PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-35
Pangeran Kukutan menjadi pucat dan tak dapat berkata sesuatu.
Sumintenlah yang lebih dulu sadar dan dapat menguasai hatinya. Wanita mi
mendorong tubuh kekasihnya dan melompat turun dari pembaringan,
berkemas sambil berkata,
“Hayo cepat, kita harus turun tangan lebih dulu!”
Mendengar suara kekasihnya yang sedikitpun tidak membayangkan rasa takut
itu, barulah hati Pangeran Kukutan menjadi tenang. Mereka lalu
berbisik-bisik dan Suminten yang cerdik itu mengatur rencananya.
Cepat sekali Suminten mengatur rencana dan segera mereka melakukan
siasat yang diatur Suminten malam itu juga. Pangeran Kukutan pergi ke
pondok kediaman para juru taman, diam-diam memanggil pembantu juru taman
yang muda bernama Jagaloka.
Adapun Suminten pergi menemui tujuh orang emban pelayan yang menjadi
kaki tangannya. Mereka berdua bekerja cepat sesuai dengan siasat
Suminten dan tak lama kemudian, Suminten sudah bertemu lagi dengan
Pangeran Kukutan yang datang bersama. Jagaloka yang muda dan cukup
tampan, akan tetapi pada saat itu Jagaloka kelihatan bingung dan takut.
Sekarmadu masih belum tidur. Dia sama sekali tidak dapat tidur, bahkan
semenjak memasuki kamarnya, puteri ini berjalan hilir-mudik di dalam
kamarnya, hatinya penuh ketegangan. Ingin sekali ia sekarang juga
melapor sang prabu, namun kalau ia melakukan hal ini tentu banyak selir
dan abdi dalem yang mendengar, juga sang prabu dapat menjadi tidak
senang hati karena terganggu.
Hatinya sudah tidak sabar dan ingin ia malam cepat-cepat berganti pagi
agar ia dapat segera melapor dan wanita hina itu segera dihukum! Emban
pembantunya yang tadi ketakutan sudah tidur melingkar di atas lantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di luar pintu kamarnya. Sekarmadu
berhenti melangkah, memutar tubuh menoleh ke arah pintu kamar dan
bertanya, “Siapa di luar?”
Sebagai jawaban pertanyaannya, tiba-tiba pintu kamarnya yang terkunci itu didobrak orang dari luar.
Agaknya orang yang mendobraknya itu kuat sekali karena sekali tendang,
daun pintu itu terbuka dan muncullah Jagaloka yang wajahnya pucat.
“Ehh..., si Jagaloka, mau apa engkau...?”
Sekarmadu membentak, heran dan marah.
“Hamba... hamba... bukankah hamba dipanggil...?”
“Keparat! Jangan kurang ajar engkau! Berani membuka pintu kamarku?”
Pada saat itu, berkelebat masuk bayangan Pangeran Kukutan yang membentak,
“Juru taman bedebah, kau harus mati!”
Ucapan Pangeran Kukutan ini disusul terjangannya dengan keris di tangan.
Sekali tusuk saja si juru taman yang tentu saja bukan lawan pangeran
yang perkasa itu mengeluh dan terhuyung, darah muncrat-muncrat keluar
dari ulu hatinya.
Sekarmadu memandang dengan mata terbelalak, hendak menjerit, akan tetapi
dengan gerakan sigap sekali Pangeran Kukutan sudah meloncat ke dekatnya
dan sekali menggerakkan tangan, pangeran itu sudah merangkulnya dan
membungkam mulutnya.
Sekarmadu meronta-ronta dan berusaha menjerit, namun sia-sia karena
pangeran itu kuat sekali merangkulnya dan kuat pula tangan yang menutupi
mulut.
Pada saat berikutnya, muncul Suminten yang tersenyum-senyum.
Wanita ini sambil tersenyum genit mendekati Sekarmadu lalu merenggut
pakaian yang menempel di tubuh Sekarmadu, satu demi satu sampai
Sekarmadu menjadi telanjang bulat!
Setelah itu barulah Pangeran Kukutan melepaskan rangkulannya dan
mendorong tubuh wanita yang telanjang itu sampai terlempar dan
tertelungkup dalam pembaringannya.
Emban yang terbangun oleh suara gaduh ini, memandang terbelalak, saking kaget dan takutnya sampai tak dapat bersuara.
“Bagus sekali engkau perempuan hina-dina, perempuan rendah, pelacur yang terseret memasuki istana!”
Suara Suminten terdengar lantang sebab ia sengaja mengeluarkan suara
seperti menjerit-jerit, telunjuknya menuding ke arah tubuh Sekarmadu
yang telanjang bulat di atas pembaringan.
“Sungguh menjijikkan! Tak tahu malu! Berjina dengan si juru taman “
“Apa kau bilang? Kau perempuan keji... kau... kau!”
Akan tetapi wanita yang malang itu tak dapat melanjutkan kata-katanya
dan ia menangis dan berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan alas
sutera pembaringan karena pada saat itu, para abdi dalem dan beberapa
orang selir yang mendengar suara ribut-ribut itu sudah membanjir masuk
ke dalam kamar.
Mereka berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak, sejenak memandang
ke atas pembaringan di mana puteri Sekarmadu rebah dalam keadaan
telanjang bulat terbungkus alas pembaringan, kemudian memandang tubuh
Jagaloka yang kini juga sudah telanjang bulat dan menjadi mayat
berlepotan darahnya sendiri.
Melihat keadaan ini, melihat Pangeran Kukutan yang berdiri dengan keris
di tangan,tanpa diberitahu sekali-pun mereka dapat menduga apa yang
telah terjadi! Tentu Sekarmadu berjina dengan si juru taman, akan tetapi
dipergoki Pangeran Kukutan dan Suminten yang berakibat kematian juru
taman di tangan sang pangeran.
“Tidak...! Tidaaaaaaaakkk... Aku tidak...!”
Sekarmadu menjerit-jerit karena iapun dapat mengerti akan bahaya yang
mengancam dirinya. Gegerlah istana pada malam itu sehingga sang prabu
sendiri sampai terkejut, terbangun dan mendengar apa yang terjadi di
kamar selirnya yang terkasih, Sekarmadu.
Mendengar ini sang prabu marah sekali. Setelah berpakaian rapi, sang
prabu duduk di ruangan dalam dan memerintahkan menyeret Sekarmadu
menghadapi juga memerintahkan agar Suminten dan Pangeran Kukutan
menghadap sebagai saksi.
Sekarmadu menangis terisak-isak ketika dua orang pengawal istana
menyeretnya, karena ia hampir tidak mampu berdiri, dengan tubuh masih
terbungkus sutera merah alas pembaringan, rambutnya terural dan wajahnya
pucat.
Di belakangnya, Suminten dan Pangeran Kukutan melangkah tenang, namun
berbeda dengan wajah Suminten yang berseri-seri tersenyum, wajah
Pangeran Kukutan pucat dan kedua kaki tangannya terasa dingin.
Mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menyembah sang raja. Suminten
yang pandai merayu itu segera berjalan jongkok menghampiri sang
prabu,menyembah dan menyentuh kakinya sambil berkata lirih,suaranya
serak-serak basah amat mengharukan,
“Hamba mohon beribu ampun bahwa hamba telah menimbulkan keributan, akan
tetapi mohon paduka memaklumi betapa panas hati hamba penyaksikan
perbuatan tak tahu malu dari perempuan itu yang menghina paduka.”
Dengan gerakan halus dan penuh kasih sayang, tangan sang prabu menjamah rambut yang halus berikal mayang itu, kemudian berkata,
“Engkau malah berjasa, Suminten. Mundurlah, biar kuperiksa perkara menjijikkan ini!”
Akan tetapi Suminten tidak mundur jauh, menyembah lagi dan berkata,
“Mohon ampun. Junjungan hamba. Perempuan ini amat keji dan palsu,
sebelum ia sempat bercerita bohong, harap paduka sudi mendengar dulu
kesaksian hamba dan puteranda Pangeran Kukutan.”
Sang prabu mengelus-elus jenggotnya sambil memandang selirnya yang terkasih itu.
“Duhai, gusti pujaan hamba... sudilah paduka mendengarkan penuturan
hamba..., hamba kena fitnah... hamba tidak bersalah... dialah perempuan
rendah yang hamba yakin menjadi biang keladi fitnah ini! Dia... dia dan
Pangeran Kukutan...!’
“Diam kau, perempuan terkutukk! Sang prabu membentak dan pucatlah muka
Sekarmadu, maklum bahwa nasibnya sudah ditentukan dengan sikap sri
baginda raja itu.
Akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah,hanya menunduk dan menangis, meratap di dalam hati mohon pertolongan dewata.
“Berceritalah kau, Suminten.”
Dengan suara lantang Suminten bercerita,
“Malam tadi hamba tidak dapat tidur...”
Ia mengerling tajam kepada sang prabu yang memandang nya dan sang prabu
mengangguk-angguk, mulutnya tersenyum maklum, karena ia tahu bahwa
seperti biasanya menurut pengakuan Suminten, tiap kali sang prabu tidur
dengan selir lain, selir termuda dan tercinta ini tentu tak dapat tidur!
“...karena gelisah dan merasa gerah, hamba keluar dari kamar dengan
maksud mencari angin sejuk di taman. Akan tetapi,seperti paduka maklum,
jalan menuju ke taman melalui belakang kamar... perempuan rendah ini.
Hamba mendengar suara-suara di dalam kamar, suara kekeh tertawa genit
dan cumbu rayu pria. Hamba curiga dan mendengarkan di luar jendela,
kemudian hamba yakin bahwa itu adalah suara si perempuan rendah dan si
juru taman keparat itu. Kebetulan sekali, pada saat itu, hamba melihat
berkelebatnya bayangan orang di taman, dan ketika hamba mengenal
bayangan itu adalah puteranda Pangeran Kukutan, hamba lalu memanggilnya
dan menceritakan bahwa di kamar perempuan ini ada seorang duratmoko
(maling). Demikianlah, Gusti, puteranda pangeran lalu turun tangan
membunuh si bedebah juru taman.”
Sang prabu menjadi merah mukanya, mengepal tinju dan giginya yang sudah banyak ompongnya berkerot.
“Kukutan, ceritakan kesaksianmu!”
Setelah menyembah, Pangeran Kukutan bercerita yang tentu saja memperkuat
cerita Suminten, yaitu bahwa karena hawa terasa panas ia pergi ke
tamansari, di-panggil “ibunda” dan diberi tahu kejadian di kamar
Sekaremadu, dan saking marahnya, ia menendang daun pintu kamar, melihat
betapa selir yang berjina itu berada di atas pembaringan bersama
Jagaloka.
“Si bedebah itu hendak melarikan diri, akan tetapi hamba menerjangnya
dan menikam ulu hatinya dengan keris hamba.” Demikian sang pangeran
menutup ceritanya.
Sang prabu makin marah dan pada saat itu, “persidangan” kecil ini
diganggu dengan munculnya Ki Patih Brotomenggala yang tergopoh-gopoh
menghadap karena mendengar akan kekacauan di istana.
Ia menyembah dan diberi isyarat tangan sang prabu agar duduk. Ki patih
yang sudah tua ini pun duduk bersila dan mendengarkan dengan hati tegang
dan wajah berkerut.
“Perempuan tak tahu malu, perempuan rendah! Apa yang dapat kauceritakan
sekarang?” bentak sri baginda kepada Sekarmadu yang mendengarkan semua
tuduhan itu dengan wajah pucat akan tetapi sepasang matanya menyinarkan
kebencian dan kemarahan kepada Suminten dan Pangeran Kukutan.
“Fitnah! Semua itu fitnah belaka, Gusti! Tidak tahukah Paduka betapa
jahat dan palsu dua orang manusia terkutuk ini? Hamba tidak bersalah.
Hamba sedang berada di kamar,tahu-tahu pintu tertendang dan masuk si
juru taman, disusul Pangeran Kukutan yang serta-merta
membunuhnya,kemudian manusia keparat ini memeluk hamba, si perempuan tak
tahu malu itu menelanjangi hamba dan...”
“Eh, Sekarmadu, sungguh mulutmu lancang sekali!”
Suminten memotong. Hanya dialah satu-satunya orang yang berani berlancang mulut di depan sang prabu.
“Sudah berdosa, mengapa tidak mengaku dan memohon ampun kepada sri
baginda? Dengan bicara membabi-buta, dosamu bertambah berat. Engkau
sudah kubantu, kurahasiakan kata-katamu yang kudengar, akan tetapi
engkau malah menyebar fitnah...!”
“Suminten, apa yang dia katakan? Hayo kau mengaku,apa yang ia katakan kepada juru taman keparat itu?”
Sri baginda menjadi tertarik dan ingin sekali mendengar “rahasia” itu.
Suminten menggeser duduknya makin dekat depan kaki sang prabu, lalu
menunduk, memasang tubuh sedemikian rupa sehingga kelihatan amat
menggairahkan dalam pandangan sri baginda yang sudah tua itu. Kemudian
ia berkata, suaranya menggetar,
“Hamba... hamba tidak berani”
“Eh, kenapa tidak berani? Takut kepada siapa? Jangan takut, tidak ada
seorang setan pun yang akan berani menganggu seujung rambutmu,
Suminten!” kata sri baginda penuh kasih sayang sehingga ia diupah
sekilas senyum dan kerling tajam kekasihnya.
“Hamba... hamba takut kalau-kalau akan membuat paduka marah...”
“Tidak, Suminten. Kalaupun marah, tentu tidak kepadamu yang bersih dari pada dosa.”
“Kalau begitu, sebelumnya hamba mohon ampun.Hamba mendengar jelas ucapan
yang keluar dari mulut busuk perempuan hina itu begini... kekasihku
wong bagus, betapa kuatnya engkau... tidak seperti sang prabu, si tua
bangka yang loyo...”
Tidak hanya wajah Sekarmadu yang menjadi pucat,bahkan wajah Pangeran
Kukutan sendiri menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang Suminten
yang tersenyum.
Alangkah beraninya wanita itu! Padahal, ucapan itu adalah persis seperti
apa yang diucapkan Suminten sendiri kepadanya ketika mereka berlangen
asmara! Sekarmadu terbelalak, kemarahannya memuncak dan ia bangkit
berdiri,menjerit,
“Perempuan iblis...! Engkaulah yang mengatakan itu...! Engkau... engkau keji...”
Akan tetapi sang prabu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya, meloncat turun dari atas kursinya.
Biar pun usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih kuat dan
tangkas. Keris pusaka di tangannya berkilat dan di lain detik, tubuh
Sekarmadu roboh mandi darahnya sendiri yang muncrat keluar dari dadanya.
Tangan kiri Sekarmadu mendekap luka di dada, ia berusaha bangkit,
berlutut dan tangan kanannya menunjuk ke arah Suminten, matanya
terbelalak, mulutnya mengeluarkan kata-kata lemah,
“...engkau... Suminten perempuan keji... dan engkau Pangeran Kukutan
laki-laki pengecut... terkutuklah kalian... aduhhh... sang prabu telah
khilaf, mudah terbujuk... semua ini fitnah... mereka... merekalah yang
berjina, harap tanyakan kepada emban... auuughhhl”
Robohlah kembali tubuh Sekarmadu, terkulai miring tak bernapas lagi.
Alas pembaringan sutera merah menjadi lebih merah lagi dan kini
terlepas, terbuka, sehingga tampaklah tubuh yang berkulit putih berslh
itu, sebersih hatinya, namun ternoda warna merah, darahnya sendiri!.
“Aduhhhh, gusti puteri... I”
Emban pelayan pribadi Sekarmadu menubruk mayat itu dan menangis.
“Heh, emban! Apa artinya ucapan terakhir gustimu yang berdosa tadi?”'
Sang prabu bertanya kepada emban itu,hatInya agak terharu dan
kemarahannya mereda ketika ia melihat betapa tubuh muda yang blasanya
amat dikasihaninya itu kini sudah menggeletak tak bernyawa lagi.
Emban itu terengah-engah, menyembah-nyembah sampai dahinya terbentur lantai.
“Ampun, kanjeng gusti... sesungguhnya gusti puteri tidak berdosa...
gusti putri mulus dan murni tanpa cacad... sesungguhnyalah yang berjina
adalah... gusti puteri Suminten dan gusti Pangeran Kukutan... hamba
menyaksikan sendiri...!”
“Keparat...”
Pangeran Kukutan melompat dan sebelum dapat dicegah, kerisnya telah
menembus lambung emban itu yang seketika roboh, berkelojotan dan tewas!
Sang prabu mengerutkan kening dan menghardik.
“Kukutan! Apa yang kaulakukan ini?”
Pangeran itu segera menjatuhkan diri menyembah.
“Mohon ampun, Kanjeng Rama! Bagaimana hati hamba kuat mendengar fitnah
yang keluar dari mulut si bedebah ini. Tentu saja ia berusaha membalas
dendam gustinya dan berusaha menjatukan fitnah. Kedosaan Sekarmadu sudah
terbukti, adapun tuduhan tanpa bukti terhadap hamba adalah fitnah
belaka. Hamba tidak dapat menahah kemarahan, mohon paduka sudi memberi
ampun.”
“Memang bujang hina itu tak patut dibiarkan hidup!”
Suminten menyambung sambil mencium kaki sri baginda.
“Betapa dia boleh menghina hamba begitu saja. Seorang emban! Dan tentang
hubungan antara Sekarmadu dengan Jagaloka bukan hal yang aneh lagi.
Hamba mempunyai banyak saksi...!”
Suminten melambaikan tangannya ke dalam, memanggil para emban keputren.
Mereka ini adalah kaki tangannya yang tadi sudah ia pesan dan beri
hadiah, tentu saja tujuh orang pelayan ini segera menerangkan dengan
suara seragam bahwa mereka pernah menyaksikan Sekarmadu mengadakan
pertemuanpertemuan rahasia dengan Jagaloka, dan yang menjadi perantara
adalah si emban yang terbunuh Pangeran Kukutan!
Marahlah sri baginda.
“Sudahlah, lekas enyahkan bangkai terkutuk kedua orang itu!”
Tergopoh-gopoh para pengawal dan pelayan mengangkut dua mayat wanita itu
dan membersihkan lantai sehingga tidak ada lagi bekas-bekas darah.
“Kakang Patih Brotomenggala, engkau jaga agar peristiwa kotor ini tidak sampai tersiar keluar.”
“Hamba akan mentaati perintah paduka, Gusti,” jawab ki patih yang wajahnya masih keruh dan alisnya berkerut.
“Eh, Kakang patih, kau kelihatan tidak senang hatimu.Bukankah sudah tepat sekali dua orang manusia jahanam itu dibunuh?”
“Maafkan hamba, gusti. Memang sudah sepatutnya yang salah dihukum. Akan
tetapi..., tidak seyogianya kalau paduka sendiri yang menjatuhkan
hukuman. Selain itu, barulah adil namanya kalau si terdakwa diberi
kesempatan untuk membela diri dan perkara diselidiki terlebih dahulu
kebenarannya sebelum menjatuhkan hukuman. Hukuman pun harus dilaksanakan
oleh petugas yang sudah ada.”
“Eh, ki patih! Apakah andika tidak percaya akan keterangan hamba dan puteranda Pangeran Kukutan?”
Terdengar Suminten bertanya, suaranya lantang penuh tantangan.
“Bukan begitu, sang puteri. Bukan soal percaya atau tidak percaya, akan
tetapi hamba hanya menyatakan hal yang sernestlnya menurut adilnya
hukum. Menurut penglihatan hamba, biasanya Sang Puterl Sekarmadu
berwatak baik dan berbudi berslh.”
“Kakang patih, apakah seorang manusia itu dinilai dari pada sikapnya yang baik? Siapa tahu akan isi hati seseorang?”
Sang prabu membantah karena merasa ikut tersinggung bahwa patihnya ini agaknya menyangsikan kesaksian selirnya yang tercinta.
Patih Brotomenggala menyembah kepada sang prabu lalu berkata,
“Memang benar sekali sabda paduka, gusti. Tetapi sedikit banyak gerak-gerik seseorang mencerminkan dasar wataknya.”
“Hemm, Paman patih, agaknya andika adalah seorang ahli mengenal watak wanita!”
Pangeran Kukutan mengejek.Ki Patih Brotomenggala yang tua itu memandang
tajam ke arah wajah pangeran itu dan berkata, suaranya perlahan dan
hormat namun mengandung getaran berwibawa,
“Sedikitnya pengetahuan hamba akan watak wanita lebih banyak dari pada
yang paduka ketahui, gusti pangeran,karena sebelum paduka terlahir,
hamba sudah banyak mengenal wanita.”
“Sudahlah, Kakang patih,” kata sang prabu dengan suara kesal, “sudah
terang akan dosa Sekarmadu, saksinyapun bukan sembarang orang melainkan
selirku dan puteraku, juga tujuh orang emban. Tentu saja mereka tidak
mau mengaku, si bedebah juru taman dan perempuan laknat itu.Akan tetapi
mereka sudah dihukum, dan hal ini sudah adil dan sudah habis, tidak
perlu dipercakapkan lagi. Yang perlu dijaga agar hal seperti ini jangan
sampai terdengar keluar,karena hanya akan mendatangkan aib belaka.”
“Hamba mentaati perintah paduka, gusti,” jawab ki patih sambil menyembah.
Sang prabu lalu membubarkan persidangan kecil itu,kemudian kembali ke
tempat peraduan, akan tetapi sekali ini bukan kembali ke tempat selir
yang digiliri malam tadi,melainkan menggandeng lengan Suminten yang
berkulit halus dan padat itu, memasuki kamar Suminten yang indah bersih
dan berbau harum.
Dengan sikap manja sambil berjalan perlahan, Suminten menggenggam tangan
junjungannya, berjalan mepet dan menggosok-gosokkan tubuhnya agar
bersentuhan dengan tubuh sang prabu,senyum manisnya melebar, kerling
matanya makin tajam!
Demikianlah, dengan amat cerdik, Suminten dapat membalikkan kenyataan,
dari keadaan terancam bahaya karena perjinaannya, menjadi pemenang atas
diri saingannya yang terberat, yaitu Sekarmadu, berhasil membunuh wanita
tak berdosa itu dan mempertebal kepercayaan dan kecintaan sang prabu
kepadanya.
Pada pertemuan berikutnya dengan Pangeran Kukutan, ia menegur pangeran itu,
“Pangeran, engkau benar-benar ceroboh! Kalau tidak ada aku yang bersikap
hati-hati, tentu akan celakalah kita di tangan Ki Patih Brotomenggala!”
Pangeran Kukutan merangkul, mendekap dan mencium bibir yang menantang itu sebelum bertanya,
“Ah, datang-datang aku dIsambut makian, Apa salahanku kali ini,dewi jelita? Mengapa kau menyebut aku ceroboh?”
“Dasar bodoh!”
Suminten melepaskan diri dari pada pelukan.
“Lupakah engkau betapa engkau menelanjangi juru taman?”
“Eh, kenapa ceroboh? Bukankah perbuatan itu menunjukkan kecerdikanku sesuai dengan siasatmu yang amat sempurna?”
“Memang benar, akan tetapi baju juru taman itu berlubang dan berdarah bekas tusukanmu!”
Pangeran Kukutan masih tidak mengerti dan memandang kekasihnya dengan mata penuh pertanyaan. “Habis, mengapa?”
“Mengapa? Benar-benar kau tidak mengerti? Kalau kau bermain cinta dan
bertelanjang bulat ketika. kau menusuknya, bagaimana pakaiannya dapat
berlubang dan berdarah? Kalau kau menusuknya dalam keadaan berpakaian,
mengapa pakaiannya terlepas semua dan ia telanjang? Perbuatanmu itu
dapat membuka rahasia kita, seolah-olah pakaian berlubang dan berdarah
si juru taman itu dapat bercerita bahwa si juru taman itu kautusuk lebih
dulu, baru kemudian ditelanjangi! Kaukira ki patih orang bodoh? Dia
telah mencari-cari bekas pakaian si juru taman itu!”
Seketika pucat wajah Pangeran Kukutan. Suaranya gemetar ketika ia
bertanya, “lalu..., bagaimana...? Di mana... eh, pakaian itu...?”
Suminten tersenyum, lalu melangkah dan duduk di atas pembaringan,
memasukkan kedua kakinya di dalam tempayan berisi air bunga mawar untuk
mencuci kakinya. Kemudian ia mengangkat mukanya memandang pangeran itu
dan berkata,
“Kalau tidak ada aku, sekarang engkau tentu telah digantung! Untung aku
melihat kebodohanmu itu dan sudah kusuruh singkirkan pakaian itu oleh
embanku.”
Pangeran Kukutan yang sudah merangkul pundak itu, melangkah mundur
dengan senyum dikulum. Sudah biasa ia menyanjung dan menjilat untuk
menyenangkan hati kekasihnya ini. Apa lagi sekarang, ia anggap bahwa
kekasihnya telah menyelamatkan nyawanya. Tanpa sangsi lagi ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suminten.
“Pangeran, benar-benarkah engkau berterima kasih kepadaku bahwa aku telah menolong dan menyelamatkan nyawamu?”
“Demi Para dewata di Suralaya, adinda Suminten. Aku bersyukur dan
berterima kasih' sekali, juga makin mencintamu dengan seluruh jiwa
ragaku.”
“Engkau mau melakukan apa saja yang kuminta?”
“Siap sedia”
“Kalau begitu, aku ingin melihat kesetiaanmu, Pangeran Kukutan. Kau minumlah air mawar bekas kakiku.”
Pangeran Kukutan mengangkat muka memandang. Melihat betapa mulut itu
tersenyum manis dan mata itu memandang penuh berahi, ia tertawa, lalu
menunduk, mengangkat tempayan berisi air mawar bekas pencuci kaki
Suminten, mendekatkan ke mulutnya dan ia minum beberapa teguk air itu.
“Aahhhh... segar sekali!”
Pangeran Kukutan menaruh tempayan di atas lantai. Melihat Suminten
tertawa girang, iapun tertawa dan merangkul pinggang, menyembunyikan
mukanya di atas pangkuan wanita itu. Sejenak Suminten diam saja,
berdongak meramkan mata, kedua tangan menjambak rambut kepala di atas
pangkuannya, kemudian perlahan ia mendorong pangeran itu mundur.
“Cukup, pangeran. Malam ini kita tidak boleh...!”
“Tapi... tapi..., mengapa...!?”
Pangeran Kukutan terkejut. Minum air bekas cucian kaki masih ringan,
akan tetapi kalau wanita ini menolak cintanya, benar-benar hal ini amat
berat baginya.
“Kita harus hati-hati. Bukan hanya Sekarmadu musuh kita. Masih banyak
tugas menanti. Kesenangan dapat kita lakukan segala waktu dan masih
panjang bagi kita. Pangeran, mulai sekarang kita atur rencana menyusun
kekuatan mengumpulkan sekutu yang boleh dipercaya, melenyapkan
musuh-musuh yang yang berada di istana dan di luar istana. Adapun
tentang pertemuan kita... hemm, mulai sekarang, akulah yang akan
menentukan waktu dan saatnya. Jangan sekali-kali kau berani datang
menemuiku kalau tidak kupanggil. Mengerti?”
Kekecewaan besar yang tadinya membayang di wajah pangeran itu,
perlahan-lahan lenyap, terganti oleh kesungguhan dan pengertian.
Pangeran itu mengangguk-angguk dan berkata lirih,
“Aku mengerti, Diajeng. Memang seharusnya aku mentaati segala perintah-mu, karena kaulah yang mempunyai kecerdikan luar biasa.”
“Nah, kalau begitu, pergilah sekarang juga. Siapa tahu ki patih selalu
memasang mata-mata. Aku akan mengganti semua emban menjadi orang-orang
yang tunduk kepadaku.”
Pangeran Kukutan bangkit berdiri, mendekati hendak merangkul dan mencium
seperti yang Ia selalu lakukan di saat mereka hendak berpisah. Akan
tetapi Suminten juga bangkit berdiri dan mendorong dengan kedua tangan.
“Jangan!”
“Hanya cium perpisahan, Diajeng...”
“Itu pun harus aku yang menentukan!”
Sejenak sang pangeran meragu, lalu menunduk dan mengangguk, membalikkan diri dan melangkah keluar ke arah pintu pondok.
“Pangeran...“ Panggilan lirih itu membuat ia berhenti dan membalikkan tubuh. Suminten menggapai dan ia melangkah maju mendekat.
“Nah, berilah cium perpisahan itu,” kata Suminten sambil tertawa dan mengangkat mukanya.
Bagaikan kucing kelaparan Pangeran Kukutan meraih, merangkul dan mencium
mulut yang masih tertawa itu, penuh cinta kasih dan berahi. Suminten
mendorongnya perlahan dan menjauhkan muka.
“Cukuplah, ingat, masih banyak waktu bagi kita. Nah, pergilah, pangeran.”
Pangeran Kukutan memandang sejenak, tersenyum penuh kasih sayang dan
terima kasih, lalu pergi keluar dari pondok memasuki taman gelap.
Suminten yang ditinggal seorang diri di atas pembaringan di pondok,
meramkan matanya dan tertawa. Ia mengepal tangan kanan-dmerasa
seolah-olah Pangeran Kukutan berada di dalam kepalan tangannya itu. Ia
telah menguasai pangeran itu seluruhnya, dan ia puas. Bahkan dalam hal
cinta sekali pun ia yang berkuasa dan pangeran ini hanya seperti seekor
anjing penjaga yang akan datang apa bila ia menjentikkan jari tangannya.
Demikianlah, makin lama, secara teratur dan pandai sekali, Suminten
makin menaik derajatnya di dalam istana, makin dalam sang prabu
tenggelam ke dalam pelukan dan makin mabuk dalam belaiannya.
Tidak hanya memabukkan sang prabu sehingga raja tua itu tunduk
kepadanya, juga wanita cerdik ini mulai-lah memperluas pengaruh dan
kekuasaannya sehingga seringkali sang prabu merundingkan soal-soal
pemerintahan dengan selir terkasih ini dan tidak jarang sang prabu
mengambil keputusan berdasarkan nasehat Suminten!
Tahun demi tahun lewat dan kekuasaan Suminten makin terasa oleh semua
keluarga istana. Diam-diam Ki Patih Brotomenggala menjadi cemas sekali.
Bersama beberapa orang ponggawa tinggi lainnya, Ki Patih Brotomengala
seringkali mengadakan perundingan dan diam-diam mereka ini menyusun
kekuatan ke tiga untuk menandingi pengaruh Suminten yang mereka anggap
meracuni Kerajaan Jenggala.
Akan tetapi, ki patih dan para ponggawa tinggi tidak harus secara
terang-terangan menentang Suminten karena mereka semua mengerti betapa
besar cinta kasih sang prabu kepada selir termuda ini yang makin lama
makin mempengaruhi junjungan mereka.
Suminten sendiri secara cerdik sekali juga tidak memperlihatkan
permusuhan, bahkan di luarnya ia bersikap amat manis dan balk terhadap
mereka, namun secara diamdiam Suminten dibantu oleh Pangeran Kukutan
memperluas kekuasaannya dan memperbesar persekutuannya dengan para
ponggawa muda yang merasa tidak peas dengan kedudukan mereka.
Makin lama makin menjalarlah pengaruh dan kekuasaan Suminten di Kerajaan
Jenggala, dan makin tunduklah sang prabu yang sudah tua itu sehingga
dalarn waktu lima tahun, dapat dikatakan bahwa segala kcputusan perkara
pemerintahan yang keluar dari mulut sang prabu adalah keputusan berdasar
kehendak Suminten…..!
********************
Kita tinggalkan dulu Suminten, wanita muda cantik jelita yang berasal
dari dusun namun berkat kecerdikan dan ambisinya telah mencapai
kedudukan tinggi, Iebih tinggi dari sang permaisuri sendiri itu. Kini
lebih baik kita menengok dan mengikuti pengalaman Endang Patibroto yang
sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, yaitu kurang lebih lima tahun
yang lalu, Endang Patibroto mengajak Setyaningsih adik kandungnya,
pergi secara diam-diam meninggalkan Selopenangkep. la pergi membawa hati
yang perih, seperti disayat-sayat pisau rasanya, betapa pun ia
menguatkan hati, air rnatanya bercucuran terus kalau ia teringat akan
Adipati Tejolaksono, suaminya yang amat dikasihinya.
Tadinya is amat berbahagia, belum pernah selama hidupnya ia merasa
sebahagia ketika ia pergi menyusul suaminya itu ke Selopenangkep. la
dahulu pernah bahagia menjadi isteri Pangeran Panjirawit, namun tidak
seperti ketika menjadi isteri Tejolaksono, karena hal itu berarti bahwa
ia telah menemukan cinta kasihnya kembali, cinta kasih yang ditanamnya
semenjak ia masih remaja dahulu.
Mendiang Pangeran Panjirawit hanya merupakan tempat pelarian, hanya
merupakan obat penawar yang menyejukkan hati. Akan tetapi, bertemu dan
menjadi isteri Tejolaksono berarti terpenuhi segala keinginannya
sehingga ia dapat menumpahkan semua kasih sayangnya kepada pria idaman
hatinya itu. Apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia telah
mengandung, cinta kasihnya terhadap Tejolaksono ma-kin kuat berakar di
dalam hatinya.
Akan tetapi, dia harus meninggalkan kebahagiaan itu, harus meninggalkan
Tejolaksono, tidak ingin menyaksikan pria terkasih itu menderita
sengsara. Dan ia maklum setelah mendengar percakapan antara suaminya dan
Ayu Candra, bahwa kalau dia tetap tinggal di Selopenangkep sebagai
isteri muda, akan timbul halhal yang tidak baik antara dia dan Ayu
Candra, dan akhirnya akan menyeret Tejolaksono ke dalam lembah kedukaan.
Selain itu iapun tidak mau lagi mengulang perbuatannya yang dahulu, ia
sudah terlalu banyak mendatangkan kesengsaraan kepada Ayu Candra.
Dan terutama sekali, ia tidak sudi berebut cinta dengan wanita lain.
Betapa pun hancur hatinya, ia lebih baik pergi, bahkan lebih baik mati
dari pada memperebutkan cinta yang dianggapnya merupakan hal yang amat
memalukan.....
Komentar
Posting Komentar