PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-38
Dalam menghadapi kematian, kedua orang ini sama sekali tidak merasa
takut. Dan mereka tahu bahwa mereka mati untuk kebenaran. Mereka telah
menyebarkan kritik dan cela terhadap sang prabu dan Suminten,bukan
sekali-kali karena dendam pribadi, melainkan karena dasar kebaktian
terhadap kerajaan dan bangsa.
Mereka melihat betapa Kerajaan Jenggala terancam kehancuran karena sang
prabu tergila-gila kepada seorang wanita yang tidak baik. Mereka
ditangkap karena fitnah yang dijatuhkan Pangeran Kukutan ketika pangeran
ini mendengar di suatu pesta tentang kritik dan cela mereka, difitnah
sebagai penyebar desas-desus yangmenghina raja!
Dua orang ini dihadapkan kepada sang prabu. Mereka memandang ke arah
Suminten dengan mata melotot penuh kebencian, kemudian berlutut ke arah
sang prabu.
Sang prabu meramkan mata, lalu mengangkat tangan ke atas memberi isyarat
algojo menarik kedua orang itu, dibawa ke dekat lubang yang telah
digali untuk menampung darah mereka, kemudian disuruh berlutut.
Pada saat itu, terdengar jerit tangis. Mereka mengangkat muka memandang
dan ketika melihat keluarga mereka menangis menjerit-jerit, panggilan
isteri dan anak-anak mereka, tak dapat lagi mereka menahan air mata.
Bukan air mata karena takut, melalnkan air mata karena sedih bahwa
mereka harus meninggalkan keluarga yang tentu akan menjadi berduka dan
berkabung.
“Algojo, lakukan tugasmu!”
kata Adipati Wirabayu.Sang algolo lalu mengangkat goloknya ke atas
mengertak gigi dan tampak sinar berkelebat dua kali berturut-turut.
Putuslah leher kedua orang terhukum itu. Darah menyemprot ke atas dan
beberapa orang anggota keluarga roboh pingsan. Di antara para penonton
terdengar isak tertahan.
Sang prabu lalu bangkit, wajahnya agak pucat dan Suminten cepat bangkit
pula, menggandeng lengan raja dan dituntunnya raja itu turun dari
panggung, memasuki tandu dan cepat-cepat pergi meninggalkan tempat
mengerikan itu, memasuki istana.
Hanya karena pandainya Suminten menghibur saja maka dalam waktu singkat
sang prabu telah melupakan peristiwa menyedihkan di alun-alun itu.
Semenjak hari Itu, sang prabu makin tenggelam ke dalam pelukan dan bujuk
rayu Suminten sehingga raja yang tua itu mengabaikan tugasnya, tidak
mempedulikan lagi bermalam di dalam kamar para selir lainnya, juga tidak
lagi bermalam di kamar permaisuri.
Amat pandainya Suminten mengambil hati dan amat pandai pula ia
mencari-cari perkara sehingga tampak jelas olehnya siapa mereka yang
membencinya dan memusuhinya agar dengan mudah ia dapat menjatuhkan
fitnah kepada mereka dan turun tangan terlebih dahulu menghalau
orang-orang yang sekiranya akan dapat menjadi penghalang bagi
cita-citanya.
“Mengapa paduka kelihatan murung, gusti? Bukankah kematian kedua orang
laknat itu berarti melenyapkan dua orang pemberontak yang tidak setia?”
Sang prabu menghela napas panjang, namun dalam kekecewaannya ia masih
tidak dapat terlepas dari pada daya tarik yang keluar dari gerak-gerik
dan tubuh Suminten.
Ditariknya selir terkasih itu, dipangku dan dielus rambut yang halus panjang itu.
“Engkau tidak tahu, Suminten. Mereka berdua itu adalah orang-orang yang pandai. Aku telah kehilangan dua pembantu, yang cakap.”
“Ahhh, sinuwun, apakah artinya pembantu yang cakap dan pandai kalau dia
tidak setla? Mencari orang pandai tidaklah sukar, akan tetapi, mencari
orang setia adalah paling sukar. Dengan para pembantu macam ki patih dan
antek-anteknya, paduka dikelilingi oleh musuh-musuh rahasia dan
kedudukan paduka amatlah berbahaya. Akan tetapi, hendaknya paduka tenang
dan percayalah bahwa selama hamba berada di sini, dibantu oleh
puteranda Pangeran Kukutan yang berbakti dan setla, hamba berdua akan
dapat menghalau semua bahaya yang mengancam paduka.”
Sang prabu menggunakan kedua tangan untuk memegang kepala yang terasa pening. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,
“Ah, aku bingung... aku bingung... Minten. Betapa mungkin patihku yang
setla memusuhiku... Kakang PatIh Brotomenggala adalah patihku sejak
dahulu... dia... dia...”
“Betapa dapat mengukur isi hati manusia, gustl? Dalamnya bengawan dapat
diselami, tingginya gunung dapat didaki, akan tetapi dalamnya hati
manusia dan tingginya cita-cita manusia sukar diukur. Mungkin dahulu dia
setia, akan tetapi sekarang... hemm, dia berani membujuk-bujuk sang
permaisuri... dan menurut penyelidikan hamba dan Pangeran Kukutan, ki
patih kini secara rahasia telah mengadakan kontak dengan para adipati
dan bupati, agaknya siap-siap untuk memberontak apa bila saatnya tiba.”
Wajah sang prabu menjadi pucat. Terbelalak ia memandang Suminten dan berkata,
“Benarkah itu...? Adakah bukti-buktinya...?!”
Suminten tersenyum manis. “Belum ada, gusti. Kalau sudah ada tentu
hambakan turun tangan. Akan tetapi bukti itu sewaktu-waktu tentu dapat
kita cari asalkan paduka sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Hamba
mendengar bahw ki patih dan teman-temannya sudah pula memilih-milih
calon putera mahkota di antara para pangeran, tentu saja pangeran yang
bersekutu dengan mereka memusuhi paduka.”
“Aahhhh... bagaimana baiknya Minten?”
“Harap paduka tenang dan serahkanlah kepada hamba. Suminten akan
melindungi dan membela paduka sampai titik darah terakhir! Menurut
pendapat hamba, sebaiknya sekarang menggantikan kedudukan kedua orang
pemberontak yang sudah di hukum mati. Menurut petunjuk anaknda Pangeran
Kukutan, sebaiknya mengangkat Tumenggung Wirokeling dan Tumenggun
Sosrogali menggantikan kedua orang itu.”
Sang prabu mengangguk-angguk. Dua orang tumenggung itu adalah
orang-orang kasar yang bodoh dan hanya tahu peran saja, akan tetapi
bukankah tadi Suminten mengatakan bahwa yang penting mencari orang-orang
setia?
“Baiklah, aku setuju. Biar besok kuperintahkan kepada.ki patih.”
Suminten girang sekali. Memang ia sudah merencanakan semua ini dengan
Pangeran Kukutan beberapa hari yang lalu ketika mereka mengadakan
pertemuan kasih mesra,bermain cinta di taman.
Kedua orang tumenggung itu adalah kaki tangan Pangeran Kukutan yang
boleh dipercaya. Saking girangnya, ia lalu merangkul dan menciumi
jenggot putih sang prabu.
“Duhai, gusti sesembahan hamba. Amat besar hati hamba melihat betapa paduka menaruh kepercayaan kepada hamba.”
Sang prabu memeluk tubuh padat itu, kepercayaannya makin mendalam.
“Suminten, hanyalah engkau satu-satunya orang di dunia ini yang masih
dapat kupercaya, berdasarkan cinta kasihmu yang telah kaubuktikan selama
ini.”
Setelah beberapa lama mencumbu rayu junjungannya yang sudah tua, yang sebenarnya memuakkan hatinya, Suminten lalu berkata halus,
“Gusti sinuwun, hamba rasa untuk melawan usaha mereka memilih seorang
putera mahkota untuk menggantikan paduka kelak kalau-kalau mereka
berhasil menggulingkan paduka, sebaiknya kalau sekarang juga paduka
mengumumkan pengangkatan seorang putera mahkota, seorang pangeran pati
yang paduka tentukan sebagai calon pengganti raja kelak.”
Sang prabu mengangguk-angguk. Memang sudah lama ia mempunyai keinginan
seperti ini. Sayang bahwa permaisuri tidak mempunyai anak laki-laki dan
biar pun banyak ia mempunyai putera, namun para pangeran itu adalah
anak-anak dari selir.
“Aku menanti sampai Panji Sigit cukup dewasa dan matang.”
Suminten diam-diam mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa di antara para
pangeran putera selir, Pangeran Panji Sigit adalah seorang yang paling
dicinta sang prabu. Bahkan semua selir dan ponggawa istana suka belaka
kepada pemuda itu. Siapa pula orangnya yang tidak mencinta.
Pemuda itu tampan sekali seperti Arjuna, sikapnya halus dan selalu
ramah, tidak angkuh, tidak mencari muka, pendeknya seorang pemuda yang
benar-benar menyenangkan hati. Dia sendiri, sudah beberapa kali menelan
ludah kalau bertemu pemuda remaja yang hebat ini dan sekarang nama ini
disebut sang prabu sebagai calon putera mahkota! Pangeran Panji Sigit
akan jauh lebih menyenangkan hatinya dari pada Pangeran Kukutan yang
biar pun tampan dan gagah juga akan tetapi tidak setampan dan sehalus
Pangeran Panji Sigit, bahkan agak kasar dalam bermain cinta.
Akan tetapi, pangeran remaja yang halus dan jujur bersih itu mana
mungkin dapat ia ajak bersekutu? Pangeran Kukutan jauh lebih memenuhi
syarat dengan sifat-sifatnya yang cerdik dan pandai bersandiwara.
Namun, kalau dia bisa menarik Pangeran Panji Sigit menjadi pembantunya, wah... hatinya akan puas sekali!
“Memang benar sekali wawasan paduka, gusti. Anaknda Pangeran Panji Sigit
memang amat tepat, akan tetapi pada dewasa ini, hamba juga mengira dia
masih terlampau muda. Padahal para pengkhianat itu selalu menanti
kesempatan dan kiranya Pangeran Panji Sigit akan mudah terjebak ke dalam
perangkap mereka...”
Sang prabu mengangguk-angguk. “Habis, menurut pendapatmu bagaimana, Suminten?”
“Mohon beribu ampun kalau pendapat hamba keliru,gusti. Paduka mempunyai
banyak putera, akan tetapi hamha lihat bahwa para putera pangeran itu
hanya mengejar foya-foya dan kesenangan belaka, tidak ada yang
memperhatikan urusan pemerintahan, kecuali yang sudah terbukti, hanya
anaknda Pangeran Kukutan. Maka, biar pun hamba setuju apa bila paduka
mengangkat Pangeran Panji Sigit, akan tetapi sementara ini, untuk
menghadapi usaha busuk para pengkhianat, alangkah baiknya kalau paduka
mengangkat Pangeran Kukutan sehagai putera mahkota. Hanya Pangeran
Kukutan seorang yang tahu akan sifat-sifat para pengkhianat dan dapat
menghadapi mereka, sehingga dia tali yang akan dapat menyelamatkan
kerajaan paduka dari pada pemberontakan.”
Sejenak sang prabu termenung. Terhadap Pangeran Kukutan, tidak ada
getaran kasih sayang yang kuat dari hatinya, sungguh pun selama ini
Pangeran Kukutan tidak pernah memperlihatkan watak tidak baik, bahkan
telah membuktikan kesetiaannya.
Dia tidak menghendaki Pangeran Kukutan yang kelak menjadi raja
menggantikannya. Akan tetap, kalau betul seperti wawasan Suminten bahwa
ada usaha gelap para musuh rahasia untuk menggulingkannya, memang perlu
sekali adanya seorang pangeran mahkota. Betapa pun juga, pengangkatan
seorang pangeran pati atau putera mahkota bukanlah hal sembarangan, maka
ia lalu menunda urusan ini sampai beberapa hari untuk memikirkannya
masak-masak.
Sementara itu Suminten yang merasa gelisah kalau-kalau sang prabu akan
menjatuhkan pilihannya atas diri Pangeran Panji Sigit, siang hari telah
bersiap-siap.
Sore hati itu ia hersolek keras, menaburi tubuhnya yang padat menarik
itu dengan sari bunga. Selesai bersolek, ia lalu menyuruh emban
kepercayaannya untuk mencegat Pangeran Panji Sigit dan mohon kepada
pangeran itu untuk memenuhi panggilan selir termuda sang prabu ini.
Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera selir, akan tetapi selir raja
itu telah meninggal dunia ketika Pangeran Panji Sigit masih kecil.
Karena tidak beribu lagi, maka Pangeran Panji Sigit diasuh oleh seorang
inang pengasuh yang setia dan karena dialah satu-satunya pangeran yang
tidak dimanja oleh seorang ibu yang memperebutkan kedudukan, maka
sifat-sifatnya menjadi amat baik. Inang pengasuh yang setia itu mentaati
pesan terakhir ibu pangeran ini dan mendidiknya dengan hati-hati dan
baik.
Pangeran Panji Sigit dilatih belajar kesusasteraan dan juga ilmu olah
keprajuritan sehingga dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa,
lemah lembut dan rendah hati, tidak memandang rendah para kawula, juga
tidak menjilat atasan, tidak menginginkan kedudukan dan tidak
memperebutkan kekuasaan.
Hal inilah yang membuat Pangeran Panji Sigit disuka oleh semua orang,
bahkan sang prabu sendiri yang kagum melihat ketampanan dan kehalusan
budi puteranya ini, amat mengasihinya.
Karena tidak menghiraukan kekuasaan dan kedudukan inilah yang membuat
Pangeran Panji Sigit sama sekali tidak mencampuri urusan pemerintahan
dan tidak tahu-menahu tentang politik dalam istana. Ia hanya tahu dan
mendengar betapa ayahandanya tergila-gila kepada selir termuda yang
baru, dan hal ini hanya membuat dia tersenyum saja.
Dia sudah membaca dari kitab-kitab lama betapa seorang pria tidak akan
dapat melepaskan diri dari pada nafsu kejantanan yang akan mengejar dan
menguasainya sampai nyawa meninggalkan badan, dan hanya dengan kekuatan
batin dan kemauan sajalah seorang pria dapat menguasai nafsunya sendiri.
Ramandanya lemah, akan tetapi apa salahnya kalau seorang raja menikmati kesenangan duniawi yang sudah menjadi haknya?
Pangeran Panji Sigit biar pun telah berusia delapan belas tahun, tidak
suka mengganggu wanita, tidak suka menurutkan nafsu bermain cinta
seperti yang dilakukan saudara-saudaranya, para pangeran lainnya yang
telah mengumbar nafsu semenjak berusia empat lima belas tahun!
Pangeran Panji Sigit lebih suka pergi mencari guru-guru ilmu silat yang
pandai-pandai di antara para panglima dan pendeta, kemudian pergi
berburu ke hutan-hutan seorang diri saja sehingga tubuhnya yang
kelihatan halus gerakgeriknya itu menjadi amat kuat.
Senja hari itu karena cuaca amat baik, Pangeran Panji Sigit yang baru
saja selesai mandi sehabis berlatih pencak silat dan berjalan-jalan di
dalam taman istana yang luas dan indah menghirup hawa sejuk, tiba-tiba
melihat seorang emban berlari-lari menghampirinya dan berjongkok sembah
di depannya sambil berkata,
“Ampunkan hamba yang berani mengganggu, gusti pangeran. Akan tetapi
hamba hanya melaksanakan perintah ibunda selir paduka yang minta agar
paduka sudi datang menghadap.”
Pangeran Panji Sigit termenung sejenak. Ia tidak pernah mendekati
selir-selir ramandanya yang ia tahu masih muda-muda, apa lagi selir
termuda Suminten yang terkenal cantik jelita dan yang menghebohkan
seluruh istana.
Akan tetapi pemuda ini dapat mengekang perasaannya karena ia merasa tidak sopan kalau menolak, maka ia bertanya dengan halus,
“Emban, ibunda yang manakah yang memerintahkan aku datang menghadap?”
Emban itu masih muda, belum tiga puluh tahun usianya, cantik berkulit
halus dan bermata jeli. Ketika ditanya, ia kelihatan terkejut dan sadar
dari pada lamunannya. Tadi ia menengadah dan memandangi wajah pemuda itu
sambil menahan napas dan menelan ludah, kagum akan ketampanan wajah
Sang Pangeran Panji Sigit.
“Eh... ohh... maaf, gusti... ibunda paduka yang termuda...”
Jantung pemuda itu berdenyut keras akan tetapi cepat ditekannya. Hatinya
merasa tidak enak, akan tetapi betapa pun ia tidak berani menolak
karena setiap orang selir ramandanya adalah ibundanya pula. Ibu
kandungnya yang telah tiadapun seorang selir, sehingga biar pun ia
seorang pangeran, namun derajatnya tidaklah lebih tinggi dari pada selir
ramandanya karena iapun putera selir.
“Baiklah, emban. Tentu ada hal yang amat penting maka ibunda memanggilku.”
Maka pergilah Pangeran Panji Sigit diantar oleh emban itu, langsung
menuju ke bangunan mungil dekat taman sari yang khusus ditinggali
Suminten. Begitu memasuki bangunan yang tak pernah ia kunjungi ini,
diam-diam Pangeran Panji Sigit tertegun dan kagum. Amat indahnya
perabot-perabot di bangunan ini, jauh lebih indah dari pada
tempat-tempat tinggal para selir yang lain. Jelas bahwa berita yang ia
dengar benar adanya yaitu bahwa selir termuda ini amat dikasihi
ramandanya.
Sunyi di bangunan mungil itu. Sambil tersenyum emban tadi menunjuk ke
arah sebuah kamar dari mana terpancar cahaya lampu kemerahan, kemudian
tanpa berkata sesuatu emban itu pergi meninggalkan ruangan itu.
Selagi Pangeran Panji Sigit berdiri termangu, tiba-tiba terdengar suara halus dari dalam kamar itu,
“Anaknda pangeran, mari masuklah saja. Ibu berada di sini, masuklah jangan ragu-ragu, pangeran.”
Makin berdebar jantung Pangeran Panji Sigit. Ia harus taat akan perintah
selir ramandanya, namun kesopanan yang telah mendarah daging di
hatinya, membuat kakinya terasa berat untuk melangkah memasuki kamar.
Baru beberapa langkah dan baru sampai di depan pintu yang tertutup, ia
berhenti dan berkata,
“Maafkan saya, ibunda. Biarlah saya menanti di sini saja sampai ibunda
selesai untuk kemudian mendengarkan perintah ibunda yang akan
disampaikan kepada saya.”
Sunyi sejenak dari dalam kamar, kemudian terdengar lagi suara yang halus merdu,
“Iihhh, puteranda Panji Sigit Apakah engkau merasa sungkan dan malu? Hii-hik, masa
seorang putera meragu dipanggil masuk kamar oleh ibundanya? Kalau begitu, engkau mengandung pikiran yang kotor...”
“Sama sekali tidak, ibunda!”
“Kalau tidak masuklah, jangan seperti kanak-kanak. Aku mau bicara urusan
penting denganmu, berdua saja, kalau di luar khawatir terdengar orang.
Marilah, pangeran.”
Ditegur seperti itu, Pangeran Panji Sigit bingung kemudian menggigit
bibir dan memberanikan hatinya mendorong daun pintu. Bau yang harum
menyambutnya dan ia melihat selir ramandanya yang muda dan cantik itu
duduk di atas pembaringan membelakanginya, menghadap cermin dan agaknya
sedang membereskan rambutnya. Ia makin berdebar dan hatinya tidak enak.
Biar pun disebut ibunya, wanita ini masih amat muda, sebaya atau sedikit
saja lebih tua dari padanya
“Maaf, ada keperluan apakah, ibunda?”
Suminten menengok dengan gerakan indah, matanya yang menjadi hiasan
paling indah di samping mulutnya, mangerling tajam, mulutnya tersenyum
lalu merekah merah, apa lagi disinari lampu yang dibungkus kertas merah,
lebih indah lagi.
“Mendekatlah sini, pangeran. Engkau terhitung anakku,bukan? Aku ibumu,
mengapa mesti malu-malu? Ke sinilah dan tolonglah engkau pasangkan
hiasan rambut ini. Jengkel sekali hatiku, memasang sejak tadi tidak mau
sempurna juga.”
Betapa pun tidak enak hati Pangeran Panji Sigit, namun ia terdesak oleh
kata-kata itu dan terpaksa ia melangkah maju dan berhenti di belakang
punggung yang tampak bagian atas setengahnya itu. Halus seperti batu
pualam.
“Mana mungkin saya bisa memasangnya, ibunda...”
“Ihh, anak bodoh. Masa tidak bisa. Lihat, rambutku masih terurai,
kaupasangkan hiasan ini, seperti sisir, sisipkan saja di atas kepalaku,
di tengah... hi-hik canggung benar kau..., nanti dulu, memang tidak akan
tepat kalau dari belakang, biar dari depan...”
Sambil tertawa-tawa Suminten lalu membalikkan tubuhnya dan duduk menghadapi Pangeran Panji Sigit.
Pangeran itu terkesiap dan menahan napas. Ingin ia melompat pergi dan
lari dari situ. Kiranya baju Suminten tidak beres! Kemben yang menutup
tubuh atas bagian depan itu amat longgar sehingga tampaklah membayang
gumpalan daging yang merangsang.
Jari-jari tangan Suminten menangkap kedua tangan pangeran itu dan suaranya agak serak penuh getaran nafsu dan cumbu rayu,
“Kenapa, pangeran? Tidak senangkah engkau melihat aku? Tidak cantikkah aku dalam pandanganmu, wong bagus?”
Pangeran Panji Sigit merasa seolah-olah ada halilintar menyambar
kepalanya. Ia bukanlah kanak-kanak lagi, sudah dewasa dan tahu apa
artinya ini semua. Ia maklum bahwa kini keadaannya benar-benar dalam
bahaya, tidak hanya dugaan belaka atau kekhawatiran seperti tadi.
Ia merasa seperti seekor kijang terjeblos dalam perangkap yang ia tidak
tahu pergunakan untuk apa. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan
wanita itu dan berkata,
“Ampunkan saya, ibunda. Harap ibunda sudi melepaskan saya dan membiarkan saya pergi dari sini...”
Akan tetapi sebagai jawaban, tiba-tiba Suminten mendekap kepala itu dan
menariknya sehingga muka si pangeran terbenam ke dadanya!.
Pangeran Panji Sigit terkejut bukan main ketika merasa betapa mukanya
terbenam kedalam kelembutan yang harum. Kalau ia tidak terlatih
batinnya, tentu ada dua kemungkinan buruk, yaitu pertama, ia akan roboh
dalam buaian kenikmatan nafsu berahi, dan ke dua ia akan lupa dan
memberontak lalu menghantam wanita ini sampai tewas di saat itu juga.
Untung ia waspada dan dapat menguasai dirinya. Dengan halus namun kuat
sekali ia menarik mukanya, sekali tangannya bergerak terlepaslah ia dari
pada dekapan dan begitu tubuhnya berkelebat, pemuda ini telah melompat
dan lenyap dari dalam kamar.
Suminten bengong, menatap api lampu yang bergoyang-goyang oleh angin
ketika pemuda itu meloncat, hatinya penuh kekecewaan dan juga penasaran.
Betapa mungkin seorang pemuda dapat menolak cinta kasihnya? Dapat
menolak tubuhnya? Ia masih tidak mau percaya dan menganggapnya seperti
sebuah mimpi buruk.
Disangkanya bahwa semua pria di dunia ini pasti akan bertekuk lutut di
depannya untuk mendapatkan cintanya, seperti halnya sang prabu yang
sudah tua dan Pangeran Kukutan yang masih muda dan tampan.
Sekali ini ia kecelik dan setengah sadar bahwa yang dialaminya bukan
mimpi buruk, wanita ini bangkit berdiri, mengepal tinju dan berjalan
mondar-mandir di depan kamarnya, mencari akal untuk mengenyahkan
Pangeran Panji Sigit! Tadinya ia menggunakan siasat bujuk rayu ini untuk
menundukkan pangeran ini sehingga kalau kelak pangeran ini benar-benar
dijadikan putera mahkota, ia dapat mempengaruhinya. Siapa sangka, ia
ditolak mentahmentah
Hal ini berarti bahwa pangeran ganteng ini tidak bisa ajak kerja sama,
dan berarti pula bahwa pangeran ini adalah musuhnya yang harus
dienyahkan!
Malam itu Suminten tidak dapat tidur dan ia mengatur siasat namun belum
juga ia mendapatkan siasat yang cukup baik untuk menjatuhkan pangeran
muda yang ganteng itu.
Alangkah sukarnya menjatuhkan seorang yang begitu baik dan ramah
terhadap siapa pun juga itu. Amat sukar mencari kesalahan untuk Pangeran
Panji Sigit dan ia harus berhati-hati sekali karena sang prabu amat
sayang kepada puteranya ini.
Apa yang harus ia lakukan? Suminten belum juga dapat menemukan jalan
yang baik dan menjelang pagi baru ia dapat pulas dengan sebuah keputusan
yang keji,yaitu bahwa jalan satu-satunya untuk melenyapkan “musuh” ini
hanya... membunuhnyal Untuk ini akan ia rundingkan dengan Pangeran
Kukutan.
Tentu pangeran ini akan melaksanakannya dengan baik, apa lagi kalau ia
takut-takuti bahwa ada kemungkinan Panji Sigit terpilih sebagai putera
mahkota.
Akan tetapi ternyata pada keesokan harinya dia tidak usah melanjutkan
rencananya yang kejam ini karena segera ia mendengar bahwa Pangeran
Panji Sigit pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah meninggalkan
istana!
Hal ini ia dengar sendiri dari sang prabu yang sepagi itu telah datang
kepadanya untuk mencari hiburan. Sang prabu yang sudah tua itu
benar-benar sekali ini membutuhkan hiburan Suminten. Wajahnya muram,
alisnya berkerut dan berkalikali ia menghela napas.
“Ahhh, sungguh menyedihkan... puteraku yang paling kuharapkan, tak dapat
kutahan. Ia berpamit dan dengan paksa ia menyatakan hendak pergi
merantau... ah, Panji Sigit... benar-benar mengecewakan hatiku...”
Suminten yang sudah cepat-cepat memeluk dan mencumbit sang prabu,
menghibur dengan kata-kata dan perbuatan, mengajak sang prabu agar
beristirahat dan rebah-rebahan di atas pembaringan yang lunak bersih dan
harum, cepat-cepat menyuguhi minuman dan memijit-mijit kaki tangan sang
prabu dengan kedua tangannya sendiri dengan sikap mesra dan gerakan
halus, lalu bertanya,
“Apakah sebabnya puteranda pangeran pergi merantau secara mendadak, sinuwun? Apakah alasannya?”
Raja tua itu menggeleng kepala.
“Entahlah, dia tidak menyatakan sebab-sebabnya, hanya berpamit dan
menyatakan bahwa ia hendak mencari guru yang pandai dan memperdalam
ilmu-ilmu kesaktian. Sudah kukatakan bahwa aku ingin mengangkatnya
menjadi putera mahkota, akan tetapi ia tetap hendak pergi dengan alasan
bahwa untuk menjadi putera mahkota maka ia harus memiliki ilmu
kepandaian yang cukup. Ahhh, Suminten, betapa kecewa hatiku...”
“Duh gusti sesembahan hamba! Mengapa harus berduka?”
Suminten menghibur dan hatinya lega karena ternyata pangeran muda itu tidak menyinggung-nyinggung tentang dia.
“Hamba dapat mengerti dan membenarkan pendapat puteranda Pangeran Panji
Sigit yang amat baik dan tepat itu. Harap paduka tenangkan hati dan
biarlah sang pangeran memperluas pengalaman dan memperdalam ilmu karena
memang seorang calon raja yang bijaksana harus memiliki bekal yang
cukup. Bukankah puteranda pangeran itu adalah cucu mendiang Gusti Prabu
Airlangga yang sakti mandraguna dan ahli tapa pula?”
Senang hati sang prabu yang tua ini mendengar kata-kata Suminten yang
sedap didengar ini. Ia mulai terhibur, memeluk dan memperlihatkan cinta
kasihnya dengan belaian dan rabaan jari-jari tangannya.
“Engkau selalu benar, Suminten. Memang, agaknya puteraku Panji Sigit itu
mewarisi watak eyangnya yang suka bertapa dan memupuk ilmu dan aji
kesaktian.”
“Nah, karena itu harap paduka tenang saja. Adapun untuk menghadapi
perbuatan khianat, menurut usul hamba tempo hari, sebaiknya paduka
mengangkat puteranda Pangeran Kukutan sebagai putera mahkota.”
Sang prabu terlihat mengangguk-angguk.
“Memang sudah kupikirkan hal ini. Akan tetapi aku sendiri masih kuat
menghadapi segala macam pemberontakan atau pengkhianatan, apa lagi
dengan adanya engkau di dekatku, sayang. Aku merasa menjadi muda kembali
dan siap menghadapi apa-pun jugal”
Sang prabu memeluk dan mencium. Suminten menyembunyikan muka di dada
sang prabu untuk menyembunyikan rasa tidak puas dan tidak senang
hatinya.
Tua bangka tak tahu diri, pikirnya. Namun ia bukan seorang wanita yang
bodoh dan hanya menurutkan perasaan saja. Tidak, Suminten adalah seorang
wanita yang cerdik sekali, yang pandai menggunakan pikiran, yang pandai
menguasai perasaan hatinya dan segala geralc-geriknya telah ia
perhitungkan masak-masak.
Ia tahu bahwa ia tidak boleh terburu nafsu, harus hati-hati dan sedikit
demi sedikit menyeret sang prabu agar tunduk dan menuruti segala
kehendaknya.
Biar pun Pangeran Kukutan belum diangkat menjadi putera mahkota, namun
kekuasaan Pangeran Kukutan makin lama makin besar karena selalu mewaklli
sang prabu dalam urusan pemerintahan.
Adapun di sebelah dalam istana untuk semua urusan dalam, seluruhnya telah berada dalam kekuasaan Suminten!
Kepergian Pangeran Panji Sigit melegakan hati Suminten. Pertama, karena
jelas bahwa pangeran itu tidak menceritakan kepada sang prabu tentang
peristiwa penolakan cinta kasih di malam Itu.
Ke dua, karena kepergian ini memang diharapkan oleh Suminten yang ingin menghalau pangeran itu keluar darI istana.
Suminten dan juga Pangeran Kukutan yang kehilangan seorang saingan,
merasa lega dan gembira. Akan tetapi tidaklah demikian dengan mereka
yang menjadi musuh-musuh Suminten.
Ki Patih Brotomenggala yang sudah tua dan beberapa orang hulubalang yang
setia kepada Kerajaan Jenggala, menjadi gelisah. Apa lagi ketika secara
diam-diam Ki Patih Brotomenggala dipanggil menghadap oleh sang
permaisuri dan mendengarkan sendiri laporan emban tua yang menjadi inang
pengasuh Pangeran Panji Sigit sejak kecil, mereka makin marah.
Kiranya dalam duka dan bingungnya setelah berhasil lari dari cengkeraman
Suminten, Pangeran Panji Sigit yang sudah tiada beribu lagi dan
menganggap emban tua itu sebagai pengganti ibunya,telah menceritakan apa
yang telah ia alami di kamar selir termuda ayahandanya itu dan adalah
emban tua ini pula yang melihat bahaya mengancam dan menganjurkan agar
sang pangeran yang dikasihinya seperti putera kandungnya sendiri untuk
pergi merantau menjauhkan diri dari bahaya yang mengancam.
Karena maklum bahwa sang permaisuri juga menderita karena Suminten, maka
emban ini lalu menghadap dan melaporkan peristiwa itu kepada
permaisuri.
“Hemmm, sungguh keji dan tak tahu malu perempuan itu!”
Ki Patih Brotomenggala menyumpah ketika mendengar pelaporan emban tua.
Ia tak pernah berhenti menyesali diri sendiri tentang Suminten karena
dialah sendiri yang dahulu menghadapkan Suminten kepada sang prabu.
Semenjak dahulu itu, Suminten telah menimbulkan malapetaka. Bukankah
pelaporannya tentang Endang Patibroto telah membuat sang prabu makin
curiga terhadap mantunya itu? Bukankah Suminten telah berusaha untuk
mencelakakan Pangeran Panji Rawit dan Endang Patibroto dengan laporannya
itu?
Siapa kira bahwa pelayan kecil itu kini dapat menguasai sang prabu sedemikian rupa!
“Kakang patih, aku hanya mengkhawatirkan keadaan sang prabu. Ada
perasaan tidak baik di dalam hatiku seolah-olah ada sasmita gaib yang
membisikkan bahwa kalau wanita itu tidak dienyahkan dari sini, Kerajaan
Jenggala akan mengalami kehancuran. Ah, kakang, bagaimana baiknya...?”
Sang permaisuri menahan-nahan perasaan akan tetapi tak dapat ia menahan runtuhnya beberapa tetes air mata.
Ki Patih Brotomenggala menggigit bibirnya, menahan kemarahan hatinya.
“Gusti, hal ini memang tidaklah mudah untuk diatasinya. Kalau saja
Jenggala diserbu musuh, dada Patih Bratomenggala inilah yang akan
menjadi perisai, dan hamba rela untuk membela kerajaah sampai titIk
darah terakhir! Akan tetapi, persoalannya kini lain lagi. Gusti
sinuwunlah yang tergoda dan apa yang dapat hamba lakukan? Apa lagi...
apa lagi menurut para penyelidik hamba, yang menguasal sang prabu bukan
hanya wanita itu, melainkan dengan kerja sama antara wanita itu dan
Pangeran Kukutan.”
Komentar
Posting Komentar