PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-41
Mereka memandang sambil berdiri di atas puncak kecil itu, di daerah yang penuh dengan batu-batu gunung yang besar-besar.
“Lihat, Bunda Dewi. Banyak sudah orang berkumpul di sana!” Si raksasa menudingkan telunjuknya.
“Kau benar. Akan ramai agaknya sayembara ini. Lihat, gerakan merekapun tangkas. Banyak pemuda-pemuda yang tampan... hemmm...”
“Wah, Bunda akan banyak senang, akan tetapi aku...?”
“Hushhh, siapa ingin bersenang-senang? Apakah kalau aku melihat pemuda
tampan harus mendapatkannya? Dan kau boleh menahan nafsu dulu,
Kolohangkoro. Kita menghadapi tugas penting sekali. Kalau berhasil
akalku menarik Endang Patibroto dan orang-orang sakti sebagai sekutu,
hal itu baik sekali. Andai kata tidak berhasil, barulah kita mencari
akal untuk membalas dendam kepada Endang Patibroto atas kematian Wiku
Kalawisesa dan Bhagawan Kundilomuko!”
“Ha-ha-ha! Bicara itu mudah, namun pelaksanaannya yang sukar!”
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terkejut sekali dan bagaikan
disambar petir mereka cepat meloncat dan membalikkan tubuh. Tahu-tahu di
belakang mereka telah berdiri seorang laki-laki yang bertolak pinggang
dan tersenyum-senyum. Karena terkejut melihat betapa ada orang mengintai
dan mendengarkan percakapan tadi, Ni Dewi Nilamanik tidak membuang
waktu lagi, melainkan cepat menubruk maju mengirim pukulan dengan tangan
kirinya yang ampuh.
“Desss...!”
Dewi Nilamanik menahan pekik karena sakit dan kaget. Pukulannya telah
ditangkis dan ternyata lengan tangan orang itu ampuh sekali, membuat ia
terlempar ke belakang sampai tiga tombak lebih, sedangkan orang itu
hanya terhuyung sedikit sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh nama Ni Dewi Nilamanik bukan nama kosong belaka!
Selain sakti mandraguna, juga amat cantik jelita seperti bidadari
kahyangan, ha-ha-ha!”
Merah wajah Ni Dewi Nilamanik. Ucapan orang ini bukan seperti seorang
musuh. Ia menahan kemarahan dan memandang penuh perhatian. Laki-laki itu
usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah
sekali dengan kumis dan jenggotnya yang pendek terpelihara rapih.
Sepasang matanya tajam dan penuh kecerdikan dengan kerling yang
menyambar-nyambar. Pakaian yang menutupi tubuhnya indah dan mewah,
sedangkan tubuh laki-laki itu juga tegap dan kekar namun gerak-geriknya
halus seperti seorang bangsawan. Seorang pria yang sudah “matang”, dan
sekaligus hati Ni Dewi Nilamanik tertarik. Laki-laki ini jelas memilik
kedigdayaan, tampan dan gagah, kaya dengan pengalaman, pandai merayu.
Benar-benar merupakan seorang calon sahabat baik dan menyenangkan!
Akan tetapi Ki Kolohangkoro tak dapat menahan kemarahannya lagi. Jelas
bahwa orang ini penyelidik musuh dan sudah berani menghina Ni Dewi
Nilamanik. Sambil mengeluarkan gerengan keras Ki Kolohangkoro sudah
menerjang maju dengan pukulan tangannya yang sebesar buah kelapa,
menyambar ke arah kepala laki-laki itu.
“Werrrr...!”
Dengan amat mudahnya laki-laki itu mengelak, kemudian dari bawah
tangannya dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah siku lengan Ki
Kolohangkoro yang memukul. Raksasa ini kaget, maklum bahwa sambungan
sikunya terancam bahaya, maka cepat ia menarik kembali lengannya dan
melindunginya dengan tangkisan lengan kiri didorong ke depan.
“Dukkk...” Dua buah tangan yang sama kuatnya bertemu, saling dorong dan
akibatnya tubuh Ki Kolohangkoro terjengkang dan hampir roboh kalau saja
kakek raksasa yang digdaya ini tidak cepat meloncat ke belakang.
Laki-laki Itu bertolak pinggang dan tertawa.
“Ha-ha-ha, Ki Kolohangkoro, engkau-pun hebat dan kuat!”
Ki Kolohangkoro kaget. Orang ini sudah mengenal Ni Dewi Nilamanik dan
dia. Juga tenaganya amat kuat. Musuh yang tangguh ini perlu cepat-cepat
ditewaskan sebelum mendatangkan bahaya. Maka cepat ia sudah mengeluarkan
senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang nenggala yang menyeramkan,
kemudian menubruk maju sambil mengeluarkan suara menggereng.
Melihat ini, Ni Dewl Nilamanik hendak mencegah, akan tetapi ia
mengurungkan niatnya karena ia ingin melihat sampai di mana kehebatan
laki-laki ini sebelum ia mengambil keputusan untuk menjadikannya teman
atau lawan. Ia hanya berdiri tenang dan diam-diam telah menge-luarkan
kebutannya, dipegang di tangan kanan, siap-siap mem-bantu temannya kalau
sampai terdesak.
“Bagus! Akupun memang ingin menguji kalian!” laki-laki itu berkata lagi,
masih tersenyum-senyum dan begitu nenggala itu menerjang dengan sebuah
tusukan ke arah dadanya, ia cepat miringkan tubuh sambil mencabut
sebatang keris dari pinggangnya. Gerakan orang itu cepat bukan main,
tahu-tahu tubuhnya yang miring sudah meloncat ke atas dan turun ke
sebelah kanan Ki Kolohangkoro, kerisnya menusuk lambung dengan cepat dan
mendatangkan angin dingin.
Ki Kolohangkoro bukan seorang lemah, ia tahu bahwa ia berhadapan dengan
lawan tangguh, maka sambil memutar tubuh ke kanan, nenggalanya bergerak
menangkis keris lawan yang meluncur ke arah lambung.
“Tranggg...!” Bunga api berpijar, keris dan nenggala terpental ke
belakang, meluncur maju lagi dan bertemu lagi mengakibatkan suara
nyaring berkali-kali, “trang... trang... cring...!”
Dan bunga api muncrat-muncrat menyilaukan mata.
Ki Kolohangkoro terkejut dan juga penasaran. Senjatanya adalah senjata
wasiat yang ampuh, pula amatlah berat. Sebaliknya, senjata lawan hanya
sebatang keris yang ringan. Bagaimana setiap kali beradu, tangannya yang
memegang nenggala menjadi amat panas telapaknya dan lengannya
seolah-olah akan lumpuh? Ia makin marah dan sambil menggerenggereng la
memutar nenggalanya, menerjang lawan dengan gerakan cepat dan kuat.
Namun, ternyata lawannya itu memiliki keringanan tubuh yang
mentakjubkan. Tubuh itu berkelebatan seperti burung srikatan terbang
saja, tak pernah dapat tersenggol ujung senjata nenggala. Sebaliknya,
setiap kali Ki Kolohangkoro berseru kaget karena tahu-tahu keris lawan
sudah dekat sekali dengan tubuhnya dan hanya karena kewaspadaannya saja
ia berhasil menghindar.
Dengan kemarahan meluap Ki Kolohangkoro menubruk maju, mengirim serangan
dahsyat, nenggalanya meluncur ke arah dada lawan dan tangan kirinya
mencengkeram mengikuti gerakan nenggala.
“Bagus...!”
Laki-laki Itu masih dapat tersenyum tenang, tubuhnya miring ke kemudian
pada saat kerisnya menangkis nenggala, kakinya terayun keduanya,
susul-menyusul, yang kanan menangkis cengkeraman tangan lawan, yang kiri
menendang dan tepat mengenaI pergelangan tangan kanan lawan membuat
nenggala itu terlepas dan terlempar karena Ki Kolohangkoro merasa tangan
kanannya lumpuh!
“Kepandaianmu hebat, Ki Kolohangkoro, andika patut menjadi sahabat dan sekutuku!” kata laki-laki itu.
Akan tetapi Ki Kolohangkoro marah sekali. Wajahnya yang seperti wajah
raksasa liar itu menjadi merah, matanya yang lebar melotot dan tiba-tiba
tubuhnya merendah, seperti berjongkok, kedua lengannya dikembangkan ke
kanan kiri, seluruh tubuh menggigil dan dari dalam perutnya keluar suara
aneh, seperti suara tangis anak kecil.
Melihat ini laki-laki itu tercengang dan mundur dua langkah. Sedangkan
Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali dan cepat ia maju. Wanita inl maklum
bahwa Ki Kolohangkoro sudah menjadi nekat dan hendak mempergunakan
ajinya yang baru, yaitu Aji Kolokrodo yang sedang dilatihnya, hasil dari
ajaran Sang Wasi sagaspati.
Untuk menyempurnakan Aji Kolokrodo inilah maka Ki Kolohangkoro suka
makan bocah hidup-hidup, diminum darahnya dan diganyang dagingnya! Ni
Dewi Nilamanik makium betapa dahsyatnya ilmu ini, dan karena belum
dilatih sempuma, maka kalau gagal, berarti akan menewaskan Ki
Kolohangkoro sendiri. Cepat ia meloncat maju ke depan Ki Kolohangkoro
dan berkata halus,
“Kolohangkoro, simpanlah kembali ajimu dan jangan menurutkan nafsu
amarah yang hanya akan merugikan dirimu sendiri. Biarlah aku menghadapi
orang ini.”
Di dalam kehalusan suara Ni Dewi Nilamanik terkandung wibawa yang
menggetar dan menyadarkan Ki Kolohangkoro yang dapat menekan
perasaannya. Sambil bersungut-sungut raksasa ini kembali bangkit,
memungut nenggalanya dan mundur berdiri di pinggir.
Ni Dewi Nilamanik melangkah maju dan menghadapi laki-laki itu dan
berkata, suaranya halus, diiring kerling tajam dan senyum manis,
“Eh, satria perkasa, siapakah nama andika yang sudah mengenal kami dan apa pula kehendakmu menghadang perjaIan kami?”
“Ni Dewi Nilamanik yang cantik manis, namaku adalah Raden Warutama,
tempat asalku dari Bali-dwipa. Aku tidak berniat buruk terhadap andika
berdua, melainkan tadi mendengar akan percakapan kalian yang cocok
sekali dengan hasrat hatiku, maka aku ingin berkenalan dan bersahabat
dengan kedua orang sakti mandraguna seperti kalian.”
“Hemmm, tidak saja engkau digdaya, Raden Warutama, juga engkau pandai
sekali bicara, kata-katamu mengelus hati melalui telinga. Kami tidak
tahu sesuatu tentang andika, sebaliknya apakah yang andika ketahui
tentang kami?”
Laki-laki yang bernama Raden Warutama itu tertawa dan tampak deretan giginya yang masih utuh, kuat dan putih mengkilat.
“Ni Dewi, biar pun aku seorang bodoh, seorang pengembara yang sedang
berkelana, namun sudah banyak aku mendengar akan segala peristiwa di
dunia ini. Bukankah andika berdua adalah pemimpin-pemimpin dari barisan
yang datang dari Cola, dibawah pimpinan Sang Wasi Bagaspati, yang
baru-baru ini berperang melawan Kerajaan Panjalu dan dikalahkan?
Bukankah andika berdua kalah dalam perang melawan Adipati Tejolaksono?
Ahhh, tentu saja kalah karena untuk dapat berhasil seharusnya
menggunakan cara yang halus...”
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terkejut sekali. Kiranya orang ini
benar-benar telah mengenal mereka dan tahu pula akan keadaan mereka.
Ni Dewi Nilamanik maklum akan bahayanya orang ini, maka ia cepat
mengerahkan ajinya, memasang aji Guna Sakti untuk menguji dan kalau
mungkin mengalahkan orang ini agar tunduk di bawah pengaruhnya.
Dengan kerling mata yang mengelus hati dan senyum yang manis mengalahkan
madu, suaranya halus menggetar penuh hawa sakti yang mengandung aji
guna-guna, Ni Dewi Nilamanik berkata,
“Duhai sang bagus yang perkasa, andika benar-benar amat mengagumkan
hatiku! Sudah dua kali andika mendebar2 kan jantungku dengan menyebut
aku orang wanita yang cantik jelita dan manis. Benarkah itu, Raden
Warutama? Pandanglah wajahku baik-baik. Benarkah aku cantik jelita?
Pandang mataku, lihat baik-baik, tidakkah andika melihat sesuatu dalam
sinar mataku? Tidakkah melihat cinta kasih...”
Raden Warutama memandang, tersenyum dan mengangguk.
“Andika memang cantik jelita, matamu hebat...”
“Aduh, Raden... adakah andika mencintaku...”
Kembali Warutama tersenyum lebar.
“Alangkah mudahnya mencinta seorang wanita seperti andika...”
“Engkau mencintaku?”
“Aku mencintamu.”
Diam-diam hati Ni Dewi Nilamanik girang bukan main, juga bangga.
Betapa-pun saktinya lawan, kalau dia itu seorang pria, jarang yang akan
mampu melawan aji pengasihannya dan jelas bahwa laki-laki ini pun sudah
tercengkeram oleh ajinya yang ampuh.
“Raden Warutama, kalau benar engkau mencintaku, tentu engkau akan suka
melakukan segala permintaanku, bukan? Engkau akan tunduk kepadaku? Dan
melakukan segala perintahku?”
Warutama menunduk dan mengangguk.
“Tentu, kalau saja perintah itu menyenangkan, misalnya... diperintah menciummu!”
Ihh, dasar laki-laki pemogoran, demikian Ni Dewi Nilamanik mengumpat di
dalam hatinya. Sudah terpengaruh juga masih ceriwis! Akan tetapi ia
tetap tersenyum dan memperkuat getaran aji pengasihan Guna Sakti-nya...
“Tentu saja boleh! Orang mencinta tentu boleh mencium. Dan kau boleh
menciumku, Raden Warutama, akan tetapi sesudah mencium engkau harus
berlutut menyembah di depan kakiku, mengerti?”
Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk sambil melangkah maju.
Ni Dewi Nilamanik menjulurkan mukanya, agak berpaling, memberikan pipi kirinya.
“Nah, kau boleh mengambung pipi kiriku, lalu berlututlah, Raden Warutama! Engkau akan menurut segala perintahku!”
Perintah ini dikeluarkan dengan suara menggetar penuh hawa sakti yang akan menundukkan hati setiap orang pria.
Warutama melangkah makin dekat, lalu memeluk tubuh Ni Dewl Nilamanik
yang ramping dan padat, kemudian ia menundukkan mukanya mencium mulut
wanita itu dengan mesra dan penuh nafsu!
Kagetlah Ni Dewi Nilamanik. Gerakan ini sama sekali bukan gerakan orang
yang telah tunduk dan terpengaruh aji pengasihan! Cepat ia menggerakkan
kedua tangan hendak mendorong, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa kedua pergelangan tangannya telah dipegang oleh
Warutama dan sama sekali tidak dapat ia gerakkan lagi! Ia hendak
meronta dan berseru, akan tetapi mulutnya telah tercium, bibirnya
tergigit mulut Raden Warutama sehingga ia hanya dapat menahan nafas dan
terpaksa mandah saja membiarkan laki-laki itu menciumnya sepuas hatinya.
Sampai terengah-engah Ni Dewi Nilamanik ketika Warutama melepaskan
ciumannya, lalu menatap wajahnya dengan pandang mata yang tajam melebihi
ujung pedang dan yang mengandung sinar aneh sekali, langsung menembus
jantungnya.
Terdengar oleh Ni Dewi Nilamanik bisikan-bisikan mesra laki-laki itu dan suara-nya halus penuh getaran hawa sakti,
“Ni Dewi Nilamanik, kau telah membuktikan betapa kuatnya aku, betapa
nikmatnya ciumanku, engkau jatuh cinta kepadaku dan akan melakukan
segala perintahku. Beranikah engkau menyangka!? Engkau mencintaku,
bukan?”
Bagaikan telah luluh semua kemauannya, Ni Dewi Nilamanik yang memandang
wajah pria itu dari balik bulu matanya yang setengah terpejam,
mengangguk.
Raden Warutama tertawa dan melepaskan pelukannya. “Ni Dewi yang manis, kekasihku kau berlutut dan menyembahlah kepadaku!”
Ni Dewi Nilamanik menjatuhkan diri berlutut di depan Raden Warutama yang
tertawa bergelak. Ia hendak menyembah, akan tetapi Ki Kolohangkoro
sudah meloncat maju dan membentak keras,
“Bunda Dewi! Sadarlah, andika terkena guna asmara!”
Bentakan Ki Kolohangkoro bukanlah sembarang bentakan, melainkan bentakan
yang dilakukan dengan pengerahan tenaga batin sehingga mengandung
getaran amat kuat. Ni Dewi Nilamanik tersentak kaget, membuka matanya
dan ketika ia melihat betapa ia berlutut di depan kaki Raden Warutama
yang tertawa bergelak, ia memekik nyaring dan melompat bangun, cepat
mencabut bulu merahnya dan hendak menerjang maju.
Akan tetapi Raden Warutama sudah mendahuluinya, cepat menyambar dan
memegang ujung kebutan sambil berkata, suaranya berbeda dengan tadi,
kini berpengaruh dan sungguh-sungguh,
“Ni Dewi Nilamanik! Hentikan main-main ini terhadap aku! Engkau tahu
bahwa aku bukan sembarang orang yang boleh dibuat main-main. Sudah
kubuktikan bahwa aku tidak kalah olehmu dalam kesaktian. Juga andika, Ki
Kolohangkoro, simpan senjatamu dan mari bicara secara baik-baik. Kalau
kalian berkeras, biar pun aku belum tentu akan mudah menang, akan tetapi
jangan harap andika berdua akan mudah mengalahkan Raden Warutama!
Kesudahannya kita bertiga akan rugi, apa lagi kalau ketahuan oleh Endang Patibroto. Mari kita bicara secara sahabat, maukah?”
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro saling pandang. Warutama lalu memberi isyarat,
“Mari ikut bersamaku, kita bicara di tempat sembunyi agar jangan terlihat dan terdengar orang lain.”
Pergilah mereka berdua mengikuti laki-laki perkasa itu memasuki
semak-semak dan tak lama kemudian mereka sudah bercakap-cakap di dalam
sebuah goa yang terdapat di balik semak-semak itu. Mereka bicara dengan
serius samba berbisik-bisik.
“Ketahuilah kalian, aku bukanlah lawan kalian, melainkan sekutu karena
kita mempunyai hasrat yang sama sungguh pun dengan alasan lain. Kalian
ingin membujuk Endang Patibroto menjadi sekutu menghancurkan Panjalu dan
Jenggala? Akupun ingin mendapatkan Endang Patibroto si janda jelita
perkasa itu sebagai kekasih! Kalian ingin membunuhnya kalau gagal?
Demikian pula aku yang mendendam kepadanya! Kalian ingin melaksanakan
tugas atasan kalian untuk menjatuhkan kerajaan-kerajaan keturunan
Mataram? Aku juga! Dan kini tiba saatnya untuk kita bergerak. Akan
tetapi, kalian harus selalu menurut dan tunduk atas
petunjuk-petunjukku...”
Melihat kedua orang itu mengerutkan kening, Raden Warutama cepat menyambung,
“Harap kalian jangan ragu-ragu, Aku lebih mengetahui keadaan Endang
Patibroto, aku lebih mengetahui pula keadaan kerajaan-kerajaan itu.
Menggunakan kekerasan terhadap Endang, amat berbahaya dan takkan
berhasil. Tak usah kau berkecil hati, Ki Kolohanghoro. Ketahuilah, dulu
kakak seperguruan andika, mendiang Wiku Kalawisesa, adalah seorang
pembantuku pula.”
Mendengar ini, kedua orang ini makin percaya. Apa lagi setelah kini Ni
Dewi Nilamanik yakin bahwa pria ini benar-benar menarik, selain pandai
dan tampan, juga ahli dalam soal-soal yang disukainya, yaitu bermain
cinta.
“Raden Warutama, katakanlah bagaimana rencanamu, kalau memang baik tentu kami tidak akan berkeberatan untuk membantumu.”
Warutama bangkit kembali kejenakaan dan kenakalannya terhadap wanita.
“Andika memang cantik manis, Dewi, dan aku percaya, di antara kita
berdua pasti akan dapat dibangun kerja sama yang mesra dan erat, yang
akan membawa kita berdua ke arah hasil gilang-gemilang di kemudian hari.
Percayalah, aku Raden Warutama adalah seorang yang sudah tergembleng
bertahun-tahun, sudah mengunjungi semua pendeta-pendeta sakti di
Bali-dwipa untuk memperdalam ilmu, dan ketahuilah pula, bahwa aku adalah
keturunan dari mendiang Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna.”
“Ahhh...?” Kedua orang itu terkejut sekali, akan tetapi Raden Warutama tidak memberi kesempatan mereka mengeluarkan kata-kata.
“Nenekku adalah adik misan Ki Patih Narotama, akan tetapi sudahlah, hal
itu tidak ada pentingnya dibicarakan. Yang terpenting sekarang,
bagaimana kita dapat menundukkan Endang Patibroto. Jangan lupa, dia itu
sakti luar biasa. Aku mengenal segala ilmunya yang dahsyat. Ajl Pethit
Nogo dan Wisangnala yang menyeramkan, apa lagi pukulan Gelap Musti yang
mengerikan. Belum lagi panah tangan yang beracun dan semua itu ditambah
gerakan-gerakannya yang amat lincah. Dalam hal kesaktian, dia tidak
berada di sebelah bawah tingkat Adipati Tejolaksono. Karena itu, kita
harus mempergunakan akal. Syukur-syukur kalau selain dapat membujuknya,
juga dapat menarik sebagian orang-orang gagah yang memasuki sayembara
agar suka menjadi sekutu kita.”
“Bagaimana siasatmu, Raden?” tanya Kolohangkoro yang diam-diam bergidik
ngeri juga mendengar akan kesaktian Endang Patibroto, pemimpin Padepokan
Wilis yang sudah lama ia dengar namaya itu. Apa lagi kalau ia teringat
bahwa Endang Patibroto adalah murid Sang Dibyo Mamangkoro, belum apa-apa
tengkuknya sudah terasa tebal dan mengkirik.
“Kita harus dapat bersabar dan melihat gelagat. Sebaiknya kalau kita
turun tangan sebelum sayembara diadakan tiga hari lagi. Kalian temuilah
Endang Patibroto di puncak, dan cobalah kalian membujuknya untuk suka
bekerja sama. Bangkitkan hatinya, ingatkan kepadanya akan perlakuan
Jenggala terhadap dirinya agar ia timbul rasa marah kepada Jenggala.
Ingat, sasaran yang paling lunak adalah Jenggala. Panjalu merupakan
negara yang kuat tidak boleh dibuat main-main, apa lagi Tejolaksono
berada di sana. Sebaiknya kita mencurahkan perhatian kepada Jenggala
yang pada dewasa Ini sedang lemah sekali dan aku kelak akan mencari
jalan untuk mendapatkan kedudukan dan pengaruh di sana. Nah, kalau dia
terpikat dan suka bersekutu, syukurlah dan kita akan menentukan sikap
dan siasat selanjutnya.”
“Kalau dia menolak?” tanya Ni Dewi Nilamanik.
“Kalau dia menolak, kita harus dapat mengambil keuntungan pula dari
penolakan ini. Kalian tantang dia bertanding dan aku akan muncul
membantunya!”
“Hah...!” Ki Kolohangkoro melompat ke atas, memandang marah.
Raden Warutama mengangkat tangannya dan tersenyum.
“Duduklah, Ki Kolohangkoro dan simpan dulu kemarahanmu. Aku membantunya
hanya siasat belaka. Tentu saja akan kuusahakan agar kalian berdua lolos
dan selanjutnya aku yang akan membujuk-bujuknya. Tentu lebih mudah
bagiku setelah aku membantunya melawan kalian. Malamnya, aku datang ke
tempat ini dan kalian harap menanti di sini.”
Ni Dewi Nilamanik mengangguk-angguk, juga Ki Kolohangkoro mulai mengerti
dan diam-diam mereka merasa kagum bukan main orang ini. Siasatnya
demikian harus, akan tetapi seperti sebatang pedang yang tajam pada
kedua pinggirnya. Kalau bujukan berhasil berarti untung, atau dltolakpun
dapat untung.
“Kapan kami berdua harus menjumpainya?” tanya Ni Dewi Nilamanik, suaranya jelas mengandung kepercayaan sepenuhnya.
“Jangan sekarang. Nanti saja menjeang senja kita mendaki puncak dan
berpencar sehingga andai kata gagal dan terpaksa kalian bertanding, akan
mudah untuk meloloskan diri di dalam gelap,” kata Raden Warutama sambil
meraih lengan Ni Dewi Nilamanik yang mandah saja sehingga tubuhnya
roboh di pangkuan Raden Warutama yang memeluknya.
“Senja nanti masih terlalu lama. Sekarang masih pagi,” Ki Kolohangkoro membantah.
“Memang masih banyak waktu. Aku dan Dewi hendak bercakap-cakap
mempererat perkenalan. Kalau andika!apar di hutan ini banyak kancil dan
kijang, boleh sekalian tangkap dan bakar daging-nya untuk kami,” kata
Raden Warutama sambil mendekap dan mencium Ni Dewi Nilamanik yang
membalas belaiannya dengan senyum gembira.
Laki-lakI ini benar-benar menyenangkan hatinya. Tampan, gagah perkasa, juga penuh wibawa, pandai pula merayu.
Ki Kolohangkoro bersungut-sungut, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar
itu bangkit dan tak lama kemudian ia menyusup semak-semak, meninggalkan
kedua orang itu yang sedang bercinta dengan mesra.
Tentu saja seorang yang sakti seperti Ki Kolohangkoro, dengan mudahnya
dapat membunuh seekor kijang besar, kemudian merobek tubuh binatang itu
dan membakar dagingnya. Untuk memuaskan nafsunya, Ki Kolohangkoro
menjilat-jilat darah kijang dan mengunyah daging mentah yang dipilihnya
dari bagian yang paling lunak.
Agak redalah kekesalan hatinya melihat dua orang itu bermesraan tanpa
mempedulikan dirinya, dan daging mentah serta darah kijang Itu
membangkitkan semangatnya kembali…
********************
Endang Patibroto berada di taman bunga di puncak Wilis bersama
puterinya. Retno Wilis telah berusia hampir enam tahun, dan anak ini
benar-benar amat luar biasa. Sudah jelas tampak betapa tubuhnya padat
dan di balik kulitnya yang kuning halus itu membayang urat-urat membaja.
Terutama sekali keluar-biasaannya tampak pada sinar matanya yang jernih
namun tajam bagaikan dapat menembus dada setiap orang yang
dipandangnya. Wajahnya cantik manis dan mungil sekali, namun jelas pula
tampak membayang kekerasan hati dalam tarikan bibir dan lekuk dagunya
seperti yang dimiliki Endang Patibroto.
Taman itu indah bukan main. Taman alam yang hanya diatur dengan
penambahan tanaman bunga di sana sini oleh Endang Patibroto dan
Setyaningsih. Pada saat itu, Endang Patibroto sedang melatih puterinya.
Latihan yang amat berat dan amat aneh. Retno Wilis tengah berdiri tegak
di depan ibunya, yang juga berdiri menghadapi puterinya itu, di bawah
sebatang pohon nangka yang besar.
“Retno, mulai senja hati ini sampai semalam suntuk, kau harus berlatih
samadhi seperti seekor kalong. Tahukah engkau apa yang harus kau
lakukan?”
Bocah ini mengangguk.
“Seperti yang ibu ajarkan, aku harus menggantungkan kaki di cabang
pohon, menggantung dan melemaskan seluruh urat di tubuh, menyatukan
semua pikiran dan perasaan, memusatkannya di pusar dan...”
“Cukup. Baik kalau kau masih ingat semua. Ketahuilah bahwa bertapa
seperti ini merupakan tapa brata yang amat berat, namun mengandung
kemujijatan luar biasa dan amatlah gaib. Seorang manusiapun harus
bertapa seperti itu dalam kandungan ibu sebelum dapat terlahir sebagai
manusia. Ulatpun baru dapat menjadi kupu setelah bertapa secara
menggantung. Maka, latihan samadhi dengan menggantung ini hebat sekali
hasilnya, Anakku. Tekunlah engkau berlatih agar kelak engkau menjadi
pendekar yang tiada bandingnya di seluruh jagat ini! Ingat apa pun yang
terjadi malam ini, sebelum aku menyadarkanmu, engkau tidak sekali-kali
boleh melepaskan samadhimu. Mengerti?”
“Baik, Ibu. Akupun ingin sekalI menjadi wanita paling sakti di dunia ini, seperti ibu!”
“Ahhh, tidak seperti ibu, Retna Wilis, melainkan jauh lebih sakti dari pada ibumu.”
Setelah berkata demikian, Endang Patibroto menyambar lengan puterinya
dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah meloncat ke atas dan mereka sudah
berada di atas cabang pohon nangka itu.
Endang Patibroto dengan penuh perhatian dan kasih sayang lalu memberi
petunjuk dan akhirnya, bergantunglah tubuh Retna Wilis dengan kedua kaki
mengait cabang pohon! Setelah melihat betapa mata anaknya tidak
bergerak-gerak lagi dan napasnya mulai teratur, Endang Patibroto
melayang turun dengan ringan sehingga cabang itu tidak bergoyang
sedikitpun.
Latihan anaknya amat berat dan biar pun Endang Patibroto tampaknya keras
dalam mengajar anaknya, namun sesungguhnya ia merasa amat sayang dan
kasihan kepada Retna Wilis. lapun tidak tega meninggalkan puterinya,
melaInkan duduk bersila di bawah pohon, menjaga.
Tiba-tiba Endang Patibroto bangkit berdiri dan menoleh ke kanan, lalu terdengar suaranya, halus namun penuh wibawa,
“Siapa berani lancang memasuki taman mengganggu anakku berlatih?”
Endang Patibroto yang berpendengaran tajam telah mendengar gerakan orang
di sebelah kanan di balik semak-semak, dan mengira tentu ada anak buah
Padepokan Wilis yang datang.
Akan tetapi alis yang kecil panjang dan amat hitam itu berkerut ketika
ia melihat bahwa yang muncul dari balik semak-semak adalah dua orang
yang sama sekali tidak dikenalnya.
Seorang wanita cantik dan seorang laki-laki tinggi besar muncul keluar
dan sekali pandang saja maklumlah Endang Patibroto bahwa dua orang ini
bukanlah orang sembarangan, maka ia lalu bersikap waspada dan memandang
tajam. Setelah tahu bahwa dua orang itu ternyata bukan anak buahnya, ia
bersikap angkuh dan diam, hanya memandang dan menanti, sesuai dengan
sikap seorang kepala padepokan yang ternama dan berwibawa.
Ni Dewi Nilamanik memandang Endang Patibroto dengan kagum. Sudah lama ia
mendengar nama wanita sakti ini yang pernah menggegerkan Kerajaan
Jenggala dan Panjalu, yang kabarnya memiliki kedigdayaan yang
menggiriskan dan jarang bertemu tanding dan yang kini menjadi pemimpin
Padepokan Wilis dan berhasil menggembleng Gerombolan Wilis menjadi
satria-satria Wilis yang terkenal.
Ia tidak menyangka bahwa wanita hebat itu ternyata begitu cantik jelita
dengan sepasang mata yang luar biasa tajam dan beningnya, sinar mata
yang mengandung hawa dingin membuat bulu tengkuk meremang.....
Komentar
Posting Komentar