PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-34


Kerajaan Jenggala masih dapat berdiri tegak dan tidak ada musuh berani mengganggu hanya karena mereka itu sungkan dan takut kepada Kerajaan Panjalu. Mereka maklum bahwa memusuhi Jenggala berarti akan berhadapan dengan Panjalu pula, karena sebagai saudara, Panjalu tentu akan membela Jenggala.
Sebetulnya, sebagai putera mendiang Sang Prabu Airlangga yang arif bijaksana, raja di Jenggala bukanlah seorang yang jahat atau lalim. Sang prabu di Jenggala cukup baik dalam arti kata sebagai raja, cukup mencinta rakyatnya dan bukan seorang raja yang menindas rakyat. Akan tetapi, sang prabu mempunyai sebuah kelemahan sebagai seorang pria, yaitu bahwa sang prabu mudah tergoda oleh wanita cantik.
Kalau para wanita yang banyak jumlahnya itu menggoda sang prabu hanya dengan pamrih agar menjadi selir dan mendapat kedudukan mulia, hal itu tidak mengapa. Akan tetapi, akhir-akhir ini sang prabu di Jenggala amat berubah sikapnya setelah dia mendapatkan seorang selir baru.
Celakanya, berbeda dengan selir-selir lainnya yang puluhan orang banyaknya, selir baru ini tidak hanya terbatas pada kemuliaan pamrihnya, melainkan lebih tinggi lagi.
Selir baru ini ingin mendapatkan kekuasaan tertinggi sesudah raja, dan untuk mencapai hal ini, ia mempergunakan segala kecantikan wajahnya, segala kesegaran tubuh mudanya, segala bujuk rayu yang menggairahkan sehingga hati sang prabu di Jenggala yang masih muda biar pun tubuhnya sudah tua itu menjadi jatuh dan tunduk.
Siapakah selir baru yang muda belia, segar menggairahkan ini? Dia seorang wanita masih muda belia, tujuh belasatau delapan belas tahun usianya, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bagaikan buah mangga sedang ranum matang hati, manis segar dan renyah.
Wajahnya manis sekali, terutama kerling matanya yang tajam melebihi mata pedang, kerling yang menyambar-nyambar membetot hati membuat sukma pria melayang-layang karena dalam kerling ini terkandung tantangan dan ajakan kepada pria untuk bertamasya ke dalam surga kenikmatan.
Selain sepasang mata indah yang memiliki kerling “maut” ini, juga mulutnya membuat setiap mata laki-laki memandang bagaikan tergantung dan lekat pada sepasang bibir itu! Bibir itu merah segar, berkulit tipis seperti kulit kentang, seperti buah tomat masak, menggemaskan hati, membuat orang ingin sekali menggigitnya, menantang dan selain dapat mencipta senyum memikat dan memabukkan, juga bibir yang basah dapat bergerak-gerak menggairahkan sehingga selalu tampak memberahikan ketika dicemberutkan, atau dijebikan, atau bergerak-gerak seperti menggigil.
Deretan gigi putih seperti pagar mutiara melindungi rongga mulut yang merah penuh tantangan.
Wajah yang manis sekali, yang bagaikan besi semberani menarik pandang mata setiap orang pria yang berjumpa dengannya. Rambutnya hitam panjang dan agak berombak, membentuk sinom halus di dahi dan anak rambut melengkung di depan telinga, kalau dibiarkan terurai, panjangnya sampai ke bawah pinggul.
Tubuhnya tingi ramping, padat penuh dengan lekuk-lengkung sempurna dalam pandangan setiap orang pria, dan ia dapat menggerak-gerakkan setiap bagian tubuhnya dengan gerakan yang luwes dan memikat. Kulitnya yang agak hitam tidak menjadi cacat, bahkan menambah kemanisannya.
Siapakah dia? Kita sudah mengenalnya. Namanya Suminten! Di bagian depan cerita ini telah dituturkan bahwa Suminten adalah abdi dalem (pelayan) mendiang Pangeran Panjirawit dan Endang Patibroto.
Suminten ketika menjadi abdi dalem di istana pangeran itu, seringkali mengintai dan menyaksikan adegan mesra antara Pangeran Panjirawit dan isterinya.
Suami isteri itu selalu berkasih-kasihan dan akhirnya terbangunlah berahi dalam tubuh Suminten dan pelayan ini jatuh cinta kepada sang pangeran! Cinta berahi yang ditahan-tahandan akhirnya tercetus menjadi cemburu, iri hati, dan kebencian terhadap Endang Patibroto Ia mengharapkan untuk menjadi selir Pangeran Panjirawit yang tampan, akan tetapi semua pengharapandan usahanya sia-sia belaka karena sang pangeran terlalu mencinta isterinya, tidak mau mempunyai selir.
Telah diceritakan betapa kebencian ini membuat Suminten diam-diam lari kepada Ki Patih Brotomenggala, menceritakan perbuatan Endang Patibroto yang melukai ayam dengan ilmu hitam sehingga makin besarlah kecurigaan dan dugaan ki patih bahwa Endang Patibroto agaknya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para ponggawa dengan ilmu hitam.
Suminten dihadapkan kepada sang prabu di Jenggala, kemudian oleh sang prabu dijadikan abdi dalem istana.
Semenjak saat itulah tampak Suminten yang sesungguhnya, yaitu seorang dara muda belia yang mempunyai pamrih besar sekali, tidak akan puas kalau belum mencapaI kedudukan setinggi-tingginya. Terhadap Pangeran Panjirawit ia memang menaruh kasih sayang yang sesungguhnya, yang murni dan andai kata terlaksana keinginan hatinya menjadi selir Pangeran Panjirawit, agaknya ia akan merasa puas dan bahagia, tidak akan mencita-citakan hal lain lagi.
Akan tetapi, la mendengar akan keadaan Pangeran Panjirawit, akan kesengsaraan dan akhirnya akan kematiannya. Hatinya hancur dan ia bertekad untuk menyalurkan semua cinta bercampur duka ini menjadi cita-cita untuk menjadi manusia paling berkuasa di Jenggala agar ia dapat membalas dendam atas kematian Pangeran Panjirawit, pria yang pernah cinta sepenuh hatinya.
Gadis ini selain cantik manis, juga amat cerdik. Setelah menjadi abdi dalem di Istana Kerajaan Jenggala, cepat sekali ia dapat mempelajari keadaan dan dapat pula mengambil hati para selir, bahkan sampai permaisuri sendiri menaruh kepercayaan kepadanya dan memberinya tugas melayani sang prabu.
Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Suminten. Dengan daya tariknya yang luar biasa, ditambah kelemahan sang prabu terhadap wanita muda, dalam waktu beberapa hari saja ia berhasil menjatuhkan hati sang prabu yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun Itu! Akhirnya, dengan resmi Suminten diangkat menjadi selir termuda Sang Prabu Jenggala
Semenjak ia diangkat menjadi selir, mulailah Suminten menggunakan kecerdikannya memasang jerat, merayu dan mengambil hati para selir lain untuk mencapai cita-cita hatinya. Makin pandai ia merayu sang prabu, menggoda dan melakukan segala macam akal wanita sehingga sang prabu menjadi makin mabuk dan cinta kepadanya.
Sang prabu menganggap bahwa di antara semua selirnya, Suminten inilah yang paling mencinta dirinya yang sudah tua. Hanya Suminten inilah yang mempunyai rasa cinta kasih yang “murni” terhadap dirinya.
Selain mempermainkan sang prabu seperti pandainya ia mempermainkan rambutnya, Suminten juga mengambil hati dan bermuka-muka kepada permaisuri sehingga sang ratu ini merasa lebih sayang kepadanya dari pada kepada para selir lainnya.
Di depan sang ratu, Suminten bersikap amat merendah diri, amat tekun merawat dan melayani segala keperluan sang ratu, pandai menghibur dengan kata-kata manis, memuji-muji dan menjilat-jilat. Sebentar saja naiklah derajat Suminten, karena ia dikasihi sang prabu dan disayang sang ratu, maka kedudukan atau derajatnya boleh dibilang meningkat tinggi di atas derajat semua selir sri baginda.
Kalau diingat betapa dalam waktu beberapa bulan saja ia telah dapat menanjak dari seorang abdi dalem pangeran menjadi selir terkasih sang prabu, sesungguhnya kenaikan derajat ini sudahhal yang luar biasa sekali, apa lagi kalau diingat bahwa Suminten hanyalah seorang yang berasal dari desa. Namun, bagi Suminten hal ini masih belum memuaskan hatinya, masih jauh dari pada memuaskan. Ia melihat ada hal-hal yang masih menjadi rintangan baginya untuk mencapai anak tangga tertinggi.
Hal pertama adalah sang ratu atau permaisuri sendiri. Betapa pun juga tinggi kedudukannya, ia hanya seorang selir termuda, tentu tidak akan dapat mengalahkan pengaruh sang ratu, maka sang ratu merupakan sebuah perintang baginya. Akan tetapi, ia tidak begitu memusingkan hal ini karena sang ratu harus dianggap rintangan terakhir.
Yang amat menyakitkan hatinya adalah rintangan di depan mata, yang membuat Suminten gemas sekali. Rintangan ini berupa seorang selir lain yang sebelum Suminten diangkat menjadi selir, merupakan selir tercinta dari sang prabu.
Selir ini adalah Puteri Sekarmadu yang baru berusia dua puluh lima tahun dan sudah lima tahun menjadi selir sang prabu. Puteri Sekarmadu memang cantik jelita, pendiam, pandai segala macam kesenian, berwatak halus dan memang dia adalah puteri seorang adipati di Kanigoro yang dipersembahkan kepada sang prabu oleh sang adipati.
Puteri Sekarmadu adalah yang tercantik di antara semua selir, namun setelah di situ ada Suminten, puteri ini biar pun pada dasarnya menang cantik, namun kalah pandai. dalam keluwesan dan gaya memikat. Puteri Sekarmadu maklum akan segala polah tingkah Suminten, maklum betapa selir termuda ini, berbeda dengan lain-lain selir, berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan hati, sang prabu, sebagai seorang puteri yang pandai membawa sikap, Sekarmadu tidak membuat reaksi apa-apa. Betapa pun juga, sang prabu tidak pernah dapat melupakan Sekarmadu dan biar pun ia kini seolah-olah menjadi selemas rambut yang dipermainkan oleh jari-jari tangan Suminten yang cekatan, namun sang prabu masih saja mendekati Sekarmadu dan membagi waktunya secara bergilir.
Bagi Suminten, tentu saja ia tidak mencinta sang prabu setulus hatinya. Mana mungkin dia, seorang dara remaja berusia tujuh belas tahun, dapat mencurahkan kasih sayang yang setulusnya terhadap seorang kakek berusia enam puluh tahun? Tidak, ia muak terhadap belaian kasih sayang dan pencurahan cinta asmara sang prabu, dan dia sama sekali tidak cemburu atau iri hati terhadap Sekarmadu.
Yang membuat ia gemas. adalah karena Sekarmadu dianggapnya sebuah rintangan yang harus dienyahkan kalau ia mau cepat-cepat mencapai cita-citanya. Namun, bagaimana ia dapat menjatuhkan Sekarmadu yang demikian pendiam, halus tutur sapanya, lemah lembut budinya, dan sukar dicari kesalahannya itu? Namun dengan sabar dan tekun Suminten mengatur semua rencana, mendekati semua selir, berbaik dan mengambil hati mereka, sambil menanti saat dan kesempatan yang baik untuk menghalau rintangan-rintangan itu, satu demi satu!
Kalau ada orang mengira bahwa selir-selir raja di jaman dahulu yang begitu banyaknya itu dapat hidup rukun, dia mengira keliru. Memang pada lahirnya mereka ini tampak rukun, namun sesungguhnya tidak demikianlah di dalam hati. Kalau mereka tampak rukun, dan tidak pernah bertengkar, adalah karena mereka ini takut kepada raja dan kebencian mereka satu sama lain hanya diutarakan secara diam-diam dan dengan jalan saling membicarakan keburukan masing-masing di belakang punggung.
Karena maklum akan keadaan para selir sang prabu di Jenggala ini, maka secara cerdik sekali Suminten mendekati mereka semua dengan sikapnya yang mengambil hati dan merendah sehingga mereka semua merasa suka kepadanya dan menganggap selir termuda ini sebagai sahabat baik.
Mulai-lah Suminten mengorek-ngorek rahasia pribadi masing-masing selir itu melalui selir-selir lainnya, membuat mereka saling membicarakan rahasia dan keburukan masing-masing sehingga Suminten dapat mengetahui sebagian besar cacad dan keburukan para selir yang menjadi saingannya.
Pada suatu malam terang bulan yang amat indah. Hawa malam itu sejuk sekali di dalam taman, berbeda dengan hawa di dalam kamar yang panas. Suminten duduk sendirian di dalam taman sari yang sunyi. Malam sudah mendekati tengah malam, semua penghuni keputren di mana para selir tinggal, telah tidur pulas, demikian pula para abdi dalem. Namun Suminten masih duduk melamun di taman sari. Hatinya tidak puas.
Malam itu sang prabu menjatuhkan giliran kepada Sekarmadu. Hatinya panas. Bukan karena cemburu, karena dia sendiri sesungguhnya tidak pernah merasa senang apa lagi cinta kepada sang prabu yang sudah tua. Hanya ia merasa panas dan tidak senang karena kenyataan bahwa sang prabu masih melekat kepada Sekarmadu itu berarti bahwa cita-citanya untuk naik ke tangga tertinggi menghadapi rintangan berat.

“Gilang-gemilang bulan purnama
taman sari bermandi cahaya kencana
termenung sendiri dewi jelita
seperti Bathari Komaratih
Dewl Asmara.”

Suminten kaget dan ketika ia menoleh dan melihat siapa orangnya yang berpantun dengan suara merdu dan penuh rayuan itu, bibirnya yang manis berjebi, matanya mengerling tajam. Lalu dengan gerakan yang genit ia membuang muka.
Laki-laki itu masih muda, tampan dan tubuhnya tinggi besar. Usianya antara dua puluh lima tahun, pakaiannya indah. Dia ini adalah Pangeran Kukutan, seorang di antara banyak pangeran putera sang prabu terlahir dari para selir.
Pangeran Kukutan ini adalah putera selir yang kini telah tua dan “tidak terpakai lagi” oleh sang prabu, seolah-olah telah di “pensiun”. Namun sebagai selir raja mempunyai seorang putera, tentu hidupnya terjamin, juga Pangeran Kukutan mendapat kedudukan terhormat seperti para pangeran lain.
Berdebar jantung Suminten, biar pun ia pura-pura membuang muka sambil berjebi., Pangeran Kukutan ini sudah lama menaruh hati kepadanya, semenjak ia menjadi abdi dalem dan belum dIselir sang prabu.
Kalau ia mau, ia tidak akan menjadi selir sang prabu, tentu didahului dan diselir pangeran ini. Akan tetapi, Suminten yang bercita-cita tinggi selalu menolaknya dan lebih suka menjadi selir sang prabu, sungguh pun di dalam hatinya seringkali mengenangkan pangeran yang muda dan tampan ini. Namun, ia seorang wanita yang amat cerdik dan la tidak mau membiarkan dirinya terseret oleh perasaannya karena hal ini akan membahayakan kedudukannya dan dapat menyeretnya turun kembali ke tingkat paling bawah! Maka ia selalu menghadapi Pangeran Kukutan seperti seekor burung dara yang sukar ditangkap, jinak-jinak merpati.
Rasa sukanya kepada pangeran muda dan tampan gagah ini membuat ia jika bertemu melempar kerling memperlihatkan senyum, akan tetapi kewaspadaannya untuk mencapai cita-cita membuat ia selalu mengelak dari perangkap-perangkap asmara yang dipasang oleh sang pangeran.
“Aduhai juita... jelita yang tiada bandingnya di atas permukaan bumi ini..., agaknya para dewata memang telah menjodohkan kita, siapa mengira bahwa hamba yang tak dapat tidur dan berjalan-jalan di sini akan bertemu dengan dewi pujaan hati...!” kata sang pangeran dengan suara merayu dan duduklah pangeran itu di atas bangku, dekat Suminten.
Suminten merasa akan kehadiran tubuh pria itu yang duduk begitu dekat di sampingnya. Kedua kakinya menggigil, jantungnya berdebar tegang, dan rasa bahagia menyelundup di hati mendengar kata-kata yang amat indah baginya itu.
Selama menjadi selir sang prabu, ia tidak pernah mendengar rayuan seperti itu, melainkan suara sang prabu yang berwibawa dan memerintah, kasih sayang sang prabu yang kaku dan tidak merayu, dengus napas tuanya yang terengah-engah, tubuh tuanya yang lemah dan terlalu sering membutuhkan pijat sehingga melelahkan kedua tangannya.
Kekerasan hatinya mulai mencair seperti lilin kepanasan dan seluruh urat syarafnya tegang dilanda berahi, membuat ia ingin sekali menjatuhkan dirinya dalam dekapan lengan yang kuat, bersandar pada dada yang bidang itu. Akan tetapi, Suminten menekan perasaannya dan tanpa menoleh ia berkata, suaranya diketus-ketuskan,
“Pangeran, mau apa engkau ke sini? Dan mengapa berani mengeluarkan kata-kata seperti itu, duduk bersanding dengan aku? Lupakah engkau bahwa aku adalah ibumu juga, selir dari pada ramandamu?”
“Heh-heh,” sang pangeran terkekeh perlahan, “kalau begitu, aku adalah anak-mu?”
“Tentu saja engkau anakku! Anak tiri, karena engkau putera sang prabu!” kata Suminten yang belum berani menoleh karena ia mendengar suara pangeran itu amat dekat di telinga kanannya sehingga kalau ia menoleh, muka mereka akan berhadapan dan berdekatan sekali.
Kembali Pangeran Kukutan terkekeh, suara ketawanya merdu terdengar oleh telinga Suminten, berbeda dengan suara tertawa sang prabu yang serak terbabah diseling batuk!
“Ha-ha-ha..., kalau begitu, biarlah aku menjadi puteramu, dan engkau ibuku. Duhai ibunda yang cantik manis seperti dewi kahyangan, terimalah sembah bakti puteranda!”
Pangeran muda itu sambil tersenyum-senyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten, menyembah dan mencium ujung kainnya.
Mau tidak mau Suminten kini memandang dan menunduk. Alangkah bagusnya kepala yang berambut hitam tebal itu, tidak seperti kepala sang prabu yang sudah botak dan rambutnya yang jarang dan memutih. Pundak yang lebar, dada yang bidang dan menonjol kekar, oto-totot melingkar kuat, perut yang rata dan kuat, semua tampak di balik baju pemuda itu yang terbuka di sebelah depan.
Kulit yang halus padat, sama sekali tidak ada keriput. Berbeda dengan tubuh sang prabu dengan perutnya yang gendut, dadanya yang kerempeng, pundak yang menunduk, otot-ototnya sudah layu!
Suminten yang cerdik tidak membiarkan dirinya terseret oleh berahi, namun ia mempergunakan perhitungan dalam otaknya, perhitungan untung ruginya, kalau ia menuruti nafsunya menerima bujuk rayu pemuda ganteng ini. Ah, memang membutuhkan pembantu-pembantu untuk dapat mencapai cita-citanya.
Dan agaknya Pangeran Kukutan ini dapat ditarik menjadi pembantu pertama dan pembantu utama.
Pertama karena dia seorang pangeran yang selalu berada di istana, dekat dengannya. Ke dua, karena ia telah mengetahui rahasia ibunda pangeran ini, selir ke tiga sang prabu sehingga ia dapat menggenggam pangeran ini dalam kekuasaannya, apa lagi kalau ia berhasil menundukkannya dengan keindahan wajah dan tubuhnya.
Banyak sekali keuntungan didapat kalau ia melayani pangeran ini, pikir otaknya yang cerdik sementara jantungnya makin berdebar keras dan mulai terbakar nafsu berahi ketika pangeran itu sesudah menyembah lalu memegang kedua kakinya dan mengelus-elus kedua kaki kecil itu dengan jari-jari tangan yang nakal dan pandai membelai.
Ketika ia merasa betapa jari-jari tangan itu dari kaki makin merayap naik, ia menegur dan mengibaskan tangannya ,
“Ihhhh... Pangeran, engkau tak tahu susila!”
Pangeran Kukutan yang masih berlutut itu menengadahkan mukanya, memandang wajah Suminten dengan sepasang mata memancarkan sinar kasih sayang yang tenggelam dalam nafsu berahi yang berkobar-kobar kobar,mulutnya tersenyum penuh ajakan dan ia berkata, suaranya tetap halus merdu dan jenaka,
“Lho... Bukankah aku puteramu dan kau ibuku? Aduh, Kanjeng Ibu, aku minta dipangku!“ Dan pangeran itu lalu betul-betul menjatuhkan mukanya dl atas pangkuan Suminten, kedua lengannya memeluk pinggang yang ramping itu.
“Aiihhh... I” Suminten menjerit lirlh karena geli,pinggangnya menggeliat. Akan tetapi Pangeran Kukutan yang sudah sepenuhnya dikuasai nafsu berahi itu, makin menggila.
“Ibunda yang cantik jelita, anakmu ini minta cium, minta emik (menyusu), minta kelon (ditemani tidur)!” Berkata demikian, pangeran itu melanjutkan belaiannya dan menciumi Suminten.
“Iihhhh... aaahhh... Pangeran Kukutan, berhenti atau... aku akan menjerit!”
Ancaman ini berhasil. Pangeran Kukutan tentu saja merasa takut karena kalau sampai “ibu tirinya” ini benarbenar menjerit sehingga perbuatannya diketahui oleh sang prabu, ia tentu akan celaka. Akan tetapi pada saat itu, nafsu berahi telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya, maka serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut dan suaranya menggigil ketika ia berbisik,
“Duhai Adinda Suminten, telah terlampau lama aku menyimpan cinta asmara di dalam hati terhadap Adinda, tak tertahankan lagi... ah, adinda, kasihanilah kakanda ini...”
Suminten juga menggigil seluruh tubuhnya. Perbuatan nakal pangeran tadi seolah-olah telah membakar tubuhnya, membuat nafsunya sendiri menyala-nyala, matanya setengah terpejam, bibirnya ditarik seperti orang tersiksa nyeri, hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis, tarikan napasnya terdengar, tersendat-sendat, kedua tangannya digenggam erat-erat.
Hanya kecerdikan otaknya sajalah yang tadi dapat membuat ia kuasa menahan diri. Kemudian la menunduk, memandang tubuh pangeran yang berlutut di depannya itu, tersenyum puas dan girang.
Satu hal sudah nyata, ia dapat menggenggam pangeran ini dalam kekuasaannya dengan pengaruh asmara. Akan tetapi ia masih belum puas. Pengaruh itu belum meyakinkan karena ia mau agar supaya pangeran muda ini benar-benar bersetia kepadanya, setia sampai mati.
Maka ia lalu berkata perlahan,
“Pangeran Kukutan, sebelum aku membiarkan kau menurutkan keinginan hatimu itu, lebih dulu kaudengarkan, baik-baik kata-kataku. Mataku juga tidak buta dan aku dapat melihat bahwa sudah lama engkau mencintaku. Akan tetapi, pangeran. Cinta kasih seorang pria terhadap wanita adalah cinta kasih sementara saja seperti orang mencinta setangkai bunga yang harum. Kalau sudah kenyang menikmati keharuman bunga sampai bunga itu layu dan tidak harum lagi, akan berhentilah cinta kasihnya dan bunga layu itu akan dibuang begitu saja! Berahi seorang pria seperti orang makan tebu. Setelah kenyang mengunyah, menghisap sampai habis sari manisnya, dia akan mencampakkan sepahnya begitu saja! Aku tidak sudi kelak kauperlakukan seperti setangkai bunga atau sebatang tebu...”
“Aduh, kekasih hati pujaan kalbu! Demi Sang Hyang Bathara Kamajaya, dewa segala cinta asmara di jagat ini, aku bersumpah akan bersetia dalam cinta kasihku terhadapmu...”
“Bukan hanya kesetiaan yang kukehendaki, pangeran, melainkan juga ketaatan. Terutama sekali ketaatan. Engkau akan melakukan segala permintaanku?”
“Demi para dewata! Perintahkan apa saja, juwitaku,akan kulaksanakan. Engkau menghendaki aku menyeberangi lautan api? Bilamana saja, aku siap!”.
Suminten tersenyum, sengaja membuat senyuman mengejek tidak percaya.
“Sesungguhnyakah?”
“Demi nyawaku...!” Pangeran Kukutan hendak memeluk lagi akan tetapi Suminten menahan dengan kedua tangannya.
“Nanti dulu, pangeran. Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Andai kata... ini umpamanya saja untuk mengukur besarnya kesetiaanmu kepadaku, andai kata sekali waktu aku minta engkau... membunuh sang prabu, bagaimana jawabmu?”
Pangeran Kukutan terbelalak dan meloncat mundur dalam keadaan berjongkok saking kagetnya. Sejenak ia tidak kuasa menjawab, hanya memandang wanita jelita itu dengan mata terbelalak, kaget dan khawatir.
Bahkan ia sudah menoleh ke kanan-kiri, khawatir kalau-kalau ucapan tadi terdengar lain telinga.
“Apa...? Apa yang kaukatakan ini...? Harap kau jangan main-main, adinda Suminten...”
Suminten tetap tersenyum, lalu berkata sambil memandang tajam,
“Engkau pun tidak perlu berpura-pura, Pangeran Kukutan. Kita harus berterus terang, saling membuka kartu. Biar pun aku selir termuda dan tersayang,namun tentu saja aku yang muda dan cantik ini tidak mencinta sang prabu yang tua dan lemah, bahkan aku... aku membenci tua bangka itu! Dan engkau..., engkau sama juga. Jangan kaukira bahwa aku tidak tahu.Engkau... bukan putera sang prabu. Aku sudah tahu bahwa dahulu ibumu melakukan hubungan rahasia dengan ki juru taman (penjaga taman) dan engkau adalah keturunan ki juru taman. Nah, sekarang katakan terus terang, bersediakah engkau bersekutu denganku dalam segala hal dan selalu akan tunduk terhadap perintahku?”
Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat sekali. Sejenak ia ketakutan dan hampir saja timbul kenekatan hatinya untuk membunuh wanita yang tahu akan rahasia ibunya akan hal itu. Akan tetapi mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, hatinya lega.
Memang dia pun selalu menanti kesempatan untuk dapat merampas kekuasaan karena maklum bahwa kelak kedudukan raja tentu tidak akan diturunkan kepadanya. Hatinya lega, wanita ini cerdik bukan main, dan amat dekat dengan raja, mungkin tidak akan ada ruginya kalau ia bersekutu lengannya. Apa lagi dengan hadiah balasan cinta kasih!.
“Aku bersedia dan bersumpah akan bersetia kepadamu,adinda Suminten yang cerdik pandai. Bahkan aku girang sekali mendapat sekutu seperti adinda, karena dalam segala hal tentu adinda lebih pandai mengaturnya dari pada aku.”
Suminten girang sekali, ia bangkit berdiri dan tertawa lirih.
“Bagus sekali, pangeran. Aku percaya akan kesetiaanmu, apa lagi karena sekali kau berbuat curang, engkau dan ibumu akan celaka. Kau cukup tahu akan kekuasaanku atas diri sang prabu. Nah, kini lega hatiku dan terimalah hadiahku. Mari...!”
Wanita muda jelita itu mengulurkan dan mengembangkan kedua lengannya ke arah Pangeran Kukutan
Pemuda itu mengeluarkan sorak perlahan saking girangnya, lalu bangkit dan menubruk Suminten seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba. Mereka berdekapan dan berciuman dengan buas, seperti orang-orang kelaparan menghadapi nasi.
“Hushhhh...gila, pangeran? Jangan di sini! bawa aku ke pondok taman...!” bisik Suminten di dekat telinga pangeran itu.
Pangeran Kukutan tidak menjawab karena sukar baginya untuk mengeluarkan kata-kata di antara napasnya yang tersendat-sendat dan terengah-engah. Ia lalu memondong tubuh yang baginya amat ringan itu dan membawanya lari ke dalam gelap, menyelinap antara pohon-pohon dan rumpun bunga, kemudian menghilang ke dalam sebuah pondok kecil mungil yang memang sengaja dibangun di dalam taman itu sebagai tempat istirahat raja dan para selirnya.
Memang tidaklah mengherankan apa bila semenjak malam hari penuh gairah nafsu iblis itu, Suminten selalu mengadakan pertemuan dan perhubungan gelap dengan Pangeran Kukutan, setiap malam apa bila sang prabu tidak tidur di kamarnya. Semenjak masih perawan, Suminten diselir sang prabu dan selama itu ia hanya mengenal belaian kasih asmara sang prabu yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, yang tentu saja tidak sesuai dengan keadaan jasmaninya sendiri yang masih muda belia.
Namun, wanita muda yang amat cerdik ini biar pun terbuai gelombang asmara, tetap ia masih dapat menguasai keadaan dan bukanlah dia yang dipermainkan oleh sang pangeran, melainkan si pangeran inilah yang makin lama makin mabuk dan jatuh terkulai, tunduk di bawah pengaruh Suminten. Sedemikian hebat kekuasaan wanita ini atas diri pangeran yang menjadi kekasihnya sehingga sang pangeran akan mentaati segala macam perintahnya secara membuta, biar disuruh mencuci kaki Suminten akan dilakukan dengan penuh kesungguhan
Betapa pun juga, nafsu berahi yang menguasai hati Suminten membuat wanita ini alpa. Dia lupa bahwa semua gerak-geriknya tidak terluput dari pada pengintaian wanita yang menjadi saingannya, yaitu Sekarmadu. Selir ini pun menggunakan seorang emban (pelayan) untuk mengawasi gerak-gerik Suminten dan pada suatu hari ia mendapat pelaporan mata-matanya bahwa Suminten seringkali mengadakan pertemuan gelap dengan Pangeran Kukutan di dalam pondok taman.
Mendengar ini, Sekarmadu tertawa lebar, kemudian mengepal tangannya menjadi tinju kecil dan berkata, “Nah, sekarang mampuslah engkau, perempuan rendah!” Sekarmadu menanti saat baik.
Ketika sang prabu kebetulan bergilir kepada selir lain, suatu hal yang jarang sekali terjadi semenjak Suminten menjadi selirnya, dan emban yang menjadi mata-mata Sekarmadu melaporkan bahwa Pangeran Kukutan dan Suminten sudah berada di pondok taman, selir ini sendiri bersama embannya menyelinap memasuki taman, menghampiri pondok dengan hati-hati.
Sang emban yang merasa takut karena urusan ini menyangkut selir sang prabu yang terkasih dan seorang pangeran muda, berjongkok di luar pondok:. dengan tubuh menggigil karena ia maklum bahwa tentu akan terjadl peristlwa hebat. Adapun Sekarmadu dengan hati panas penuh kemarahan lalu mendekati jendela, mengintai dan mendengarkan.
Di dalam pondok itu gelap remang-remang, hanya tampak bayangan dua orang yang tidak jelas. Akan tetapi suara percakapan mereka jelas mudah dikenal, yaitu suara Suminten dan Pangeran Kukutan Dengan jantung berdebar-debar, Sekarmadu mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan lirih-lirih,
“...kekasihku wong bagus (orang tampan), betapa kuatnya engkau tidak seperti sang prabu yang loyo”
“...dan engkau wanita tercantik di dunia inii, pujaan hatiku...”
Sekarmadu tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Dan luar jendela, ia memaki,
“Suminten perempuan rendah, perempuan hinna! Berani engkau bermain gila dengan Pangeran Kukutan dan masih menghina sang prabu lagi. Tunggu saja, habiskan kesenanganmu malam ini karena besok engkau akan mampus!”
Setelah berkata demikian, Sekarmadu dengan muka merah saking marahnya meninggalkan tempat itu, kembali ke kamarnya, diikuti emban yang masih ketakutan.
Betapa pun juga, Sekarmadu tidak mau menimbulkan keributan malam hari itu karena sang prabu sedang bermalam di kamar sellr ke tujuh. Karena hal ini amat memalukan, juga bagi sang prabu sendiri, maka Sekarmadu yang menghormati suaminya menahan gelora kemarahannya malam itu, hendak menanti sampai besok baru ia akan melapor secara diam-diam kepada junjungannya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar