PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-44


Retna Wilis tidak berhenti sampai di situ saja. Ia kini menyerang Raden Warutama yang mengalami nasib sial seperti kedua orang kawannya. Seperti seorang anak kecil yang mendapat mainan baru, Retna Wilis meloncat-loncat dan mencambuki tiga orang itu berganti-ganti sampai pakaian mereka compang-camping semua.
Akan tetapi karena tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kekebalan, akhirnya tangan anak itu sendiri yang menjadi lelah sehingga tanpa disuruh Retna Wilis berhenti sendiri dengan tubuh berkeringat!
“Cukup, Retna Wilis. Kembalikan, kebutan itu kepada pemiliknya!” kata kakek sakti itu.
Retna Wilis melemparkan kebutan ke arah Ni Dewi Nilamanik yang menerimanya dengan muka merah sekali. Ki Kolohangkoro menggereng-gereng saking marahnya namun iapun tidak berani sembarangan bergerak. Hanya Raden Warutama yang diam saja, mukanya agak pucat; kemudian ia menjura ke arah kakek itu sambil bertanya,
“Kami bertiga yang bodoh telah menerima petunjuk Paman. Setelah Paman tahu akan nama dan keadaan kami, sudah sepatutnya kalau Paman memberitahukan pula nama Paman kepada kami.”
“Orang memanggil aku Ki Datujiwa,” jawab kakek kecil Itu sederhana.
“Dan aku Sigit,” kata pangeran muda Panji Sigit dengan sederhana pula karena Ia tidak ingin dikenal orang sebagai Pangeran Jenggala.
Tiga orang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi lalu meninggalkan tempat itu dengan pakaian compang-camping, kepala tunduk dan hati tidak karuan rasanya. Mereka kehilangan tawanan, kehilangan muka dan terancam bahaya pembalasan dendam Endang Patibroto.
Di dalam hati mereka, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro merasa heran mengapa seringkali bertemu orang-orang pandai. Berbeda dengan mereka, Raden Warutama menganggap pengalaman pahit ini sebagai pelajaran yang membuatnya semakin hati-hati dan waspada.
Memang, Raden Warutama bukan orang sembarangan. Seperti telah dikenal oleh Endang Patibroto, dia adalah Raden Sindupati, bekas kawula Jenggala yang melarikan diri ke Blambangan dan menjadi perwira Blambangan. Kemudian, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, Raden Sindupati meninggalkan Blambangan yang dihancurkan oleh pasukan-pasukan Panjalu dan Jenggala di bawah pimpinan Pangeran Darmokusumo dan Endang Patibroto. Raden Sindupati melarikan diri ke Bali-dwipa, di mana ia merantau dan selama lima tahun berguru kepada beberapa orang sakti sehingga memperoleh kepandaian tinggi.
Kemudian ia kembali ke Jawa-dwipa, merubah bentuk kumis jenggotnya, juga melukai sendiri bawah dagunya sehingga wajahnya berubah dan tidak mudah dikenal sebagai Raden Sindupati. Untuk penyamaran ini ia menggunakan nama Raden Warutama.
Setelah tiga orang yang dipermainkan Ki Datujiwa itu tak tampak lagi bayangannya, Pangeran Panji Sigit tertawa.
Ia berjongkok dan merangkul Retna Wilis, mengusap rambut anak itu dan berkata,
“Duhai, betapa bangga hatiku mempunyal seorang keponakan seperti engkau, Retna Wilis! Engkau pemberani seperti ibumu. Sungguh pantas menjadi puterl ayunda Endang Patibroto.”
Retna Wilis memandang pangeran itu penuh perhatian. Dia tidak mengenalnya, karena ketika Pangeran Panji Sigit menjadi tawanan ibunya, ia tidak sempat melihatnya. Hatinya senang melihat pemuda yang tampan dan gagah ini, apa lagi yang tadi telah menolongnya.
“Namamu tadi Sigit? Engkau telah mengenal ibuku?”
“Tentu saja aku mengenal ibumu, anak manis. Ibumu adalah kakak iparku sendiri. Aku Pangeran Panji Sigit...”
“Aihh...! Yang kabarnya tertawan oleh Bibi Setyaningsih? Pangeran Jenggala yang hampir dibunuh dan dibela Bibi Setyaningsih itu? Wah, kenapa ibu hendak membunuhmu?
“Engkau tampan dan gagah, baik hati pula. Engkau tentu akan ikut memasuki sayembara, bukan? Paman Pangeran, aku akan gembira sekali kalau kau dapat menjadi suami Bibi Setyaningsih!”
“Tidak akan semudah itu, Retna Wilis...“ kata Ki Datujiwa sambil tersenyum.
“Mengalahkan ibumu dalam pertandingan tidak mudah.”
“Aku akan membantu! Aku akan membujuk Bibi Setyaningsih agar mengalah terhadap Paman Pangeran Panji Sigit, dan membujuk ibu agar mengalah terhadap Eyang. Akan tetapi ada syaratnyal”
“Apa syaratnya, Cah-ayu?”
“Kelak Paman harus menemani aku puncak Wilis bersama Bibi Setyaningsih, sampai lima tahun, dan Eyang harus mengajar ilmu pukulan yang hebat tadi kepadaku!”
Pangeran Panji Sigit berpikir-plkir, Memang ia tidak mempunyai keinginan untuk tergesa-gesa pulang ke Jenggala, karena hal ini hanya akan menimbulkan hal-hal tidak enak baginya. Selama ramandanya berada di bawah kekuasaan Suminten, ia tidak mau pulang dan lebih baik tinggal di puncak Wilis! Maka tanpa ragu-ragu lagi ia mengangguk, “Baik, aku berjanji memenuhi permintaanmu, Retna.”
Juga Ki Datujiwa mengangguk-angguk. “Apa yang kumiliki belum cukup untuk mengisi dirimu yang memiliki bakat jauh lebih besar, Angger. Akan tetapi sebagai dasar, bolehlah.”

Retna Wilis berseru girang lalu berlari-lari naik gunung sambil berteriak,

“Aku akan cepat menemui ibu dan bibi”
Ki Datujiwa dan pangeran muda itu saling pandang sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti larinya Retna Wilis, melindunginya dari jauh karena Ki Datujiwa menasehati sang pangeran,
“Lebih baik kita jangan menonjolkan tentang pertolongan atas diri Retna Wilis karena kalau sampai hal itu membuat Endang Patibroto terpaksa mengalah, hal itu akan menyinggung dan mencemarkan nama besarnya sebagai seorang pimpinan Padepokan Wilis. Kalau dia mengalah, biarlah hal itu terjadi atas kehendaknya sendiri, bukan karena kehadiran kita sebagal penolong puterinya.”
Pangeran Panji Siglt biar pun masih muda, namun ia memiliki pandangan luas sehingga ia dapat menangkap maksud nasehat Ki Datujiwa yang sesungguhnya hanya ingin menjaga muka terang Endang Patibroto.
Karena itu, mereka berdua hanya mengikuti Retna Wilis dari jauh sampai anak itu bertemu dengan para anak buah Padepokan Wilis dan beramai-ramai puteri yang hilang itu diiringkan naik ke puncak di mana Endang Patibroto dan Setyaningsih menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kelegaan hati.
Dengan penuh semangat Retna Wilis lalu bercerita kepada ibunya dan bibinya' tentang pengalamannya diculik tiga orang musuh itu, kemudian ia menceritakan pula betapa dirinya ditolong oleh Pangeran Panji Sigit dam seorang kakek yang bernama Ki Datujiwa.
“Ki Datujiwa...?” Endang Patibroto mengerutkan kening dan mengingat-ingat akan tetapi merasa tidak pernah mendengar nama ini.
“Dia hebat, Ibu! Dan aku sudah diangkat menjadi muridnya!”
“Apa...?”
“Benar! Bahkan dengan pertolongannya, aku telah berhasil merangket mereka, hi-hi-hik! Warutama, Nilamanik, dan Kolohangkoro kuhajar dengan kebutan milik Nilamanik sampai tubuh mereka matang biru dan pakaian mereka compang-camping!”
Anak itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri menceritakan “pertempurannya” melawan tiga orang sakti itu. Endang Patibroto mendengarkan dengan kening berkerut.
Menurut cerita anaknya, jelas bahwa kakek yang bernama Ki Datujiwa itu seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi hatinya tidak puas. Mengapa kakek itu begitu lancang mengangkat murid puterinya? Tanpa minta persetujuannya, hal itu sama dengan memandang rendah kepadanya! Diganggu pikiran ini, ia tidak mendengarkan lagi cerita anaknya dan baru sadar ketika anaknya berkata sambil menarik-narlk tangannya,
“Karena itu, dalam pertandingan sayembara nanti, lbu harus mengalah kepada Eyang Guru! Dan bibi Setyaningsih harus mengalah terhadap paman pangeran. Dia tampan, ganteng sekaIi seperti Sang Harjuna dan gagah perkasa, Bibi!”
Wajah Setyaningsih tiba-tiba menjadi merah sekali sampai ke lehernya, kepalanya menunduk dan ia tidak berani menentang pandang mata ayundanya. Ada-pun Endang Patibroto diam saja, hanya hatinya tidak puas. Sungguh keras dan aneh watak Endang Patibroto. Tadinya ia bersyukur dan berterima kasih, akan tetapi begitu puterinya menyatakan bahwa Ki Datujiwa mengangkat Retna Wilis sebagai murid, timbul amarah dan ketidaksenangan hatinya…..
********************
Pagi-pagi sekali para calon pengikut sayembara sudah berbondong-bondong mendaki puncak Wilis, didahulul oleh serombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin sendiri oleh LimanWilis sebagai penyambut para tamu. Lebih dari dua puluh orang calon pengikut sayembara diiringkan wali masing-masing yang terdiri darI guru, ayah sendirl, atau jagoan undangan mereka.
Mereka mendaki puncak dengan wajah serius dan hati berdebar-debar karena sedikit banyak nama Padepokan Wilis, terutama sekali nama Endang Patibroto sudah membuat hati mereka gentar. Di antara banyak pengikut ini tampak Pangeran Panji Sigit dan Ki Datujiwa yang berjalan paling belakang.
Di tengah lapangan di atas puncak, tempat para anak buah Padepokan Wilis biasanya berlatih ulah yuda, telah dibangun sebuah panggung yang luasnya ada lima meter persegi, terbuat dari pada balok-balok dan papan tebal. Panggung inilah yang akan menjadi arena pertandingan dengan ketentuan bahwa slapa yang dipaksa turun panggung, berarti kalah. Hal ini sengaja diadakan untuk mencegah atau mengurangi kekalahan yang mendatangkan maut, karena yang sudah terguling, tidak akan diserang lagi dan sudah dianggap kalah.
Endang Patibroto, Setyaningslh, dan Retna Wilis sudah duduk di kursi dekat panggung.
Semua mata tentu saja ditujukan ke arah mereka.
Orang-orang muda yang menjadi calon pengikut, memandang ke arah Setyaningsih dan banyak di antara mereka yang menahan napas menelan ludah sendiri. Dara remaja itu demikian cantik jelita, sehingga bangkitlah semangat mereka untuk mencoba-coba, siapa tahu akan “kejatuhan bulan”! Andai kata kalah atau terluka berat sampai mati sekallpun, mereka tidak akan penasaran memperebutkan seorang dara seperti dewi kahyangan Itu. Setyaningsih hanya menyapu mereka dengan pandang mata kosong, akan tetapi pipi dara inl mendadak menjadi merah dan matanya berserl ' gembira bercampur malu-malu dan segera mehundukkan muka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Pangeran Panji Sigit!
Adapun para wall yang datang hendak membela murid, putera, atau pengundang mereka ini, memandang ke arah Endang Patibroto dengan pandang mata kagum bercampur sangsi dan khawatir.
Baru melihat saja orang sudah dapat menduga bahwa Endang Patibroto adalah seorang wanita yang saktl mandraguna, pandang matanya tajam dan dingin mengerikan, seluruh pembawaannya membayangkan tenaga mujijat yang menyeramkan. Seorang lawan yang amat berat, demikian rata-rata di pikiran para wali yang terdiri dari pada orang-orang tua yang digdaya Itu.
Tentu saja para orang muda yang hadlr juga memandang ke arah Endang Patibroto dengan jerih dan kagum. Kagum menyaksikan betapa wanita saktl yang amat terkenal itu ternyata masih cantik jelita, bagaikan buah sudah masak di samping Setyaningsih yang bagaikan sebutir buah yang ranum matang ati. Dan jerih karena sesungguhnya dalam sayembara tanding ini, Endang Patibroto-lah yang menentukan kesudahannya. Biar pun di antara mereka ada yang sanggup mengalahkan Setyaningsih, namun kalau walinya tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, berarti gagal juga.
Setelah hening sejenak, Limanwilis melompat naik ke atas panggung. Lompatannya ringan, karena tiga orang kakak beradik Wilis itu telah digembleng aji meringankan tubuh Bayu Tantra oleh Endang Patibroto. Melihat gaya lompatan pembantu ketua Padepokan Wilis ini saja, banyak sudah yang memuji dan menjadi gentar. Lompatan orang tinggi besar itu sedemikian ringannya seolah-olah lompatan seekor kucing, dan ketika kedua telapak kakinya menginjak papan panggung, sedikitpun tidak mengeluarkan suara, juga tidak menggetarkan panggung.
Limanwilis mewakili ketuanya menyampaikan selamat datang kepada semua peserta, kemudian menjelaskan peraturan sayembara, dinyatakan bahwa maksud sayembara ialah memilih seorang calon jodoh untuk Setyaningsih, adik kandung ketua Padepokan Wilis dan bahwa di dalam sayembara ini tidak ada tentang permusuhan, baik pribadi maupun golongan sehingga pertandingan diatur dengan panggung agar mengurangi kemungkinan tewas.
Hal ini diharapkan pengertian para peserta sehIngga sifat sayembara hanya “menguji kepandaian” dan bukanlah pertempuran untuk membunuh atau melukai lawan. Kemudian ia menutup sambutannya dengan peraturan terakhir,
“Siapa saja yang berniat memasuki sayembara, dipersilakan naik ke panggung secara bergilir. Adapun ketua kami yang akan menentukan apakah peserta yang boleh bertanding lebih dahulu ataukah walinya.”
Kemudian Limanwilis kembali mempersilakan peserta pertama naik ke panggung. Lalu iapun melompat turun dan kembali ke tempatnya, yaitu rombongan anak buah Padepokan Wilis yang berbaris rapi dan angker.
Karena sebagian besar para peserta mengambil sikap “sip”, mereka itu hanya menanti dan “melihat-lihat gelagat” maka sampai lama tidak ada juga yang naik ke panggung! Keadaan sunyi hening dan menggelisahkan. Akhirnya terdengar suara kecil nyaring,
“Apakah yang datang para pingecut? Kalau tidak berani bertanding, untuk apa mengikuti sayembara dan mau apa datang ke sini?”
Semua orang menengok dan memandang ke arah Retna Wilis yang mengeluarkan ucapan itu.
Merahlah muka semua orang, termasuk Endang Patibroto yang tidak keburu mencegah puterinya. Di dalam hatinya ia merasa cemas. Puterinya ini benar-benar amat tajam mulutnya, dan mempunyai pandangan seperti seorang dewasa saja.
Tiba-tiba tampak bayangan melompat ke atas panggung. Dia seorang pemuda tampan dan setelah menghadap ke arah Endang Patibroto, ia berkata,
“Saya Pranolo dari Ponorogo mengambil kehormatan untuk menjadi peserta pertama!”
Tepuk sorak gemuruh menyambut naiknya pemuda ini. Orang bukan kagum akan gerakannya melompat yang tak dapat dikatakan gesit, masih kalah oleh Limanwilis tadi, melainkan memuji ketabahannya naik sebagai orang pertama.
Sekilas pandang Endang Patibroto merasa suka kepada pemuda ini yang cukup tampan. Dia teringat bahwa daerah Ponorogo memiliki banyak orang sakti. Akan tetapi melihat gerakan pemuda ini ketika melompat tadi, jelas bahwa ilmunya meringankan tubuh kurang tinggi. Betapa pun juga, masih timbul harapan di hatinya. Siapa tahu kalau-kalau hanya ilmu meringankan tubuhnya saja yang lemah sedangkan ilmu lainnya kuat.
Maka ia memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Setyaningsih yang bangkit dengan tenang, melangkah maju dan sekali mengayun tubuh, tubuhnya yang langsing dan berkulit kuning itu melayang seperti seekor burung terbang, hinggap di atas panggung di depan Pranolo.
Tepuk tangan makin riuh dan semua orang kini benar-benar kagum, baik atas gaya loncatan indah itu maupun untuk kejelitaan yang kini nampak nyata setelah dara itu berada di atas panggung. Setyaningsih mengikat rambutnya ke belakang, ujung rambut terurai seperti ekor kuda, di atas terhias cunduk emas permata.
Bajunya berlengan pendek, berkembang dan berwarna merah. Kembennya berwarna kuning kehijauan, sedangkan kainnya berwarna biru, tepinya agak tinggi sehingga tampaklah betis memadi bunting dan mata kaki yang merit, tungkak yang berwarna jambon. Kulit lengan dan betis itu bersih halus, kuning kemerahan amat menggairahkan hati para peserta sayembara. Dengan sikap tenang Setyaningsih berdiri di depan Pranolo.
Pranolo sejenak seperti terpesona, tak tahu harus berbuat atau berkata apa melainkan memandang dara yang berada di depannya. Tercium olehnya keharuman yang tipis dan pemuda ini menelan ludah. Kebimbangan dan kebingungan Pranolo, sampai cara ia menelan ludah jelas tampak oleh semua orang sehingga mulailah terdengar kekeh tawa yang membuat pemuda itu makin gagap-gugup lagi. Dari bawah panggung terdengar seorang kakek berkata,
“Pranolo, lawan telah slap, engkau tnenanti apa lagi?”
“Ohh... baiklah, Eyang, baik...!”
Pranolo menjawab gagap lalu melangkah maju mendekati Setyaningsih dan berkata,
“Maafkan... maafkan keberanianku...”
Setyaningsih hanya mengangguk, diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda yang canggung ini. Pranolo lalu menerjang maju, serangannyapun bukan serangan pukulan atau tendangan, melainkan serangan untuk menangkap lengan dara itu, agaknya ia pikir kalau dapat menangkap lengan Setaningsih dan mendorongnya turun panggung, ia tentu akan menang.
Gerakannya cukup sebat dan mantap, namun dalam hal kepandaian ia jauh kalah oleh Setyaningsih. Gadis ini-pun tidak suka mempermainkan orang. Begitu ia mengelak beberapa kali dari pada sambaran tangan lawan yang hendak menangkap lengannya, cepat dari samping ia menendang ke arah belakang lutut kanan Pranolo. Pemuda itu berseru kaget karena kakinya tiba-tiba melengkung dan ia hampir roboh.
Tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Setyaningsih dan sekali dara ini mengayun, tubuh Pranolo melayang terlempar turun panggung Akan tetapi pemuda itu tidak terbanting keras, melainkan melayang turun dengan kaki di bawah sehingga ketika ia mendarat, ia hanya terhuyung saja dan mengalami kaget.
Tepuk tangan gemuruh menyambut kemenangan pertama ini. Mereka yang ilmunya tinggi, termasuk Endang Patibroto, tentu saja mengerti bahwa Setyaningsih menaruh kasihan kepada lawannya, kalau tidak tentu lemparan ke bawah panggung itu setidaknya akan membuat kulit lecet kepala benjut. Endang Patibroto kecewa.
Kalau macam itu saja pemuda-pemuda yang hadir, tidak ada harapan bagi Setyaningsih untuk mendapatkan jodoh yang patut. la teringat akan Pangeran Panji Sigit dan mengerling ke arah pemuda itu. Ia melihat seorang kakek berpakaian sederhana, bertubuh kecil berdiri di dekat Panji Sigit dan menduga bahwa tentu itulah yang bernama Ki Datujiwa. Sinar mata orang itu hebat, pikir Endang Patibroto, akan tetapi hatinya panas kembali kalau terIngat betapa orang itu langsung mengangkat Retna Wilis sebagai murid.
Pula, sungguh pun harus ia akui bahwa Pangeran Panji Sigit mempunyai banyak persamaan dengan mendiang suaminya, Pangeran Panjirawit, wajahnya mirip dan sikapnya juga sama halusnya, akan tetapi di sudut hati Endang Patibroto sudah menaruh rasa tidak suka kepada Jenggala sehingga kalau mungkin, lebih senang kalau ia melihat adik kandungnya mendapatkan jodoh lain orang.
Kekalahan Pranolo itu diam-diam telah mengundurkan enam orang peserta lainnya, yaitu mereka yang merasa masih belum dapat menandingi Pranolo, apa lagi harus melawan Setyaningsih. Betapa pun hati mereka gandrung wuyung, tergila-gila menyaksikan dara remaja yang jelita dan tangkas itu, namun merekapun merasa segan untuk mendapat malu seperti Pranolo, baru bertanding dalam beberapa jurus saja sudah keok!
Berturut-turut maju lagi dua orang pemuda yang masih muda dan cukup tampan. Melihat sikap mereka itu pun sopan seperti Pranolo, Setyaningsih maju melawan mereka dan mengalahkan mereka dalam waktu singkat saja, melemparkan mereka turun dari panggung!
Kembali kekalahan dua orang pemuda yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari Pranolo itu membuat banyak pemuda lainnya diam-diam membatalkan niatnya mencoba-coba.
Kiranya Setyaningslh benar-benar hebat sekali dan mereka menjadi ngeri sendilri memikirkan betapa mereka akan dilempar atau dibanting oleh tangan halus itu.
Maka setelah Setyaningsih melompat turun dan duduk kembali dekat Endang Patibroto sehabis mengalahkan orang ke tiga, dan ketika Limanwilis mempersilakan peserta berikutnya naik panggung, tidak ada seorang-pun pemuda berani naik dan mereka itu hanya saling pandang dan saling menanti saja. Memang masih banyak di antara mereka yang memiliki ilmu kepandaIan tinggi, akan tetapi mereka yang menyaksikan ketangkasan Setyaningsih menjadi ragu-ragu apakah mereka akan dapat menandingi dara perkasa itu.
Setelah keadaan mulai menegang karena tidak ada yang menyambut desakan Limanwilis, tiba-tiba terdengar suara terbahak dan sesosok bayangan tiInggi besar meloncat naik ke atas panggung. Terdengar suara berdebukan ketika kedua kaki laki-laki tinggi besar ini tiba di papan panggung, dan panggung itu sendiri tergetar!
Diam-diam Endang Patibroto tertarik dan kaget. Pria itu tentu, lebih dari tiga puluh tahun usianya, tubuhnya tinggi tegap dan kokoh kuat seperti kebanyakan anak buah Padepokan Wilis. Mukanya cukup gagah, dengan kumis melintang dan dagu tertutup jenggot tipis. Ikat kepalanya berkembang merah, sabuknya putih dan mengkilap, agaknya dari perak, kainnya berdasar merah dan celananya putih. Begitu tiba di atas panggung, pria itu menghormat ke arah Endang Patibroto dan berkata, suaranya keras sekali,
“Namaku Joko Bono, di pesisir selatan orang menyebutku si Lengan Baja. Terus terang saja, aku kagum menyaksikan kedigdayaan sang dyah ayu sehingga ragu-ragu untuk menandingi nya. Apa lagi mendengar nama ketua Padepokan Wilis, sungguh sampai mati saya tIdak akan berani lancang melawannya. Akan tetapi, aku hidup seorang diri di dunia ini, tidak ada wali. Karena ingin menguji ilmu, aku memaksa diri naik, walinyapun aku sendiri. Terserah apakah Padepokan Wilis sudi memperkenankan aku ikut atau tidak.”
Semua orang memandang penuh perhatian dan hati mereka merasa tertarik. Biar pun sebagian besar di antara mereka baru sekali ini bertemu dengan pria tinggi besar itu, namun nama Si Lengan Baja Joko Bono telah terkenal sekali sebagai seorang jagoan di pesisir selatan. Terkenal karena lengan dan tangannya yang kuat sekali, dan wataknya yang jujur, terbuka dan penuh keberanian. Dari ucapannya di atas panggung tadipun terbayanglah sifatnya yang terbuka sehingga Endang Patibroto merasa suka.
Setelah bertukar pandang dengan Setyaningsih, ia berbisik lirih, “Lawanlah, akan tetapi hati-hati, kedua lengannya amat kuat dan jangan mengadu tenaga dengan dia. Pergunakanlah kecepatan, tundukkan dengan Pethit Nogo sebelum mendorong dia ke bawah.”
Setyaningsih mengangguk lalu bangkit dan melompat ke atas panggung. Semua orang berdebar tegang. Tadinya, karena ucapan Bono, mereka mengira bahwa sekali ini tentulah Endang Patibroto sendiri yang naik panggung karena bukankah Joko Bono itu tidak mempunyai wali? Endang Patibroto berhak untuk menghadapinya.
Akan tetapi, siapa menduga, ternyata Setyaningsih sendiri yang maju! Tentu saja mereka menjadi berkhawatir sekali dan berdesakanlah mereka, maju mendekati panggung agar dapat menonton lebih jelas.
“Ha-ha-ha! Sungguh Padepokan Wilis menaruh kasihan kepadaku, membiarkan sang dyah ayu melawanku. Marilah, Nimas Ayu, biar terbuka mata Bono menyaksikan aji-aji kesaktian Padepokan Wilis!”
Setyaningsih sudah mengenal watak calon lawannya yang terbuka dan jujur, maka iapun tersenyum dan menjawab, “Aku sudah siap. Majulah, Joko Bono.”
“Bagus! Awas seranganku... hyeew eeetttt...!”
Dengan gerakan cepat seperti seekor harimau menubruk anak kambing, Bono menerjang maju, lengan kanan yang besar itu menyerang dengan kepalan memukul ke arah pundak Setyaningsih. Cepat dan keras sekali, mendatangkan angin yang sudah terasa oleh dara itu sebelum kepalannya tiba.
Namun Setyaningsih dengan kecekatan mengagumkan sudah miringkan tubuh dan jari-jari tangannya yang terbuka dan diisi dengan Aji Pethit Nogo menyambar dari samping, mengantam lambung.
“Wuuut... plakk...!”
Bono dapat menangkis tamparan itu dengan lengan kirinya yang seperti juga lengan kanannya, terlindung lingkaran besi kuningan.
Setyaningsih memang tadi sengaja membiarkan tamparannya tertangkis karena biar pun ia sudah diberi peringatan oleh ayundanya, ia masih belum puas kalau tidak mencoba sendiri. Ternyata tamparan Pethit Nogo itu dapat ditangkis dan. telapak tangannya terasa panas, tanda bahwa lengan lawan memang benar amat kuat, sesuai dengan julukannya Si Lengan Baja! Sebaliknya, Joko Bono juga merasa betapa kulit lengannya pedas ketika bertemu dengan tamparan jari-jari tangan lunak kecil itu.
Diam-diam ia kaget dan kagum. Tahulah raksasa muda ini betapa sang ayu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Maka la kembali berseru keras dan tubuhnya bergerak-gerak maju, kadang-kadang berputar seperti sebuah kitiran angin, kedua lengannya diputar sedemikian rupa merupakan baling-baling yang dengan gencar bergantian menyambar ke arah tubuh Setyaningslh dengan pukulan, dorongan, tamparan atau cengkeraman.
Dahsyat sekali serangannya ini dan para penonton menahan napas. Bahkan Endang Patibroto sendiri bersama Retna Wilis tak terasa lagi maju mendekati panggung saking tegang dan tertariknya. Pertandingan sekali ini baru ada harganya untuk ditonton.
Setyanirgsih kelihatannya didesak terus. Namun sesungguhnya dara remaja itu menguasai keadaan karena betapa pun cepat gerakan Joko Bono, dara ini memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga setiap pukulan kepalan tangan besar itu dapat ia lihat dengan nyata dan dapat ia elakkan.
Tubuhnya berkelebat ke kanan kadang-kadang meloncat ke atas, kadang-kadang menyelinap ke bawah, kadang-kadang dengan jari-jari tangan terbuka ia menyampok lengan lawan dari samping. Pethit Nogo adalah aji pukulan yang mengandalkan jari-jari terbuka, dengan meminjam tenaga lawan dapat menyampok ke samping dan apa bila dipergunakan untuk menyerang, maka jari-jari tangan itu mengandung tenaga mujljat yang amat ampuhnya.
Penonton mulai bersorak-sorak. Pertandingan ini benar-benar menarik. Setelah sekarang Setyaningsih mempergunakan Aji Bayu Tantra untuk bergerak mengelak dan menyelinap, baru jelas tampak oleh mereka betapa gerakan kedua orang itu amat jauh bedanya.
Tubuh Joko, Bono yang tadi bergerak cepat, kini di samping gerakan dara itu kelihatan seperti gerakan seekor badak yang kuat namun lamban sekali, sebaliknya dara itu bergerak cepat dan ringan seperti seekor kijang. Semua pukulan Joko Bono jauh meleset dari pada sasarannya.
Ada seperempat jam Joko Bono mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak lawan. Kadang-kadang ia memang dapat mendesak Setyaningsih ke sudut panggung dan dengan penuh nafsu ia hendak mendesak terus agar dara itu terpaksa melompat turun dan dengan demikian ia akan dinyatakan menang.
Namun setiap kali, dara yang lincah itu dapat menyelinap melalui bawah kedua lengannya atau melalui atas pundaknya dengan melompat tinggi dan tahu-tahu telah berada di tengah panggung lagi sehingga ia harus membalikkan tubuh dan mulai dengan serangan baru lagi. Beberapa kali sambil mengelak, Setyaningsih membalas dengan tamparan Aji Pethit Nogo secara tiba-tiba dan tak terduga.
Memang ada beberapa kali Joko Bonokena diserempet tamparan, akan tetapi karena tidak tepat dan pukulannya dilakukan sambil mengelak, sedangkan tubuh Joko Bono memiliki kekebalan yang amat kuat, maka semua tamparan jari tangannya membalik, tidak berhasil merobohkan orang kuat itu
Joko Bono mulai pening kepalanya, pandang matanya berkunang ketika tiba-tiba Setyaningsih mempercepat gerakan tubuhnya, meloncat ke sana ke mari sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra. Ia merasa penasaran dan sambil berseru keras ia lalu maju menubruk, mengerahkan seluruh tenaganya, kedua tangan dikepal dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Setyaningsih. Dara itu cepat menggunakan jari-jari tangan kanannya menyampok dari samping kanan. Akan tetapi ternyata sekali ini Joko Bono berlaku cerdik.
Pukulan tangan kiri itu hanya merupakan gertak belaka karena tiba-tiba saja tangan kanannya meluncur ke depan dan ia berhasil menangkap lengan kiri Setyaningsih! Semua penonton mengeluarkan seruan tertahan dan mengira bahwa dara itu akhirnya akan kalah oleh Joko Bono, sungguh pun hal ini tidak berartI bahwa pria tinggi besar Itu telah lulus dalam sayembara karena ia harus mengalahkan Endang Patibroto.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar