PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-43


“Sttt, jangan sembronol” bisik Raden Warutama. “Turut rencanaku. Anaknya di taman situ, di pohon sore tadi. Kalian tahu harus berbuat apa. Cepat...!”
“Mari, Kolohangkoro, jangan banyak membantah,” kata Ni Dewi Nilamanik.
Rencana tadi telah mereka. rundingkan, yaitu, kedua orang ini akan pergi ke taman untuk menculik Retna Wilis.
Ada-pun Raden Warutama sendiri yang akan memasuki kamar Endang Patibroto, karena andai kata ketahuan oleh wanita sakti itu, akan mudah baginya mencari alasan. Berbeda sekali tentu kalau dua orang bekas lawan Endang Patibroto itu ikut masuk, tentu akan membuka rahasia kalau ketahuan oleh si wanita sakti.
Dua orang yang berkelebat cepat seperti setan itu sebentar saja sudah tiba di bawah pohon. Mereka girang sekali, terutama Ki Kolohangkoro, ketika melihat bahwa Retna Wilis masih bergantung di cabang pohon. Diam-diam mereka menjadi amat kagum.
Bocah itu menggantung dengan kedua kakinya, kelihatan seperti tidak bernyawa saja, dengan tubuh kelihatan enak dan tidak kaku, seolah-olahtidur dalam keadaan seperti itu merupakan sebuah kenikmatan.
“Biar kutangkap dia!” kata Ki Kolohangkoro tidak sabar. Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik ia sudah meloncat ke atas, kedua tangannya diulurkan menjangkau tubuh Retna Wilis, hendak mencengkeram dan merenggut tubuh kecil itu terlepas dari batang pohon.
“Aaaggghhh... I”
Tubuh Ki Kolohangkoro yang tinggi besar itu terlempar kembali ke bawah, jatuh berdebuk seperti buah nangka busuk, lalu dia merintih diseling kutuk caci sambil memegangi lehernya. Ternyata bahwa ketika tangannya tadi mencengkeram, tiba-tiba tangan kanan Retna Wilis bergerak dan memukul lehernya. Gerakan yang tiba-tiba dan otomatis.
Sungguh pun anak itu masih amat kecil, namun keadaan samadhi berjungkir-balik itu ternyata mendatangkan tenaga ajaib kepadanya, dan pukulannya tadi dilancarkan secara otomatis karena dia telah terganggu samadhinya. Pukulan bukan sembarang pukulan karena itu adalah Aji Wisangnala dan mengandung tenaga mujijat hasil samadhi semalam suntuk.
Dan kiranya Ki Kolohanghoro tidak akan mungkin dapat terpukul sedemikian mudahnya kalau ia berhati-hati. Akan tetapi kakek yang sembrono ini tentu saja tadi memandang rendah calon korbannya, seorang anak perempuan yang baru berusia lima enam tahun!
“Itulah hasilnya kalau kau berlaku sembrono!” kata Ni Dewi Nilamanik.
Ki Kolohangkoro sudah bangkit lagi dan pada saat itu, tubuh Retna Wilis sudah melayang turun dengan ringannya, bocah ini sudah berdiri berhadapan dengan mereka. Sepasang mata kecil yang bening itu memandang, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, malah membayangkan kemarahan.
“Kalian ini siapa? Berani benar mengganggu aku yang sedang latihan. Kalau ibu mengetahui tentu kalian akan dibunuh sekarang juga. Eh, di mana ibu?”
Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian kembali menghadapi dua orang asing itu, penuh kecurigaan.
“Anak balk, marilah kau ikut bersama kami. Ibumu yang menyuruh kami menyemputmu. Marilahl” kata Ni Dewl NIlamanik sambil mengulurkan tangan, suaranya manis dan ramah.
“Tidak! Tidak! Kalian bukan orang baik-baik! Aku tidak maul”
Retna Wilis mundur-mundur dan kedua tangannya dikepal menjadi tinju-tinju kecil.
“Huah-ha-ha-ha! Kau anak nakal, darahmu tentu manis sekali. Mari ikut bersamaku, kupondong...”
Ki Kolohangkoro menubruk, Retna Wilis mengelak dari kiri dan memukul. Akan tetapi kali ini tentu saja Ki Kolohangkoro sudah siap. Sekali ia menyambar, ia sudah menangkap tangan kanan Retna Wilis yang memukulnya dan sekali ia membetot, tubuh bocah itu sudah diangkat dan dipeluknya. Namun Retna Wilis bukanlah sembarang anak kecil. Ia tidak merasa takut, malah menggunakan tangan kirinya menusuk dengan jari-jarii kecilnya ke arah mata Ki Kolohangkoro!
“Ha-ha-ha, tiada ubahnya seekor anak macan!”
Ki Kolohangkoro kembali menangkap lengan kecil itu sehingga kini kedua lengan Retna Wilis berada dalam cengkeraman tangan kirinya. Retna Wilis mehonta-ronta dan berusaha menendangkan kedua kakinya, akan tetapi karena tubuhnya kini sudah dikempit, ia tidak lapat bergerak lagi.
“Lepaskan... Lepaskan aku, engkau setan tua bangka...!”
Kemudian anak ini menggunakan giginya yang kecil-kecil dan kuat untuk menggigit tangan yang mencengkeram kedua lengannya!
“Huah-ha-ha, benar-benar anak setan!” Ki Kolohangkoro tertawa dan tentu saja lengan dan tangannya yang berbulu dan berkulit tebal kuat dan kebal itu tidak terluka oleh gigitan Retna Wilis.
“Hayo cepat kita pergi...” kata Ni Dewi Nilamanik yang merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ibu anak ini muncul. Ia sudah merasa jerih untuk menghadapi Endang Patibroto yang selain sakti mandraguna, juga amat liar dan ganas sehingga kalau tahu puterinya diculik tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat menghancurkan kepala mereka! Mereka lalu meloncat dan berlari cepat menuruni puncak.
Sementara itu, dengan jantung berdebar keras, Raden Warutama mengintai dari celah-celah pintu kamar Endang PatIbroto. Ia tidak dapat melihat sesuatu, hanya dapat mendengar tarikan napas yang teratur dan halus, tanda bahwa orang yang berada di dalam kamar tengah tidur nyenyak. Ia sudah mempersiapkan akal kalau-kalau Endang Patibroto terbangun.
Setelah menguatkan hatinya, ia mendorong daun pintu kamar.
Bau yang harum menyambut hidungnya yang sejuk memasuki kamar melalui lubang-lubang angin yang terdapat di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu kecil bernyala dl atas lemari di sudut kamar. Namun pandang mata Raden Warutama melekat pada sesosok tubuh yang membujur terlentang di atas dipan yang bertilam merah muda. la terpesona! Endang Patibroto tidur nyenyak di atas dipan itu. Tidak berselimut.
Tubuh yang padat itu hanya melawan hawa dingin dengan pakaian yang dipakainya lepas-lepas sehingga sebagian dadanya dan betisnya tampak. Kepalanya terletak miring di atas bantal, lengan kiri melintang di atas dahi, lengan kanan di atas perut yang kempis langsing. Rambutnya terurai kacau, menutupi sebagian muka dan leher, amat hitamnya.
Raden Warutama menahan napas. Alangkah indahnya penglihatan ini. Endang Patibroto bukan seorang gadis remaja lagi, bukan pula seorang wanita muda, melainkan seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun. Wanita yang matang! Namun setelah tertidur seperti itu, benar-benar merupakan seorang wanita cantik jelita menggairahkan, seperti Sang Dewi Komaratih sendiri, penuh dengan daya tarik yang sukar dilawan oleh pria yang mana pun.
Warutama tampak melamun, berulang kali menghela napas, kemudian tangannya bergerak dan tercabutlah sebatang keris yang mengeluarkan sinar hijau, kakinya berindap-indap melangkah maju menghampiri pembaringan.
Endang Patibroto benar-benar sedang tidur nyenyak. Kesedihan membuatnya seperti terbius, padahal semua aji penyirepan tadi sama sekali tidak pernah membiusnya. Namun kesedihan merupakan pembius yang amat ampuh sehingga ia masih tidak sadar sama sekali betapa nyawanya terancam maut.
Kalau Raden Warutama pada saat itu menerjang dan menusukkan kerisnya, tentu akan tewasIah Endang Patibroto. Akan tetapi Warutama meragu, setelah dekat pembaringan, makin hebatlah ia terpesona. Kini tampak makin jelas wajah yang ayu itu, dada yang membusung mengalun halus, mulut yang berbentuk indah itu setengah terbuka dengan bibir yang merah menantang dan di baliknya tampak kilau deretan gigi putih.
Kedua kaki Warutama gemetar. Ah, betapa sayangnya kalau dibunuh begitu saja, pikirnya. Ia mulai memutar otak mencari akal agar supaya bisa mendapatkan tubuh yang mebuatnya gandrung ini. Akan tetapi ia tidak kehilangan kewaspadaan, kerisnya masih menodong lambung. Dia harus dibuat tidak berdaya, pikirnya, sehingga aku dapat menggagahinya. Setelah itu, harus membunuhnya.
Raden Warutama memang cerdik.
Kalau ia hanya menggunakan tali atau kain untuk mengikat kaki tangan Endang Patibroto, tentu ia akan gagal karena sebelum berhasil membelenggu, wanita sakti itu tentu sudah sadar dan celaka-lah dia. Kini Warutama mengangkat tangan kiri dengan jari tangan terbuka, mengukur jarak dan tenaga, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian tangan itu dengan cepat sekali menyambar ke bawah, tepat menghantam tengkuk Endang Patibroto di belakang telinga kanan.
“Ngekk...! Aauhhhhhh...!”
Kedua mata Endang Patibroto terbelalak sekejap ketika pukulan itu mengenai tengkuknya, mulutnya merintih lirih dan matanya lalu terpejam, tubuhnya lemas dan ia pingsan. Iblis dan setan tertawa ria menyaksikan hasil kemenangan kejahatan, puas gembira menyaksikan perbuatan terkutuk yang dilakukan Raden Wautama di malam jahanam itu.
Perbuatan-perbuatan jahanam yang terkutuk seperti yang dilakukan Raden Warutama masih akan terus merajalela menguasai hati manusia. Setan-setan dan iblis masih akan terus menguasai manusia yang berbatin lemah, yang tidak kuasa mengendalikan nafsu-nafsunya dan yang hanya ingin melampiaskan nafsu yang menjerumuskan mereka ke jalan sesat.
Makin sunyi keadaan di pondok pusat Padepokan Wilis itu karena semua penjaganya, anak buah Padepokan Wilis masih nyenyak dl bawah pengaruh aji penyirepan, tidak tahu sama sekali bahwa di padepokan telah terjadi malapetaka hebat menimpa diri ketua mereka. Sunyi sepi, bahkan kerik jengkerik dan nyanyi kutu-kutu walang atogo terhenti seolah-olah ikut merasa ngeri dan prihatin atas terjadlnya perbuatan terkutuk itu.
Hanya kadang-kadang saja terdengar suara menyeramkan burung hantu yang seperti kekeh iblis sendiri beriang gembira menyaksikan tingkah manusia pengabdi nafsu, seolah-olah binatang yang tidak mempunyai peradaban lagi.
Dan selain kekeh burung hantu itu, dari dalam pondok terdengar kekeh penuh kepuasan dari mulut Raden Warutama ketika ia melihat korbannya tergeletak tak berdaya di hadapannya. Kemudian hanya sunyi, sunyi yang menyayat hati.
Endang Patibroto merintih lirih, menggerakkan kaki tangannya namun tidak dapat. Kepalanya nanar sekali dan ia merasa heran mengapa kaki tangannya tak dapat ia gerakkan. la membuka mata, cepat memejamkan kembali karena begitu matanya dibuka, kepalanya makin pening. Ia mengejap-ngejapkan matanya, kemudian membukanya perlahan-lahan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kaki tangannya terpentang dan terikat dengan kainnya sendiri pada kaki pembaringan! Dan Raden Warutama tampak berdiri di kamar, sedang mengenakan pakaian! Melihat keadaan dirinya yang tak berpakaian lagi, melihat Raden Warutama, wanita sakti ini seketika maklum apa yang telah menimpa dirinya. Ia hampir pingsan lagi namun dikuat-kuatkan dirinya.
“Heh-heh, engkau sudah sadar, manis?”
Raden Warutama yang baru selesai berpakaian itu, membalikkan tubuh, keris bersinar hijau di tangan kanannya, lalu melangkah maju.
“Sudah tercapai hasratku memilikimu, Endang Patibroto, dan sekarang bersiaplah untuk mati!” Sambil berkata demikian, Raden Warutama mengangkat kerisnya, siap menusuk. Pada saat itu, pada detik yang mengerikan itulah Endang Patibroto teringat akan wajah pria yang menyeringai di depannya.
“Sindupati...!”
Keris yang sudah siap menusuk itu terhenti. Wajah Raden Warutama pucat. Akan tetapi ia lalu tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau mengenalku, Endang Patibroto? Lebih baik lagi, supaya engkau tidak mati penasaran...“ Kembali tangan itu menegang.
Tiba-tiba terdengar pekik melengking keluar dari mulut Endang Patibroto. Itulah Aji Sardulo Bairowo yang hebat luar biasa.
Pekik ini seolah-olah gerengan seribu ekor harimau marah, menggetarkan seluruh puncak Wilis, membuat pondok seolah-olah hendak roboh. Dalam kemarahannya dan sakit hati yang meluap-luap, Endang Patibroto memekik, merenggutkan kaki tangannya dan dalam beberapa detik saja ikatan kaki tangannya hancur semua.
Raden Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati makin pucat, tubuhnya menggigil dan cepat sekali ia sudah meloncat keluar pintu kamar itu dan melarikan diri, berlindung pada kegelapan akhir malam.
Endang Patibroto hendak meloncat keluar, namun ia teringat akan keadaan-nya yang telanjang bulat. Cepat ia menyambar ke arah tempat pakaian, mengambil kain dan baju, dikenakannya dengan cepat sekali, namun betapa pun juga, sudah memberi banyak waktu kepada Raden Warutama.
Ketlka wanita saktl itu melompat keluar, datanglah berbondong anak buah Padepokan Wilis. Klranya pekik sakti Sardulo Bairowo tadi telah membuyarkan aji penyirepan dan mengagetkan serta membangunkan semua anak buah yang melakukan penjagaan. Mereka berlarian dan berada dalam keadaan panik karena memang belum pernah mereka mendengar pekik saktil ketua mereka yang sedemIkian hebatnya.
“Kejar...! Cari dia...! Tangkap atau bunuh Warutama...!”
“Slapa...? Dl mana...?” Anak buah Padepokan Wilis bingung sendiri.
“Tamu yang semalam berada di sini! Endang Patibroto membentak. “Cepat ke... jar, dia lari...!”
Ketika para anak buahnya berserabutan lari mencari, Endang Patibroto sendiri cepat-cepat lari menuju ke taman karena ia teringat akan puterinya.
Dengan beberapa lompatan saja ia sudah tiba di bawah pohon dan ia berdiri terpaku di situ ketika melihat pohon itu sudah kosong, Retna Wilis tidak ada lagi tergantung di cabang pohon.
“Anakku...!”
Endang Patibroto menjerit. Jerit tertahan dan ia benar-benar terkejut, gelisah, bingung dan berduka di samping kemarahannya yang makin berkobar. la maklum bahwa dirinya telah tertimpa malapetaka hebat, penghinaan luar biasa yang tiada taranya, ia telah dibuat pingsan oleh Raden Warutama atau Raden Sindupati musuh besar-nya itu, dan tahu pula bahwa ia telah diperkosa dalam keadaan pingsan.
Malapetaka ini hebat bukan main, akan tetapi lenyapnya Retna Wilis lebih hebat dan lebih berat lagi rasanya. Bagaikan seorang gila, Endang Patibroto lalu berlari-lari cepat sekali mencari-cari di seluruh puncak, lalu turun ke lereng-lereng, ke lembah-lembah. Anak buahnya hanya melihat ketua mereka itu berkelebatan amat cepatnya, juga di antara para tamu calon pengikut sayembara di kaki dan lereng bukit, ada yang melihat wanita sakti ini berkelebatan sampai siang keesokan harinya.
“Anakku...! Retna Wilis...!”
Endang Patibroto memanggil-manggil, mencari-cari, diseling caci makinya.
“Si keparat Sindupati! Kau tunggu saja, akan kulumatkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu!”
Dan akhirnya, beberapa anak buah Padepokan Wilis yang ikut mencari-cari tanpa aturan, menemukan ketua mereka itu menggeletak pingsan di pinggir jurang. Mereka terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lalu mengangkat tubuh ketua mereka itu, membawa pulang ke puncak dan merawatnya di dalam pondok.
“Lepaskan aku... Lepaskan...!”
Di sepanjang jalan Retna Wilis meronta-ronta terus, memaki-maki, setiap kali mendapat kesempatan tentu memukul, mencakar, menjambak, menggi-git. Akan tetapi semua itu sia-sia belaka. Ia berada dalam pondongan dua lengan Ki Kolohangkoro yang kuat dan tubuh raksasa itu memang kebal. Biar pun sejak kecil sudah digembleng hebat, tenaga seorang kanak-kanak berusia lima enam tahun saja tentu tidak berarti bagi Ki Kolohangkoro yang dapat menerima bacokan senjata tajam sambil tertawa enak.
Ki Kolohangkoro sambil tertawa-tawa memperlakukan Ratna Wilis sebagai sebutir buah delima yang membuatnya mengilar. Dibelainya, diciumnya kepala dan tengkuk anak itu, dijilati dan kalau tidak berkali-kali dilarang oleh Ni Devil Nilamanik, tentu sudah digigitnya leher Ratna Wilis, disedotnya darah anak itu sampai habis, diganyangnya daging yang lunak manis, dihisapnya sumsum dalam tulang muda yang segar!
Mereka berdua sudah berhasil menuruni Gunung Wilis, menjauhi kaki Wilis, bahkan pagi hari itu Raden Warutama sudah pula menyusul mereka, bertemu di tempat yang memang sudah mereka rundingkan sebelumnya.
“Ha-ha-ha, bagaimana, Raden? Berhasikah membunuh Endang Patibroto?” bertanya Ki Kolohangkoro begitu Raden Warutama muncul di dalam hutan di mana keduanya tadi duduk menanti. Retna Wilis yang mendengar pertanyaan ini menjadi pucat mukanya dan matanya yang bening terbelalak memandang laki-laki gagah yang baru muncul.
Raden Warutama menggeleng-geleng kepala dan alisnya berkerut. Ia sungguh merasa tidak puas kepada dirinya sendiri. Mengapa tldak langsung dibunuhnya saja Endang Patibroto selagi pingsan? Kalau ia melakukan hal itu, tentu sekarang Endang Patibroto sudah mati dan tidak akan khawatir dan pusing-pusing lagi. Akan tetapi ia begitu bodoh untuk memuaskan nafsunya dan setelah hal itu terlaksana, akhirnya ia tidak merasa puas juga, bahkan kecewa. Endang Patibroto berada dalam keadaan pingsan seperti orang mati, dan sekarang, karena ia menurutkan nafsu, ia gagal membunuh Endang Patibroto, bahkan menanamkan dendam dan kebencian luar biasa. Wanita itu telah mengenalnya pula. Mengingat ini, Raden Warutama bergidik dan diam-diam ia menggigil penuh kengerian. Akan tetapi, di depan kedua orang itu ia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya dan hanya berkata,
“Dia terlampau sakti untuk dapat dibunuh dengan mudah. Aku gagal, akan tetapi syukur, kalian berhasil. Kita harus menjadikan puterinya ini sebagai tanggungan agar dia tidak mencelakai kita.”
“Tadi dia ini sudah menjadi milikku, Raden! Darah dan dagingnya akan menyempurnakan Kolokroda yang kulatih.”
“Dan engkau akan mati tersayat-sayat oleh Endang Patibroto! Jangan bodoh, Ki Kolohangkoro. Dia amat sakti, sukar dilawan...”
Ni Dewi Nilamanik menyela.
“Tidak perlu diributkan hal ini. Kaupun harus bersabar dulu, Kolohangkoro. Yang terpenting adalah terlaksananya rencana kita terhadap Jenggala. Adapun bocah ini, biar kita minta pertimbangan sang wasi bagaimana baiknya karena hanya sang wasi yang akan mampu menandingi Endang Patibroto.”
Mereka melanjutkan perjalanan dan kini Retna Wilis yang sudah yakin bahwa tiga orang ini adalah musuh-musuh ibunya, menjadi makin keras berusaha untuk melepaskan diri.
“Lepaskan aku! Kalian orang-orang biadab! Kalian orang-orang tak tahu malu, pengecut laknat yang patut mampus seribu kali! Muka kalian begini tebal, beraninya hanya sama anak kecil! Kalau memang berani, hayo kembalikan aku kepada ibu dan hendak kulihat berapa jurus kalian bertiga ini sanggup bertahan sebelum mampus di tangan ibuku!”
“Hem m, bocah ini tajam lidahnya!” Raden Warutama mencela marah. “Nyalinya besar, dia tidak mengenal takut,” kata Ni Dewi Nilamanik.
“Dan darahnya tentu mempunyai kekuatan mujijat, tulangnya bersih... hah-ha-ha!” dengus Ki Kolohangkoro yang merasa kecewa mengapa ia belum diperkenankan melahap darah daging anak.
“Kalian orang-orang biadab! Lepaskan akul Lepaskan!” jerit Retna Wilis sambil meronta-ronta sehingga terpaksa Ki Kolohangkoro membungkam mulut yang kecil itu dengan telapak tangannya yang lebar.
Akan tetapi terlambat. Jerit Retna Wilis tadi sudah terdengar orang. Buktinya, terdengar orang berlari ke arah mereka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali. Pemuda ini pakaiannya amat indah akan tetapi sudah agak kotor, wajahnya berkulit kuning bersih, matanya menyorotkan ketajaman luar biasa, dan ia amatlah tampannya sehing ga Ni Dewi Nilamanik yang memandangnya sampai terpesona.
“Hemm, mengapa anak itu menjerit jerit? Kalian apakan dia?” pemuda itu menegur sambil memandang kepada Retna Wilis yang dibungkam mulutnya.
“Waaahh, bedes! Mau apa banyak tanya-tanya? Dia ini anakku, hayo lekas kau minggatl” bentak Ki Kolohangkoro sambil memelototkan matanya agar pemuda remaja itu menjadi takut.
“Bukan... dia bohong... aku bukan anaknya...” Retna Wilis sempat menjerit sebelum Ki Kolohangkoro mendekap mulutnya.
Pemuda itu segera melompat ke tengah jalan menghadang, sikapnya keren dan suaranya nyaring ketika ia berkata,
“Kisanak, aku tidak mengenal andika bertiga dan aku sama sekali tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Namun jelas bahwa anak ini kalian bawa di luar kehendaknya, maka kuharap andika bertiga suka menaruh kasihan kepadanya dan membebaskannya...!”
“Ehhh, kunyuk kecil benar cerewet engkau!”
Ki Kolohangkoro dengan marah lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kanannya, sedangkan lengan kiri tetap memondong Retno Wilis. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya Ketika pemuda yang dipandang rendah itu dengan gerakan indah sekali dapat mengelak dan tamparannya, bahkan dari samping, tangan pemuda itu menjangkau cepat sekali hendak merampas tubuh Retna Wilis!
“Aehhh, kau berani melawan?”
Ki Kolohangkoro sudah meloncat mundur, kemudian dengan beringas ia menerjang maju lagi, menggunakan lengan kanan dan kaki untuk menyerang bertubi-tubi. Gerakan tangan dan kaki raksasa ini menimbulkan angin saking kerasnya. Pemuda itu berseru kaget dan cepat-cepat mengelak karena ia tahu bahwa raksasa yang menculik anak itu benar-benar amat tangguh.
“Dewi, kaubunuh dia yang sudah mengetahui tentang penculikan,” kata Raden Warutama kepada Ni Dewi Nilamanik.
Wanita ini mengangguk, maklum bahwa memang pemuda tampan itu merupakan bahaya bagi mereka. Tubuhnya melayang ke depan dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan pemuda itu. Melihat majunya Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkorolalu mundur dan menyeringai lebar.
“Bocah bagus, sayang sekali ketampananmu, engkau harus melepaskah nyawa sekarang juga...”
kata wanita itu dengan suara merdu dan ramah, akan tetapi secepat kilat, tangan kirinya yang kecil dengan jari tangan terbuka sudah meluncur ke depan menempiling kepala pemuda Itu. Biar pun tangan kecil itu berkulit halus, namun kepala yang kena dItempiling tentu akan retak atau setidaknya akan berantakan isinya.
Pemuda itu kini melihat munculnya wanita cantik yang gerakannya aneh, tidak berani memandang ringan, lalu mengangkat tangan kanan menangkis. Lengannya bertemu dengan lengan kecil yang lunak, akan tetapi aklbatnya, tubuhnya terpental ke belakang. Pemuda itu terbelalak kaget, merasa betapa lengan kanannya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum, dan rasa ngilu sampai menusuk di bahu kanan. Adapun Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum manis namun senyum yang membayangkan maut, sudah melangkah maju, kebutan merah menggetar di tangannya!
“Matilah dengan tenang, bocah bagus...!” kata Ni Dewi Nilamanik, kebutannya bergerak ke atas mengeluarkan bunyi ledakan nyaring.
Tiba-tiba terdengar Ki Kolohangkoro berteriak kaget dan marah, “Heiii...! Kembalikan anak itu...!”
Pada detik berikutnya terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik karena kebutannya yang ia hantam kan ke arah pemuda itu tiba-tiba terlepas dari pegangannya dan sudah berpindah ke tangan seorang -kakek tua yang ternyata telah memondong Retna Wilis yang sudah dirampasnya tadi dari tangan Ki Kolohangkoro!
Raden Warutama tadi menyaksikan betapa bayangan hitam menyambar-nyambar disusul teriakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik, kemudian melihat betapa secara aneh sekali puteri Endang Patibroto telah dirampasnya, bahkan sekaligus kakek itu menyelamatkan si pemuda dan merampas kebutan merah dari tangan Ni Dewi Nilamanik. Bukan main hebatnya gerakan itu sampai ia melongo keheranan melihat kakek itu. Juga Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro terbelalak memandang.
Kakek itu sama sekali tidak kelihatan aneh, bahkan biasa saja, terlalu biasa tidak menimbulkan kesan. Seorang kakek sederhana yang tubuhnya kecil kate, rambutnya masih hitam tidak terawat baik, pakaiannya serba hitam. Pantasnya dia seorang petani miskin. Namun pandang matanya lembut dan mengandung sesuatu yang jarang terdapat pada orang lain.
“Kembalikan anak itu!”
Ki Kolohangkoro dengan marah menubruk maju. Kakek itu tidak bergerak dari tempatnya, hanya memandang tajam dan mendorongkan tangan kirinya ke depan, sedangkan lengan kanan memondong tubuh Retna Wilis. Tiba-tiba saja tubuh Ki Kolohangkoro terhenti di tengah jalan lalu terpelanting roboh. Ia menggereng, bangkit dan menubruk lagi, akan tetapi kembali terbanting sebelum dapat menyentuh kakek itu. Makin keras ia menubruk, makin keras pula ia terbanting sehingga akhirnya ia duduk terlongong dengan kepala pening dan mata juling!
“Eh, si keparat. Siapakah andika seorang tua yang lancang tangan mencampuri urusan orang lain?” bentak NI Dewi Nilamanik sambil melangkah maju, namun ia masih ragu-ragu untuk menyerang, melihat betapa pukulan jarak jauh kakek itu tadi amat kuatnya.
“Wah, mulutmu memang tajam, Nilamanik!”
Tiba-tiba Retna Wilis yang berada dalam pondongan kakek Itu berkata. Bocah ini tadi ketika berada dalam tawanan saja sudah memperlihatkan sikap berani menentang, apa lagi sekarang setelah mendapat pertolongan seorang kakek sakti.
“Sudah jelas kalian bertiga yang menculik aku dan Eyang guru ini menolongku, berani bilang beliau lancang tangan? Tidak tahukah kau bahwa beliau ini calon guruku? Eyang guru, harap sikat saja mereka ini. Mereka ini orang-orang jahat! Siluman betina inl namanya Ni Dewi Nilamanik, itu yang seperti Buto Terung itu namanya Ki Kolohangkoro, dan yang satunya lagi, tampan tetapi palsu adalah Warutama.”
Retno Wilis mengerti akan nama-nama mereka ketika mendengarkan percakapan mereka di sepanjang jalan.
“Kalau ada ibuku, tentu mereka ini sudah dibunuh semua. Dasar pengecut, beraninya hanya kepada anak kecil, kalau menghadapi ibuku, ketua Padepokan Wilis, belum apa-apa tentu sudah menggigil!”
“Puja-puji untuk para dewata!” kakek itu berkata lirih, suaranya halus dan tenang. “Jadi engkau ini puteri Endang Patibroto ketua Padepokan Wilis?”
“Benar, Eyang Guru. Namaku adalah Retna Wilis. Harap kau suka mengajarku ilmu pukulan seperti tadi agar aku dapat merobohkan siluman-siluman tengik ini.”
Kakek ini mengangguk-angguk.
“Sebagai pengikut-pengikut Wasi Bagaspati, tentu saja mereka suka menggunakan siasat kotor. Engkau ingin mengalahkan mereka? Kalau engkau kusuruh, maukah melawan mereka?”
Retno Wilis melorot dari pondongan kakek itu. “Eyang telah menjadi Guruku, segala perintah Eyang tentu akan ku-taati. Haruskah aku menyerang mereka?”
Kembali kakek itu mengangguk-angguk.
“Perbuatan sesat memang perlu dihukum, itu baru adil namanya. Mereka telah menculikmu, membikin engkau seorang anak kecil mengalami kesengsaraan. Hukumlah mereka, perguna kan cambuk ini.”
Kakek itu menyerahkan cambuk merah, atau kebutan, yang dirampasnya dari tangan Ni Dewi Nilamanik tadi.
Retna Wilis dengan sikap gagah dan tabah melangkah maju, kebutan merah dipegang gagangnya dengan erat di tangan kanan. Ia menghampiri Ki Kolohangkoro dengan pandang penuh kebencian dan kemarahan. Raksasa itu memandang terbelalak, akan tetapi juga girang karena kini ia mendapat kesempatan untuk menangkap lagi bocah ini. Ia akan menyambarnya dan membawanya lari sebelum kakek sakti yang aneh itu dapat merampasnya kembali.
“Retna Wilis, seranglah dia, hajar dia!” terdengar kakek itu berseru.
Retna Wilis dengan hati tabah lalu menerjang maju, menghantamkan kebutanitu ke arah paha Ki Kolohangkoro. Si Raksasa tertawa bergelak, tidak mempedulikan pukulan kebutan, bahkan la lalu menubruk maju hendak mencengkeram dan menyambar tubuh Retna Wilis.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget-nya ketika tiba-tiba tangan dan kakinya tidak dapat ia gerakkan lagi, atau tertahan oleh sesuatu sehingga terhenti di tengah jalan.
“Tar-tar!”
Cambuk itu menghajar pahanya, biar pun tidak begitu sakit akan tetapi karena tenaga Retna Wilis memang sudah terlatih, celananya robek di bagian paha, Retna Wilis terus mencambuki, dan tiap kali Ki Kolohangkoro hendak bergerak memukul atau menangkis maupun mengelak, gerakannya selalu terhalang sehingga tidak ada cambuk Retna Wilis yang tidak mengenai sasaran!
Menyaksikan hasil baik ini, Retna Wilis gembira sekali. la tertawa-tawa dan mengamuk makin hebat, kini ia menerjang Ni Dewi Nilamanik.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar