PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-32
“Tejolaksono, harus kuakui bahwa engkau memang seorang pria yang hebat!
Sungguh aku merasa sayang sekali bahwa di antara kita sampai terdapat
permusuhan. Tejolaksono, agaknya masih belum terlambat kalau engkau suka
menerima uluran tanganku. Untuk apakah mengobarkan permusuhan dan
perang, bunuh-membunuh yang tidak ada gunanya? Bukarkkah lebih baik
saling mencinta dari pada saling membenci? Tejolaksono, kaupandanglah
aku. Ni Dewi Nilamanik kalau perlu dapat pula menjadi Dewi Cinta. Masih
kurang cantikkah aku? Pandanglah balk-balk...”
Kata-kata yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik yang berbibir merah
itu bukanlah sembarang kata-kata melainkan kata-kata yang diterapkan
sebagai bagian dari pada ilmu guna-guna sehingga terdengar merayu-rayu
dan amat merdu.
Tejolaksono yang memandang wanita itu, merasakan getaran hebat yang
menerjangnya, yang menggetarkan jantung dan yang amat kuat seperti
hendak menguasai hati dan pikirannya, yang menciptakan pandangan indah
sehingga wanita itu tampak cantik melebihi dewi kahyangan sendiri, yang
membuat suara itu terdengar merdu, pendeknya getaran itu menciptakan
segala yang serba indah, menyenangkan hati, menghilang}can semua rasa
benci dan marah, membangkitkan nafsu berahi!
Tentu saja sebagai ksatria gemblengan yang sakti mandraguna, dan yang
tahu akan seperti ini, Tejolaksono dapat menguasai hatinya dalam
beberapa detik saja. Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut dan harus
ia akui bahwa kekuatan yang terkandung dalam ilmu semacam aji guna
asmara yang dikerahkan wanita ini benar-benar amat mujijat dan kuat.
Jarang kiranya ada pria, betapa pun gagahnya, yang akan dapat menahan diri dari pada pengaruh, guna-guna yang hebat ini.
“Ni Dewi Nilamanik, tidak perlu lagi engkau mengeluarkan aji-ajimu yang
kotor dan rendah! Betapa pun cantiknya engkau, tetap saja tampak olehku
betapa kotor dan hitam hatimu. Kecantikanmu hanyalah bungkus indah yang
menyembunyikan sesuatu yang busuk dan kotor!”
Senyum manis di bibir Ni Dewi Nilamanik perlahan-lahan berubah menjadi
seringai yang kejam. Mata yang tadi bersinar-sinar mesra dan redup kini
menyala-nyala seperti mengeluarkan api.
“Tar-tar!” Pengebut merah yang baru karena pengebut yang lama telah
rusak ketika ia melawan Tejolaksono di Mentasari, kini bergerak di atas
kepala Ni Dewi Nilamanik, mendahului kata-katanya yang terdengar ketus,
“Tejolaksono! Engkau sudah bosan hidup! Apa engkau kira akan dapat lolos dari tanganku?”
“Tidak perlu bersombong, iblis betina. Engkaulah yang kini takkan lolos
dari pada tanganku untuk menebus dosa-dosamu dengan kematian!”
“Bagus! Hayo kita mencari tempat yang lapang agar dapat menentukan siapa di antara kita yang akan mampusI”
Sambil berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik berkelebat dan tubuhnya
dengan gerakan yang amat ringan seperti terbang saja sudah berlari atau
setengah melayang mendaki bagian yang lebih tinggi dekat puncak,
menjauhi tempat yang telah menjadi medan perang itu.
Tejolaksono memang ingin sekali merobohkan musuh ini karena ia maklum
bahwa robohnya Ni Dewi, Nilamanik akan mempengaruhi kemenangan
pasukannya. Maka ia tidak menjadi gentar dan cepat ia pun menggunakan
Aji Bayu Sakti untuk mengejar lawannya.
Setelah tiba di bawah puncak, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik membalikkan
tubuhnya dan tangan kirinya bergerak melepaskan jarum-jarum beracun yang
berwarna merah pula. Inilah senjata rahasia yang halus sekali, terbuat
dat'ipada besi yang besarnya hanya serambut panjangnya setengah jari.
Namun justru karena kecilnya inilah maka jarum-jarum, ini amat
berbahaya, jika dipakai menyerang, disambitkan dengan dorongan hawa
sakti tidak tampak namun apa bila mengenai tubuh lawan akan menembus
masuk kulit daging sehingga sukar untuk dikeluarkan lagi.
Lebih mengerikan lagi karena jarum-jarum ini sebelumnya telah direndam racun yang dibuat dari pada air liur ular bandotan!
Tejolaksono yang sudah waspada dapat menduga akan datangnya serangan
ini, apa lagi pandang matanya yang tajam dapat melihat berkelebatnya
benda-benda halus yang menyambar ke arahnya itu, juga pendengaran
telinganya yang terlatih dapat menangkap suara berdesir, halus dari
jarum-jarum. Maka ia cepat memutar goloknya depan tubuh tanpa
menghentikan pengejarannya.
Terdengar suara berdencing dan jarum-jarum itu terpukul runtuh ke kanan kiri.
Dengan marah dan penuh semangat Tejolaksono meloncat ke depan, mengejar
lawannya yang kini sudah berdiri menantinya dengan senyum mengejek dan
kebutan merah di tangan. Akan tetapi pada saat itu, muncul tiga orang
yang memiliki gerakan gesit dan mereka ini segera berdiri di empat
penjuru sehingga
Tejolaksono terkurung di tengah-tengah. Ketika adipati yang sakti
mandraguna ini memandang, ia segera mengenal mereka dan kemarahannya
tersinar dari pandang matanya yang tajam. Mereka itu bukan lain adalah
Cekel Wisangkoro, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni si wanita cantik genit
yang sudah menggodanya.
“Hemm, bagus sekali! Memang kalian inilah yang menjadi biang keladi dan
sudah lama kucari-cari!” kata Tejolaksono sambil mengangkat dada dan
siap dengan sepasang goloknya. Ia tahu bahwa empat orang itu bukanlah
lawan lemah, dan maklum pula bahwa ia tentu akan dikeroyok, maka ia
bersikap tenang dan tidak berani memandang rendah, hanya menanti empat
lawannya bergerak.
“Heh-heh-heh-heh, Tejolaksono, kau sombong benar!” kata Cekel
Wisangkoro, kakek berusia lima puluh tahun yang rambutnya terurai penuh
uban ini. Karena merasa yakin bahwa kali ini dia dan teman-temannya akan
berhasil membunuh Tejolaksono, maka kakek ini tertawa-tawa gembira.
Seperti biasa rambut kakek yang penuh uban ini terurai sampai ke
pinggang. Jubahnya kuning panjang dan kakinya telanjang. Mukanya yang
merah itu berkulit halus seperti muka kanak-kanak, dan tubuhnya yang
kurus tinggi masih kelihatan kuat. Tongkat hitam berbentuk ular di
tangannya mengkilat seperti hidup, dilintangkan depan dada. Dia ini
adalah murid yang tekun dari Wasi Bagaspati, maka tentu saja memiliki
ilmu yang tinggi.
“Hemm, Cekel Wisangkoro! Biasa saja seorang musuh menganggap lawannya
sombong! Persoalannya bukan tentang sikap, melainkan karena sepak
terjang kalian yang menerjang dan melanggar batas wilayah Panjalu, yang
menyebar kekacauan sehingga kalian ini bagi kami lebih jahat dari pada
penyakit menular maka harus dibasmi sampai ke akar-akarnya!”
“Babo-babo! Sumbarnya seperti engkau seorang satu-satunya jantan di
dunia ini, keparat!” bentak Ki Kolohangkoro dengan muka merah saking
marahnya.
Raksasa ini adalah adik seperguruan Sang Wiku Kalawisesa si penyembah
Bathara Kala yang tewas di tangan Endang Patibroto. Hanya bedanya, kalau
Wiku Kalawisesa lebih memperdalam ilmu gaib dan ilmu hitam, adik
seperguruannya yang bertubuh raksasa ini memperdalam ilmu-ilmu
pertempuran sehingga dalam hal kedigdayaan, Ki Kolohangkoro ini malah
melampaui kakak seperguruannya itu.
Namun hal ini bukan berarti dia tidak tahu akan ilmu hitam. Sebaliknya,
karena akhir-akhir ini malah melatih ilmu gaib yang berdasarkan ilmu
hitam dan cara menghimpun tenaga dalam ilmu ini amat mengerikan, yaitu
dengan minum darah dan makan daging seorang anak kecil hidup-hidup!
Pakaian raksasa berusia kurang lebih lima puluh tahun ini pun mewah
sehingga ia tampak gagah dan menakutkan, sepasang anting-anting di
telinga terbuat dari pada emas, dan senjatanya berbentuk sebuah nenggala
dengan gaganq di tengah dihias emas permata.
“Terserah bagaimana wawasan kalian!” kata pula Tejolaksono dengan sikap tenang.
“Tejolaksono, engkau pernah menghinaku, kini tiba saatnya engkau
merasakan pembalasanku, keparat!” teriak Sariwuni yang juga sudah
mencabut pedangnya.
“Sariwuni, engkau bukan perempuan baik-baik, dan sekali ini aku berusaha
melemparmu ke neraka jahanam agar engkau dapat menebus dosa-dosamu,”
jawab Tejolaksono.
“Waduh-waduh, sumbarmu seperti hendak memecahkan Gunung Semeru! Kematian
sudah berada di ujung hidung, masih banyak berlagak. Kaurasakan
ke-ampuhan tongkat ularku.”
Cekel Wisangkoro berseru dan tubuhnya bergerak ke depan, cepat sekali
gerakan tubuhnya ini, tahu-tahu ia telah menerjang Tejolaksono dengan
tongkatnya yang hitam berbentuk ular menusuk ke arah leher.
“Wuuutttt... trangggg...!”
Tangkas sekali gerakan Tejolaksono. Biar pun kelihatannya Cekel
Wisangkora yang lebih dahulu menyerangnya dari depan, namun perhatian
Tejolaksono tidak terpikat dan masih saja pendekar ini memperhatikan
keadaan semua orang lawannya sehingga ia dapat mengetahui bahwa biar pun
Cekel Wisangkoro lebih dahulu bergerak, namun senjata nenggala di
tangan Ki Kolohangkoro lebih dahulu menyambar lambungnya dari sebelah
kanan.
Oleh karena itu, sambaran senjata nenggala inilah yang leblh dulu ia
elakkan sehingga senjata itu menyambar dahsyat di pinggir tubuhnya,
sementara itu tusukan tongkat Cekel Wisangkoro ia tangkis dengan golok
tangan kirinya. Bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata dan cekel itu
meringis ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang tongkat
seperti dibakar rasanya.
“Tar-tar-tar!”
Ni Dewi Nilamanik tidak mau ketinggalan. Kebutan lalat yang berambut
merah itu sudah berbunyi nyaring dan menyambar-nyambar seperti
halilintar di atas kepala Tejolaksono. Namun sang adipati yang sakti
mandraguna ini sudah menggerakkan golok di tangan kiri, dlputarnya
sedemikian rupa, mempergunakan pergelangan tangan sehingga golok ini
berubah bentuknya menjadi segulungan sinar yang melingkar-lingkar di
atas kepalanya dan saking cepat gerakannya sampai kelihatan seperti
sebuah payung yang melindungi tubuh sang adipati dari atas.
Adapun golok yang sebuah lagi, di tangan kanan, bergerak seperti seekor
naga sakti mengamuk. Pedang Sariwuni yang menyambar diterjangnya sampai
menyeleweng ke kiri membawa serta tubuh Sariwuni yang terhuyung-huyung,
kemudian berputar cepat dan bertubi-tubi menyerang Cekel Wisangkoro dan
Ki Kolohangkoro yang menjadi kaget sekali dan cepat menangkis dengan
senjata masing-masing.
Memang hebat sekali sepak terjang sang Adipati Tejolaksono. Dikeroyok
em.pat orang lawan yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi,
masih sempat untuk membalas, hal ini benar-benar membuktikan bahwa
tingkatnya memang sudah amat tinggi.
Namun sekali ini, empat orang yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang
memang sakti mandraguna dan memiliki kepandaian tinggi. Cekel
Wisangkoro adalah murid yang paling tangguh dari Sang Wasi Bagaspati,
seorang peranakan bangsa Hindu yang pernah lama tinggal di hindu dan
sebelum menjadi murid Sang Wasi Bagaspati telah memiliki kesaktian yang
hebat.
Cekel Wisangkoro inilah yang berhasil membentuk pasukan terdiri dari
orang-orang yang bergerak seperti robot itu, orang-orang yang telah
kehilangan semangat dan kemauan karena semangat dan kemauannya telah
dirampas oleh Cekel Wisangkoro, diganti dengan pengaruh dari pada
kemauannya sendiri, membuat pasukan ini melakukan apa saja yang
diperintahkan Cekel Wisangkoro, tidak mengenal takut, tidak merasa
nyeri, kebal dan tidak kenal bahaya.
Pasukan macam ini tentu saja hebat luar biasa dan banyak prajurit
Panjalu yang tewas ketika menghadapi pasukan manusia robot ini. Selain
sakti dan mahir akan ilmu hitam, juga ilmu silat Cekel Wisangkoro aneh
dan dahsyat, apa lagi. kalau ia mainkan tongkat hitamnya yang merupakan
senjata yang benar-benar ampuh.
Tongkatnya bukan hanya berbentuk ular, melainkan memang sungguh-sungguh
terbuat dari pada seekor ular kobra hitam yang hanya terdapat di sebuah
lereng dari Pegunungan Himalaya. Ular kobra hitam ini sudah kering dan
kerasnya melebihi kayu, seperti baja saja. Darah dan racun ular yang
hebat ini sudah meresap ke seluruh bagian tubuh ketika dikeringkan
sehingga tongkat Itu menjadi tongkat beracun, baik bagian ekornya maupun
bagian kepalanya!
Ni Dewi Nilamanik, biar pun kelihatannya hanya seorang wanita yang halus
gemulai dan cantik jelita, namun dalam hal kekejian dan kedigdayaan,
agaknya tidak berada di sebelah bawah Cekel Wisangkoro! Bahkan ada
kelebihannya, yaitu dalam aji meringankan tubuh yang membuat wanita itu
dapat bergerak cepat laksana kilat. Sebagai orang yang mengaku titisan
Sang Batharl Durga dan menjadI kekasih utama Sang Wasi Bagaspati, tentu
saja wanita ini hebat kepandaiannya, dan menerima pula beberapa macam
aji kesaktian dari Sang Wasi Bagaspati.
Dalam hal ilmu hitam, malah lebih keji dari pada Cekel Wisangkoro.
Senjata kebutan lalat merah itu kalau sudah dimainkan sebagai senjata,
mengerikan sekali. Rambut-rambutnya yang merah dan berbentuk buntut kuda
itu tak boleh dipandang rendah karena setiap bulunya saja dapat menusuk
jalan darah menembus kulit daging membawa racun yang mematikan. Apa
lagi kalau sampai kena dihantam! Kepala bisa remuk, dada bisa pecah!
Ki Kolohangkoro mungkin masih kalah seusap oleh Ni Dewi Nilamanik dalam
hal ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekejaman ia menang banyak! Kalau
Ni Dewi Nilamanik dapat membunuh orang dengan mata meram, Ki
Kolohangkoro ini dapat membunuh dengan mata melek dan tertawa-tawa.
Sudah beberapa kali, setiap tahun, ia menggigit leher untuk menghisap
darah seorang anak kecil, kemudian mengganyang dagingnya, sambil
terkekeh-kekeh melihat anak itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan!
Senjatanya merupakan senjata yang hanya dipergunakan oleh tokoh
pewayangan Sang Prabu Baladewa, yaitu sebuah senjata nenggala atau
tombak pendek, yang meruncing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah.
Nenggala ini bukanlah sembarang senjata, baru beratnya saja tak
terangkat oleh empat orang laki-laki dewasa biasa.
Demikian pula seperti ketiga kawannya, Sariwuni juga bukan sembarang
orang. Wanita yang cantik genit dan cabul ini tadinya adalah seorang
pembantu Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durga, akan tetapi
karena ia pandai merayu dan mengambil hati, maka ia “terpakai” oleh
Sang Wasi Bagaspati, malah menjadi kekasihnya dan menghiburnya sehingga
kepada Sariwuni ini diturunkan banyak aji kesaktian, di antaranya adalah
Aji Wisakenaka yang amat keji.
Aji Wisakenaka ini adalah sebuah aji yang didorong oleh hawa sakti di
dalam tubuh, yang kalau dikerahkan membuat kuku-kuku tangan wanita
cantik ini berubah menjadi kuku-kuku beracun, lebih jahat dari pada
taring ular bandotan. Sekali gores saja cukup untuk menyeret nyawa lawan
ke jurang maut. Selain ini, juga permainan pedangnya amat cepat dan
kuat.
Sang Adipati Tejolaksono memang harus diakui bahwa pada waktu itu ia
merupakan seorang perkasa yang sukar dicari tandingnya. Sebagai murid
Sang Sakti Narotama, bahkan pernah pula menerima petunjuk dan gemblengan
Sang Prabu Airlangga, dia memiliki aji-aji kesaktian yang amat kuat.
Namun, kini menghadapi pengeroyokan empat orang itu, ia benar-benar
telah bertemu tanding yang mengharuskan ia mengerahkan seluruh tenaga
dan mengeluarkan semua aji kesaktiannya.
Pertandingan hebat itu sudah berlangsung hampir dua jam dan keadaan
masih seru, bahkan makin lama makin seru dan sengit. Aji-aji dikeluarkan
silih berganti, serang-menyerang, kadang-kadang hanya seujung rambut
selisihnya dari pada sambaran tangan maut. Kedua golok di tangan
Tejolaksono sudah rompal-rompal, akan tetapi keadaan lawan juga tampak
bekas tangan dan kehebatan sang adipati. Pedang Sariwuni tinggal
sepotong, kebutan Ni Dewi Nilamanik terbabat ujungnya, juga nenggala di
tangan Ki Kolohangkoro kelihatan rompal-rompal ujungnya. Hanya tongkat
ular Cekel Wisangkjoro yang masih utuh, karena memang tubuh ular kering
ini memiliki daya tahan yang hebat sekali.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang hebat. Tejolaksono memandang ke
bawah dan alangkah kagetnya kĂȘtika ia menyaksikan betapa pasukannya
terdesak hebat, banyak yang roboh dan kini sisanya sedang digencet dari
segala jurusan oleh pasukan lawan yang menggunakan ilmu hitam.
Karena kaget dan cemas inilah maka Tejolaksono kurang kewaspadaannya.
Pada saat itu, senjata-senjata lawannya datang menyambar dan biar pun
hanya beberapa detik saja tadi perhatiannya terbagi ke arah pasukannya
yang tergencet dan terjepit, namun yang beberapa detik ini dipergunakan
baik-baik oleh empat lat wannya.
Tejolaksono maklum akan datangnya bahaya maut yang mengancam dirinya. Ia
cepat mengerahkan hawa sakti dari pusar, mendorongnya keluar melalui
kerongkongannya menjadi pekik Dirodo Meto yang dahsyat itu.
Biar pun empat orang lawannya merupakan orang-orang sakti yang tidak
akan roboh hanya oleh getaran pekik sakti ini, namun setidaknya membuat
mereka tergetar dan telah mengurangi kecepatan dan kekuatan serangan
mereka yang serentak dan berbahaya itu.
Sambil mengeluarkan pekik sakti ini, Tejolaksono mainkan goloknya, yang
kiri menyambut bacokan pedang Sariwuni ke arah leher, yang kanan
menangkis tusukan nenggala Ki Kolohangkoro ke arah lambungnya dari
sebelah kanan.
Dengan mengerahkan hawa sakti melalui kedua lengannya ia menggunakan
tenaga “melekat” sehingga senjata kedua orang ini seakan-akan melekat
pada sepasang goloknya, kemudian pada detik berikutnya ia miringkan
tubuh, menarik pedang buntung Sariwuni yang melekat goloknya ke bawah
menyambut tongkat ular Cekel Wisangkoro yang menusuk perutnya dan
berusaha menarik nenggala Ki Kolohangkoro untuk menangkis kebutan Ni
Dewi Nilamanik!
Hebat bukan main gerakan Tejolaksono ini, sekaligus menghadapi serangan
empat orang lawan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut.
Terdengar Sariwuni menjerit karena wanita ini tidak kuasa lagi
mempertahankan pedangnya yang seolah-olah melekat pada golok lawan dan
tidak mau Menurutkan kehendaknya lagi, tanpa dapat ia cegah telah
tertarik dan menangkis tongkat ular Cekel Wisangkoro!
Terdengar suara keras dan Sariwuni yang menjerit itu terlempar ke
belakang, tangannya menggembung seketika karena terkena ujung tongkat
ular yang berbisa!
Pada saat tertangkis oleh pedang buntung itu, Cekel Wisangkoro sudah
berusaha menarik tongkatnya kembali namun terlambat sehingga melukai
teman sendiri dan iapun terhuyung ke belakang.
Detik berikutnya, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Kiranya
raksasa ini yang tadi juga kaget ketika nenggalanya melekat pada golok
lawan, telah menggunakan seluruh tenaga untuk membetot senjatanya.
Terjadi adu tenaga ketika Tejolaksono menarik nenggala itu dengan
kekuatan dalam, namun ternyata Ki Kolohangkoro jauh lebih kuat dari pada
Sariwuni dan Tejolaksono melihat betapa kebutan merah itu menyambar
kepalanya. Karena usahanya menangkis kebutan menggunakan nenggala tidak
berhasil, terpaksa ia miringkan kepala dan membiarkan ujung kebutan
menghantam pundaknya.
Ia mengerahkan tenaga, menyalurkan tenaga hantaman kebutan itu ke arah
tangan kanan, menambah tenaga pada goloknya sehingga ketika mendorong,
tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Secepat kilat Tejolak sono
memutar tubuh, mengayun kakinya dan kini Ni Dewi Nilamanik yang menjerit
dan tubuh wanita ini terlempa sampai lima tombak terkena tendanga
Tejolaksono!
Wajah Tejolaksono pucat sekali. Pundak kirinya terasa panas sekali,
membuat lengan kiri seperti lumpuh dan ada rasa gatal-gatal. Ia tahu
bahwa hantaman ujung kebutan Ni Dewi Nilamanik telah membuat ia terluka
dan keracunan.
Maka ia menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa kalau empat orang lawannya
yang juga hanya terluka itu sempat mengeroyoknya tagi, tentu ia akan
celaka. Dia tidak takut mati. Seorang prajurit yang berjuang di medan
laga, sama sekali tidak gentar akan kematian. Akan tetapi sebelum mati,
id harus dapat menewaskan sebanyak mungkin lawan, dan demi keselamatan
Panjalu, perlu sekali empat orang tokoh pimpinan musuh ini dibinasakan.
Sambil mengertak gigi, Tejolaksono menubruk maju dengan sepasang
goloknya. Yang terdekat adalah Ni Dewi Nilamanik, juga karena yang
melukainya adalah wanita ini, maka orang pertama yang hendak ditewaskan
adalah Ni Dewi Nilamanik inilah. Ia mengayun golok, menubruk ke depan
dan... Tejolaksono mengeluarkan seruan kaget karena ia sama sekali tidak
dapat menggerakkan tubuhnya!
“Ha-ha-ha, memang benar-benar keras kepala si Tejolaksono!” Terdengar suara halus penuh ejekan.
Tejolaksono menoleh ke kanan dan melihat bahwa yang mengeluarkan
kata-kata ini adalah Wasi Bagaspati. Akan tetapi ia merasa kaget, heran
dan kagum karena kakek itu berada jauh di puncak sebelah kanan, amat
jauh dari situ. Namun suaranya terdengar seolah-olah kakek itu berada di
dekatnya, dan ia tahu pula bahwa kakek sakti itulah yang menggunakan
aji kesaktian yang gaib karena kakek itu meluruskan tangan kiri ke
arahnya dan ia sama sekali tidak dapat bergerak maju!
“Ramanda wasi! Perkenankanlah saya menewaskan keparat Tejolaksono ini!” terdengar Ki Kolohangkoro berkata, suaranya menggeledek.
“Lakukanlah, Kolohangkoro. Sebelum dia disempurnakan, memang akan sukarlah dicapai hasil dalam usaha kami,” kata Wasi Bagaspati.
Tejolaksono melihat betapa Ki Kolohangkoro tertawa bergelak dan
menghampirinya dengan senjata nenggala tangan. Ia berusaha untuk
bergerak, namun usahanya sia-sia. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaga
batin dan hawa sakti di tubuhnya, mencoba meronta, ia malah terjerembab,
roboh terguling.
Seluruh tubuhnya seperti telah dikuasai dalam sebuah jaring halus yang
tidak tampak, yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kini ia hanya dapat
memandang Ki Kolohangkoro dengan mata terbelalak marah, sedikitpun tidak
takut, menanti datangnya tusukan maut dengan senjata nenggala itu,
sambil menduga-duga apakah hawa sakti yang ia kerahkan akan dapat
menahan hantaman nenggala.
Ia maklum bahwa pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati yang membuat ia tidak
mampu bergerak ini dan tahu pula bahwa sekali ini ia tidak akan dapat
lolos dari pada bahaya maut yang mengancam dari tangan banyak lawan yang
amat sakti, terutama dari tangan Wasi Bagaspati yang ia tahu jauh lebih
sakti dari pada dirinya sendiri.
Namun merupakan pantangan besar bagi seorang perkasa seperti dia untuk
menyerah kalah, maka dalam saat terakhir itu pun ia tidak memperlihatkan
sedikitpun rasa takut dan menentang datangnya maut dengan sikap tetap
gagah perkasa. Dengan mata tidak berkedip, Tejolaksono yang sudah roboh
itu memandang berkelebatnya senjata nenggala yang meluncur turun dad
atas mengarah tubuhnya.
“Cuiiittt... cringgg... Aduhh...!”
Tejolaksono terbelalak. Jelas tampak olehnya ada sinar putih menyambar
turun dari sebelah kiri atas, sinar yang mengeluarkan suara bercuit
nyaring, dan kemudian sinar ini menghantam nenggala yang sedang meluncur
turun ke arah tubuhnya, membuat senjata itu terlempar dari tangan Ki
Kolohangkoro, terlepas, dan raksasa itu sendiri terjengkang ke belakang,
mengaduh-aduh memegangi tangannya.
Dan tampak oleh Tejolaksono betapa betapa di atas puncak sebelah kiri
itu, cukup jauh dari situ, berdiri dua orang, seorang kakek tua
berpakaian putih panjang, namun wajah kakek ini sama sekali tidak jelas
karena mukanya seolah-olah tertutup sinar atau uap seperti embun
bermandi cahaya matahari pagi.
Dan di samping kiri kakek ini berdiri seorang pemuda tanggung, berusia
kurang lebih lima belas tahun, berpakaian sederhana dan menggigillah
seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia melihat wajah pemuda itu. Biar pun
sudah berpisah lima tahun, namun mana mungkin ia melupakan wajah yang
siang malam selalu terbayang di hatinya ini?
“Bagus Seta...!” Ia berseru penuh keheranan dan mencoba untuk bangkit
berdiri, namun tidak berhasil karena pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati
masih menguasainya.
Melihat keadaan KI Kolohangkoro, teman-temannya menjadi heran dan juga penasaran dan marah.
Musuh besar mereka, Tejolaksono sudah tak berdaya, sudah roboh dan
tinggal bunuh saja, bagaimana Ki Kolohangkoro sampai gagal? Serentak Ni
Dewi Nilamanik, -Cekel Wisangkoro, Sariwuni mencelat maju dan hendak
membunuh musuh yang sudah tak berdaya, bahkan Ki Kolohangkoro yang
merasa marah sudah bangkit lagi dan hendak mengulangi serangannya dengan
tangan kosong.
Keempat orang itu maju seperti berlumba, hendak menjadi orang pertama
yang menjatuhkan tangan maut. Akan tetapi tiba-tiba keempatnya terpekik
dan... berdiri seperti arca, tak dapat bergerak sama sekali, seperti
keadaan Tejolaksono sendiri!
Tejolaksono melihat hal ini semua, dapat menduga bahwa ini tentulah
perbuatan kakek yang mukanya tertutup kabut di puncak itu, karena kakek
itu mengangkat tangan kiri ke atas.
Keadaan sekeliling menjadi hening sekali, seolah-olah dunia berhenti
bergerak. Suara pertempuran yang tadinya amat hiruk-pikuk kini lenyap
sama sekali. Tejolaksono belum dapat bangkit, akan tetapi masih dapat
menggerakkan leher menoleh.
Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat para prajurit kedua fihak
yang tadinya berperang mati-matian di sebelah bawah, di lereng yang
rata, kini semua diam tak bergerak, seakan-akan telah berubah menjadi
batu atau arca semua! Peristiwa ini seperti mimpi saja bagi Tejolaksono.
Mimpikah dia? Benar-benar Bagus Setakah yang berada di puncak itu?
Ataukah hanya dalam mimpi? Atau barangkali ia benar-benar telah tewas di
tangan musuh dan sekarang tidak lagi berada di atas dunia? Akan tetapi
suara-suara yang didengarnya kemudian menyatakan kepadanya bahwa dia
bukanlah mimpi, bukan pula berada di alam baka.
“Sadhu-sadhu-sadhu...”
Terdengar suara yang mengejutkan Tejolaksono, apa lagi ketika tampak
olehnya betapa kini di samping Wasi Bagaspati muncul seorang kakek lain,
yang berkepala gundul, bertubuh gendut pendek, memegang tasbih dan
tongkat, seorang kakek yang sudah pernah dilihatnya, yaitu Sang Biku
Janapati yang entah bagaimana tahu-tahu telah muncul di atas puncak
sebelah kanan itu!
Suaranya perlahan dan halus namun seolah-olah suara itu berada di dekat telinga Tejolaksono!
“Semoga Sang Triratna selalu melindungi kita, memberkahi yang benar dan
menuntun yang sesat ke jalan kebenaran! Siapakah gerangan andika, wahai
saudara yang sakti1 mandraguna? Adakah andika golongan dewa? Kalau dewa,
mengapa mencampuri urusan manusia? Kalau manusia mengapa menggunakan
kekuasaan seperti dewa? Ataukah andika hendak mengandalkan aji kesaktian
untuk menyombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain
manusia yang dapat menandingi andika? Mengakulah andika, wahai saudara
yang berada di puncak depan!”
Tejolaksono terbelalak memandang. Jelas tampak wajah puteranya yang kini
telah membayangkan kedewasaan, tampan dan gagah akan tetapi tampak
keterangan dan keagungan, dengan sinar mata redup namun menyembunyikan
sinar tajam, tubuhnya sedang, sedikitpun tidak membayangkan sesuatu
perasaan pada wajah yang muda itu.
Di sampingnya, kakek aneh yang tidak tampak mukanya, masih saja diam tak
bergerak, juga tidak mengeluarkan suara, seolah-olah tidak mendengar
atau mempedulikan teguran dan pertanyaan Biku Janapati yang halus namun
penuh teguran itu.
“Hemmm... babo-babo! Heh, si tua bangka yang berada di puncak depan!”
Wasi Bagaspati berkata marah, suaranya nyaring sekali, terdengar
menggema di seluruh Gunung Merak, tanda bahwa dalam kemarahannya pendeta
ini telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat.
“Biar pun kita sudah sama-sama tua bangka, akan tetapi tidak selayaknya
andika menyombongkan kesaktian di depan kami! Apakah matamu buta
telingamu tuli sehingga tidak mengenal, kami berdua dan berani
berlancang tangan mencampuri urusan kami? Benarkah itu sikap seorang
pendeta yang sudah bijaksana untuk membela satu fihak saja dan memilih
kasih? Hayo mengaku andika sebelum disempurnakan oleh kedua tangan Wasi
Bagaspati!”
Akan tetapi, kakek aneh itu tetap diam saja, sama sekali tidak bergerak,
juga sama sekali tidak menjawab. Tejolaksono kini secara tiba-tiba
sekali dapat menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi ada getaran
sesuatu yang aneh, yang membuat semua api perang yang membakar
semangatnya padam.
Ia lalu berjalan perlahan karena khawatir kalau-kalau membikin marah
kakek itu, khawatir pula kalau puteranya itu hanya bayangan mimpi dan
akan lenyap kalau ia bergerak cepat. Ia berjalan perlahan mendaki puncak
di sebelah kiri di mana puteranya dan kakek aneh itu berdiri seperti
arca.
Juga para prajurit kedua fihak kini dapat bergerak kembali, akan tetapi
seperti juga Tejolaksono, api perang yang mendorong mereka saling gempur
tadi kini telah padam, mereka itu kini bengong memandang dan
memperhatikan kakek aneh, hendak mendengar dan melihat sikapnya
menghadapi ,dua orang kakek sakti dari Sriwijaya dan Cola itu.....
Komentar
Posting Komentar