PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-32


“Tejolaksono, harus kuakui bahwa engkau memang seorang pria yang hebat! Sungguh aku merasa sayang sekali bahwa di antara kita sampai terdapat permusuhan. Tejolaksono, agaknya masih belum terlambat kalau engkau suka menerima uluran tanganku. Untuk apakah mengobarkan permusuhan dan perang, bunuh-membunuh yang tidak ada gunanya? Bukarkkah lebih baik saling mencinta dari pada saling membenci? Tejolaksono, kaupandanglah aku. Ni Dewi Nilamanik kalau perlu dapat pula menjadi Dewi Cinta. Masih kurang cantikkah aku? Pandanglah balk-balk...”
Kata-kata yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik yang berbibir merah itu bukanlah sembarang kata-kata melainkan kata-kata yang diterapkan sebagai bagian dari pada ilmu guna-guna sehingga terdengar merayu-rayu dan amat merdu.
Tejolaksono yang memandang wanita itu, merasakan getaran hebat yang menerjangnya, yang menggetarkan jantung dan yang amat kuat seperti hendak menguasai hati dan pikirannya, yang menciptakan pandangan indah sehingga wanita itu tampak cantik melebihi dewi kahyangan sendiri, yang membuat suara itu terdengar merdu, pendeknya getaran itu menciptakan segala yang serba indah, menyenangkan hati, menghilang}can semua rasa benci dan marah, membangkitkan nafsu berahi!
Tentu saja sebagai ksatria gemblengan yang sakti mandraguna, dan yang tahu akan seperti ini, Tejolaksono dapat menguasai hatinya dalam beberapa detik saja. Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut dan harus ia akui bahwa kekuatan yang terkandung dalam ilmu semacam aji guna asmara yang dikerahkan wanita ini benar-benar amat mujijat dan kuat.
Jarang kiranya ada pria, betapa pun gagahnya, yang akan dapat menahan diri dari pada pengaruh, guna-guna yang hebat ini.
“Ni Dewi Nilamanik, tidak perlu lagi engkau mengeluarkan aji-ajimu yang kotor dan rendah! Betapa pun cantiknya engkau, tetap saja tampak olehku betapa kotor dan hitam hatimu. Kecantikanmu hanyalah bungkus indah yang menyembunyikan sesuatu yang busuk dan kotor!”
Senyum manis di bibir Ni Dewi Nilamanik perlahan-lahan berubah menjadi seringai yang kejam. Mata yang tadi bersinar-sinar mesra dan redup kini menyala-nyala seperti mengeluarkan api.
“Tar-tar!” Pengebut merah yang baru karena pengebut yang lama telah rusak ketika ia melawan Tejolaksono di Mentasari, kini bergerak di atas kepala Ni Dewi Nilamanik, mendahului kata-katanya yang terdengar ketus,
“Tejolaksono! Engkau sudah bosan hidup! Apa engkau kira akan dapat lolos dari tanganku?”
“Tidak perlu bersombong, iblis betina. Engkaulah yang kini takkan lolos dari pada tanganku untuk menebus dosa-dosamu dengan kematian!”
“Bagus! Hayo kita mencari tempat yang lapang agar dapat menentukan siapa di antara kita yang akan mampusI”
Sambil berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik berkelebat dan tubuhnya dengan gerakan yang amat ringan seperti terbang saja sudah berlari atau setengah melayang mendaki bagian yang lebih tinggi dekat puncak, menjauhi tempat yang telah menjadi medan perang itu.
Tejolaksono memang ingin sekali merobohkan musuh ini karena ia maklum bahwa robohnya Ni Dewi, Nilamanik akan mempengaruhi kemenangan pasukannya. Maka ia tidak menjadi gentar dan cepat ia pun menggunakan Aji Bayu Sakti untuk mengejar lawannya.
Setelah tiba di bawah puncak, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik membalikkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak melepaskan jarum-jarum beracun yang berwarna merah pula. Inilah senjata rahasia yang halus sekali, terbuat dat'ipada besi yang besarnya hanya serambut panjangnya setengah jari.
Namun justru karena kecilnya inilah maka jarum-jarum, ini amat berbahaya, jika dipakai menyerang, disambitkan dengan dorongan hawa sakti tidak tampak namun apa bila mengenai tubuh lawan akan menembus masuk kulit daging sehingga sukar untuk dikeluarkan lagi.
Lebih mengerikan lagi karena jarum-jarum ini sebelumnya telah direndam racun yang dibuat dari pada air liur ular bandotan!
Tejolaksono yang sudah waspada dapat menduga akan datangnya serangan ini, apa lagi pandang matanya yang tajam dapat melihat berkelebatnya benda-benda halus yang menyambar ke arahnya itu, juga pendengaran telinganya yang terlatih dapat menangkap suara berdesir, halus dari jarum-jarum. Maka ia cepat memutar goloknya depan tubuh tanpa menghentikan pengejarannya.
Terdengar suara berdencing dan jarum-jarum itu terpukul runtuh ke kanan kiri.
Dengan marah dan penuh semangat Tejolaksono meloncat ke depan, mengejar lawannya yang kini sudah berdiri menantinya dengan senyum mengejek dan kebutan merah di tangan. Akan tetapi pada saat itu, muncul tiga orang yang memiliki gerakan gesit dan mereka ini segera berdiri di empat penjuru sehingga
Tejolaksono terkurung di tengah-tengah. Ketika adipati yang sakti mandraguna ini memandang, ia segera mengenal mereka dan kemarahannya tersinar dari pandang matanya yang tajam. Mereka itu bukan lain adalah Cekel Wisangkoro, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni si wanita cantik genit yang sudah menggodanya.
“Hemm, bagus sekali! Memang kalian inilah yang menjadi biang keladi dan sudah lama kucari-cari!” kata Tejolaksono sambil mengangkat dada dan siap dengan sepasang goloknya. Ia tahu bahwa empat orang itu bukanlah lawan lemah, dan maklum pula bahwa ia tentu akan dikeroyok, maka ia bersikap tenang dan tidak berani memandang rendah, hanya menanti empat lawannya bergerak.
“Heh-heh-heh-heh, Tejolaksono, kau sombong benar!” kata Cekel Wisangkoro, kakek berusia lima puluh tahun yang rambutnya terurai penuh uban ini. Karena merasa yakin bahwa kali ini dia dan teman-temannya akan berhasil membunuh Tejolaksono, maka kakek ini tertawa-tawa gembira.
Seperti biasa rambut kakek yang penuh uban ini terurai sampai ke pinggang. Jubahnya kuning panjang dan kakinya telanjang. Mukanya yang merah itu berkulit halus seperti muka kanak-kanak, dan tubuhnya yang kurus tinggi masih kelihatan kuat. Tongkat hitam berbentuk ular di tangannya mengkilat seperti hidup, dilintangkan depan dada. Dia ini adalah murid yang tekun dari Wasi Bagaspati, maka tentu saja memiliki ilmu yang tinggi.
“Hemm, Cekel Wisangkoro! Biasa saja seorang musuh menganggap lawannya sombong! Persoalannya bukan tentang sikap, melainkan karena sepak terjang kalian yang menerjang dan melanggar batas wilayah Panjalu, yang menyebar kekacauan sehingga kalian ini bagi kami lebih jahat dari pada penyakit menular maka harus dibasmi sampai ke akar-akarnya!”
“Babo-babo! Sumbarnya seperti engkau seorang satu-satunya jantan di dunia ini, keparat!” bentak Ki Kolohangkoro dengan muka merah saking marahnya.
Raksasa ini adalah adik seperguruan Sang Wiku Kalawisesa si penyembah Bathara Kala yang tewas di tangan Endang Patibroto. Hanya bedanya, kalau Wiku Kalawisesa lebih memperdalam ilmu gaib dan ilmu hitam, adik seperguruannya yang bertubuh raksasa ini memperdalam ilmu-ilmu pertempuran sehingga dalam hal kedigdayaan, Ki Kolohangkoro ini malah melampaui kakak seperguruannya itu.
Namun hal ini bukan berarti dia tidak tahu akan ilmu hitam. Sebaliknya, karena akhir-akhir ini malah melatih ilmu gaib yang berdasarkan ilmu hitam dan cara menghimpun tenaga dalam ilmu ini amat mengerikan, yaitu dengan minum darah dan makan daging seorang anak kecil hidup-hidup! Pakaian raksasa berusia kurang lebih lima puluh tahun ini pun mewah sehingga ia tampak gagah dan menakutkan, sepasang anting-anting di telinga terbuat dari pada emas, dan senjatanya berbentuk sebuah nenggala dengan gaganq di tengah dihias emas permata.
“Terserah bagaimana wawasan kalian!” kata pula Tejolaksono dengan sikap tenang.
“Tejolaksono, engkau pernah menghinaku, kini tiba saatnya engkau merasakan pembalasanku, keparat!” teriak Sariwuni yang juga sudah mencabut pedangnya.
“Sariwuni, engkau bukan perempuan baik-baik, dan sekali ini aku berusaha melemparmu ke neraka jahanam agar engkau dapat menebus dosa-dosamu,” jawab Tejolaksono.
“Waduh-waduh, sumbarmu seperti hendak memecahkan Gunung Semeru! Kematian sudah berada di ujung hidung, masih banyak berlagak. Kaurasakan ke-ampuhan tongkat ularku.”
Cekel Wisangkoro berseru dan tubuhnya bergerak ke depan, cepat sekali gerakan tubuhnya ini, tahu-tahu ia telah menerjang Tejolaksono dengan tongkatnya yang hitam berbentuk ular menusuk ke arah leher.
“Wuuutttt... trangggg...!”
Tangkas sekali gerakan Tejolaksono. Biar pun kelihatannya Cekel Wisangkora yang lebih dahulu menyerangnya dari depan, namun perhatian Tejolaksono tidak terpikat dan masih saja pendekar ini memperhatikan keadaan semua orang lawannya sehingga ia dapat mengetahui bahwa biar pun Cekel Wisangkoro lebih dahulu bergerak, namun senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro lebih dahulu menyambar lambungnya dari sebelah kanan.
Oleh karena itu, sambaran senjata nenggala inilah yang leblh dulu ia elakkan sehingga senjata itu menyambar dahsyat di pinggir tubuhnya, sementara itu tusukan tongkat Cekel Wisangkoro ia tangkis dengan golok tangan kirinya. Bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata dan cekel itu meringis ketika merasa betapa telapak tangannya yang memegang tongkat seperti dibakar rasanya.
“Tar-tar-tar!”
Ni Dewi Nilamanik tidak mau ketinggalan. Kebutan lalat yang berambut merah itu sudah berbunyi nyaring dan menyambar-nyambar seperti halilintar di atas kepala Tejolaksono. Namun sang adipati yang sakti mandraguna ini sudah menggerakkan golok di tangan kiri, dlputarnya sedemikian rupa, mempergunakan pergelangan tangan sehingga golok ini berubah bentuknya menjadi segulungan sinar yang melingkar-lingkar di atas kepalanya dan saking cepat gerakannya sampai kelihatan seperti sebuah payung yang melindungi tubuh sang adipati dari atas.
Adapun golok yang sebuah lagi, di tangan kanan, bergerak seperti seekor naga sakti mengamuk. Pedang Sariwuni yang menyambar diterjangnya sampai menyeleweng ke kiri membawa serta tubuh Sariwuni yang terhuyung-huyung, kemudian berputar cepat dan bertubi-tubi menyerang Cekel Wisangkoro dan Ki Kolohangkoro yang menjadi kaget sekali dan cepat menangkis dengan senjata masing-masing.
Memang hebat sekali sepak terjang sang Adipati Tejolaksono. Dikeroyok em.pat orang lawan yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, masih sempat untuk membalas, hal ini benar-benar membuktikan bahwa tingkatnya memang sudah amat tinggi.
Namun sekali ini, empat orang yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memang sakti mandraguna dan memiliki kepandaian tinggi. Cekel Wisangkoro adalah murid yang paling tangguh dari Sang Wasi Bagaspati, seorang peranakan bangsa Hindu yang pernah lama tinggal di hindu dan sebelum menjadi murid Sang Wasi Bagaspati telah memiliki kesaktian yang hebat.
Cekel Wisangkoro inilah yang berhasil membentuk pasukan terdiri dari orang-orang yang bergerak seperti robot itu, orang-orang yang telah kehilangan semangat dan kemauan karena semangat dan kemauannya telah dirampas oleh Cekel Wisangkoro, diganti dengan pengaruh dari pada kemauannya sendiri, membuat pasukan ini melakukan apa saja yang diperintahkan Cekel Wisangkoro, tidak mengenal takut, tidak merasa nyeri, kebal dan tidak kenal bahaya.
Pasukan macam ini tentu saja hebat luar biasa dan banyak prajurit Panjalu yang tewas ketika menghadapi pasukan manusia robot ini. Selain sakti dan mahir akan ilmu hitam, juga ilmu silat Cekel Wisangkoro aneh dan dahsyat, apa lagi. kalau ia mainkan tongkat hitamnya yang merupakan senjata yang benar-benar ampuh.
Tongkatnya bukan hanya berbentuk ular, melainkan memang sungguh-sungguh terbuat dari pada seekor ular kobra hitam yang hanya terdapat di sebuah lereng dari Pegunungan Himalaya. Ular kobra hitam ini sudah kering dan kerasnya melebihi kayu, seperti baja saja. Darah dan racun ular yang hebat ini sudah meresap ke seluruh bagian tubuh ketika dikeringkan sehingga tongkat Itu menjadi tongkat beracun, baik bagian ekornya maupun bagian kepalanya!
Ni Dewi Nilamanik, biar pun kelihatannya hanya seorang wanita yang halus gemulai dan cantik jelita, namun dalam hal kekejian dan kedigdayaan, agaknya tidak berada di sebelah bawah Cekel Wisangkoro! Bahkan ada kelebihannya, yaitu dalam aji meringankan tubuh yang membuat wanita itu dapat bergerak cepat laksana kilat. Sebagai orang yang mengaku titisan Sang Batharl Durga dan menjadI kekasih utama Sang Wasi Bagaspati, tentu saja wanita ini hebat kepandaiannya, dan menerima pula beberapa macam aji kesaktian dari Sang Wasi Bagaspati.
Dalam hal ilmu hitam, malah lebih keji dari pada Cekel Wisangkoro. Senjata kebutan lalat merah itu kalau sudah dimainkan sebagai senjata, mengerikan sekali. Rambut-rambutnya yang merah dan berbentuk buntut kuda itu tak boleh dipandang rendah karena setiap bulunya saja dapat menusuk jalan darah menembus kulit daging membawa racun yang mematikan. Apa lagi kalau sampai kena dihantam! Kepala bisa remuk, dada bisa pecah!
Ki Kolohangkoro mungkin masih kalah seusap oleh Ni Dewi Nilamanik dalam hal ilmu silat, akan tetapi dalam hal kekejaman ia menang banyak! Kalau Ni Dewi Nilamanik dapat membunuh orang dengan mata meram, Ki Kolohangkoro ini dapat membunuh dengan mata melek dan tertawa-tawa.
Sudah beberapa kali, setiap tahun, ia menggigit leher untuk menghisap darah seorang anak kecil, kemudian mengganyang dagingnya, sambil terkekeh-kekeh melihat anak itu menjerit-jerit ketakutan dan kesakitan!
Senjatanya merupakan senjata yang hanya dipergunakan oleh tokoh pewayangan Sang Prabu Baladewa, yaitu sebuah senjata nenggala atau tombak pendek, yang meruncing kedua ujungnya, dipegang di tengah-tengah. Nenggala ini bukanlah sembarang senjata, baru beratnya saja tak terangkat oleh empat orang laki-laki dewasa biasa.
Demikian pula seperti ketiga kawannya, Sariwuni juga bukan sembarang orang. Wanita yang cantik genit dan cabul ini tadinya adalah seorang pembantu Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durga, akan tetapi karena ia pandai merayu dan mengambil hati, maka ia “terpakai” oleh Sang Wasi Bagaspati, malah menjadi kekasihnya dan menghiburnya sehingga kepada Sariwuni ini diturunkan banyak aji kesaktian, di antaranya adalah Aji Wisakenaka yang amat keji.
Aji Wisakenaka ini adalah sebuah aji yang didorong oleh hawa sakti di dalam tubuh, yang kalau dikerahkan membuat kuku-kuku tangan wanita cantik ini berubah menjadi kuku-kuku beracun, lebih jahat dari pada taring ular bandotan. Sekali gores saja cukup untuk menyeret nyawa lawan ke jurang maut. Selain ini, juga permainan pedangnya amat cepat dan kuat.
Sang Adipati Tejolaksono memang harus diakui bahwa pada waktu itu ia merupakan seorang perkasa yang sukar dicari tandingnya. Sebagai murid Sang Sakti Narotama, bahkan pernah pula menerima petunjuk dan gemblengan Sang Prabu Airlangga, dia memiliki aji-aji kesaktian yang amat kuat. Namun, kini menghadapi pengeroyokan empat orang itu, ia benar-benar telah bertemu tanding yang mengharuskan ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua aji kesaktiannya.
Pertandingan hebat itu sudah berlangsung hampir dua jam dan keadaan masih seru, bahkan makin lama makin seru dan sengit. Aji-aji dikeluarkan silih berganti, serang-menyerang, kadang-kadang hanya seujung rambut selisihnya dari pada sambaran tangan maut. Kedua golok di tangan Tejolaksono sudah rompal-rompal, akan tetapi keadaan lawan juga tampak bekas tangan dan kehebatan sang adipati. Pedang Sariwuni tinggal sepotong, kebutan Ni Dewi Nilamanik terbabat ujungnya, juga nenggala di tangan Ki Kolohangkoro kelihatan rompal-rompal ujungnya. Hanya tongkat ular Cekel Wisangkjoro yang masih utuh, karena memang tubuh ular kering ini memiliki daya tahan yang hebat sekali.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang hebat. Tejolaksono memandang ke bawah dan alangkah kagetnya kĂȘtika ia menyaksikan betapa pasukannya terdesak hebat, banyak yang roboh dan kini sisanya sedang digencet dari segala jurusan oleh pasukan lawan yang menggunakan ilmu hitam.
Karena kaget dan cemas inilah maka Tejolaksono kurang kewaspadaannya. Pada saat itu, senjata-senjata lawannya datang menyambar dan biar pun hanya beberapa detik saja tadi perhatiannya terbagi ke arah pasukannya yang tergencet dan terjepit, namun yang beberapa detik ini dipergunakan baik-baik oleh empat lat wannya.
Tejolaksono maklum akan datangnya bahaya maut yang mengancam dirinya. Ia cepat mengerahkan hawa sakti dari pusar, mendorongnya keluar melalui kerongkongannya menjadi pekik Dirodo Meto yang dahsyat itu.
Biar pun empat orang lawannya merupakan orang-orang sakti yang tidak akan roboh hanya oleh getaran pekik sakti ini, namun setidaknya membuat mereka tergetar dan telah mengurangi kecepatan dan kekuatan serangan mereka yang serentak dan berbahaya itu.
Sambil mengeluarkan pekik sakti ini, Tejolaksono mainkan goloknya, yang kiri menyambut bacokan pedang Sariwuni ke arah leher, yang kanan menangkis tusukan nenggala Ki Kolohangkoro ke arah lambungnya dari sebelah kanan.
Dengan mengerahkan hawa sakti melalui kedua lengannya ia menggunakan tenaga “melekat” sehingga senjata kedua orang ini seakan-akan melekat pada sepasang goloknya, kemudian pada detik berikutnya ia miringkan tubuh, menarik pedang buntung Sariwuni yang melekat goloknya ke bawah menyambut tongkat ular Cekel Wisangkoro yang menusuk perutnya dan berusaha menarik nenggala Ki Kolohangkoro untuk menangkis kebutan Ni Dewi Nilamanik!
Hebat bukan main gerakan Tejolaksono ini, sekaligus menghadapi serangan empat orang lawan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut.
Terdengar Sariwuni menjerit karena wanita ini tidak kuasa lagi mempertahankan pedangnya yang seolah-olah melekat pada golok lawan dan tidak mau Menurutkan kehendaknya lagi, tanpa dapat ia cegah telah tertarik dan menangkis tongkat ular Cekel Wisangkoro!
Terdengar suara keras dan Sariwuni yang menjerit itu terlempar ke belakang, tangannya menggembung seketika karena terkena ujung tongkat ular yang berbisa!
Pada saat tertangkis oleh pedang buntung itu, Cekel Wisangkoro sudah berusaha menarik tongkatnya kembali namun terlambat sehingga melukai teman sendiri dan iapun terhuyung ke belakang.
Detik berikutnya, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Kiranya raksasa ini yang tadi juga kaget ketika nenggalanya melekat pada golok lawan, telah menggunakan seluruh tenaga untuk membetot senjatanya.
Terjadi adu tenaga ketika Tejolaksono menarik nenggala itu dengan kekuatan dalam, namun ternyata Ki Kolohangkoro jauh lebih kuat dari pada Sariwuni dan Tejolaksono melihat betapa kebutan merah itu menyambar kepalanya. Karena usahanya menangkis kebutan menggunakan nenggala tidak berhasil, terpaksa ia miringkan kepala dan membiarkan ujung kebutan menghantam pundaknya.
Ia mengerahkan tenaga, menyalurkan tenaga hantaman kebutan itu ke arah tangan kanan, menambah tenaga pada goloknya sehingga ketika mendorong, tubuh Ki Kolohangkoro mencelat ke belakang. Secepat kilat Tejolak sono memutar tubuh, mengayun kakinya dan kini Ni Dewi Nilamanik yang menjerit dan tubuh wanita ini terlempa sampai lima tombak terkena tendanga Tejolaksono!
Wajah Tejolaksono pucat sekali. Pundak kirinya terasa panas sekali, membuat lengan kiri seperti lumpuh dan ada rasa gatal-gatal. Ia tahu bahwa hantaman ujung kebutan Ni Dewi Nilamanik telah membuat ia terluka dan keracunan.
Maka ia menjadi marah sekali. Ia tahu bahwa kalau empat orang lawannya yang juga hanya terluka itu sempat mengeroyoknya tagi, tentu ia akan celaka. Dia tidak takut mati. Seorang prajurit yang berjuang di medan laga, sama sekali tidak gentar akan kematian. Akan tetapi sebelum mati, id harus dapat menewaskan sebanyak mungkin lawan, dan demi keselamatan Panjalu, perlu sekali empat orang tokoh pimpinan musuh ini dibinasakan.
Sambil mengertak gigi, Tejolaksono menubruk maju dengan sepasang goloknya. Yang terdekat adalah Ni Dewi Nilamanik, juga karena yang melukainya adalah wanita ini, maka orang pertama yang hendak ditewaskan adalah Ni Dewi Nilamanik inilah. Ia mengayun golok, menubruk ke depan dan... Tejolaksono mengeluarkan seruan kaget karena ia sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhnya!
“Ha-ha-ha, memang benar-benar keras kepala si Tejolaksono!” Terdengar suara halus penuh ejekan.
Tejolaksono menoleh ke kanan dan melihat bahwa yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Wasi Bagaspati. Akan tetapi ia merasa kaget, heran dan kagum karena kakek itu berada jauh di puncak sebelah kanan, amat jauh dari situ. Namun suaranya terdengar seolah-olah kakek itu berada di dekatnya, dan ia tahu pula bahwa kakek sakti itulah yang menggunakan aji kesaktian yang gaib karena kakek itu meluruskan tangan kiri ke arahnya dan ia sama sekali tidak dapat bergerak maju!
“Ramanda wasi! Perkenankanlah saya menewaskan keparat Tejolaksono ini!” terdengar Ki Kolohangkoro berkata, suaranya menggeledek.
“Lakukanlah, Kolohangkoro. Sebelum dia disempurnakan, memang akan sukarlah dicapai hasil dalam usaha kami,” kata Wasi Bagaspati.
Tejolaksono melihat betapa Ki Kolohangkoro tertawa bergelak dan menghampirinya dengan senjata nenggala tangan. Ia berusaha untuk bergerak, namun usahanya sia-sia. Ketika ia mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa sakti di tubuhnya, mencoba meronta, ia malah terjerembab, roboh terguling.
Seluruh tubuhnya seperti telah dikuasai dalam sebuah jaring halus yang tidak tampak, yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kini ia hanya dapat memandang Ki Kolohangkoro dengan mata terbelalak marah, sedikitpun tidak takut, menanti datangnya tusukan maut dengan senjata nenggala itu, sambil menduga-duga apakah hawa sakti yang ia kerahkan akan dapat menahan hantaman nenggala.
Ia maklum bahwa pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati yang membuat ia tidak mampu bergerak ini dan tahu pula bahwa sekali ini ia tidak akan dapat lolos dari pada bahaya maut yang mengancam dari tangan banyak lawan yang amat sakti, terutama dari tangan Wasi Bagaspati yang ia tahu jauh lebih sakti dari pada dirinya sendiri.
Namun merupakan pantangan besar bagi seorang perkasa seperti dia untuk menyerah kalah, maka dalam saat terakhir itu pun ia tidak memperlihatkan sedikitpun rasa takut dan menentang datangnya maut dengan sikap tetap gagah perkasa. Dengan mata tidak berkedip, Tejolaksono yang sudah roboh itu memandang berkelebatnya senjata nenggala yang meluncur turun dad atas mengarah tubuhnya.
“Cuiiittt... cringgg... Aduhh...!”
Tejolaksono terbelalak. Jelas tampak olehnya ada sinar putih menyambar turun dari sebelah kiri atas, sinar yang mengeluarkan suara bercuit nyaring, dan kemudian sinar ini menghantam nenggala yang sedang meluncur turun ke arah tubuhnya, membuat senjata itu terlempar dari tangan Ki Kolohangkoro, terlepas, dan raksasa itu sendiri terjengkang ke belakang, mengaduh-aduh memegangi tangannya.
Dan tampak oleh Tejolaksono betapa betapa di atas puncak sebelah kiri itu, cukup jauh dari situ, berdiri dua orang, seorang kakek tua berpakaian putih panjang, namun wajah kakek ini sama sekali tidak jelas karena mukanya seolah-olah tertutup sinar atau uap seperti embun bermandi cahaya matahari pagi.
Dan di samping kiri kakek ini berdiri seorang pemuda tanggung, berusia kurang lebih lima belas tahun, berpakaian sederhana dan menggigillah seluruh tubuh Tejolaksono ketika ia melihat wajah pemuda itu. Biar pun sudah berpisah lima tahun, namun mana mungkin ia melupakan wajah yang siang malam selalu terbayang di hatinya ini?
“Bagus Seta...!” Ia berseru penuh keheranan dan mencoba untuk bangkit berdiri, namun tidak berhasil karena pengaruh kesaktian Wasi Bagaspati masih menguasainya.
Melihat keadaan KI Kolohangkoro, teman-temannya menjadi heran dan juga penasaran dan marah.
Musuh besar mereka, Tejolaksono sudah tak berdaya, sudah roboh dan tinggal bunuh saja, bagaimana Ki Kolohangkoro sampai gagal? Serentak Ni Dewi Nilamanik, -Cekel Wisangkoro, Sariwuni mencelat maju dan hendak membunuh musuh yang sudah tak berdaya, bahkan Ki Kolohangkoro yang merasa marah sudah bangkit lagi dan hendak mengulangi serangannya dengan tangan kosong.
Keempat orang itu maju seperti berlumba, hendak menjadi orang pertama yang menjatuhkan tangan maut. Akan tetapi tiba-tiba keempatnya terpekik dan... berdiri seperti arca, tak dapat bergerak sama sekali, seperti keadaan Tejolaksono sendiri!
Tejolaksono melihat hal ini semua, dapat menduga bahwa ini tentulah perbuatan kakek yang mukanya tertutup kabut di puncak itu, karena kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas.
Keadaan sekeliling menjadi hening sekali, seolah-olah dunia berhenti bergerak. Suara pertempuran yang tadinya amat hiruk-pikuk kini lenyap sama sekali. Tejolaksono belum dapat bangkit, akan tetapi masih dapat menggerakkan leher menoleh.
Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat para prajurit kedua fihak yang tadinya berperang mati-matian di sebelah bawah, di lereng yang rata, kini semua diam tak bergerak, seakan-akan telah berubah menjadi batu atau arca semua! Peristiwa ini seperti mimpi saja bagi Tejolaksono. Mimpikah dia? Benar-benar Bagus Setakah yang berada di puncak itu? Ataukah hanya dalam mimpi? Atau barangkali ia benar-benar telah tewas di tangan musuh dan sekarang tidak lagi berada di atas dunia? Akan tetapi suara-suara yang didengarnya kemudian menyatakan kepadanya bahwa dia bukanlah mimpi, bukan pula berada di alam baka.
“Sadhu-sadhu-sadhu...”
Terdengar suara yang mengejutkan Tejolaksono, apa lagi ketika tampak olehnya betapa kini di samping Wasi Bagaspati muncul seorang kakek lain, yang berkepala gundul, bertubuh gendut pendek, memegang tasbih dan tongkat, seorang kakek yang sudah pernah dilihatnya, yaitu Sang Biku Janapati yang entah bagaimana tahu-tahu telah muncul di atas puncak sebelah kanan itu!
Suaranya perlahan dan halus namun seolah-olah suara itu berada di dekat telinga Tejolaksono!
“Semoga Sang Triratna selalu melindungi kita, memberkahi yang benar dan menuntun yang sesat ke jalan kebenaran! Siapakah gerangan andika, wahai saudara yang sakti1 mandraguna? Adakah andika golongan dewa? Kalau dewa, mengapa mencampuri urusan manusia? Kalau manusia mengapa menggunakan kekuasaan seperti dewa? Ataukah andika hendak mengandalkan aji kesaktian untuk menyombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain manusia yang dapat menandingi andika? Mengakulah andika, wahai saudara yang berada di puncak depan!”
Tejolaksono terbelalak memandang. Jelas tampak wajah puteranya yang kini telah membayangkan kedewasaan, tampan dan gagah akan tetapi tampak keterangan dan keagungan, dengan sinar mata redup namun menyembunyikan sinar tajam, tubuhnya sedang, sedikitpun tidak membayangkan sesuatu perasaan pada wajah yang muda itu.
Di sampingnya, kakek aneh yang tidak tampak mukanya, masih saja diam tak bergerak, juga tidak mengeluarkan suara, seolah-olah tidak mendengar atau mempedulikan teguran dan pertanyaan Biku Janapati yang halus namun penuh teguran itu.
“Hemmm... babo-babo! Heh, si tua bangka yang berada di puncak depan!”
Wasi Bagaspati berkata marah, suaranya nyaring sekali, terdengar menggema di seluruh Gunung Merak, tanda bahwa dalam kemarahannya pendeta ini telah mengerahkan tenaga dalam yang dahsyat.
“Biar pun kita sudah sama-sama tua bangka, akan tetapi tidak selayaknya andika menyombongkan kesaktian di depan kami! Apakah matamu buta telingamu tuli sehingga tidak mengenal, kami berdua dan berani berlancang tangan mencampuri urusan kami? Benarkah itu sikap seorang pendeta yang sudah bijaksana untuk membela satu fihak saja dan memilih kasih? Hayo mengaku andika sebelum disempurnakan oleh kedua tangan Wasi Bagaspati!”
Akan tetapi, kakek aneh itu tetap diam saja, sama sekali tidak bergerak, juga sama sekali tidak menjawab. Tejolaksono kini secara tiba-tiba sekali dapat menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi ada getaran sesuatu yang aneh, yang membuat semua api perang yang membakar semangatnya padam.
Ia lalu berjalan perlahan karena khawatir kalau-kalau membikin marah kakek itu, khawatir pula kalau puteranya itu hanya bayangan mimpi dan akan lenyap kalau ia bergerak cepat. Ia berjalan perlahan mendaki puncak di sebelah kiri di mana puteranya dan kakek aneh itu berdiri seperti arca.
Juga para prajurit kedua fihak kini dapat bergerak kembali, akan tetapi seperti juga Tejolaksono, api perang yang mendorong mereka saling gempur tadi kini telah padam, mereka itu kini bengong memandang dan memperhatikan kakek aneh, hendak mendengar dan melihat sikapnya menghadapi ,dua orang kakek sakti dari Sriwijaya dan Cola itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar