PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-40


“Puji syukur kepada para Dewata... Kiranya Ayunda yang berada di sini...!”
Pangeran Panji Sigit melangkah maju dan berseru. Akan tetapi sinar tajam yang menyambar keluar dari pandang mata Endang Patibroto membuatnya terhenti dan memandang ragu.
“Apa yang telah dilakukan oleh keparat ini?” Suara Endang Patibroto seperti biasa amat halus dan merdu, namun di dalamnya terkandung hawa dingin yang menyeramkan. Pertanyaan itu ditujukan kepada adiknya, Setyaningsih, akan tetapi karena ia tetap menatap wajah pangeran itu, maka seolah-olah ia bertanya kepada si pangeran sendiri atau kepada diri sendiri.
“Ayunda... bukankah paduka ini... Ayunda Endang Patibroto...? Duhai Ayunda... sudah lupakah kepadaku...?”
Memang Endang Patibroto sudah lupa kepada pangeran muda ini. Tujuh tahun yang lalu, pangeran ini masih merupakan seorang pemuda cilik yang belum dewasa, baru tiga belas tahun usianya, sedangka kini telah menjadi seorang pemuda de wasa yang tampan dan gagah.
“Ningsih! Siapakah dia ini?” Kini Endang Patibroto menoleh kepada adiknya.
“Menurut pengakuannya, dia bernama Panji Sigit, pangeran dari Jenggala,” jawab Setyaningsih sambil melirik ke arah pemuda itu. Tidak berani ia memandang secara langsung karena pandang mata pemuda itu demikian terus terang memancarkan cinta kasih kalau memandangnya. Bahkan menyebutkan nama Panji Sigit saja jantungnya berdebar dan suaranya gemetar.
Endang Patibroto kembali menghadapi pangeran itu, wajahnya tidak berubah, masih tenang angker dan pandang matanya dingin. “Hemm...? Mau apa engkau datang ke sini...?”
Pangeran Panji Sigit terkejut dan diam-diam merasa serem. Ia tidak tahu betapa Endang Patibroto sekarang sudah jauh berubah kalau dibandingkan dengan dahulu ketika masih menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Pukulan batin yang menimpanya secara bertubi-tubi semenjak suaminya tewas, telah membuat hati wanita yang keras ini menjadi makin keras. Keras dan pahit.
“Ayunda... Secara tidak sengaja aku tersesat sampai ke Wilis dalam perantauanku meninggalkan istana. Aku tidak betah lagi tinggal di istana yang makin lama makin panas dan makin kacau. Tanpa kusengaja aku memasuki daerah Wilis dan siapa menduga bahwa daerah ini dikuasai oleh Padepokan Wilis yang ternyata Ayunda sendiri yang pimpin. Ah, betapa bahagia hatiku...”
“Cukuplah, Panji Sigit. Engkau datang tanpa kausengaja, itu masih amat baik. Sekarang kau pergilah cepat-cepat meninggalkan Wilis!”
Terbelalak sepasang mata Panji Sigit.
“Ahhhh... bagaimana ini, Ayunda? Aku... aku tidak berniat buruk...dan... di sini aku berjumpa dengan... Setyaningsih ini... adakah dia adik kandung Ayunda? Terus terang saja,...Ayunda, aku... aku jatuh cinta kepada Setyaningsih dan aku hendak meminangnya menjadi isteriku...”
“Wuuuuutttt..., plakkk...!”
“Aduhhh...!”
Tubuh Pangeran Panji Sigh terbanting ke atas tanah ketika pundaknya ,kena tampar tangan Endang Patibroto yang memiliki keampuhan menggirlskan. Pangeran inl merasa seluruh tubuhnya lumpuh dan kepalanya pening, bumi terasa bergelombang dan ia hanya dapat memandang ke arah Endang Patibroto dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Endang Patibroto agaknya marah sekalli. mendengar pernyataan sejujurnya dari pangeran itu. Setelah menampar, tubuhnya berkelebat ke arah seorang anggota Padepokan Wilis yang duduk terdekat dan tahu-tahu ia telah mencabut golok orang itu, kemudian sekali melompat ia telah berada di dekat tubuh Pangeran Panji Sigit yang masih rebah di atas tanah.
“Terimalah kematianmu, ,kau...”
Golok Itu diangkat ke atas dan siap di-ayunkan memenggal leher Pangeran Panji Sigit yang tak dapat berbuat apa-apa lagi karena tubuhnya masih belum pulih dari tamparan tadi.
“Ayunda Endang... Jangan...!”
Endang Patibroto tertegun ketika merasa betapa dua buah tangan Setyaningsth merangkulnya dan memegang kedua lengannya dari belakang. Ia menoleh dan makin heranlah hatinya ketika melihat wajah adiknya itu pucat pasi., matanya basah oleh air mata, tubuhnya menggigil dan bibirnya bergerak-gerak seperti mau menangis.
“Ehh, Setyaningsih, mengapa kau..?”
“Ayunda, jangan bunuh dia..., jangan...! Dia... dia tidak bersalah apa-apa...”
“Tapi dia... dia berani mengucapkan kata-kata kurang ajar...!”
“Ayunda, salahkah kalau ada orang mencintaiku? Salahkah kalau ada orang meminangku? Tidak! Kalau Ayunda membunuhnya, berarti dia mati karena aku. Lebih baik Ayunda membunuh aku saja yang menjadi gara-gara...”
Endang Patibroto terbeleliak. Ia maklum akan kesungguhan hati adiknya ini
“Hemm... hemmm...!”
Sejenak tubuhnya menegang seolah-olah ia masih ragu, kemudian ia menghela napas, melepaskan rangkulan adiknya, lalu dengan jari-jari tangannya ia mematah-matahkan golok yang tadinya hendak dipergunakan memenggal leher Pangeran Panji Sigit.
“Kau sudah tidak berkeberatan dipinang orang? Baiklah, Setyaningsih, aku akan mengadakan sayembara!”
Tanpa menanti jawaban adiknya, juga tanpa mempedulikan Pangeran Panji Sigit yang kini sudah bangkit dan duduk, masih tegang menghadapi ancaman maut yang baru saja lolos, Endang Patibroto lalu meloncat ke atas sebuah batu yang tinggi, kemudian dengan lantang ia berkata,
“Di mana adanya ketiga Kakang Wilis?”
Dari rombongan mereka yang kini makin banyak memenuhi tempat itu dan menonton tanpa mengeluarkan kata-kata, berdirilah tiga orang laki-laki raksasa. Mereka ini bukan lain adalah Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis. “Hamba berada di sini!”
“Kakang Wilis bertiga, dengar baik-baik pengumumanku ini! Kalian umumkan ke seluruh penjuru agar diketahui oleh seluruh orang gagah, para satria, pangeran dan bangsawan, juga rakyat dan siapa saja yang menaruh minat, bahwa mulai sekarang Padepokan Wilis mengadakan sebuah sayembara. Sayembara tanding! Adikku Setyaningsih hendak, memilih jodoh dengan syarat sayembara tanding, yaitu siapa yang dapat menangkan adikku dalam pertandingan, dan walinya menangkan aku dalam pertandingan, dialah yang dianggap menang dalam sayembara dan berhak meminang adikku Setyaningsih! Umumkan sekarang juga, Kakang, dan sayembara akan diadakan tepat sebulan sesudah hati ini, pada hati Respati dimulai pagi-pagi!”
“Baiklah, Gusti puteri, akan hamba umumkan!” jawab Limanwilis.
Endang Patibroto tidak mempedulikan adiknya yang kini berdiri menjauh sambil menundukkan muka. Ia memandang kepada Pangeran Panji Sigit yang sudah berdiri dengan muka pucat, lalu berkata,
“Nah, Panji Sigit, engkau sudah mendengar sendiri! Adikku adalah seorang wanita terhormat, seorang puteri sejati, tidaklah dapat diperoleh secara mudah. Kalau engkau memang ingin meminangnya, engkau harus menang dalam sayembara tanding, harus dapat mengalahkan dia dan walimu harus dapat mengalahkan aku. Nah, sekarang pergilah, aku tidak suka melihat engkau mengacau lebih lama lagi di sini!”
Pangeran Panji Sigit merasa terpukul hatinya dan berduka sekali. Ia adalah seorang yang biasanya gembira dan jenaka, tidak mudah murung, akan tetapi sekali ini ia benar-benar merasa prihatin. Ia menoleh ke arah Setyaningsih, akan tetapi dara itu hanya menundukkan muka, tidak bergerak. Ia menghela napas dan kemudian menjura ke arah Endang Patibroto, berkata,
“Baiklah, Ayunda. Tentu saja aku akan memasuki sayembara, dan sekiranya aku yang tidak mempunyai wall ini kelak mati di tangan adinda Setyaningsih atau di tangan Ayunda, aku rela.”
Endang Patibroto hanya mendengus tanpa menjawab, maka pangeran itu setelah melempar pandang yang sayu sekali lagi ke arah Setyaningslh, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Hatinya terasa berat sekali, kedua kakinya seperti lumpuh, namun ia memaksa diri pergi menuruni lereng Gunung Wilis, terhuyung-huyung dan terbungkuk-bungkuk.
Pangeran Panji Sigit menekan batin untuk mengurangi rasa duka yang menindih hatinya. Ia berkali-kali mencela diri sendiri mengapa sekali ini begini lemah. Semenjak kecil ia hidup mewah dan senang di istana ramandanya, bertemu dengan banyak puteri-puteri cantik jelita, bahkan ia tahu betapa banyaknya dara-dara ayu dan puteri-puteri jelita gandrung (tergila-gila) kepadanya, mengharapkan cinta kasihnya, namun ia tidak pernah tertarik, bahkan ketika Suminten selir ramandanya yang masih muda dan cantik menarik itu merayunya, la sama sekali tidak tertarik malah menjadi jijik dan takut sehingga ia meninggalkan istana! Mengapa sekarang, sekali bertemu dengan Setyaningsih ia menjadi gandrung wuyung, tergila-gila dan hatinya penuh oleh cinta kasih yang amat mendalam?
Mengapa begitu melihat wajah perawan Wilis itu, begitu bertemu pandang, ia jatuh cinta sedemikian rupa sehingga la rela untuk mengorbankan nyawa? Mengapa begitu bertukar pandang dengan Setyaningsih jiwa mudanya bergelora laksana laut selatan mengamuk? Adakah Ini menjadi akibat dari pada rayuan Suminten yang seolah-olah membangkitkan gelora darah mudanya?
“Ahhh..., Panji Sigit, mengapa engkau begini lemah?”
Ia mengeluh kepada diri sendiri. Ketika bayang-bayang wajah Setyaningsih tampak tersenyum di depan matanya, ia mengeluh lagi.
“Adindaku Setyaningsih... sudahkah dikehendaki Hyang Widdhi bahwa engkau adalah jodohku? Kalau begitu, betapa mungkin? Sayembara tanding itu amat berat. Melawanmu mungkin aku masih ada harapan karena mungkin sekali, melihat pembelaanmu tadi ketika aku akan dibunuh, engkau akan suka mengalah terhadap aku. Akan tetapi, kekasihku, juwitaku... betapa mungkin aku dapat melawan ayunda Endang Patibroto? Ahh, kalau dia kehendaki, sekali pukul saja aku akan tewas di dalam tangannya. Setyaningslh... mana ada harapan bagiku untuk dapat bertanding denganmu, sayang...”
Demikianlah, seperti orang gila karena merasa tergoda asmara, Pangeran Panji Sigit berjalan terus, terhuyung-huyung dan tanpa tujuan, kadang-kadang ia bicara seorang diri, kadang-kadang tersenyum-senyum mesra, kadang-kadang seperti orang hendak menangis. Betapa besarnya kekuasaan asmara, hanya dapat diakui oleh mereka yang telah merasakannya.
Betapa pun sengsara hatinya oleh siksaan asmara yang mengamuk di hatinya, namun Pangeran Panji Sigit adalah seorang keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna dan bijaksana. Sedikitnya, darah satria utama mengalir di dalam tubuhnya, tekad seorang jantan telah menjadi wataknya. Setelah seharl semalam menuruni puncak dan lereng Wilis, akhirnya Panji Sigit masuk ke dalam sebuah hutan kecil yang amat liar.
Hutan itu kelihatan menyeramkan sekali, penuh pohon-pohon raksasa dan penuh dengan alang-alang dan duri sehingga sukar dilalui manusia. Keadaannya yang gelap dan rungkut amat mengerikan dan menyeramkan, karena hutan seperti ini amat angker, jarang atau tak pernah dimasuki karena banyak bahaya mengancam, bukan hanya bahaya yang datangnya dari ancaman binatang-binatang hutan yang buas, melainkan terutama sekali gangguan jin setan iblis dan siluman yang sepatutnya menjadi penghuni sebuah hutan seperti itu.
Akan tetapi Pangeran Panji Sigit sudah tidak peduli lagi akan keselamatan dirinya. Hatinya yang perih membuat ia nekat, bahkan timbul tekadnya untuk bertapa di dalam hutan ini sambil menanti datangnya hari sayembara tandang. Ia bertekad untuk bertapa di dalam hutan yang angker ini selama sebulan! Setelah memasuki bagian yang paling dalam, paling gelap dan paling rungkut, sang pangeran lalu menjatuhkan diri duduk di bawah sebatang. pohon besar, pohon asem yang entah sudah berapa abad usianya.
Ia duduk bersila, mematikan raga, mengheningkan cipta dan menyatukan pancaindra, didasari keprihatlnannya memohon petunjuk dan pertolongan Sang Hyang Widdhi, Tuhan Yang Maha Kuasa. Segera ia tenggelam ke dalam samadhinya, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu, tidak terasa lagi olehnya betapa ada seekor semut angkrang (semut merah besar) merayap-rayap di sepanjang lengannya…..
********************
Begitu sayembara tanding itu diumumkan gegerlah dunia orang gagah. Nama Padepokan Wilis sudah amat terkenal dan semua orang sudah tahu belaka, sedikit-nya mendengar berita betapa Padepokan Wilis adalah sarang atau tempat berkumpulnya wanita-wanita yang cantik-cantik seperti bidadari dan berilmu tinggi. Juga telah banyak disinggung orang tentang “Perawan Lembah Wilis”, yaitu dara cantik jelita namun yang berilmu tinggi sehingga sukar dilihat sukar dikenal. Tidak ada yang tahu siapa sesungguhnya yang mereka sebut-sebut sebagai Perawan Lembah Wilis itu, karena terlalu banyak dara remaja yang jelita di situ dan setiap kali ada seorang dara Padepokan Wilis yang kebetulan bertemu dengan orang luar, tentu orang luar ini menganggapnya sebagai orang yang disebut Perawan Lembah Wilis.
Kini ada pengumuman bahwa di puncak Wilis diadakan sayembara tanding untuk mempersunting perawan lembah Wilis yang bernama Setyaningsih dan di dalam pengumuman disebut sebagai adik kandung pemimpin Padepokan Wilis sendiri. Betapa tidak akan gempar orang-orang muda yang mendengar pengumuman ini.
Jauh sebelum diadakannya sayembara tanding tiba, sudah berbondong-bondong orang datang mengunjungi Gunung Wilis dan memondok di dusun-dusun sekitar kaki Gunung Wilis, karena sebelum hari Respati yang ditentukan tiba, tidak ada yang diperbolehkan naik ke lereng Gunung Wilis.
Bermacam-macam orang dari segala golongan berdatangan, dan mereka ini pada umumnya adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, karena Padepokan Wilis sudah terkenal sebagai kedung (pusat) orang-orang pandai maka tentu saja pemimpinnya juga seorang yang sakti mandraguna. Hal ini membuat mereka yang kurang tinggi ilmunya, tidak berani main-main betapa pun inginnya hati mereka mempersunting kembang Wilis yang disohorkan amat cantik jelita melebihi puteri kerajaan itu.
Satria-satria yang perkasa dan tampan berdatangan, bersama dengan wali mereka yang terdiri dari guru-guru mereka, para pertapa, pendeta, dan empu empu gemblengan yang selain datang untuk membela murid-murid mereka, juga ingin melihat siapa gerangan pimpinan Padepokan Wilis yang terkenal sakti mandraguna akan tetapi tak pernah dapat ditemui orang luar itu.
Sementara itu, di Padepokan Wilis, Setyaningsih melewatkan hari-hari dengan hati gelisah.
Tentu saja ia tidak berani membantah ayundanya yang mengadakan sayembara tanding, bahkan ia merasa bangga karena dengan adanya sayembara ini, derajatnya menaik tinggi, tidak kalah dengan derajat seorang puteri istana! Sayembara tanding itu telah mengangkat kehormatan dan harga dirinya tinggi sekali, apa lagi ditambah syarat bahwa si peminang harus mempunyai wali yang dapat menandingi kesaktian ayundanya!
Dengan sayembara ini, maka ia tidak akan salah pilih lagi, pemenangnya tentu seorang yang sakti mandraguna dari murid atau putera seorang yang lebih sakti dari pada ayundanya. Benarkah tidak akan salah pilih? Apakah kebaikan seorang suami dapat diukur dari kedigdayaannya? Bagaimana kalau yang muncul sebagai pemenang seorang kaum sesat yang berilmu tinggi? Mengingat akan hal ini, Setyaningsih bergidik ngeri. Akan tetapi hatinya terhibur oleh kepercayaan dan kesaktian ayundanya.
Tentu ayundanya pandai memilih dan kalau yang muncul seorang dari golongan sesat, ia sendiri akan bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa, sedangkan ia percaya ayundanya tentu juga akan berbuat demikian.
Akan tetapi, tetap saja hati Setyaningsih risau kalau ia teringat akan Pangeran Panji Sigit. Ia tidak dapat menyangkal dan menipu hatinya sendiri. Semenjak pertama kali beradu pandang mata, hatinya sudah tertarik dan biar pun selama hidupnya ia belum pernah mengalami, namun perasaan wanitanya dapat menduga bahwa ia jatuh cinta kepada pangeran muda itu.
Kalau pemuda itu maju menandinginya, tidak mungkin ia tega hati untuk mengalahkannya sungguh pun belum tentu pula dapat menang dalam pertandingan wajar. Hal ini mudah saja diatasi, akan tetapi kalau ia teringat bahwa pangeran itu harus membawa seorang wali yang dapat mengalahkan ayundanya, hatinya menjadi risau dan bingung. Ia hanya berdoa kepada dewata semoga pemuda idamannya itu mempunyai wali yang sakti mandraguna sehingga dapat menandingi kesaktian ayundanya.
Makin risau dan bingunglah hati Setyaningsih ketika darI para penjaga dan penyelidik bahwa di antara sekian banyak orang-orang yang berkumpul dl kaki gunung, tidak tampak si pangeran muda! Padahal, sayembara akan diadakan tiga hati lagi! Benar-benarkah pangeran itu tidak akan muncul? Begitu penakutkah melihat beratnya syarat yang diajukan?
Sesungguhnya, apa yang dirisaukan hati Setyaningsih tidaklah benar sama sekali. Pangeran Panji Sigit bukanlah seorang penakut, bukan lagi seorang yang mudah putus asa. Sebaliknya dari pada itu, Pangeran Panji Sigit mewarisi watak kakeknya, mendiang Sang Prabu Airlangga yang bijaksana dan sakti, mewarisi watak satria yang pantang undur dalam melaksanakan kewajiban dan dalam mengejar tercapainya cita-cita. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, demikianlah pendiriannya.
Apa pun yang menjadi penghalang, betapa beratpun, akan ia terjang dan hadapi Pangeran Panji Sigit amat tekun dalam samadhinya, dalam bertapa mohon petunjuk dewata, menyerah kan jiwa raga ke dalam kekuasaan Hyang Wadhi. Pemuda remaja yang tampan ini seolah-olah telah berubah menjadi arca batu di bawah pohon asem raksasa itu, sama sekali tidak bergerak. Hanya naik turunnya dada yang amat jarang dan halus itu saja yang menjadi tanda bahwa “arca” ini bukanlah terbuat dari pada darah daging, bukan benda mati melainkan seorang manusia hidup.
Hutan itu memang amat angker dan liar, pantasnya menjadi tempat tinggal raja setan dengan kawulanya yang terdiri dari pada iblis brekasakan. Dan memang blasanya, orang yang bertapa selalu digoda oleh mahluk-mahiuk halus ini yang sesungguhnya hanyalah penciptaan nafsu-nafsu badani yang berada di tubuh manusia itu sendiri. Godaan mahluk-mahluk halus ini amatlah beratnya bagi seorang pertapa, dan banyaklah orang yang gagal dalam tapanya, jauh lebih banyak dari pada mereka yang berhasil. Sama banyaknya dengan kegagalan orang-orang yang mengejar cita-cita, namun tidak dapat mengatasi rintangan di tengah jalan.
Setiap pelaksanaan dalam mengejar cita-clta selalu pasti akan menimbulkan rintangan-rintangan, halangan dan godaan yang akan menyelewengkan orang itu dari pada titik tujuan sehingga cita-cita itu gagal tercapai. Hanya orang-orang yang berjiwa satria saja yang akan mampu mengatasi segala macam rintangan ini, betapa pun berat dan pahitnya, dan hanya mereka ini yang akan dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Demiklan pula dengan orang bertapa, hanya dia yang dapat menghadapi godaan bayangan setan sehingga imannya tidak terguncang, daya ciptanya tetap membubung ke atas menuju Yang Satu tak pernah goyah, dialah yang akan memetik buah hasil tercapainya cita-cita.
Amat berat memang keadaan bayangan ini.
Ketika Pangeran Panji Sigit bertapa dan duduk bersila sampai pada malam ke tiga, bayangan wajah Setyaningsih selalu menggodanya sehingga ia hampir-hampir tidak kuat bertahan. Setelah ia dapat mengatasi bayangan wanita yang dikasihinya itu, muncul bayangan lain yang agaknya timbul dari pada nafsu berahinya sebagai seorang pria muda. Muncullah bayangan wanita-wanita cantik yang menanggalkan pakaian mereka satu per satu di depannya, kemudian dengan tubuh telanjang menggairahkan dan dengan gaya memikat, mencumburayunya.
Semalam suntuk ia digoda oleh wanita-wanita cantik yang melakukan segala usahanya untuk merayu dan mencumbunya, untuk menyelewengkan perhatiannya. Namun, sang pertapa muda ini tetap tidak bergeming imannya, tidak goyah batinnya, keadaannya seperti sikap dalam samadhi yang pernah ia pelajari sebagai wejangan seorang di antara guru-gurunya.

Pancadriya wus gineleng tunggil
mung sajuga kang sinidhikara.
kinarya nut pangesthine,
Catur warna binesut
pinarwasa ajwa ngribedi
mring lenging tyas sopana,
jwa keron pandulu
marang luguning parasdya
kang kaesthi muhung dumununging Gusti
panuksmane Hyang Suman.

(Dandanggendis)
Bagi seorang pria, apa lagi kalau ia masih muda remaja seperti Pangeran Panji Sigit, amatlah beratnya godaan yang merupakan bayangan wanita-wanita cantik ini yang timbul dari pada nafsu-nafsunya sendiri yang kadang-kadang dapat menggoda setiap orang pria dengan lamunan-lamunan. Namun sang pangeran lulus dari pada ujian dan cahaya di wajahnya makin gemilang ketika pada keesokan harinya bayang-bayang para wanita itu lenyap tanpa bekas. Bagi pandangan seorang yang sidik paningal (awas mata batinnya) akan tampaklah teja (cahaya) bersinar dari kepala sang pangeran tanda bahwa samadhinya amat mendalam dan tekadnya bulat, sudah bersatu jiwa dan raga, dikatakan mati tapi hidup karena jantungnya masih berdenyut, dibilang hidup keadaannya seperti orang mati, tak bergerak tak merasa tak berpikir.
Tiga hari menjelang hari sayembara tanding, samadhinya pangeran muda ini mencapai puncaknya dan mulai terujud semua nafsu-nafsu badani berbentuk setan iblis brekasaan yang amat mengerikan. Kepala tanpa badan bergulingan di sekitar lututnya sambil tertawa bergelak, banaspati yang berambut dan bernapas api menggodanya dengan ancaman hendak membakar, gendruwo yang mengerik dan bertanduk, memedi pocongan seperti mayat terbungkus kain yang hidup kembali, tengkorak-tengkorak hidup yang mengejek dan mentertawakannya, wewe gombel, kuntianak, tuyul dan thethekan, semua bentuk iblis yahg pernah digambarkan orang bermunculan dan menggodanya.
Namun wajah sang pangeran yang sudah mencorong (bercahaya) itu nampak tenang dan tenteram saja, penuh damai dan keheningan, wajah yang tampan itu makin tampan, bibirnya mengarah senyum penuh kesabaran dan peng-ampunan, kakinya bersila, kedua lengannya bersedakap, napasnya satu-satu dan panjang-panjang hampir tidak nampak gerak dadanya.
Tidak seekorpun nyamuk atau semut berani mengganggu kulit sang pangeran, seolah-olah ada hawa dan getaran gaib yang melindunginya.
Bahkan bayangan para setan dan iblis itu akhirnya mundur-mundur ketakutan dan kepanasan.
Tubuh sang pangeran agak kurus, wajahnya agak pucat, namun cahaya yang menyelubungi tubuhnya di pagi hari esoknya amatlah terangnya dan wajah yang pucat karena terlalu lama berpuasa itu makin berseri, samadhinya makin hening karena kini tiada.. lagi bayangan-bayangan mengganggunya.
Pada pagi hari itu tampak seorang kakek tua berjalan terbungkuk-bungkuk memasuki hutan di mana Sang Pangeran Panji Sigit bertapa. Kakek ini tidak kelihatan luar biasa, pakaiannya serba hitam seperti pakaian petani miskin, kotor berlepotan tanah dan lumpur, kakinya telanjang juga berlepotan lumpur. Tubuhnya kecil dan kate, mukanya penuh keriput menandakan usia tua, akan tetapi rambutnya masih hitam, gemuk dan kaku, bercerongatan ke sana-sini, sedangkan sepasang matanya sama sekali tidak kelihatan tua atau lamur bahkan seperti sepasang mata seekor harimau!
Tiba-tiba kakek itu seperti orang tersentak kaget, menoleh ke kanan-kirI kemudian pandang matanya lekat ke arah kiri mulutnya mengeluarkan suara, “Hemm...“ dan kakinya lalu membelok ke kiri, langsung menuju ke arah kiri di mana Pangeran Panji Sigit duduk bertapa tidak jauh dari situ.
Tak lama kemudian kakek ini sudah tiba di depan Pangeran Panji Sigit. Ia memandang sejenak, lalu mengangguk-angguk dan kemudian menggeleng-geleng, menarik napas panjang dan menggumam lirih,
“Pantas... pantas... jantungku berdebar, kakiku tersandung, kiranya ada seorang yang begini tekun bertapa, tejanya sampai bercahaya kebiruan. Hemmm, orang muda, sayang akan jasmanimu kalau dilanjutkan...”
Setelah menggumam demikian, kakek itu lalu berdiri tegak, kedua lengan bersedakap, mukanya menunduk, matanya dipejamkan dan ia melakukan aji kesaktian “merogoh sukma” untuk menyadarkan pemuda yang sedang tenggelam dalam lautan keheningan itu. Hanya dengan cara Itu saja agaknya pemuda yang tekun bertapa ini akan dapat disadarkan.
Kakek itu bergerak kembali, mengangkat muka memandang ke arah Pangeran Panji Sigit yang juga mulai bergerak-gerak, pelupuk matanya yang mulai gemetar, kemudian terdengar pemuda itu menghela napas, urat-urat syaraf di tubuhnya mulai bergerak, kulitnya berdenyut-denyut.
“Duhai, Angger, Kulup yang sedang prihatin, sadar dan bangkitlah, hentikan keprihatinanmu dan mari kubantu andika mengupas persoalanmu.”
Bagaikan tangun dari mimpi, Pangeran Panji Sigit membuka kedua matanya dan memandang ke arah kakek itu. Mulutnya bergerak dan ia menggigit bibir ketika terasa betapa seluruh tubuhnya lemas, perutnya perih dan uratnya kaku-kaku sehingga kalau tidak kuat-kuat ia bertahan tentu ia akan roboh pingsan. Teringatlah ia akan segala hal-ihwalnya, teringat akan keprihatinannya dan ia dapat menduga bahwa tentu kakek sederhana dengan sinar mata seperti bintang ini yang telah menggugahnya dari samadhi. Naik sedu-sedan dari dadanya dan ia lalu memaksa diri yang lemas itu bangun dan menghadap kakek itu dengan sikap menghormat.
“Aduhhh, Eyang..., mengapa Eyang menyadarkan saya? Saya telah menyerahkan jiwa raga kepada para dewata dan kalau para dewata tidak menolong saya, biarlah saya tidak akan sadar lagi dari-pada samadhi...”
Ucapan ini seolah-olah ia katakan kepada diri sendiri, setengah berbisik setengah mengeluh, namun kakek itu agaknya dapat mendengarnya dan ia tersenyum.
“Wahai, Angger bocah bagus! Memang seorang satria utama harus tahan tapa, berani menghadapi kurang makan kurang tidur, akan tetapi bukanlah watak satria untuk berkecil hati dan berputus asa! Hidup adalah perjuangan dan sudah sewajarnya dan lumrah kalau dalam berjuang manusia menghadapi kegagalan atau-pun hasil baik, mengalami jatuh bangun. Kalau jatuh, bangkitlah kembali dan pergunakan kejatuhan sebagai pelajaran untuk mengatur langkah selanjutnya. Kalau sedang bangun janganlah menyombongkan diri dan berhati-hatilah agar jangan jatuh. Kalau sedang berhasil baik dan menang janganlah menjadi mabuk namun selalu waspadalah bahwa di balik kemenangan, kekalahan selalu mengintai. Sebalik nya, kalau sedang kalah dan gagal, jangan berkecil hati, jangan hilang semangat, landasan prihatin harus dipimpin oleh ikhtiar yang tak kunjung henti, oleh semangat yang tak kunjung padam. Ketahuilah, Kulup bahwa tidak ada peristiwa, betapa pun pahit dan sukarnya, yang takkan dapat diatasi oleh manusia, asalkan dia bermodal iktikad baik.”
“Aduh Eyang yang bijaksana, mohon jangan kepalang memberi penerangan kepada saya. Apakah yang dimaksudkan dengan iktikad baik?”
“Kulup, iktikad baik ditujukan keluar, terhadap orang lain, berdasarkan kejujuran, keadilan dan keberanian. Kalau hanya baik bagi diri pribadi namun tidak baik untuk orang lain, hal ini bukanlah iktikad baik namanya. Pamrih yang bermaksud merusak terhadap orang lain, mendatangkan sengsara terhadap orang lain, pasti pada akhirnya akan gagal dan akan mencelakakan diri pribadi. Sebaliknya, kalau cita-cita itu tidak bersifat merusak orang lain maupun diri pribadi, sudah lurus melalui jalan kebenaran, harus terus dipegang oleh seorang satria, kegagalan hanya merupakan tempaan dan gemblengan untuk memperkuat semangat demi tercapainya cita-cita itu. Segala rintangan dan kegagalan pasti akan dapat diatasi. Batu yang dilontarkan ke atas sudah pasti akan jatuh kemball ke bawah, demikian pula, semua pamrih akan membawa akibat dan akibat pasti akan menimpa diri pribadi. Kalau pamrihnya baik, akibatnya sudah pasti baik, sebaliknya pamrih buruk juga akan berakibat buruk. Inilah keadilan namanya, Kulup.”
Pangeran Panji Sigit mengangkat muka memandang wajah kakek itu, jantungnya berdebar girang dan pandang matanya terang. Ia mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang yang bijaksana dan sakti mandraguna. Tanpa ragu-ragu ia menyembah dan berkata,
“Mohon petunjuk selanjutnya, Eyang. Bagaimana saya dapat mengatasi kekecewaan dan keraguan, apa lagi kegagalan. Saya hanya seorang manusia biasa, Eyang, manusia yang lemah dan tak berdaya menghadapi kesengsaraan karena kegagalan.”
“Heh-heh-heh, anak baik. Pengakuanmu ini saja sudah membuktikan bahwa engkau berjalan di atas jalan yang benar. Orang yang setulus-tulusnya mengaku bahwa dia bodoh dan lemah, gudang kesalahan, dia adalah orang yang sadar dan dapat diharapkan menjadi manusia yang baik. Ketahuilah bahwa di dalam hidup ini segala sesuatu ada kebaikannya, segala sesuatu mempunyai dwi muka (dua muka) yang berlawanan. Susah dan senang adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Siapa menikmati kesenangan, dia takkan kebal terhadap kesusahan. Siapa menderita kesusahan, sekali waktu akan merasakan kesenangan. Karena itu, jangan kita tertipu, Kulup. Kita harus waspada dan harus dapat mengatasi saudara kembar ini. Baik kesenangan mau-pun kesusahan, jika sudah mencengkeram dan memperbu dak kita, akan membuat kita lupa diri. Yang mabuk kesenangan akan lupa sehingga sekali kesusahan tiba, ia amat menderita. Yang mabuk kesusahan akan lupa sehingga sekali kesenangan tiba, ia akan menjadi adigang-adigung-adiguna. Akan tetapi apa bila kita dapat mengatasi sepasang saudara kembar ini, menghadapi mereka dengan hati lapang, dengan kesadaran penuh. Setiap peristiwa, baik menyusahkan maupun menyenangkan, akan dihadapi sebagai suatu kenyataan yang sudah semestinya. Segala peristiwa terjadi sebagai akibat dari sebab, maka kesemuanya wajar belaka. Susah atau senang tergantung kepada kita sendiri, bagaimana kita menerimanya. Diterima susah, maka susahlah kita. Diterima senang, akan senanglah kita.”
“Duh Eyang... betapa sukarnya manusia menghadapi kedua perasaan itu. Selama masih hidup di dunia ramai, terlibat terikat segala urusan duniawi, betapa mungkin kita dapat membebaskan diri dari pada kedua perasaan itu, Eyang?”
“Benar, Angger. Belum tiba saatnya bagi seorang muda seperti andika untuk membebaskan diri dari pada ikatan-ikatan itu. Yang kumaksud hanyalah agar supaya andika sadar dan berdiri di atas perasaan-perasaan itu. Hadapilah segala peristiwa yang menimpa dirimu, senang mau-pun susah, sebagai suatu kewajaran dan dengan hati yang tenang dan. waspada. Kenyataan yang pahit harus diterima sebagai sesuatu yang pahit, wajar bagi seorang yang belum bebas dari pada ikatan duniawi, dan boleh saja engkau prihatin, namun di dalam keprihatinan ini, jangan sekali-kali andika putus asa, berikhtiarlah sekuat mungkin karena ini merupakan wajib, jangan menjadi keruh budi sehingga melakukan hal-hal yang nekat dan menyeleweng dari pada kebenaran. Sebaliknya, kenyataan manis boleh saja diterima dengan gembira dan senang, akan tetapi di dalam kesenangan ini, jangan sekali-kali lupa diri dan mabuk kesenangan sehingga mengurangi atau menghilangkan kewaspadaan yang dapat menjerumuskan kita ke dalam kesombongan. Bersikaplah seperti air telaga yang dalam. Boleh saja ada angin bertiup menimbulkan keriput-keriput pada permukaannya, namun keriput itu tidak mendalam sampai ke dasarnya. Mengertikah, Kulup?”
“Duhai Eyang, serasa terangkat puncak Gunung Wilis yang menindih hati saya! Serasa tersiram air sewindu kekeringan hati saya karena duka! Terima kasih, Eyang, dan mohon ampun akan ketidaksopanan saya sehingga saya sampai terlupa untuk menanyakan nama Eyang yang mulia.”
Kakek itu tersenyum. Girang hatinya melihat betapa pemuda ini dapat menerima wejangannya, menerima sampai mendalam, terbukti dari wajah yang berseri dan lega itu.
“Angger, sebutanku adalah Ki Datujiwa. Sebaliknya, siapakah andika dan kalau boleh seorang tua seperti aku mengetahui, mengapa gerangan andika menyiksa raga di dalam hutan ini?”
“Eyang, nama saya adalah Panji Sigit”
“Hemmm..., melihat bentuk wajah, sikap, dan pakaianmu, aku dapat menduga bahwa andika tentulah seorang putera bangsawan. Benarkah, Angger?”
“Tidak salah dugaan Eyang, sungguh pun dalam keadaan menderita batin seperti sekarang ini, apakah bedanya antara bangsawan dan orang biasa? Eyang sesungguhnya ramandaku adalah sang prabu di Jenggala...”
“Aahhh..., pantas! Kiranya paduka adalah Pangeran Jenggala, keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga yang bijaksana! Apakah yang membuat paduka sampai terlunta-lunta di tempat ini?”
Dengan penuh keprihatinan, Pangeran Panji Sigit lalu menceritakan persoalannya dengan Setyaningsih, betapa pinangannya ditolak dan dia dihadapkan pada keputusan sayembara tanding yang akan diadakan di puncak Wilis.
“Eyang, betapa saya dapat menangkan sayembara itu? Menghadapi adinda Setyaningsih saja, belum tentu saya dapat menang, apa lagi harus mempunyai seorang wali yang akan mampu mengalahkan ayunda Endang Patibroto! Betapa hati saya yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada adinda Setyaningslh ini akan dapat terobati? Itulah sebabnya, Eyang, dalam keadaan bingung karena tiada harapan, saya lalu bertapa di hutan ini, mohon bantuan dewata.”
Ki Datujiwa mengangguk-angguk dan tersenyum. “Memang, Endang Patibroto seorang wanita hebat! Semenjak dahulu ketlka mudanya sampai kini, selalu memutuskan sesuatu dengan ukuran kesaktian. Angger, pangeran muda, harap jangan berduka. Bukan kebetulan saja agak-nya kita dapat saling berjumpa di sini. Dewata telah menghendaki agaknya. Bangkitlah, Angger dan marilah kuantar paduka ke puncak Wilis. Biarlah aku yang sudah tua ini menjadi walimu, siapa tahu kalau memang paduka berjodoh dengan nini Setyaningsih, tentu Endang Patibroto akan suka mengalah terhadap seorang tua macam aku.”
Bukan main girangnya hati Pangeran Panji Sigit. Ia belum melihat bukti kesaktian kakek ini, namun hatinya telah merasa yakin. Kakek ini bukan orang sembarangan, dan kalau sudah mengenal ayundanya tentu sudah mengenal pula kesaktian ayundanya itu. Kalau sudah berani menjadi walinya, tentu kakek ini mempunyai kesaktian yang boleh diandalkan. Serta-merta ia menyembah dan menghaturkan terima kasihnya.
“Aduh, Eyang, betapa besar rasa syukur dan terima kasih saya. Budi kebaikan Eyang berlimpah-limpah jatuh kepada saya seperti air di musim hujan! Bukan hanya wejangan-wejangan yang dapat meringankan batin, juga bahkan Eyang sudi menjadi wali saya, menambah budi dengan perbuatan nyata. Betapa saya akan dapat membalas budi Eyang yang demikian besarnya?”
“Ha-ha-ha, jangan bicara tentang budi, angger pangeran. Segala macam sifat kebaikan terhadap orang lain yang dilakukan seseorang tiada lain hanyalah kewajiban hidup semata. Pula, belum tentu orang tua macam aku ini akan dapat menandingi kesaktian seorang puteri sakti mandraguna seperti ayundamu Endang Patibroto itu, ha-ha-ha!”
Karena waktu diadakannya sayembara tanding sudah semakin mendekat, maka setelah memulihkan kelemahan tubuhnya dengan makan buah-buahan dan minum, Pangeran Panji Sigit lalu pergi bersama Ki Datujiwa menuju ke puncak Wilis…..
********************
Pada waktu itu, seperti yang telah dicerltakan terdahulu, di Selopenangkep terjadi perang yang akhirnya memaksa Adipati Tejolaksono dan isterinya melarikan diri ke Panjalu.
Oleh karena perang kemudian dilanjutkan dengan bantuan barisan Panjalu, maka sayembara tanding ini tidak terdengar oleh para satria dan pangeran di Kerajaan Panjalu maupun Jenggala yang saat itu sedang lemah dan tenggelam akibat permainan Suminten yang membuat rajanya tidak mempedulikan urusan pemerintahan.
Di dalam hutan di lereng Gunung Wilis sebelah timur, berkelebat bayangan dua orang. Bayangan ini berkelebat cepat sekali sehingga mencurigakan dan menyeramkan bagi pemandangan orang biasa.
Seperti bayangan setan-setan saja. Apa lagi kalau dapat melihat orangnya, tentu akan lebih menyeramkan. Yang seorang adalah laki-laki tinggi besar seperti raksasa, telinganya terhias anting-anting emas, matanya terbelalak lebar, usianya kurang lebih lima puluh tahun. Adapun orang kedua adalah seorang wanita yang cantik, gerak-geriknya mengandung kegairahan, genit dan sepasang matanya jalang, jelas terbayang nafsu berahi bersembunyi di balik pandang mata yang memikat, senyum dan cuping hidungnya yang bergerak-gerak.
Namun di balik kegenitannya ini, bersembunyi kekejaman yang mengerikan. Mereka ini bukan lain adalah Ki Kolohangkoro, pimpinan kaum penyembah Bathara Kala, dan Ni Dewi Nilamanik, kepala kaum penyembah Bathari Durga! Usianya sudah empat puluh tahunan namun ia masih kelihatan muda dan menarik sekali.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua orang tokoh yang menjadi anak buah Sang Wasi Bagaspati ini telah mengalami kegagalan dalam perang menghadapi barisan Panjalu. Mereka kehilangan anak buah mereka yang terbasmi oleh prajurit-prajurit Panjalu yang dipimpin oleh Tejolaksono.
Kemudian, setelah Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati ditundukkan oleh kakek sakti mandraguna yang dikenal sebagai Bhagawan Ekadenta, Bhagawan Jitendrya atau juga Sirnasarira, mereka semua mundur dan sekaligus siasat telah diubah sama sekali. Mereka membubarkan anak buah yang ditarik ke barat dan hanya mempergunakan tenaga-tenaga ahli, yang cerdik pandai dan memiliki kesaktian, untuk melakukan penyelundupan dan menyusup ke dalam kota raja, berusaha untuk menggulingkan kerajaan dari sebelah dalam tanpa kekerasan perang!
Demikianlah, kedua orang anak buah Wasi Bagaspati itu kini tiba di lereng Wilis sebelah timur dalam perjalanan mereka menunaikan tugas baru, yaitu mencari orang-orang pandai untuk diajak bersekutu. Di sepanjang jalan melalui daerah Wilis mereka telah mendengar akan adanya sayembara tanding yang terjadi di puncak Wilis beberapa hari lagi. Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena memang Ni Dewi Nilamanik berniat pergi ke puncak Wilis menemui Endang Patibroto -yang ia dengar berada di tempat itu menjadi kepala Padepokan Wilis yang mulai terkenal.
Mula-mula Ki Kolohangkoro menentang keras akan niat hati Ni Dewi Nilamanik yang ingin mengajak Endang Patibroto bersekutu ini.
“Bagaimana kita dapat bersekutu dengan wanita iblis itu, Bunda Dewi? Dia adalah musuh besar kita dan aku akan lebih setuju kalau kita pergi mencari dia untuk membunuhnya, membalaskan dendam akan kematian kakang Wiku Kalawisesa! Dan bukankah belasan tahun yang lalu, paman Bhagawan Kundilomuko juga tewas di tangan Endang Patibroto (baca cerita Badai Laut Selatan)? Dia adalah musuh kita, betapa mungkin diajak bersekutu?”
Ni Dewi Nilamanik tersenyum.
“Memang benar, dialah yang telah membunuh kedua orang saudara kita itu. Akan tetapi, engkau harus belajar mempergunakan kecerdikan, mempergunakan akal, Kolohangkoro! Manusia tak dapat hidup dengan berhasil hanya mengandalkan okol (kekuatan) seperti engkau. Kadang-kadang kita lebih membutuhkan akal dari pada okol.”
“Akal yang bagaimana yang akan kita pergunakan terhadap Endang Patibroto, Bunda Dew!?”
“Serahkan saja kepadaku. Endang Patibroto bukanlah seorang lawan yang boleh dipandang ringan. Dalam kedigdayaan, mungkin dia lebih berbahaya dari pada Tejolaksono sendiri. Kita harus berhati-hati, karena bukankah sang wasi telah berpesan agar kita menghemat tenaga dan tidak lagi menggunakan kekerasan? Kita tahu bahwa Endang Patibroto berbeda dengan Tejolaksono. Wanita itu ganas dan keras hati, beberapa kali menimbulkan geger di kedua kerajaan, tidak setia seperti Tejolaksono, malah dia adalah murid Sang Dibyo Mamangkoro yang menjadi datuk golongan hitam. Alangkah baik dan menguntungkan kalau kita dapat menempel dan membujuknya. Selain itu, tentu dalam sayembara tanding yang diadakan kita akan bertemu banyak orang pandai. Kesempatan sebaik ini tidak harus dilewatkan saja. Akan besar jasa kita kalau kita berhasil membujuk mereka menjadi sekutu, maka kita harus bersikap halus, tidak menggunakan kekerasan.”
“Bagaimana kalau tidak berhasil?” tanya Ki Kolohangkoro yang tidak biasa bersikap halus dan selalu haus darah ini.
“Kita lihat saja nanti dan serahkan semua akal kepadaku.”
Setelah Ki Kolohangkoro menerima banyak petunjuk dari Ni Dewi Nilamanik, akhirnya kedua orang ini dengan gerak cepat mereka mendaki Gunung Wilis dari lereng sebelah timur…..
********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar