PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-33
“Inilah akibat dari pada kekerasan yang andika lakukan, saudaraku Wasi Bagaspati,”
Sang Biku Janapati menegur temannya setelah menghela napas panjang,
seolah-olah dalam suasana yang diam itu ia mendapat jawaban. Kemudian ia
menghadap ke arah puncak dan merangkap kedua tangan yang dibuka jarinya
di depan dada sebagai penghormatan sambil berkata,
“Wahai sang pertapa yang sidik paningal dan bijaksana! Kalau saya
menyatakan tidak mengenal andika, seolah-olah buta kedua mata ini.
Sebaliknya kalau, saya mengatakan tahu, seakan-akan saya hendak
mendahului andika. Karena kita sudah saling berjumpa dan jalan kita
bersilang, harap andika sudi berwawancara dengan saya, Biku Janapati
dari Kerajaan Sriwijaya.”
Kakek di puncak kiri itu masih tidak bergerak, wajahnya tidak tampak
sama sekali karena ada semacam kabut menyelimuti mukanya, akan tetapi
kini terdengar suara halus menembus keluar dari kabut itu,
“Biku Janapati, setengah abad lebih yang lalu pernah kita saling
berjumpa. Andika masih tetap bijaksana, sayang belum dapat membebaskan
diri dari pada belenggu kencana yang melibatkan diri andika dengan
Kerajaan Sriwijaya!”
Semua prajurit kedua fihak yang tadi bermusuhan, kini tertegun, tidak
ada yang bergerak, semua memandang bergantian ke puncak kanan dan puncak
kiri di mana Biku Janapati dan Wasi Bagaspati mengadakan “percakapan”
dengan seorang kakek yang mukanya terselimut kabut dan yang suaranya
begitu halus bergema dan menggetarkan hati semua pendengarnya.
Betapa orang-orang yang berada di kedua puncak yang berhadapan dapat
saling bicara, sungguh hal yang amat mengherankan dan mengejutkan.
“Sadhu-sadhu-sadhti,... betapa mungkin saya dapat melupakan suara ini?
Bukankah andika ini Sang Sakti Jitendrya?” berkata Biku Janapati sambil
menggoyang tangan kirinya dan terdengarlah suara berdencingan nyaring
menyakitkan telinga.
Semua prajurit tercengang keheranan melihat betapa seuntai tasbih digerakkan perlahan dapat mengeluarkan suara seperti itu!
Suara dari dalam kabut terdengar lagi, “Terserah kepada andika, Biku
Janapati, hendak menyebut dengan nama apa pun boleh. Memang bukan hanya
menjadi kewajibanku seorang, bahkan seluruh manusia di atas bumi ini
harus melatih diri dengan jitendrya (menahan nafsu)!”
“Wahai Sang Sakti Jitendrya yang arif bijaksana! Andika menyatakan bahwa
saya belum terbebas dari pada belenggu kencana yang melibatkan diri
saya dengan Kerajaan Sriwijaya! Sebaliknya, semenjak setengah abad yang
lalu, andika selalu berfihak kepada keturunan Mataram! Bagaimana pula
ini? Adakah seorang sakti mandraguna dan arif bijaksana seperti andika
masih juga memiliki sifat menyalahkan orang lain tanpa menengok cacad
sendiri?”
Suara di balik kabut itu kini terdengar lagi, angker dan penuh wibawa,
seperti suara seorang guru menasehati dan menegur muridnya,
“Sang Biku Janapati, seorang biku tidak hanya hafal akan isi kitab-kitab
pelajaran agama, melainkan terutama sekali mentaati dan mengerjakan
semua isi pelajaran itu untuk memberi contoh dan menuntun para umatnya.
Aku sama sekali tidak memihak atau pilih kasih, tidak membela keturunan
Mataram hanya membela yang benar mengingatkan yang keliru. Andika khilaf
dalam memilih sahabat sehingga andika telah menyalahi makna pelajaran
yang berbunyi demikian : ' Hendaknya orang tidak berteman dengan orang
jahat atau tercela, sebaliknya bertemanlah dengan orang yang melakukan
kebajikan dan yang berjiwa luhur. Orang bijaksana tenang menghadapi apa
pun yang menimpa dirinya, tidak merengek-rengek menginginkan kesenangan
duniawi, tidak memperlihatkan perubahan, dalam suka atau duka, tidak
terikat oleh kebahagiaan ataupun penderitaan. Namun, andika masih
menghambakan diri kepada Sriwijaya sehingga tidak mungkin andika bebas
dari pada duniawi!”
Merah wajah Biku Janapati mendengar ucapan ini. Dia diserang dengan ujar-ujar dari Agama Buddha sendiri!
Dengan suara gemetar karena menahan peluapan perasaan tersinggung, pendeta ini berkata,
“Wahai Sang Sakti Jitendrya! Faham kita berselisih karena pandangan kita
berbeda, seperti bedanya kedudukanmu sekarang. Andika berada di puncak
itu, sebaliknya saya berada di puncak ini. Tentu saja pemandangan
menjadi berlainan kalau dipandang dari situ dengan kalau dipandang dari
sini. Saya hanya seorang manusia, tidak lepas dari pada kewajiban
terhadap negara dan bangsa. Saya menghambakan diri di Sriwijaya dan
agama, demi untuk kebaikan di dunia ini.”
Kakek aneh itu tidak menjawab dan pada saat itu, Tejolaksono sudah tiba
di puncak. Ia melihat cahaya terang menyelimuti wajah kakek itu, membuat
matanya menjadi silau dan serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan
bersembah sujut.
Jelas kini bahwa pemuda yang, berdiri di samping kakek itu adalah Bagus
Seta yang memandangnya dengan pandang mata penuh keharuan dan cinta
kasih yang terpendam dan tertindas, sehingga wajah anak itu mengeluarkan
sinar lembut, akan tetapi anak itu pun tidak berkata-kata apa-apa.
Sebagai seorang sakti, Tejolaksono maklum bahwa puteranya tidak berani
mengganggu kakek sakti yang sedang berwawancara secara aneh itu,
menghadapi dua orang kakek yang berdiri di puncak jauh di sebelah depan.
“Hah, Biku Janapati! Perlu apa banyak berbantah dengan dia? Sekarang akupun teringat siapa dia itu!”
Sang Wasi Bagaspati kini berkata, suaranya penuh ejekan dan kemarahan.
“Hei, engkau pertapa sombong yang berada di depan! Bukankah engkau ini
yang dahulu disebut Bhagawan Sirnasarira yang pernah menyelamatkan
Airlangga di Wonogiri dari tanganku? Engkau memang selalu membela
keturunan Mataram akan tetapi lidahmu yang tak bertulang pandai mengelak
dan menyangkal, itu bukan perbuatan orang gagah dan kalau kau memang
berkepandaian, mari kita mengadu kesaktian! Sang Hyang Bathara Shiwa
yang maha kuasa melebur seisi jagad akan menghancurkan pula orang
berlagak dewa seperti engkau!”
Ucapan yang kasar penuh tantangan dari Wasi Bagaspati ini dikeluarkan
dengan suara yang nyaring sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi
gentar dan tegang hatinya. Makin terasalah kesunyian di puncak itu
setelah Sang Bagaspati menghentikan kata-katanya. Sejenak ikakek aneh
itu tidak menjawab, sesaat kemudian barulah terdengar lagi suara halus
dari balik kabut itu,
“Hemmmm, Wasi Bagaspati, seperti tadi Biku Janapati menyebut aku
Jatendrya, engkaupun boleh menyebutku sesuka hatimu, Sirnasarira atau
apa saja terserah, tiada bedanya. Kalau dahulu aku menyelamatkan
Airlangga, bukan sekali-kali aku menyelamatkan keturunan Mataram atau
seorang yang bernama Airlangga, melainkan menyelamatkan seorang manusia
yang sedang dilanda kesengsaraan dan mencegah manusia lain yang hendak
menggunakan kekuatan dan kelebihan untuk bersikap sewenang-wenang
seperti yang kaulakukan, Wasi Bagaspati!”
“Heh, Bhagawan Sirnasasira yang sombong! Engkau memiliki wawasan
sendiri, apa kaukira aku tidak mempunyai pendapat sendiri pula? Engkau
tahu aku pemuja Sang Hyang Bathara Shiwa, dan aku berhak mengabdi
kepadaNya. Memanglah menjadi kekuasaanNya untuk menghancurkan isi jagat.
Apakah kau hendak menentang dan berani melawan kekuasaanNya?”
“Wahai, Wasi Bagaspati, sungguh menyeleweng wawasanmu! Memang kita sama
tahu bahwasanya ada tiga sifat Yang Maha Kuasa, yaitu mencipta,
memelihara, dan menghancurkan. Ketiga sif at yang saling menyusul,
saling bersambung dan saling meinghidupkan sehingga terbentuk lingkaran
sempurna. Memang betul bahwa Sang Hyang Bathara Shiwa yang menguasai
sifat terakhir tadi, berhak dan berkuasa menghancurkan. Akan tetapi
betapa pun juga, tidak akan melanggar, mendahului atau tertinggal oleh
Dharma! Segala macam kehancuran yang dilaksanakan oleh Sang Hyang Shiwa
demi pelaksanaan tugas adalah selaras dengan Dharma (kebenaran), tak
lebih tak kurang. Adapun Dharma dari pada para Dewata merupakan rahasia
bagi manusia, Wasi Bagaspati, karena itulah maka seringkali timbul
persangkaan dari pada manusia betapa tidak adilnya kehancuran yang
menimpa dirinya. Padahal, semua itu sudah adil, sudah tepat, sudah
semestinya karena berlandaskan Dhar ma. Adapun untuk kita manusia, yang
tahu akan baik buruk, akan benar salah menurut pertimbangan dan pendapat
serta pengetahuan kita adalah tentu saja menurut pertimbangan ini, yang
baik, yang benar, menjunjung kebajikan. Lupakah engkau akan nasehat
dalam ajaran agamamu yang berbunyi begini:
“Prihen temen dharma dhumaranang sarat.
Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya shakti sang sayana dharma raksaka.”
(Carilah sungguh-sungguh kebenaran
untuk mengatur masyarakat.
Bagi orang jujur Itulah yang diturut,
Bukan harta bukan kasth bukan pula jasa
Kuat sang budiman karena berpegang kepada Dharma.)
“Huah-ha-ha-ha-ha! Kau pertapa tua bangka yang sombongi Lagakmu seperti
hendak memberi wejangan para dewata di Suralaya! Semenjak muda, puluhan
tahun aku memuja Sang Hyang Bathara Shiwa, apa kaukira aku belum dapat
mengenal isi dari pada pelajarannya?”
“Wasi Bagaspati! Mengenal tanpa pengertian tiada gunanya. Mengerti tanpa
pelaksanaan juga kosong melompong. Yang dipuja isinya, bukan kulitnya.
Engkau tidak memuja keadilan Sang Hyang Shiwa, melainkan memuja
kekuatannya. Kekuatan yang dipergunakan bukan dengan landasan kebenaran,
sesungguhnya hanyalah kelemahan yang amat lemah. Mengandalkan kekuatan,
kekuasaan, dan kelebihan untuk berlaku sewenang-wenang, hanya menimbun
racun yang akhirnya akan meracuni dan merusak diri pribadi. Suro diro
jayaningrat lebur dening pangastuti! Lupakah engkau akan hal itu, Sang
Wasi Bagaspati?”
“Aaaauuuurrggghhhh...!”
Pekik yang keluar dari dalam dada Wasi Bagaspati melalui kerongkongannya
ini hebat-nya bukan main. Para prajurit sampai jatuh bertekuk lutut
karena tidak dapat bertahan, mereka berlutut dan menggigil.
“Bhagawan Sirnasarira! Mari kita mengadu kesaktian! Lihat kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa, keparat!”
Wasi Bagaspati menggerakkan tangannya dan tiba-tiba di tangan kanannya
sudah memegang sebuah senjata yang mengeluarkan cahaya gemilang
menyilaukan mata. Senjata ini bentuknya seperti sebuah senjata cakra,
bergagang tombak akan tetapi ujungnya berbentuk lingkaran yang mempunyai
banyak mata tombak. Tiba-tiba angin besar datang bertiup ketika pendeta
ini mengangkat senjata itu ke atas kepalanya.
Ia kelihatan menyeramkan sekali! Mukanya yang selalu merah itu kini
seolah-olah berubah menjadi bara api yang mengeluarkan asap yang
menyelubungi mukanya, namun masih ditembusi sinar matanya yang seperti
kilat menyambar. Ketika angin bertiup, rambutnya yang panjang putih itu
melambai berkibar-kibar seperti bendera.
Angin makin besar dan tiba-tiba langit tertutup mendung, disusul geledek
menyambar-nyambar diiringi kilat. Para prajurit makin ketakutan dan
kini semua orang, termasuk para perwira, bertekuk lutut dan
menyembunyikan muka di balik kedua tangan, penuh ketakutan dan
kengerian. Dunia seolah-olah hendak kiamat, bumi bergetar dan
pohon-pohon besar seperti akan tumbang.
Kembali Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik dahsyat. Kilat dan geledek
makin hebat mengamuk dan turunlah air hujan seperti dituang dari langit,
air hujan yang besar-besar dan berjatuhan menimpa kulit menimbulkan
rasa nyeri. Makin ributlah para prajurit kedua fihak.
“Sadhu-sadhu-sadhu..., kembali kau tidak dapat menguasai nafsu amarahmu,
saudaraku Wasi Bagaspati...!” terdengar suara Biku Janapati yang halus
akan tetapi mengatasi suara ribut dan ledakan-ledakan petir.
Anehnya, tidak ada air hujan yang menimpa tubuh pendeta Buddha ini.
Tubuhnya seakan-akan terlindung sebuah kurungan yang tak tampak sehingga
air hujan yang menimpa dari atas menyeleweng semua ke sekeliling
tubuhnya! Hal ini membuktikan pendapat Ki Tunggaljiwa dahulu kepada
Tejolaksono bahwa tingkat ilmu kesaktian Sang Biku Janapati masih lebih
tinggi dari pada Sang Wasi Bagaspati.
Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kenyataan bahwa puncak di mana
kakek aneh bersama Bagus Seta dan Tejolaksono berada, sama sekali tidak
terganggu oleh keadaan yang menyeramkan ini. Jangankan hujan dan kilat,
bahkan anginpun yang lewat hanyalah angin gunung sumilir sejuk! Awan
hitam yang tampaknya hendak menyerang daerah ini, membalik lagi,
demikian pun angin dan geledek!
“Wasi Bagaspati!” terdengar suara kakek di Batik kabut itu dengan
suaranya yang halus namun menembus semua kegaduhan dan terdengar oleh
semua orang yang berada di situ. “Kekuasaan dan kesaktian yang didasari
oleh sifat tidak benar, tidak adil, dan sewenang-wenang, hanya akan
meracuni diri pribadi!”
Tangan kiri kakek itu terangkat ke atas dan... semua keadaan yang
menakutkan itu pun lenyaplah. Keadaan menjadi terang kembali, tidak ada
angin, tidak ada awan, tidak ada hujan maupun kilat. Akan tetapi
bekas-bekas amukannya masih tampak, pakaian para prajurit basah semua,
pohon-pohon tumbang.
“Pertapa keparat! Berani engkau menghina murid terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa...?”
Wasi Bagaspati berteriak-teriak marah dan dilontarkannyalah senjata
cakra di tangannya itu ke udara. Senjata itu mengaung dan meluncur cepat
bagaikan bernyawa, menuju ke puncak depan.
Tampak oleh semua prajurit betapa senjata yang kini merupakan cahaya
merah itu melayang-layang dan turun hendak menerjang tubuh si kakek aneh
di seberang puncak. Akan tetapi, senjata itu hanya melayang-layang dan
mengitari tubuh sang pertapa, seakan-akan tidak kuasa menembus cahaya
berembun, kemudian terbang kembali menuju Wasi Bagaspati yang menerima
pusakanya sambil membanting-banting kaki.
“Sadhu-sadhu-sadhu..., dia amat sakti mandraguna, senjata dewatapun
tidak akan mempan. Saudaraku, tiada gunanya melawan. Seorang bijaksana
dapat menyadari keadaan sebelum terlambat. Lebih baik kita mundur
sebelum hancur. Sang Sakti Jitendrya bukanlah lawan kita.”
Setelah berkata demikian, Biku Janapati lalu melangkah turun dari puncak
itu tanpa menoleh lagi, pergi seterburu-buru. Melihat betapa temannya
yang dapat ia andalkan telah pergi, hati Wasi Bagaspati mulai menjadi
gentar. mengerahkan seluruh batinnya, disalurkan ke dalam sinar matanya
dan dengan kekuatan gaib ini ia memandang ke puncak depan dan berhasil
menembus kabut yang menyelimuti wajah lawan.
Begitu ia dapat memandang wajah kakek di depan itu, mukanya menjadi
pucat dan ia segera membuang muka, lalu melambaikan tangannya memberi
isyarat kepada semua anak buahnya dan hanya satu kata-kata yang keluar
dari mulutnya, namun cukup jelas dan lantang.
“Mundur...!”
Bagaikan rombongan semut ditiup, bergeraklah semua prajurit anak
buahnya, dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan kawan-kawannya yang juga
pucat wajahnya, tanpa mengeluarkan suara mereka semua pergi dari situ,
seolah-olah takut bahwa sedikit suara akan mendatangkan malapetaka bagi
mereka.
Tidak sampai terlalu lama, Gunung Merak telah ditinggalkan Wasi
Bagaspati dan seluruh pasukan pengikutnya, tinggal para perajurlt
Panjalu yang masih berlutut sambil memandang ke arah puncak di mana
kakek aneh itu masih berdiri tegak. Di sampingnya berdiri Bagus Seta dan
di depan-nya berlutut Tejolaksono.
Setelah semua lawan pergi, Bagus Seta kini pun menjatuhkan diri
berlutut, menghadapi ayahnya dan terdengar suaranya memanggil, “Kanjeng
rama...!”
“Anakku Bagus Seta...”
Mereka saling pandang dan dari pandang mata ini saja tercurah kasih sayang yang amat besar.
Adipati Tejolaksono maklum bahwa puteranya telah menjadi seorang gagah
dan sakti, yang tentu saja tidak mau tunduk terhadap perasaan dan nafsu
sehingga rasa rindu yang membuatnya ingin sekali memeluk ayahnya telah
ditekannya dengan kuat.
Tejolaksono sendiri seorang yang sakti mandraguna, ia tidak mau
memperlihatkan kelemahan dan keharuan, maka ia hanya memandang wajah
puteranya dengan sepasang mata terasa panas karena menahan keluarnya air
mata.
Tiba-tiba dari balik kabut yang menyelimuti wajah kakek itu terdengar
suara halus, “Sang adipati, dharma bakti menuntut pengorbanan. Relakan
puteramu untuk lima tahun lagi agar kelak berguna bagi tegaknya
kebenaran dan keadilan.”
Tejolaksono memandang dan ia melihat seperti apa yang disaksikan Wasi
Bagaspati tadi, melihat wajah yang cemerlang, sukar ditentukan
bentuknya, hanya tampak sebuah wajah seperti bayangan, wajah yang
terlalu lembut,terlalu halus, terlalu cemerlang seperti keadaan langit
bermandi cahaya matahari pagi, indah dipandang namun tak kuat mata
lama-lama memandang, sehingga ia menundukkan muka dan tidak berani
mengeluarkan suara.
Di sudut hatinya, ia mengakui kebenaran kata-kata yang ditujukan
kepadanya itu. Memang tiada dharma bakti dapat terlaksana dengan baik
tanpa pengorbanan, tiada kebpjikan dapat dilaksanakan tanpa pengorbanan.
Namun pengorbanan lahir belaka! Betapa pun juga, ia tetap seorang
manusia biasa yang ada kelemahannya, seorang ayah yang rindu kepada
putera tunggalnya. Biar pun dengan kebijaksanaan ia yakin akan kebenaran
pendapat kakek itu, namun perasaan hatinya menjadi trenyuh dan terharu.
Haruskah ia berpisah selama llma tahun lagi dengan puteranya yang baru
sekarang ia jumpai setelah berpisah lima tahun? Tergetar seluruh tubuh
Tejolaksono ketika ia memandang puteranya.
Akan ia serahkan keputusannya kepada puteranya sendiri. Seorang ayah
berkewajiban membimbing puteranya kalau putera itu masih kecil. Akan
tetapi Bagus Seta bukan kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan kalau si anak
sudah dewasa, si ayah harus menyerahkan kekuasaan kepada si anak
sendiri. Dia kini hanya menjadi pengawas, penasehat, dan pelindung agar
langkah-langkah anaknya tidak menyeleweng dari pada kebenaran.
Kakek itu menggerakkan kedua kakinya, membalikkan tubuh dan melangkah
pergi perlahan-lahan, tanpa sepatah kata-pun kepada Tejolaksono dan
puteranya. Agaknya kakek ini pun tidak menggunakan paksaan kepada ayah
dan anak.
Ayah dan anak ini saling pandang; dengan sinar mata seolah-olah hendak
menembus dada masing-masing, menjenguk hati masing-masing. Lalu Bagus
Seta tersenyum, menggerakkan tangan mengambil bunga cempaka putih yang
tadi terselip di atas telinganya.
“Kanjeng rama, hamba mohon maaf bahwa sampai sekarang hamba belum juga
dapat berdharma bakti kepada rama ibu. Hamba harus memperdalam ilmu
selama lima tahun lagi, dan mohon paduka sudi menyerahkan bunga ini
kepada kanjeng ibu sebagai pengganti jasmani hamba.”
Dengan jari-jari tangan tergetar Tejolaksono menerima kembang cempaka
putih dari tangan puteranya, hatinya penuh kekaguman dan kecintaan. Ia
dapat meraba dengan perasaan dan kewaspadaannya bahwa puteranya kelak
akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan kini sentuhan ujung jari
tangan mereka saja sudah mendatangkan getaran hawa yang mendatangkan
rasa nyaman, pandang mata yang halus itu begitu penuh wibawa dan
pengaruh murni.
“Baik, puteraku... aku... aku mengerti...”
Hanya demikian Tejolaksono dapat mengeluarkan kata-kata sambil menekan
keharuan hatinya. Bagus Seta meninggalkan senyum yang membuat hati
ayahnya makin terharu karena pada senyum itu selain Tejolaksono dapat
melihat pengertian yang mendalam, juga senyum itu sama benar dengan
senyum Ayu Candra! Bagus Seta sudah melangkah pergi mengikuti bayangan
gurunya dan biar pun guru dan murid itu melangkah perlahan, namun dalam
sekejap mata saja mereka telah turun dari puncak!
Setelah bayangan kedua orang. itu lenyap, Tejolaksono menggoyang-goyang
kepalanya seperti orang baru bangun dari mimpi. Ia menoleh dan melihat
betapa para prajuritnya yang kehilangan musuh itu masih berlutut semua
seperti orang-orang yang kehilangan semangat, bengong dan tak tahu harus
berbuat apa. Semua yang mereka saksikan tadi adalah terlalu besar,
terlalu aneh dan terlalu menyeramkan bagi mereka sehingga mereka hampir
tidak dapat mempercayai kedua mata sendiri.
Tejolaksono bangkit, memandang cempaka putih dan mencium bunga yang
harum ini. Keharuman bunga itu meresap terus sampai di hati dan aneh
sekali rasanya, keharuman bunga ini seolah-olah menyiram hatinya dan
membuat hatinya kuat, mengusir keharuan dan kekecewaan.
Bukan main kagum hati Tejolaksono, kagum dan bangga. Puteranya begini hebat, pikirnya.
Dengan penuh rasa sayang ia menyimpan bunga itu ke dalam saku dalam,
kemudian ia menuruni puncak. Barulah pasukannya mendapatkan kembali
semangat mereka ketika melihat pimpinan mereka berada di antara mereka.
Segera mereka memenuhi perintah Tejolaksono, mengurus yang gugur dan
merawat yang luka. Kemudian Tejolaksono membawa pasukannya kembali ke
Selopenangkep. Dalam perjalan pulang ini saja sudah tampak perubahan
besar sekali.
Tidak pernah mereka bertemu lawan dan di sepanjang jalan Tejolaksono
mendengar dari para penduduk bahwa pengacau-pengacau yang tadinya
mengganggu dusun-dusun di sekitar perbatasan daerah Panjalu kini telah
pergi semua! Makin ke timur, makin baiklah keadaannya, tidak terjadi
gangguan-gangguan lagi.
Penduduk yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi di
puncak Gunung Merak, menganggap bahwa larinya semua musuh ini adalah
akibat “pembersihan” yang dilakukan oleh Tejolaksono, maka dimana-mana
rakyat menyambut pasukan Tejolaksono dengan penuh syukur dan
kegembiraan.
Namun, para prajurit dan Tejolakscno sendiri khususnya, mengerti bahwa
semua ini adalah jasa kakek sakti luar biasa yang disebut Bhagawan
Jitendrya oleh Biku Janapati dan disebut Bhagawan Sirnasarira oleh Wasi
Bagaspati. Pengaruh pertapa luar biasa inilah yang membuat dua orang
pucuk pimpinan musuh itu menjadi gentar dan memerintahkan penarikan
mundur semua anak buah mereka.
Tejolaksono menanti sampai sebulan di Selopenangkep. Setelah mendapat
kenyataan bahwa semua daerah benar-benar sudah aman, berangkatlah ia
membawa sisa pasukannya ke Panjalu, menghadap sang prabu dan membuat
laporan selengkapnya, juga ia melaporkan tentang munculnya Biku Janapati
dan Wasi Bagaspati sebagai utusan-utusan Kerajaan Sriwijaya dan Cola
dan betapa kedua orang ini telah dapat ditundukkan dan ditaklukkan oleh
seorang kakek sakti yang oleh kedua orang itu disebut Bhagawan Jitendrya
dan juga Bhagawan Sirnasarira
“Jagat Dewa Bathara...!”
Sang Prabu Panjalu berseru kaget dan juga tercengang keheranan.
“Tidak bisa keliru lagi, Adipati Tejolaksono! Kakek pertapa sakti itu
bukan lain tentulah eyang Bhagawan Ekadenta! Biar pun aku sendiri belum
pernah berjumpa dengan beliau, namun pernah dahulu aku mendengar
penuturan mendiang Rama Prabu Airlangga yang pernah ditolong oleh eyang
Bhagawan Ekadenta ketika rama prabu mengungsi ke Wonogiri dan terancam
keselamatan nya oleh musuh, yaitu pasukan-pasukan Sriwijaya yang juga
dibantu oleh tokoh-tokoh dari Cola. Sungguh luar biasa. Semenjak
setengah abad yang lalu, beliau sudah menjadi seorang kakek sakti, dan
selama ini tidak pernah terdengar namanya, bahkan ada berita bahwa Eyang
Bhagawan Ekadenta telah meninggalkan dunia Ini tanpa jejak; murca
berikut raganya. Itulah sebabnya maka dijuluki Sirnasarira (lenyap
tubuhnya).”
Juga para senopati kagum mendengar ini dan menyatakan suka cita bahwa
Panjalu dibantu oleh seorang yang sakti itu, menjadi pertanda bahwa
Kerajaan Panjalu masih dilindungi para dewata.
“Betapa pun juga, para senopati dan ponggawaku yang setia. Kita tidak
boleh mabuk oleh kemenangan, karena betapa-pun sukarnya merebut
kemenangan, menjaganya adalah lebih sukar lagi. Justeru kemenangan yang
ajaib ini malah harus menjadi cambuk bagi kita untuk mempertebal
kewaspadaan. Oleh karena itu, Tejolaksono, engkau tidak usah kembali ke
Selopenangkep, biarlah aku akan mengangkat orang lain untuk mengurus
Selopenangkep. Adapun engkau dan isterimu tinggallah di sini, karena
engkau kuangkat menjadi patih muda, membantu Kakang Patih Suroyudo dan
kuserahi tugas bagian pertahanan. Engkaulah sebagai wakilku sendiri
mengatur semua senopati dan seluruh barisan Panjalu!”
Tejolaksono terkejut, girang dan juga bersyukur sekali karena anugerah ini amatlah besar baginya.
Semenjak saat itu ia disebut Patih Tejolaksono dan mendapat sebuah istana di kepatihan Panjalu.
Setelah menghaturkan terima kasih dan mendapat perkenan sang prabu,
bergegas Tejolaksono pulang ke pesanggrahan menemui isterinya.
Ayu Candra menyambut suaminya dengan tangis dan tawa saking gembira dan
bahagianya. Tidak saja suaminya berhasil mengusir musuh negara dan
membalas dendam atas kehancuran Selopenangkep dan kematian kedua orang
bibi mereka, akan tetapi terutama sekali karena suaminya dapat pulang
dalam keadaan selamat, mengingat akan beratnya tugas yang diplkulnya dan
saktinya lawan-lawan yang dihadapinya.
“Nimas, sungguh terjadi hal yang sama sekali tak pernah kuduga..., di puncak Gunung Merak aku bertemu dengan Bagus seta!”
Terbelalak mata Ayu Candra Memandang suaminya, berseri-seri penuh
kebahaglaan dan dua titik air mata bahagia meloncat keluar ke atas
pipinya. “A... anak... kita...? Bagaimana dia? Kenapa tidak ikut
pulang...?!”
Pertanyaan itu penuh harap dan dengan tenang Tejolaksono lalu
menceritakan pengalamannya di puncak Pegunungan Merak, di mana hampir
saja ia tewas kalau saja tidak ditolong oleh kakek sakti yang bernama
Bhagawan Jitendrya, juga Bhagawan Sirnasarisa atau oleh sang prabu
disebut Bhagawan Ekadenta. Ia ceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang
sehat dan betapa putera mereka Itu telah menjadi seorang pemuda yang
gagah dan tampan.
“Aahhh..., mengapa dia tidak diajak pulang? Bagaimana dia harus
dipisahkan dari aku sampai lima tahun lagi?” Ibu yang sudah amat rindu
kepada puteranya itu mengeluh dan mulailah Ayu Candra menangis.
Tejolaksono mengeluarkan bunga cempaka putih darI saku dalam bajunya. Ia
makin kagum menyaksikan betapa bunga itu tidak layu. Tahulah ia bahwa
puteranya telah memiliki kesaktian yang mujijat, maka. cepat-cepat ia
menyerahkan bunga itu kepada isterinya sambil berkata,
“Nimas, kaulihat ini. Puteramu itu menitipkan bunga ini kepadaku dengan pesan agar diberikan kepada ibunya...”
“Aduh, anakku...!” Ayu Candra terbelalak memandang dan menerkam, lalu
merampas bunga itu dari tangan suaminya dengan penuh gairah, lalu sambil
tersedu-sedu ia menciumi bunga Itu, mendekapnya di dada.
“Aduh, Bagus Seta... angger... anakku tercinta... kau masih ingat kepada ibumu...”
Tejolaksono menahan perasaannya agar tidak sampai menitikkan air mata karena terharu.
“Nimas, dia sama sekali tidak pernah melupakan ayah bundanya. Akan
tetapi Bagus Seta berjiwa ksatria utama, mengesampingkan kesenangan
pribadi untuk menggembleng diri agar kelak dapat berdharma bhakti kepada
sesama manusIa.”
Ayu Candra hanya sebentar diamuk gelombang perasaan rindu dan
terharu,kini ia sudah tenang, memegangi bunga cempaka putih dengan
bengong seperti orang melamun, kemudian ia mengangguk-angguk perlahan.
“Benar sekali, Kakanda, memang putera kita harus berjiwa ksatria.
Biarlah kurelakan dia lima tahun lagi, biarlah kita sebagai orang tuanya
berprihatin agar dia menjadi seorang manusia utama, seperti
ramandanya.”
Tejolaksono makin terharu, memeluk dan mengecup ubun-ubun isterinya yang terkasih.
“Engkau seorang ibu yang bijaksana, seorang isteri yang hebat...! Dan Bagus Seta... putera kita yang mengagumkan...!”
Memang ia kagum sekali karena bunga cempaka putih itu ternyata mempunyai
kekuatan yang luar biasa sekali, yang dalam waktu sebentar telah dapat
mengobati kerinduan hati Ayu Candra.
Mulailah Tejolaksono melaksanakan tugasnya yang baru, sebagai patih muda di Kerajaan Panjalu.
Dengan amat tekunnya menggembleng barisan Panjalu melalui para senopati
dan semenjak dia menjadi patih muda yang berkuasa di bagian pertahanan
negara, maka keadaan menjadi aman tenteram, pengaruh Kerajaan Panjalu
makin besar, tidak ada lagi raja-raja muda yang berani menentang dan
melakukan penyerangan.
Akan tetapi benar-benarkah SriwIjaya dan Cola menghentikan usaha mereka
untuk menanam pengaruh di Panjalu? Benar-benarkah mereka itu mundur
teratur dan tidak berani lagi melakukan kekacauan?
Sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Tepat seperti yang dikatakan oleh
sang prabu di Panjalu agar mereka semua mempertebal kewaspadaan, karena
sesungguhnya, Kerajaan Panjalu, dan terutama sekali Jenggala yang tidak
lagi diganggu kerusuhan-kerusuhan, belum terbebas dari pada bahaya yang
mengancam.
Secara halus Kerajaan Sriwijaya masih mencoba untuk memperlebar
pengaruhnya sampai di kedua kerajaan ini melalui Agama Buddha yang
disebarluaskan, dipimpin oleh Biku Janapati yang bijaksana.
Karena sang biku menggunakan cara yang halus, tidak memakai kekerasan,
maka usahanya ini lebih berhasil. Namun yang menjadi ancaman bahaya
besar adalah usaha yang dijalankan oleh Wasi Bagaspati. Sang wasi yang
merasa penasaran akan gagalnya usahanya, kini menyebar kaki tangannya,
terutama sekali di Jenggala, dengan secara cerdik dan halus ia menyuruh
mereka menyelundup ke dalam kerajaan,, menggunakan pengaruh harta benda
dan ilmu hitam sehingga banyak di antara anak buahnya yang berhasil
menduduki tempat-tempat terpenting dalam pemerintahan. Bahkan kuku-kuku
cengkeraman yang tidak tampak oleh mata ini menyelundup sampai ke dalam
istana Kerajaan Jenggala!
Memang hebat sekali usaha Sang Wasi Bagaspati yang mengadakan
penyelundupan-penyelundupan rahasia, terutama sekali di istana Kerajaan
Jenggala. Banyak di antara anak buahnya yang sakti, laki-laki dan
terutama wanita-wanita cantik, dijadikan senjata untuk usaha ini.....
Komentar
Posting Komentar