PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-39


Ki Patih Brotomenggala mengangguk-angguk.
“Baiklah, gusti. Akan hamba usahakan dan mudah-mudahan Sang Hyang Wisesa membantu hamba menandingi perempuan yang palsu dan curang itu.”
Ah, betapa kedua orang bangsawan ini memandang rendah kepada Suminten si bekas emban! Boleh jadi Ki Patih Brotomenggala memiliki kedigdayaan dahsyat dan pandai mengatur siasat perang dan tata negara.
Boleh jadi sang permaisuri merupakan seorang wanita yang boleh dicontoh dalam hal keluwesan, kehalusan, kesenian, kesusilaan dan kebudayaan. Tapi dalam hal kecerdikan bersiasat, mereka itu jauh tertinggal oleh Suminten.
Mereka tidak tahu bahwa demikian hebat pengaruh dan kecerdikan Suminten sehIngga pintu dan jendela saja bertelinga dan siap membantunya! Di antara semua emban yang melayani semua selir raja dan terutama sang permaisuri, pasti terdapat mata-mata yang menjadi kaki tangan Suminten.
Mereka tidak tahu betapa percakapan mereka tadi tertangkap oleh sepasang telinga milik seorang emban muda yang bersembunyi di balik daun pintu dan betapa emban itu kemudian secara rahasia menghadap dan melapor kepada Suminten, menceritakan semua percakapan antara sang permaisuri dan Ki Patih Brotomenggala!.
“Hi-hi-hik, he-he-heh, tibalah saatnya kalian harus lenyap, sang permaisuri dan patih dungu!”
Suminten tertawa terkekeh setelah memberi hadiah kepada emban itu dan menyuruhnya pergi. Kini rencana musuh-musuhnya itu telah berada di tangannya dan hal ini saja sudah merupakan sebuah kemenangan baginya. Ia harus cepat-cepat mengatur siasat dengan Pangeran Kukutan dan malam hari itu juga, seperti biasa dengan dalih “berhalangan” ia berhasil menjauhkan diri dari sang prabu yang menyangka dia tidur sendiri di kamarnya, padahal Suminten tidur dalam pelukan Pangeran Kukutan sambil berbisik-bisik mengatur siasat di seling permainan cinta mereka yang tak kunjung dingin…..
********************
Semenjak Endang Patibroto berdiam di puncak Gunung Wilis, memimpin kurang lebih seratus orang yang tadinya terkenal sebagai Gerombolan Wilis yang kemudian mendirikan Padepokan Wilis, maka daerah Gunung Wilis ini menjadi daerah yang “angker” dan terkenal sekali sampai jauh.
Mulailah daerah ini dikenal oleh para orang gagah, disegani dan Padepokan Wilis dianggap sebagai sarang orang gagah, sebuah perguruan di mana terdapat murid-murid Wilis yang berilmu tinggi! Tentu saja berita yang disampaikan orang selalu berlebihan, akan tetapi yang jelas sekali, berita-berita itu amat terkenal dan membuat orang segan untuk melewati daerah Wilis.
Tidak seorang pun perampok berani memperlihatkan hidungnya di daerah Wilis ini, bahkan di seluruh daerah pegunungan ini tidak pernah ada terjadi kejahatan, tidak ada maling, tidak ada perampok, dan juga tidak ada orang melakukan maksiat mengandalkan kekuatannya. Hal ini adalah karena setiap kali terjadi hal-hal maksiat, tentu penjahatnya tertangkap dan dibunuh oleh para “satria” Wilis, demlkianlah sebutan untuk bekas anak buah gerombolan Wilis!
Siapa pun juga orangnya yang melakukan perjalanan dan terpaksa melalui daerah Wilis, harus tunduk akan peraturan para penjaga dan harus rela membayar “tanda hormat” kepada para satria Wilis. Namun mereka rela membayar, karena selain pembayaran itu disesuaikan dengan keadaan mereka, juga mereka akan terjamln keselamatan mereka, takkan ada yang berani mengganggu selama mereka berada di wilayah Wilis.
Endang Patibroto memimpin bekas gerombolan Wilis dengan tangan besi. Dia tahu bahwa orang-orang yang dipimpinnya adalah bekas perampok-perampok yang kasar dan setengah liar, maka ia harus menundukkan mereka dengan kekerasan pula.
Kemudian setelah mereka itu benar-benar tunduk terhadap kesaktlannya dan menjadi pengikut-pengikut setia yang membuta akan semua perintahnya, barulah Endang Patibroto melatih mereka, yaitu melalui tiga orang pembantu-pembantunya Limanwilis, Lembuwilis, dan NogowiIlis. Dia menurunkan beberapa ilmu kesaktian kepada tiga orang gagah ini yang kemudian melatih anak buah mereka sehingga makin kuatlah barisan satria Wilis.
Selain itu, keadaan keluarga mereka lebih teratur setelah Endang Patibroto memimpin mereka.
Pondok-pondok dibuat, tanaman dan pertanian diperbanyak dan dibagi-bagllah tugas di antara mereka. Ada yang bertani, berburu hewan, menjala ikan, ada pula yang bertugas sebagai tukang kayu, sebagai pandai besi, dan lain pekerjaan yang dapat memenuhi mereka.
Endang Patibroto bahkan tidak melupakan hiburan bagi mereka, maka diadakan pulalah bagian kesenian, gamelan dan lain sebagainya.
DI samping semua kesibukannya sebagai pemimpin Padepokan Wilis, Endang Patibroto selalu meluangkan waktu untuk memberi gemblengan kepada adiknya yaitu Setyaningslh yang berlatih dengan tekun, giat, dan sungguhsungguh.
Juga semenjak lahir, Retno Wilis menerima gemblengan ibunya, di “dadah” oleh jari-jari tangan sakti ibu kandungnya! Karena gemblengan-gemblengan hebat ini yang diberikan secara rapi selama lima tahun, kini Setyaningsih yeng sudah berusla enam belas tahun atau tujuh belas tahun telah menjadi seorang dara remaja yang cantik jelita namun juga gagah perkasa, sakti mandraguna.
Juga Retno Wilis, dalam usia lima tahun ini merupakan seorang anak luar biasa yang jarang dapat ditemukan keduanya.
Di antara keluarga para anggota Padepokan Wilis,terdapat banyak pula gadis-gadis yang sebaya dengan Setyaningsih dan dara perkasa ini tidak bersikap pelit,melainkan dengan senang hati pula melatih ilmu pencak silat kepada teman-temannya sehingga sebagian besar para gadis di situ adalah gadis-gadis perkasa belaka, cantik-cantik dan gagah perkasa, demikian pula pemuda-pemudanya.
Namun terutama sekali gadis-gadisnya karena tentu saja Setyaningsih lebih suka melatih ilmu kepada teman-temannya.
Maka terkenallah Padepokan Wilis sebagai tempat perawan-perawan jelita yang perkasa, dan orang-orang gagah di seluruh daerah itu mulai membicarakan tentang Perawan Lembah Wilis dengan kagum di hati.
Pada pagi hari itu cuaca amatlah cerah. Pemandangan di lembah Gunung Wilis sangat mentakjubkan, indah cemerlang disinari matahari pagi. Dilihat dari atas, tamasya alam di bawah seperti diselaput emas.
Sinar matahari keemasan menyinari daun-daun pohon yang ujungnya digantungi butir-butiran embun berkilauan seperti butiran-butiran intan. Burung-burung berlompatan di antara pohon-pohon, beterbangan bersenda-gurau dan bercumbuan sambil berkicau riang gembira.
Binatang-binatang hutan menyambut matahari pagi dengan penuh keriangan pula,ada yang berjemur sinar matahari, ada yang makan rumput-rumput hijau segar, ada pula yang berkeliaran di sepanjang sungai gunung yang mengalirkan air jernih sambil berkericik seperti suara gelak tawa dara-dara remaja bersenda-gurauan.
Kalau didengar dengan teliti, bukan hanya kericik air sungai yang menimbulkan suara itu, melainkan suara gelak tawa yang merdu dari beberapa orang dara remaja yang sedang mandi di sungai. Ada sebelas orang dara-dara jelita berada di sungai itu, berendam di air jernih dengan bertapih pinjung (sehelai kain menutup sebatas dada), mencuci pakaian, mandi keramas, sambil bersanda-gurau tertawa-tawa.
Mereka ini bukan lain adalah Setyaningsih dan sepuluh orang temannya, yaitu dara keluarga Padepokan Wilis. Setiap pagi mereka mandi di sungai jernih ini sambil mencuci pakaian.
Kecantikan Setyaningsih amatlah menonjol di antara mereka itu. Setyaningsih berkulit halus dan putih kekuningan, rambutnya tebal hitam berikal mayang, dilepas dan terurai sampai ke lutut.
Biar pun sepuluh orang temantemannya juga merupakan gadis remaja yang seperti kembang sedang mekar, cantik-cantik menarik, namun dibandingkan dengan mereka Setyaningsih tampak seperti seekor merak di antara ayam-ayam hutan. Juga dara ini amat pendiam, hanya tersenyum-senyum kecil mendengar sanda-gurau teman-temannya.
Biar pun dia itu adik kandung Endang Patibroto yang menjadi “ketua” atau pemimpin Padepokan Wilis, bahkan boleh dikatakan ia menjadi “guru” para gadis temannya itu, namun Setyaningsih tidaklah bersikap sombong atau tinggi hati.
Dia mandi bersama, bahkan mencuci pakaiannya sendiri sehingga selain disegani dan dihormati, juga ia amat dicinta oleh gadis-gadis lainnya di situ.
Dara-dara jelita itu bekerja sambil mandi dan bergembira. Ada yang bertembang saling sahut, saling goda saling menjodohkan dengan pemuda-pemuda sebaya di padepokan, ada yang saling siram air jernih, tertawa-tawa.
Dalam kegembiraan mereka, bahkan Setyaningsih sendiri sampai lengah, tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki mengintai dari balik semak-semak, memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak dan mulut ternganga,terpesona dan seolah-olah tidak percaya akan pandang mata sendiri
Laki-laki ini masih muda belia, paling banyak sembilan belas tahun usianya, tubuhnya sedang, berkulit bersih dan tampak ciri-ciri kebangsawanan pada pakaian dan gerak-geriknya, wajahnya tampan sekali seperti Sang Harjuna.
Pandang mata laki-laki muda ini tadi menyapu semua gadis yang berada di sungai, kemudian berhenti pada diri Setyaningsih, melekat di situ dan makin dipandang, makin tertegunlah dia, seperti lupa diri, lupa bergerak, bahkan lupa bahwa perbuatannya ini merupakan sebuah pelanggaran susila.
Tentu saja ia lupa segala, bahkan bernapaspun hampir lupa, demikian terpesona pemuda ini melihat Setyaningsih. Banyak sudah ia melihat wanita, bahkan bertemu dengan puteri-puteri istana yang cantik-cantik jelita, namun selama hidupnya, ia merasa belum pernah melihat seorang dara seperti Setyaningsih yang sekaligus telah menerobos masuk melalui matanya, langsung ke dalam dada dan merampas hati dan semangatnya.
Setelah pemuda itu mulai sadar dari pada keadaan pesona yang membuatnya seperti lupa akan dirinya, mulailah ia menarik napas panjang berkali-kali.
Sungguh pun hanya helaan napas, akan tetapi hal ini telah cukup bagi Setyaningsih yang berpendengaran tajam dan terlatih. Dara perkasa ini mengangkat tangan memberi isyarat kepada teman-temannya sambil meruncingkan bibirnya yang merah mungil,
“Ssttt...“ kemudian ia menoleh ke arah semak-semak.
Pandang matanya yang tajam segera dapat melihat gerakan di belakang semak-semak, bukan gerakan yang diakibatkan oleh burung atau binatang hutan. Mulutnya segera membentak, halus namun nyaring dan penuh wibawa,
“Siapakah engkau yang berani menonton kami mandi sambil bersembunyi? Hayo keluarlahl!”
Bagi para gadis itu, tidak mengapa andai kata ada pemuda-pemuda atau orang-orang Padepokan Wilis kebetulan lewat di dekat situ dan melihat mereka mandi.
Ditonton orang lain selagi mandi di sungai bukanlah hal yang tidak boleh dilakukan, apa lagi kalau yang melihat itu orang-orang Padepokan Wilis sendiri yang tentu saja menganggap pemandangan ini biasa. Akan tetapi ditonton orang, biar pun dia seorang anggota padepokan sendiri, yang bersembunyi, hal ini merupakan pantangan, karena bersembunyi berarti tidak wajar dan mengandung niat buruk!
Semak-semak itu bergoyang dan muncullah seorang pemuda dari balik semak semak, berdiri dengan wajahnya yang tampan masih terpesona, bahkan kemudian pemuda itu menggunakan punggung tangan kanan untuk menggosok-gosol kedua matanya karena melihat Setyaningsih berdiri di dalam air sebatas ping-gang, dengan kain yang membungkus, dada yang padat itu basah kuyup sehingga seolah-olah menjadi kulit ke dua ia makin kagum dan tidak percaya bahwa di dunia ini ada seorang manusia sehebat dara yang menegurnya itu.
“Duhai... mimpikah aku...”
Pemuda itu berkata, suaranya halus dan kini matanya yang bersinar tajam itu menatap para gadis yang juga memandangnya.
“Segala puja-puji kepada para dewata yang agung. Kalau andika sekalian ini bidadari-bidadari kahyangan yang sedang mandi, mana gerangan pelangi yang menjadi anda (anak tangga) untuk andika sekalian turun ke bumi? Andai kata andika sekalian ini sebangsa peri, mengapa di balik kulit andika terbayang darah daging dan urat halus? Betapa pun juga... kalau benar andika bidadari, tunjukkan di mana andika menyimpan kemben antakusuma andika agar dapat hamba curi...!”
Terdengar kekeh tawa para gadis itu. Tadinya mereka ini tertegun dan marah melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal, akan tetapi ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu amat tampan dan ganteng melebihi semua pria yang pernah mereka jumpai, mereka terpesona
Kini mendengar ucapan yang keluar dari mulut pemuda ganteng itu, mereka merasa lucu sekali, bahkan merasa mendapat pujian yang amat berbeda dengan pujIan yang biasa mereka dengar.
“...tampan sekall dia...”
“...sikapnya tidak kurang ajar...”
“...pakaiannya indah sepertI putera bangsawan...”
“...tapi pecengas-pecengis seperti monyet...”
“...jangan-jangan miring dia, sayang kalau begitu...”
“...hi-hi-hik...”
“...heh-he-heh...”
Demlklanlah, para gadIs itu berbisik-bisik, tersenyum-senyum dan terkekeh geli. Hanya Setyaningsih yang tidak tertawa tidak mengeluarkan suara, matanya memandang tajam penuh selidik, mulutnya yang berbentuk indah itu membayangkan kemarahan.
Setyaningsih adalah seorang dara yang pendiam, selalu serius dan berpemandangan luas. Wataknya adil dan keras hati biar pun sikapnya selalu ramah den halus. la tidak mengenal takut dan oleh ayundanya selalu ditanamkan watak berani karena benar.
Wajahnya membayangkan keagungan, bahkan kadang-kadang membayangkan wajah seorang puteri yang berwibawa dan tinggi hati sungguh pun ia sama sekali tidak memiliki watak sombong. Kini, melihat pemuda itu, ia menjadi marah dan ia sendirI tidak mengerti mengapa kemarahannya itu berdasarkan kecewa. Ia kecewa melihat betapa seorang pemuda seperti itu, dengan wajah dan bentuk tubuh yang hebat dan menarik, ternyata hanya seorang yang memiliki watak rendah, suka mengintai wanita-wanita sambil bersembunyi! Baru sekali ini ia marah dengan dasar kecewa.
Akan tetapi sebelum Setyaningsih dapat mengeluarkan kata-kata, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras,
“Tangkap penjahat...!”
“Tangkap si keparat yang masuk tanpa ijin!”
Lima orang anak buah Padepokan Wilis yang tinggi besar dan kuat telah mengurung lalu menubruk maju hendak menangkap pemuda itu.
“Wuuuutt... dess...aiihhh...!”
Semua orang terkejut. Sungguh tak disangka oleh lima orang satria Wilis itu maupun oleh para gadis yang sedang mandi. Lima orang tinggi besar itu menubruk dan hendak menangkap, akan tetapi mereka itu kelima-limanya terbanting ke belakang pada saat pemuda itu dengan wajah berseri menggerakkan kaki tangannya!
Marahlah lima orang tinggi besar itu dan mereka meloncat berdiri dengan muka merah, lalu maju mengurung pemuda yang masih berdiri sambil tersenyum. Para gadis yang sedang mandi kini sudah keluar dari dalam air dan berserabutan pergi karena mereka itu dalam keadaan setengah telanjang atau dengan kain basah yang mencetak tubuh.
Mereka adalah gadis-gadis perkasa, tentu saja tidak takut akan musuh, akan tetapi karena keadaan pakaian mereka dan karena lima orang yang menghadapi pemuda itu adalah tokoh-tokoh tua yang berilmu tinggi, maka mereka tidak ada yang berani untuk mencampuri pertempuran. Sebagian ada yang pergi untuk melapor, ada pula yang pergi untuk berganti pakaian.
Setyaningsih sendirI lalu pergi menyelinap ke dalam gerombolan pohon dan cepat ia sudah bertukar tapih pinjung yang basah kuyup itu dengan pakaian kering.
Setelah selesai berpakaian dan menyanggul rambutnya yang panjang, Setyaningsih lalu meloncat keluar dan lari mendekati tempat pertempuran. Kiranya pemuda itu benar-benar hebat gerakan-gerakannya. Lima orang satria Wilis yang mengeroyoknya dengan serbuan dahsyat, dengan pukulan dan cengkeraman, selalu dapat dlelakkan dengan sigapnya.
Agaknya pemuda tampan yang halus gerak-geriknya itu memiliki aji keringanan tubuh yang sudah mahir sekali sehingga ia dapat berkelebat lincah dan gesit bagaikan seekor burung yang sukar ditangkap. Sementara itu, mulut pemuda itu tiada hentinya mencela.
“Kalian ini orang-orang apakah? Tiada hujan tiada angin mengganggu orang yang tidak berdosa. Salahkah aku menonton bidadari-bidadari yang sedang mandi? Aku tidak sengaja, hanya kebetulan lewat... aih, galak amat...!”
Kembali pemuda itu menghindarkan diri dari terjangan tiga orang sekaligus, meloncat tinggi dan berjungkir balik ke belakang dengan gerakan indah sampai tiga kali sehingga ketika ia turun, ia berada di jarak empat tombak lebih dari para pengeroyoknya.
Melihat betapa lima orang tinggi besar itu kini mencabut golok masing-masing, pemuda itu merubah sikapnya yang tertawa-tawa dan kini dengan wajah sungguh-sungguh dan berwibawa ia berkata,
“Kallan masih nekat dan bahkan tega untuk berniat membunuh seorang yang tidak bersalah?”
Seorang di antara pengeroyok itu membentak, “Manusia sombong! Engkau masih berpura-pura tidak mengaku salah? Di manakah kau berada sekarang? Di lembah Gunung Wilis dan kau datang ke tempat ini tanpa setahu dan seijin kami! Tidak ada seorang pun manusia boleh melanggar perbatasan Wilis tanpa ijin, keparat!”
“Hemmm, apakah Gunung Wilis ini kallan yang membuat dahulu? Apakah anak sungai itu kalian yang menggalinya? Batu-batu ini pun kalian yang membuatnya dan pohon-pohon dalam hutan serta rumput-rumput ini kalian yang menanam?”
“Cerewet! Orang sombong seperti engkau harus mampus!” teriak lima orang itu dan mereka menyerbu dahsyat dengan golok di tangan.
“Kalian orang-orang kasar perlu dihajar!”
Pemuda itu membentak dan tubuhnya berkelebat ke depan menyambut terjangan lima orang lawannya. Gesit sekali, kaki tangannya menyambar jauh lebih cepat dari pada lawan-lawannya. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan disusul bunyi golok-golok terlempar dan jatuh berkerontangan menimpa batu. Lima orang tinggi besar itu terhuyung mundur, meringis kesakitan sambil meraba-raba bagian tubuh yang kena gempur pemuda itu.
“Paman sekalian mundurlah!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh Setyaningsih berkelebat maju, tahu-tahu gadis remaja ini telah berhadapan dengan pemuda yang perkasa itu.
Si pemuda terkesiap, melongo keheranan dan penuh kekaguman. Gerakan itu saja sudah menjadi bukti cukup baginya bahwa dara remaja yang telah merebut hatinya itu ternyata selain cantik jelita seperti bidadari kahyangan, juga memiliki kesaktian hebat
“Heh keparat yang tak tahu susila! Siapakah andika, berani bermain gila di Wilis? Apakah menganggap andika seorang yang memiliki kegagahan di dunia ini?”
Melihat dara itu menudingkan telunjuk kiri ke arah mukanya, berdiri dengan sikap gagah, wajah yang marah itu kemerahan dan pandang matanya agung, mendengar suaranya yang merdu halus penuh kemarahan itu, si pemuda makin tertegun. Kalau tadi ia merasa penasaran dan marah terhadap lima orang tinggi besar yang kasar, kini kemarahannya sirna seperti uap tipis tertiup angin. Ia hanya berdiri bengong, memandang ke arah mulut yang baru saja menegurnya, seolah-olah pandang matanya lekat pada bibir itu, tak dapat dilepas kembali.
“Tulikah andika? Ataukah gagu?”
Setyaningsih membentak, mukanya terasa panas dan warna merah naik ke pipi dan lehernya karena pandang mata pemuda itu terasa benar pada bibirnya, seperti mengandung getaran yang menggelikan.
Pemuda itu terkejut, lalu tersenyum.
“Duhai Bathara yang maha sakti! Mengapa hamba menjadi begini?”
Ucapan ini halus dan seperti berbisik, kemudian ia menatap wajah dara itu dan berkata,
“Wahai, sang dyah ayu, harap andika sudi memaafkan aku. Sesungguhnya bukan sekali-kali aku ingin berkurang ajar dan tidak tahu akan susila menerjang wilayahkediaman orang lain. Akan tetapi secara tidak sengaja aku memasuki daerah ini dalam pengembaraanku, tiada maksud buruk, tiada pamrih mengacau. Tadi karena heran dan kagum melihat andika dan teman-teman andika bergembira di sungai, aku yang bermaksud mandi tidak berani memperlihatkan diri. Kemudian tiada hujan tiada angin orang-orang ini menyerangku. Mereka itu agaknya perampok-perampok liar. Kalau boleh saya bertanya, mengapa seorang seperti andika ini berada di antara para perampok?”
Diam-diam Setyaningsih dapat menerima alasan pemuda ini, akan tetapi karena nada bicara itu menegur dan menyalahkan, ia menjadi makin marah dan membentak,
“Hati-hatilah kalau bicara! Para paman ini adalah satria-satria Padepokan Wilis, bagaimana kau berani menyebut mereka perampok? Ketahuilah, daerah ini berada dalam kekuasaan kami, orang-orang Padepokan Wilis. Siapa pun juga tidak boleh lewat tanpa perkenan kami! Agaknya andika mengandalkan kepandaian untuk melanggarnya! Hemm, apakah kau kira aku takut menghadapimu?”
Pemuda itu makin kagum. Dara ini benar-benar gagah perkasa dan pemberani. Ingin benar ia mencoba kepandaiannya. Dan hatinya merasa geli mendengar bahwa lima orang tinggi besar yang kasar itu adalah “satria-satria Wilis”!
“Mereka ini satria-satria? Ha-ha-hal Sungguh hebat! Dan engkau agaknya pemimpin mereka?” Ia bertanya dengan suara tidak percaya.
“Ayundakulah yang menjadi pemimpin. Tak perlu banyak cerewet lagi, kau sudah berani merobohkan lima orang -pamanku, sekarang rasakanlah hajaranku!”
Setelah berkata demikian, Setyaningsih menerjang maju, mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka, menggunakan Aji Pethit Nogo.
“Wuuuttt... wuuuuttt.” Dua kali Setyaningsih menampar.
“Plakk... plakk...!”
Dua kali pemuda itu mengangkat kedua lengannya menangkis.
“Wahhhh... II” Pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang seperti ditiup angin badai. Ia tidak roboh karena cepat meloncat ke atas dengan gerakan ringan sekali dan ia berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Bukan main...! Adakah andika ini benar-benar seorang dara yang tinggal di hutan? Aku tidak percaya! Tentu andika ini seorang bidadari, atau dewi kahyangan, ataukah Srikandi yang menitis dalam diri andika? Mana ada wanita cantik jelita memiliki tangan yang ampuhnya menggila? Aduhai, bocah ayu, aku... aku mengaku kalah... andika hebat sekali, kasihanilah diriku...”
Pemuda itu benar-benar terpesona dan hatinya makin jatuh, tidak ingin ia bertanding dan menjadi musuh dara yang hebat ini.
Akan tetapi Setyaningsih menjadi makin marah dan penasaran karena pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuh itu dapat ditangkis dan pemuda itu tidak roboh karenanya. lapun maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, maka iapun tidak mau berlaku ceroboh.
“Heh keparat yang bermulut manis! Mengakulah siapa nama andika dan apa kehendakmu datang mengacau di sini sebelum mati tanpa nama!”
“Wahai dewi jelita, sungguh mati, demi para dewata, aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya kebetulan saja lewat dan karena fihak andika yang lebih dulu menyerangku, sudah sepatutnya kalau andika lebih dulu memperkenalkan diri.”
“Hemm, benar manusia sombong. Baiklah, agar engkau tidak mati penasaran namaku Setyaningsih. Engkau siapa?”
Pemuda itu tertegun.
“Setyaningsih...? Setyaningsih...? Alangkah indahnya namamu dan tepat sekali, amat merdu terdengarnya! Setyaningsih berarti kesetiaan cinta kasih; aduh, memang seorang dewi seperti andika ini tentu amat setia dalam kasih sayang... duhai dewata, hamba takkan penasaran hidup di dunia ini kalau bisa mendapatkan kesetiaan cinta kasihnya...!”
“Ngaco belo seperti burung jalak makan cabe! Hayo mengaku siapa namamu!” bentak Setyaningsih yang merasa heran terhadap dirinya sendiri mengapa hatinya menjadi senang mendengar ucapan-ucapan gila ini!
“Namaku adalah Panji Sigit...”
“Ah, engkau seorang pangeran...?” tanya Setyaningsih dan para gadis yang masih berada di situ menonton menjadi berisik mendengar bahwa jejaka bagus itu adalah seorang pangeran! Pemuda itu membelalakkan matanya yang jernih dan tajam.
“Bagaimana andika bisa tahu?”
“Engkau pangeran dari Jenggala?”
Kembali pemuda itu tertegun. Memang dia adalah Pangeran Panji Sigit dari Jenggala. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Pangeran Panji Sigit lolos dari istana setelah memaksa minta diri dari ramandanya karena hatinya geIisah dan marah oleh peristiwa semalam itu di kamar ibu tirinya, selir termuda ramandanya, Suminten.
Semenjak kecil pangeran muda ini memang telah menggembleng diri dengan ilmu kesaktian. Banyak orang gagah di Kerajaan Jenggala dan karena para senopati yang perkasa itu semua suka belaka kepada pangeran ini, maka dengan rela mereka menurunkan ilmu mereka sehingga Pangeran Panji Sigit memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Terutama sekali ia mahir akan aji meringankan tubuh yang ia pelajari dari Empu Handoko, seorang empu pembuat keris yang terkenal di Jenggala.
“Eh, eh... bagaimana andika bisa... tahu semua...”
Akan tetapi Setyaningsih kini menjadi marah sekali. Dicabutnya kerisnya dari ikat pinggang dan ia melangkah maju.
“Bagus! Pantas saja engkau sombong dan kurang ajar, kiranya engkau seorang pangeran Jenggala! Semua orang Jenggala jahat dan keji belaka!”
Gadis ini memang mempunyai rasa benci terhadap Jenggala karena ia anggap bahwa ayundanya, Endang Patibroti menerima perlakuan tidak selayaknya dari kerajaan itu. Tadi begitu mendengar nama Panji Sigit, maka ia segera menduganya bahwa pemuda ini seorang pangeran dari Jenggala. Setelah mendapat kenyataan bahwa dugaannya benar, ia menjadi marah, mencabut kerisnya dan langsung menerjang maju!
“Aduhai, adinda dewi yang cantik jelita dan sakti mandraguna, Setyaningsih! Mengapa andika memusuhiku? Aku tidak pernah bersalah kepadamu dan aku datang bukan membawa niat jahat. Kalau andika tidak percaya, ini dadaku. Hendak membunuh aku? Silakan! Aku bukan seorang pengecut yang takut mati. Biarlah... aku rela mati di tangan halus seorang seperti adinda dewi... tusuklah...”
Pangeran Panji Sigit yang sudah tergila-gila itu malah maju dan membuka bajunya bagian depan, memperlihatkan dadanya yang bidang dan berkulit bersih halus, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum, matanya memandang dengan pancaran kasih sayang.
Tangan yang memegang keris itu gemetar, kemudian lunglai dan keris itu menurun ke bawah. Seperti naik sedusedan ke atas kerongkongan Setya-ningsih dan ia lalu membuang muka, berkata kepada lima orang laki-laki tinggi besar,
“Tangkap dia, bawa menghadap ayunda!”
Tangan-tangan yang kasar menangkap kedua tangan Pangeran Panji Sigit dan digiringlah pangeran ini mema-suki hutan, diiringkan oleh Setyaningsih dan beberapa orang gadis temannya. Setelah para satria Wilis tahu bahwa pemuda ini adalah seorang Pangeran Jenggala, mereka tidak berani berbuat sembrono. Mereka maklum bahwa pimpinan mereka, Endang Patibroto, adalah bekas mantu Jenggala. Mereka menangkap dan meng-giring pemuda ini hanya karena perintah Setyaningsih yang tentu saja mereka taati.
Belum juga tiba di pusat Padepokan Wilis yang berada di puncak, di mana terdapat pondok utama tempat tinggal pimpinan Padepokan Wilis, di bawah puncak rombongan yang menawan Pangeran Panji Sigit ini bertemu dengan Endang Patibroto yang dilkuti oleh beberapa orang gadis yang tadi mandi bersama Setyaningsih dan melapor.
Endang Patibroto menjadi marah ketika mendengar bahwa ada seorang pemuda asing datang dan menimbulkan kekacauan, mengintai Setyaningsih dan teman-temannya yang sedang mandi. Ketika ia mendengar betapa pemuda itu dengan mudahnya mengalahkan lima orang anak buahnya, ia terheran dan makin penasaran, maka ia lalu meninggalkan pondoknya, menyuruh Retna Wilis melanjutkan latihan samadhi seorang diri dan turun dari puncak.
Dari jauh Pangeran Panji Sigit sudah melihat datangnya rombongan wanita turun dari atas itu. Tertegun ia melihat wanita yang berjalan paling depan, wanita berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan agung, langkah dan geraknya mengandung wibawa dan kegagahan luar biasa dan beberapa orang gadis yang -mengiringkan wanita itu tampak penuh hormat. Ia merasa kenal dengan wanita yang turun dari atas Setelah kedua rombongan bertemu dan lima orang laki-laki tinggi besar beserta semua gadis menjatuhkan diri berlutut di depan wanitaitu, kecuali Setyaningsih yang tetap berdiri, muncul pula banyak sekali laki-laki yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar. Mereka ini semua pun menjatuhkan diri berlutut lalu bersila atau berjongkok di atas tanah, tak seorang pun mengeluarkan kata-kata.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar