dari kanan kiri menghimpit kepala orang yang memondongnya itu dalam hantaman yang tiba-tiba, cepat dan kuat.
Orang itu terhuyung, ikat kepalanya terlepas dan tampaklah kepalanya yang gundul, kedua tangannya yang memeluk kaki Pusporini dilepaskan untuk memegang kepalanya yang serasa akan pecah. Kesempatan ini dipergunakan Pusporini untuk meloncat turun dari atas pondongan lawan, memandang terbelalak heran melihat kepala orang itu tidak pecah oleh pukulan Petit Nogo yang dilakukannya amat kuat tadi.
Tidak, sama sekali orang laki-laki tinggi besar berkepala gundul itu tidak mati, bahkan robohpun tidak.
Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu dapat pulih kembali dan kini menerjang dengan kedua lengan terpentang, hendak menubruk dan menangkap kembali tawanannya yang terlepas!
Namun tubrukannya hanya mengenai angin belaka karena tahu-tahu tubuh dara remaja itu sudah melejit lenyap dan berpindah tempat di sebelah kanannya, langsung mengirim tamparan lagi dengan Aji Pethit Nogo yang mengenai lehernya.
“Plakkkk!”
Kembali orang itu terpelanting, namun segera bangkit lagi dan menghadapi Pusporini dengan mata melotot.
Bulu tengkuk dara ini meremang. Dua kali pukulannya tadi amat hebat, dan dengan pukulan-pukulan itu kiranya batu gunungpun akan terpukul pecah.
Akan tetapi kenapa orang ini mengeluhpun tidak? Ia telah mempelajari banyak macam aji-aji yang ampuh dari Adipati Tejolaksono, akan tetapi pukulannya yang terampuh adalah Aji Pethit Nogo.
Ketika melihat orang itu menyerangnya lagi hendak menangkap, dengan mudahnya Pusporini mengelak. Dengan aji keringanan tubuh Bayu Sakti, tentu saja dengan mudah ia dapat menghindarkan setiap serangan laki-laki tinggi besar yang baginya terlalu lamban ini, akan tetapi ia masih penasaran kalau belum dapat memukul roboh orang yang telah menculiknya ini.
Berkali-kali ia memukul dan mengeluarkan semua aji pukulannya, namun orang itu hanya terhuyung, paling-paling terjungkal untuk bangkit kembali dan menerjangnya makin hebat!
“Eh-eh, engkau ini manusia ataukah iblis? Disuruh mampus saja kok tidak mau, keparat!”
Pusporini memaki,akan tetapi sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa ngeri dan serem. Sekali lagi ia mengelak sambil mengirim pukulan keras yang membuat tubuh laki-laki tinggi besar itu terguling-guling, dan ketika laki-laki itu seperti tadi bangkit berdiri lagi, Pusporini telah hilang dari tempat itu karena dara remaja ini dengan penuh kengerian telah melarikan diri. Siapa orangnya tidak akan merasa ngeri kalau bertanding melawan orang nekat macam itu? Sampai lelah kedua tangannya memukul dan orang itu berkali-kali jatuh lalu bangun lagi!
Karena Pusporini mempergunakan Aji Bayu Sakti yang membuat larinya seperti seekor kijang muda, maka laki-laki tinggi. besar itu tertinggal jauh, bahkan laki-laki itu mengejar ke arah yang berlainan!
Akan tetapi, biar pun semenjak kecil digembleng olah keprajuritan dan tata kelahi, Pusporini tidak pernah keluar dari Kadipaten Selopenangkep. Apa lagi setelah Sang Adipati Tejolaksono menghapuskan kebiasaan berburu, dara remaja ini tidak mengenal daerah di luar Selopenangkep.
Tadi ketika diculik, ia berada dalam keadaan pulas sehingga tidak tahu dibawa ke mana. Sekarang, barulah ia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana jalan pulang ke Selopenangkep.
Tanpa ia sadari, la bukannya menuju kembali ke Selopenangkep, melainkan menyusup makin dalam ke hutan yang lebat. Juga tidak tahu bahwa gerak-geriknya semenjak bertanding melawan orang tinggi besar tadi telah diperhatikan oleh banyak orang!.
Tengah malam telah lewat dan bulan sepotong yang keluarnya hampir tengah malam itu kini sudah naik tinggi, menyinarkan cahaya yang redup namun cukup terang, menimbulkan suasana yang amat indah menyeramkan di dalam hutan! Pusporini mulai merasa bingung ketika hutan yang dilaluinya makin lama makin liar dan gelap.
Agak lega hatinya ketika di tengah-tengah hutan liar itu ia mendapatkan sebuah lapangan yang luasnya ada seratus meter, berbentuk bundar dan lapangan terbuka ini tidak ditumbuhi pohon sehingga sinar bulan terang memenuhi lapangan itu. Rumput hijau tebal menutupi lapangan seperti permadani hijau dibentangkan, amat indah dan bersihnya.
Pusporini mengambil keputusan untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di tempat ini. Besok kalau matahari sudah menerangi bumi, ia akan dapat keluar dari hutan ini dan pulang, pikirnya. Tempat ini amat enak, juga ia dapat memandang ke sekelilingnya tanpa terhalang pohon sehingga kalau ada musuh mendatang, jauh-jauh sudah akan melihatnya.
Sambil menghela napas lega dara remaja ini duduk dan melenggut saking mengantuk dan lelahnya.
Kadang-kadang ia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi untuk melihat kalau-kalau si gundul mengerikan tadi datang mengejarnya.
Sebenarnya hal ini tidak perlu ia lakukan karena kalau ada orang datang berlari menghampirinya, tentu pendengarannya yang tajam akan dapat menangkap langkah kakinya.
Akan tetapi, bagaimana pendengarannya akan dapat menangkap kalau bendabenda bergerak itu menghampirinya tanpa melangkahkan kaki, melainkan merayap seperti segerombolan ular? Dan bagaimana ia dapat melihat mereka itu kalau mereka menyusup-nyusup di antara rumput-rumput yang tebal dan tinggi? Tidak, Pusporini sama sekali tidak tahu, menyangkapun tidak bahwa pada saat itu, ada belasan orang mengurungnya dari semua penjuru, menghampirinya sambil merayap di antara rumput tanpa mengeluarkan suara!
Mereka itu adalah orang-orang wanita, masih muda-muda.
Ketika mereka ini merayap, dengan pinggang ramping bergerak-gerak, pinggul ke kanan kiri, pakaian setengah telanjang, mereka merupakan binatang-binatang yang amat aneh!
Pusporini sedang melenggut ketika tiba-tiba tubuhnya ditubruk oleh empat orang wanita yang menggelut dan memitingnya dengan gerakan seperti ular-ular membelit leher, lengan dan kaki.
Dara remaja ini menjerit saking kaget dan ngerinya. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengeroyok dan menggelutnya adalah empat orang wanita, kemarahannya bangkit. Apa lagi ketika ia melihat betapa kini tampak belasan orang wanita lain telah mengurungnya.
Ia meronta, mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki tangan.
“Plak-plak-buk-desss!“
Kini empat orang wanita itu yang menjerit dan tubuh mereka terlempar oleh pukulan dan tendangan si dara perkasa. Akan tetapi empat orang dirobohkan, belasan orang menyerbu dan kembali tubuh Pusporini sudah digelut.
Pusporini marah sekali dan selagi ia hendak mengamuk, tiba-tiba mukanya disiram bubukan putih yang mengenai mata dan hidungnya. Seketika Pusporini gelagapan, kedua tangannya menutupi mata dan ia terbangkis-bangkis.
Kiranya orang telah menyerang mukanya dengan bubukan merica! Bukan main pedih matanya, sampai bercucuran air mata dan betapa pun ia menahan, tetap saja ia terbangkis-bangkis sampai terbungkuk-bungkuk. Ia sampai tidak merasa bahwa kedua kaki tangannya sudah ditelikung seperti seekor domba hendak disembelih dan ketika tubuhnya dipanggul oleh para wanita itu, ia masih saja bercucuran air mata dan terbangkis-bangkis, ditertawai oleh mereka yang menawannya.
“Setan! hidungku terus mengucurkan darah, mimisen!”
“Gigiku patah dua, yang depan lagi. Sialan!”
“Perutku masih mulas terus terkena tendangannya!”
“Lihat garesku, matang biru dan aku akan terpincang sampai beberapa hari.”
Empat orang wanita yang terkena hantaman dan tendangan Pusporini tadi memaki-maki dan mengancam hendak membunuh Pusporini. Terdengar suara seorang di antara mereka, yang tercantik dan melihat lagaknya tentu ia pimpinan rombongan wanita itu,
“Sudahlah, Ni Dewi menghendaki kita menangkapnya hidup-hidup, tidak boleh diganggu, masa kalian berani hendak membunuhnya? Kalau tidak ada pesan Ni Dewi,apa kaukira aku suka malam-malam susah-payah menangkapnya hidup-hidup? Dia ini adik adipati di Selopenangkep, amat dibutuhkan oleh sang wasi “
Terdengar suara di sana-sini dalam rombongan wanita yang kini berjalan pergi sambil memanggul tubuh Pusporini, diseling ketawa cekikikan.
“Wah, agaknya dia ini terpilih oleh sang wasi...!” kata suara yang kecil tinggi penuh iri hati.
“Tentu saja! Sang wasi cukup waspada dalam memilih.Bocah ini seorang dara remaja yang cantik jelita. Lihat saja kulitnya begini halus, tertimpa sinar bulan seperti kencana saja. Dan mata yang kini tertutup mempunyai bulu mata begitu panjang melengkung, bukan main. Kau ingat matanya tadi ketika terbelalak? Begitu lebar, indah dan bening. Dia masih dara remaja, bagaikan bunga seperti kuncup baru mekar sedang harum-harumnya, bagaikan buah seperti buah ranum mentah tidak matang tidak sedang lezat-lezatnya. Tidak seperti engkau!”
“Kalau aku mengapa? Jangan lancang mulut kau!”
“Hi-hik! Kalau dia itu bagaikan bunga mulai melayu dan buah mulai membusuk!” sambung suara lain.
“Mana pantas untuk sang wasi? Paling-paling menjadi mangsa Ki Kalohangkoro, hi-hik!” kata suara lain lagi.
“Apa? Kalian ini benar-benar bermulut busuk, penuh bau kotor! Kucakar muka kalian baru tahu...!”
“Ssttt...! Diamlah kalian. Ribut saja! Ni Dewi ingin agar kita cepat membawa Pusporini menghadap untuk melengkapi upacara sesaji di malam Respati. Kalau kalian ribut mulut saja, bagaimana perjalanan dapat dilakukan cepat-cepat?” tegur sang pemimpin dan rombongan wanita itu tidak berani saling maki lagi, hanya mengutarakan kemarahan dengan pandang mata saling melotot.
Siapakah rombongan wanita ini? Mereka itu rata-rata masih muda, bahkan ada beberapa orang di antara mereka, terutama pemimpinnya berwajah cantik dan bertubuh langsing menggairahkan.
Gerakan mereka gesit-gesit, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini sesungguhnya masih sekawan dengan tujuh belas orang wanita cantik yang menggoda para penjaga Kadipaten Selopenangkep dan kemudian menculik dua puluh orang penjaga.
Mereka adalah anak buah dari pesanggrahan Durgaloka, sebuah pesanggrahan atau perkumpulan yang terdiri dari wanita semua, wanita-wanita muda yang kesemuanya dilatih dalam pelbagai ilmu kesaktian, dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Ni Dewi Nilamanik.
Perkumpulan ini adalah wanita-wanita penyembah Sang Hyang Bathari Durga dan pada waktu itu mempunyai markas di puncak Gunung Mentasari.
Semenjak Sang Bhagawan Kundilomuko pemimpin para penyembah Sang Bhatari Durga di hutan Gumuk-mas dihancurkan oleh Endang Patibroto (baca Badai Laut Selatan), maka perkumpulan-perkumpulan penyembah Dewi Kejahatan itu tidak berani muncul lagi dan kalaupun ada rombongan-rombongan kecil pemuja Sang Bhatari Durga, maka rombongan ini tidaklah begitu menonjol dan tidak mempengaruhi atau meluaskan pengaruhnya kepada penduduk dusun.
Akan tetapi secara tiba-tiba di puncak Gunung Mentasari muncul perkumpulan ini yang mempu nyai anggota sembilan puluh sembilan orang!
Dan secara terang-terangan perkumpulan ini mulai mengembangkan pengaruhnya di sekitar Gunung Mentasari, bahkan mulai memasuki daerah Selopenangkep.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa perkumpulan ini masih erat hubungannya dengan Kerajaan Cola. Seperti temyata dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan dua orang pendeta, Wasi Bagaspati adalah seorang pendeta pemuja Sang Bathara Shiwa yang menjadi kaki tangan Kerajaan Cola.
Dan Ni Dewi Nilamanik, pemimpin Agama Durga itu, adalah tangan kanan, bahkan bekas kekasih Wasi Bagaspati! Kalau Wasi Bagaspati kadang-kadang menamakan dirinya Shiwamurti dan mengaku sebagai titisan Sang Hyang Shiwa, adalah Ni Dewi Nilamanik ini mengaku sebagai titisan Sang Bathari Durga!
Di samping Ni Dewi Nilamanik, bersama rombongan Wasi Bagaspati terdapat pula seorang pembantu yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro yang mengepalai para pemuja Sang Bathara Kala! Malah keadaan anak buah Ki Kolohangkoro ini lebih kuat dari pada anak buah Ni Dewi Nilamanik, terdiri dari orang-­orang tinggi besar yang berilmu tinggi, sebanyak seratus orang lebih!.
Pada malam Respati, di puncak Gunung Mentasari diadakan upacara pemujaan Sang Hyang Bathari Durga. Di atas sebuah lapangan rumput yang terbuka dan mendapat cahaya bulan yang kehiiauan, berdiri tiga macam arca yang hesar, arca Sang Bathari Durga.
Sebelah kiri berdiri arca Sang Bathari Durga sebagai Dewi Maut, dalam bentuk yang amat mengerikan sekali. Bertubuh seorang raksasa wanita, rambutnya gimbal sampai ke tanah, kedua kakinya menginjak tengkorak manusia, payudaranya (buah dadanya) panjang tergantung sampai ke perut, lidahnya lebih panjang lagi, seperti seekor ular, sihungnya panjang meruncing dan kuku jari tangannya panjang-panjang pula.
Yang berdiri di sebelah kanan Sang Bathari Durga Bucari, tubuhnya mengeluarkan api menyala-nyala, tubuhnya ramping menggairahkan, dada terbuka, akan tetapi mukanya juga muka raksasa betina, wajahnya membayangkan kebengisan dan kekejaman.
Arca ke tiga yang berdiri di tengah, menggambarkan Sang Hyang Bathari Durga dalam bentuk seorang wanita yang cantik jelita, wajahnya yang cantik itu tersenyum memikat penuh nafsu berahi, tubuhnya yang langsing setengah telanjang memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang menggairahkan.
Di depan tiga buah arca ini penuh dengan kembang-­kembang dan barang-barang sesaji terdiri dari makanan-­makanan dan daging-daging mentah, dan asap kemenyan dan dupa mengepul tinggi.
Di sebelah kiri lapangan itu belasan orang wanita menabuh gamelan yang iramanya riang gembira menyelimuti suara orang-orang yang bercakap-cakap dan bersanda-gurau. Ni Dewi Nilamanik duduk di atas sebuah kursi yang terukir indah, melayani beberapa orang tamu bercakap-cakap dan bersanda-gurau, tamu-tamu yang baru saja tiba dan dipersilakan duduk di kursi-kursi kehorma tan yang berkelompok tak jauh dari tiga buah arca itu.
Ni Dewi Nilamanik adalah seorang wanita yang usinya sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi masih tampak cantik menarik dengan gerak-gerik yang luwes. Dia termasuk di antara wanita-wanita yang biar pun usianya sudah lanjut namun masih belum ditinggalkan daya tarik yang khas.
Bahkan tampak kematangan lahir batin yang membuat gerak geriknya terkendali dan tenang, wajahnya dapat membayangkan hati dingin seperti embun pagi hari di puncak Mahameru,di waktu panas membayangkan kegairahan yang membakar.
Pakaiannya indah sekali, dengan warna menyolok. Baju merah tipis sekali membayangkan kulit pundak dan lengan serta punggung yang putih kuning, belum kisut masih padat berisi, juga membayangkan kemben pembungkus pinggang yang ramping dan singset.
Kainnya berkembang dengan dasar warna hijau yang membungkus ketat tubuh dari perut sampai ke mata kaki. Sepasang kakinya tampak kecil dan bersih halus, kaki yang terpelihara baik-baik sehingga tumitnya halus kemerahan dan kuku jari kaki mengkilap.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar