PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-45


Dia dapat melihat jelas dan mengerti akan siasat Setyaningsih.
Dara itu pun merasa bingung karena lawannya terlampau kuat sehingga sukar dirobohkan, maka biar pun tidak kentara oleh siapa pun, juga oleh lawannya, ia sengaja memperlambat gerak tangan kirinya sehingga dapat tertangkap lawan.
Pada saat Joko Bono merasa kegirângan, tiba-tiba tubuh Setyaningsih mencelat ke atas dan berjungkir balik sambil memutar lengan kirinya yang terpegang.
Gerakan ini tentu saja membawa pula tangan kanan Joko Bono sehingga terpuntir. Joko Bono kesakitan namun tetap mempertahankan cengkeramannya dan dari atas, Sambil meloncat ini, Setyaningslh memukul tengkuk Joko Bono dengan jari-jari tangan kanannya, dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya.
“Dess...! Aduhhh...!”
Joko Bono terhuyung, cengkeramannya lepas, akan tetapi ia benar-benar kuat karena pukulan dahsyat itu belum merobohkannya. Namun Setyaningsih sudah meloncat turun ke belakang tubuhnya, kedua kakinya bergantian menendang belakang lutut, membuat kaki Joko Bono melengkung dan berlutut.
Saat itulah dipergunakan oleh Setyaningslh untuk mendorongkan kedua tangannya ke punggung lawan dengan sekuat tenaga. Joko Bono yang sudah berlutut itu tentu saja tidak mampu mempertahankan diri lagi dan tubuhnya bergulingan terus terjatuh dari atas panggung!
“Hebat, aku mengaku kalah...” teriaknya sambil bangkit berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu dengan terhuyung-huyung.
Tepuk tangan riuh gemuruh menyambut kemenangan itu. Dara itu menyusut peluhnya dan melompat turun terus bersama Endang Patibroto dan Retna Wilis kembali ke tempat duduk mereka.
Makin gentarlah hatl para muda yang hendak ikut sayembara. jelas sudah bahwa amat sukar menandingi kedigdayaan perawan Lembah Wilis itu. Joko Bono yang demikian perkasapun tidak mampu menandinginya. Hanya ada beberapa orang pemuda, termasuk Pangeran Panji Sigit, yang masih menantl kesempatan mereka.
Melihat betapa agaknya tidak ada pengikut lagi yang berani nalk ke panggung, Pangeran Panjl Sigit memandang Ki Datujiwa yang menganggukkan kepalanya perlahan-lahan. Pangeran itu lalu bangkit, akan tetapi selagi ia hendak melangkah maju mendekatl panggung, tiba-tiba tampak sesosok bayangan tubuh seorang pria kurus kering melompat ke panggung mendahululnya.
Terpaksa pangeran itu duduk kembali dan semua mata kini memandang ke arah pria kurus kering yang berada di atas panggung. Cara orang itu melompat amat mengagumkan, karena tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali, kemudian dari atas ia turun dengan cara berjungkir, kepalanya di bawah.
Semua orang terkejut, bahkan ada yang menahan pekik, mengira bahwa kepala itu akan remuk terbanting pada papan panggung. Akan tetapi anehnya, kepala itu mendarat dengan lunaknya di atas papan dan laki-laki itu berdiri di atas kepalanya. Kemudian sekali ia bersuara seperti orang terbatuk, tubuhnya sudah berjumpalitan dan kini ia berdiri di tengah panggung sambil tersenyum menyeringai.
Semua orang tercengang. Laki-laki itu usianya tentu sudah mendekati lima puluh tahun, mukanya kurus seperti tengkorak hidup, matanya berlubang dalam sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya serba merah berkembang dan tubuhnya juga kurus kering, kaki kirinya memegang tongkat bambu yang baru saja dicabutnya dari ikat pinggang. Kakinya yang telanjang itulah yang menambah keanehannya, karena kalau tubuhnya kurus kering, adalah kakinya itu besar dengan jari-jari kaki mekar seperti cakar bebek. Wajah yang buruk menjijikkan, akan tetapi setiap orang dapat menduga bahwa laki-laki ini tentu memiliki kesaktian luar biasa.
“Hemmm, si Hantu Kelabang Purwoko berani mencari bencana...!” terdengar oleh Pangeran Panji Sigit suara Ki Datujiwa berbisik lirih. la segera mendekati kakek penolongnya itu dan bertanya dalam bisikan.
“Orang apakah Purwoko ini, Eyang?”
“Tokoh hitam di pesisir utara, pertapa di Bukit Muria. Kalau ia mengenalku di sini, tentu dia tak akah berani main gila,” jawab kakek itu sambil mangerutkan kening.
Munculnya orang-orang macam Si Hantu Kelabang ini menandakan bahwa negara mulai lemah dan tidak aman sehingga kaum sesat dan golongan hitam mulai keluar dari sarang mencari kesempatan baik untuk mengacau dan merampas kedudukan serta keuntungan.
Sementara itu, laki-laki buruk rupa ltu sudah melambaikan tanganhya yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit ke arah Setyaningsih dan terdengarlah suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita,
“Bocah denok ayu Setyaningsih! Ke sinilah, manis! Mari kita main-main sebentar. Engkau layanilah aku sang sakti Purwoko dan kutanggung engkau akan merasa puas, heh-heh-heh!”
Kaum tua yang berada di situ terkejut mendengar nama ini dan terdengarlah suara berisik membisikkan sebutan “Si Hantu Kelabang”. Suara berisik initerdengar oleh Purwoko yang segera menyeringai ke arah para tamu sambil berkata,
“Kalian sudah mendengar dan mangenal nama julukanku? Heh-heh, benar aku Si Hantu Kelabang!”
Setyaningsih menjadi marah sekali. Mukanya yang jelita itu sebentar pucat sebentar merah mendengar ucapan yang tIdak senonoh dari pria gundul kurus kering itu. Ia sudah bangkit berdiri, tangan kiri mengepal tinju, tangan kanan meraba gagang keris.
Akan tetapi lengannya dlsentuh Endang Patibroto yang memberinya isyarat supaya duduk kembali. Kemudlan Endang Patibroto bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang mengatasi semua suara hiruk-pikuk,
“Heh, engkau orang yang bernama Purwoko! Suruh walimu naik dan bertanding melawan aku! Kalau walimu menang, barulah engkau berhak menandingi adikku. Pada saat ini adikku enggan bertanding dengan orang macam engkau!”
Suara berisik terhenti seketika dan semua mata memandang bahwa pasti akan terjadi hal-hal hebat setelah kini ketua Padepokan Wilis memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi Purwoko terkekeh sambil memandang ke arah Endang Patibroto dan menudingkan telunjuknya yang kecil panjang,
“Heh-heh-heh, engkau tentu Endang Patibroto, bukan? Denok ayu! Hebat bukan main, tidak kalah oleh adiknya. Ketahuilah, ayah bundaku telah mati semua, guruku banyak sekali dan sudah mati. Aku tidak punya wali. Bagiku sama saja, engkau juga denok, boleh maju main-main ke sini. Hadiahnya engkau atau adikmu sama juga! Memang aku datang untuk berkenalan dengan engkau, Endang Patibroto, dan kebetulan ada sayembara ini, heh-heh!”
Endang Patibroto tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi siapa yang sudah mengenal wanita ini di waktu mudanya akan maklum bahwa senyum itu adalah senyum yang menyembunyikan kemarahan hebat dan bahwa senyum ini dapat menjadi senyum maut yang akan merenggut nyawa lawan.
Terdengar ia bersuara, “Hemmml” dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat ke atas panggung.
Cara meloncat ini dalam keadaan tegak berdiri, seolah-olah dari tempat ia berdiri tadi tubuhnya dibawa angin mujijat dan ia sudah berhadapan dengan Purwoko di atas panggung. Itulah aji Meringankan tubuh Bayu Tantra yang sudah mencapai puncaknya! Biar pun apa yang diperlihatkan Endang Patibroto ini hebat, akan -tetapi tidak ada yang bertepuk tangan. Suasana terlalu menegangkan sehingga semua orang memandang dan menahan napas, lupa untuk bersorak memuji.
“Purwoko, alangkah sombongnya engkau! Kita tidak saling mengenal dan aku tidak tahu orang macam apa engkau ini, akan tetapi melihat lagakmu dan mendengar ucapanmu, mudah saja menilai bahwa engkau ini seorang yang masih kosong melompong!”

“Gentong kosong suaranya nyaring!”

Tiba-tiba terdengar suara Retna Wilis menyela kata-kata ibunya. Semua orang mau tak mau tertawa geli karena ucapan bocah itu membuyarkan keadaan yang tegang.
“Gasak saja, Ibu, habiskan giginya yang tinggal dua!”
Endang Patibroto tidak mempedulikan kenakalan puterinya, lalu berkata lag',
“Purwoko, kalau saja engkau tidak muncul di atas panggung sayembara, tentu aku tidak akan dapat mengampunimu. Akan tetapi karena kau muncul di sini, marilah kita buktikan apakah kepandaianmu juga sehebat suaramu.”
“He-heh-heh! Engkau pun seorang wanita sombong, Endang Patibroto. Aku telah banyak mendengar tentang sepak terjangmu. Nah, kau bersiaplah!”
Belum juga habis gema suaranya, kakek gundul itu sudah menerjang maju dengan tongkatnya, menusuk perut Endang Patibroto dengan tongkat di tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencengkeram dengan kuku tangan kiri yang tiba-tiba saja sudah berubah merah seperti dicat!
Endang Patibroto cepat melangkah mundur dan menyentil ujung tongkat dengan telunjuk kirinya. Ia mengerti bahwa tangan kirI lawan yang berubah merah Itu amat berbahaya, tentu mengandung racun yang hebat. Inilah agak-nya mengapa orang ini mendapat julukan Si Hantu Kelabang. Agaknya tangan kiri itu telah dilatih dengan sari racun kelabang sehingga sekali gores dengan kuku, atau sekali sentuh dengan tangan itu saja sudah cukup untuk mengirim nyawa lawan meninggalkan raganya.
SI gundul itu berseru kaget ketika tongkatnya tiba-tiba membalik seperti didorong tenaga raksasa begitu kena disentil telunjuk tangan wanita itu. Diam-diam ia kagum dan tahu bahwa tangan wanita itu mengandung hawa sakti yang kuatnya menggila. Tidak berani lagi ia memandang ringan dan mulailah kakek ini melakukan serangan dengan hati-hati sekali. Ia tadi sudah melihat kelincahan Setyaningsih, maka ia pun dapat menduga bahwa Endang Patibroto tentu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa pula.
Dia sendiri biar pun tidak dapat mengimbangi ilmu meringankan diri yang dibuktikan dengan cara meloncat Endang Patibroto tadi, namun ia mengandalkan ajinya tangan beracun dan kekuatan hawa sakti yang timbul dari cara bertempur berjungkir -balik seperti yang ia demonstrasikan ketika meloncat tadi.
Namun sesungguhnya sudah terlambat bagi Purwoko untuk menyadari bahwa dia tadi terlalu memandang rendah Endang Patibroto. Kini wanita sakti itu sudah terlampau marah dan tubuh yang masih langsing itu tiba-tiba lenyap dan berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerangnya dengan pukulan bertubi-tubi.
Purwoko memutar tongkatnya melindungi tubuh, dan gerakan yang cepat ini membuat tongkatnya menimbulkan gulungan sinar yang menyelimuti dirinya. Pertandingan berlangsung cepat, sukar diikuti pandang mata biasa. Hanya tampak gulungan sinar dan bayang-bayang tubuh berkelebatan, dan terdengar suara bersiutan.
“Plakkk... krakkk...!”
Tubuh Purwoko terhuyung ke belakang dan tongkatnya telah patah-patah dan remuk! Kiranya tadi tongkatnya kena dicengkeram tangan Endang Patibroto dan direnggutkan sehingga patah-patah dan remuk, Purwoko yang berusaha merampas tongkat, kini hanya memegang sepotong kecil saja dan terbawa oleh tenaga betotannya sendir. la terhuyung ke belakang. Marahlah si gundul. la mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya dan berseru,
“Aku belum kalah, belum turun dari panggung. Endang Patibroto, kau tidak mau disayang, rasakan kedigdayaan Si Hantu Kelabang!”
Tiba-tiba saja kedua tangan yang tadi sudah kemerahan kini berubah hitam dan tercium bau yang wengur seperti bau binatang kelabang atau ular-ular berbisa.
Tubuh yang kurus kering itu melompat berjungkir balik dan... ia menyerang Endang Patibroto dengan kepala di bawah kaki di atas!
Hebat bukan main serangan ini. Hebat dan juga aneh. Karena keanehan inilah maka amat berbahaya, sukar diduga dan setiap serangan mengandung hawa beracun yang dapat merenggut nyawa.
Kepala gundul yang berubah kegunaannya menjadi kaki itu berloncatan dengan suara “dak-duk-dak-duk!” di atas panggung, kedua kaki di atas dan bergerak-gerak seperti dua batang tongkat, juga kedua lengannya bergerak-gerak mencari sasaran, bukan hanya untuk memukul atau mencengkeram, bahkan kini kedua tangan itu bergantian menyambitkan jarum-jarum beracun ke arah Endang Patibroto!
“Serr-serr-serrr...!”
Jarum-jarum berwarna merah menyambar dari bawah ke arah tubuh Endang Patibroto. Ketua Padepokan Wilis ini maklum betapa bahayanya jarum-jarum beracun ini, maka ia menggunakan kegesitannya untuk melayang ke atas dan menyampok runtuh jarum-jarum itu dengan angin pukulan tangannya.
“Manusia keji tak dapat diberi hati!” kata Endang Patibroto dan ketika tubuh-nya melayang, tangannya bergerak dan “cuat-cuat... I” dua batang panah anak panah telah menyambar ke arah kedua kaki Purwoko. Namun kedua kaki si gundul itu ternyata hebat juga, karena secara cepat menendang runtuh dua batang anak panah itu dari samping.
Mendadak Purwoko berseru keras dan kedua tangannya menangkis ke belakang karena tahu-tahu Endang Patibroto sudah berada di belakangnya dan menendang ke arah kepalanya. Kiranya panah tangan yang dilepas Endang Patibroto tadi hanya sebagai jawaban terhadap kiriman jarum-jarum beracun, sekalian dipergunakan untuk gertak sehingga ia dapat meloncat ke belakang lawan dan mengirim tendangan-tendangan kilat.
Si Hantu Kelabang Purwoko ternyata dapat menangkis tendangan-tendangan itu dan kepalanya di atas papan itu berputar sehingga tubuhnya membaiik ke belakang.
Melihat ini, Endang Patibroto menggeser kakinya, cepat sekali dan ia menyerang dari arah belakang tubuh si kurus kering, melancarkan pukulan-pukulan Pethit Nogo ke arah punggung dan tendangan-tendangan ke arah tengkuk.
Diserang dari belakang, Purwoko kembali berputar akan tetapi bayangan Endang Patibroto sudah lenyap karena wanita itu sudah menggeser kaki pula dan berada di belakangnya.
Demikianlah, bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus, tubuh Endang Patibroto berkelebatan dengan geseran-geseran kaki indah teratur serta cepat sekali, sedangkan Purwoko yang maklum akan bahayanya diserang dari belakang, kini berpuat-putar seperti gasing di atas kepalanya.
Hebat sekali pertandingan itu, Setyaningsih memandang dengan wajah tegang. Diam-diam ia bersyukur bahwa ayundanya mencegah ia turun tangan, karena kini jelas tampak olehnya bahwa akan sukar sekali bagi dia untuk mengalahkan si gundul yang luar biasa itu.
Adapun Retna Wilis yang menonton penuh perhatian, menjadi kagum dan diam-diam memperhatikan. Gadis cilik ini dapat menduga bahwa ada persamaannya antara cara si gundul berjungkir balik dengan cara berlatih samadhi seperti diajarkan ibunya, yaitu dengan menggantung jungkir balik di cabang pohon.
Para penontong juga memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak.
Sebagian besar di antara mereka tidak dapat mengikuti jalan-nya pertandingan karena terlampau cepat. Mereka ini hanya melihat tubuh si gundul berputaran seperti gasing dan tubuh Endang Patibroto berkelebatan seperti seekor burung srikatan menyambar nyamuk-nyamuk di udara.
Memang tak dapat disangsikan lagi bahwa Si Hantu Kelabang Purwoko akan menjadi lawan yang terlampau berat bagi SetyaNingsih. Akan tetapi menghadapi Endang Patibroto ia masih kalah jauh.
Andai kata Endang Patibroto bertanding dengan pamrih membunuh, agaknya pertempuran itu tidak akan berlangsung sedemikian lamanya dan tentu sekarang juga Purwoko sudah menggeletak tewas sebagai korban pukulan Gelap Musti atau Aji Wisangnala.
Akan tetapi Endang Patibroto dalam kedudukannya sebagai ketua Padepokan Wilis, tentu saja memegang teguh peraturan yang ia keluarkan sendiri, maka ia berusaha untuk mengalahkan Purwoko tanpa membunuhnya, dan hal inilah yang membuat ia membutuhkan waktu yang agak lama karena Purwoko merupakan seorang lawan yang tidak ringan.
“Robohlah...!”
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Endang Patibroto ketika dengan keras ia sengaja menangkls serangan kedua kaki Purwoko dengan tamparan jari-jari tangan yang penuh dengan getaran Aji Pethit Nogo.
Hebat tangkisan itu sehingga tubuh Purwoko mendoyong miring. Kesempatan itu dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke depan, dengan Aji Wisangnala.
Aji ini kalau dipergunakan untuk memukul, mungkin tidak akan kuat ditahan oleh seorang sakti seperti Purwoko sekali pun, akan tetapi sekali ini hanya dipergunakan oleh Endang Patibroto sebagai pukulan jarak jauh sehingga hanya hawa pukulan-nya saja yang mendorong tubuh lawan.
“Aduhhh...!”
Tubuh Purwoko terguling karena ia tidak dapat menahan hawa dorongan yang mengandung rasa panas luar biasa itu. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah di atas papan panggung, tubuh itu lalu menerjang maju cepat sekali dengan jalan merayap seperti seekor kelabang.
Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Endang Patibroto. Belum pernah ia menyaksikan hal sepertI itu, juga ketika masih berguru kepada Dibyo Mamangkoro ia belum pernah mendengar gurunya bercerita tentang ilmu aneh seperti itu sungguh pun sudah banyak ia ketahul tentang pelbagai aji kesaktian golongan hitam dan kaum sesat.
Karena kaget ia tidak dapat mencegah lagi ketika tangan kiri Purwoko mencengkeram ujung kainnya!
“Aihhhh...!”
Dalam keadaan terancam mengalami penghinaan yang memalukan itu, Endang Patibroto tidak kehilangan akal. Cepat tubuhnya membungkuk dan jari-jari tangan kanannya menyambar tengkuk Purwoko, mengirim tamparan Pethit Nogo dengan sebagian tenaga saja.
“Brettt...! Kekkk...!”
Ujung kain Endang Patibroto robek sedikit akan tetapi Purwoko roboh pingsan! Dengan menahan gemas Endang Patibroto menggunakan kakinya, mencokel tubuh itu sehingga terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tubuh masih pingsan.
Penonton yang tadi menahan napas menyaksikan pertandingan hebat itu, kini berisik saling membicarakan pertandingan itu dan kini makin gentarlah hati mereka. Tidak hanya Setyaningsih sudah memperlihatkan kedigdayaan yang mengagumkan, juga kini Endang Patibroto membuktikan bahwa dia memang seorang wanita sakti sukar dicari bandingnya.
Setelah Endang Patibroto meloncat turun dan kembali duduk ke tempatnya, suasana kembali menjadi hening.
“Ayunda benar, dia berbahaya sekali...“ kata Setyaningsih.
“Ibu, ilmu apakah itu, berjungkir balik seperti yang dilakukan si gundul?” tanya Retna Wilis.
Endang Patibroto menarik napas panjang dan memeriksa ujung kainnya yang robek.
“Dia tidak sangat sakti, hanya memiliki siasat-siasat berbahaya. Seperti seekor kelabang yang curang. Ilmunya berjungkir-balik sungguh pun cukup kuat, namun dilatih dengan sesat sehingga hanya tampaknya saja menyeramkan, sebetulnya tidak ada apa-apanya. Lebih baik lanjutkan latihan samadhi sambil menggantung di pohon, Retna.”
Pada saat itu, keheningan suasana telah pecah oleh berisiknya para penonton karena kini di atas panggung telah berdiri seorang pemuda tampan sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit. Ia memberi hormat ke arah Endang Patibroto dan berkata halus,
“Mohon banyak maaf kepada Ayunda. Dorongan kasih membuat saya nekat memasuki sayembara dan membawa seorang wali, yaitu Eyang Datujiwa. Mudah-mudahan saja para dewata melindungi hamba dan akan tercapai apa yang hamba idam-idamkan. Marilah, Adinda Setyaningsih, kita menguji kedigdayaan. Hanya sedikit harapan saya hendaknya Adinda menaruh kasihan kepada saya.”
Wajah Setyaningsih sudah menjadi merah sekali ketika melihat pemuda yang selama ini membuatnya tak enak tidur tak sedap makan itu telah berdiri menanti di atas panggung.
Saat inilah yang dinanti-nantinya. Dia sudah bertekat bulat untuk melawan siapa saja secara mati-matian, kalau perlu mengadu nyawa di atas panggung sayembara karena ia tidak rela berjodoh dengan laki-laki lain kecuali pemuda yang kini berada di atas panggung ini!
Namun setelah saatnya tiba, ia merasa kedua kakinya menggigil dan mukanya panas. Betapa pun juga, tanpa disadarinya seperti orang terkena hikmat gaib, dara jelita itu bangkit berdiri dan tanpa menoleh sedikitpun kepada ayundanya seperti tadi, langsung ia menghampiri panggung lalu melompat naik diiringi sorak-sorai para penonton yang timbul kembali kegembiraan mereka.
Dara jelita itu kini kembali akan bertanding dan lawannya begitu tampan seperti Sang Harjuna! Melihat perawakan kedua muda-mudi ini, melihat wajah mereka, sungguh mereka itu merupakan pasangan yang amat setimpal, seperti Dewa Komajaya dan Dewi Komaratih, seperti Sang Harjuna dan Dewi Sembadra. Sama-sama muda remaja, sama-sama tampan rupawan, sama-sama agung berwibawa dan sakti mandraguna!
Sejenak mereka berdua berdiri saling berhadapan. Pangeran Panji Sigit memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, membayangkan kasih sayang dan kemesraan yang tidak dibuat-buat, yang langsung memancar dari lubuk hatinya, namun yang membuatnya terpesona sehingga sukar untuk mengeluarkan kata-kata.
Hatinya terharu sekali. Kalau mungkin, ia ingin sekali memeluk dan mencumbu rayu dara ini, bukan sekali-kali menghadapinya sebagai lawan bertanding! Betapa mungkin ia bertanding sebagai lawan dan menyerang dara yang dikasihinya ini? Kalau perlu ia bahkan rela mati di bawah kakinya, rela mengorbankan apa saja demi cinta kasihnya yang mendalam! Namun, untuk dapat tercapai cita-cita dan idaman hatinya, ia harus dapat mengalahkan dara ini dalam adu kesaktian! Tiada jalan lain karena ia cukup mengenal watak Endang Patibroto yang keras dan kemauannya yang sukar ditundukkan oleh apa pun juga.
Adapun Setyaningsih, berbeda sekali dengan tadi ketika menghadapi calon-calon lain, agung berwibawa, tenang dan memandang dengan mata tajam, kini menundukkan mukanya, berdiri dengan pundak meringkus (menyempit), memandang ke arah ujung ibu jari kakinya yang utak-utik bergerak-gerak menggores-gores papan panggung!
Sampai lama kedua remaja ini berhadapan tanpa mengeluarkan suara, bahkan tanpa bergerak, lebih gugup dan bingung lagi karena beberapa orang penonton yang agaknya dapat menangkap arti gerak-gerik mereka ada yang mulai terkekeh mentertawakan.
“Bibi... Jangan melupakan pesanku, lho! Awas, kalau melanggar, Bibi akan ku-jothak (kumusuhi)!”
Tiba-tiba terdengar teriakan Retna WilIs dan semua orang tertawa sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan pesan puteri ketua Padepokan Wilis itu. Hanya Endang Patibroto dan Setyaningsih yang mengetahuinya, juga Pangeran Panji Sigit dapat menduganya maka hatinya menjadi lega, maka sambil melempar senyum ke arah bocah itu ia berkata,
“Terima kasih, keponakanku yang manis!”
Setyaningsih menjadi makin jengah dan malu, mukanya makin menunduk. Seperti dalam mimpi ia mendengar suara yang halus penuh getaran asmara itu,
“Diajeng, marilah kita mulai, tidak enak dijadikan tontonan orang.”
Barulah ia berani mengangkat muka. Sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan melekat mesra. Kemudian dara itu berbisik,
“Marilah... silakan...”
Berbareng keduanya bergerak dan terjadilah pertandingan yang amat menarik hati. Keduanya sama-sama memiliki gerakan yang trengginas dan cepat, dengan gerak silat yang indah seperti tarian lemah gemulai.
Tampaknya kedua orang muda ini bukan seperti tengah bertanding yuda, melainkan sedang berlagak dengan tarian indah di atas panggung. Namun, bagi para penonton yang kesemuanya memiliki kepandaian, jelas bahwa kedua orang muda itu benar-benar saling serang dengan cepat dan kuat. Pertandingan yang amat seru.
Sesungguhnya hal ini hanya kelihatannya saja, karena bagi Endang Patibroto, juga bagi Ki Datujiwa, dan beberapa orang yang hadir di situ dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, kedua orang remaja itu tidak bertanding sungguh-sungguh.
Memang tampaknya melakukan pukulan dan tendangan sungguh-sungguh, dengan gerak silat yang sempurna dan daya serang yang dahsyat, namun tenaga dalam penyerangan ini selalu dikendalikan sehingga andai kata lawan akan terkena, dapat ditarik mundur atau dihilangkan tenaganya sehingga tidak akan melukai lawan! Mereka itu seolah-olah sedang berlatih saja!
Namun gerakan mereka yang gesit menyuguhkan tontonan yang indah menarik dan menegangkan bagi mereka yang tidak tahu sehingga mereka bersorak-sorak setiap kali seorang di antara mereka tampak terdesak sampai ke pinggir panggung. Hanya sebentar saja desakan ini karena segera yang terdesak dapat menguasai keadaan dan balas mendesak.
Tentu saja Setyaningsih tidak menghendaki pemuda idaman hatinya ini kalah dan terpelanting ke bawah panggung. Karena hal itu akan berarti bahwa pemuda ini tidak mungkin menjadi jodohnya! Bukan hanya karena pesan Retna Wilis saja maka ia mengalah dan tidak sungguh-sungguh penyerangannya, melainkan juga karena dia sendiri di dalam hatinya sudah memilih Pangeran Panji Sigit sebagai calon suaminya.
Akan tetapi, Setyaningsih adalah seorang dara yang pendiam, serius, berpemandangan luas, berwatak adil dan keras hati, tak mengenal takut asal bersandarkan kebenaran. Watak ini mendatangkan sifat angkuh dan tidak mau kalah, serta ingin dihargai.
Apa lagi oleh orang yang dicintanya. Ia ingin memperlihatkan kepada pangeran muda ini bahwa dia bukan seorang lemah, bahwa dia mampu menandingi pangeran itu kalau dikehendakinya, maka dalam pertempuran ini pun, sungguh pun ia tidak ingin mengalahkan si pangeran yang menjadi pilihan hatinya, akan tetapi ia ingin membuktikan bahwa dia sebetulnya tidak kalah!
Ketika ia mendapat kesempatan setelah pukulannya ditangkis pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia meloncat sehingga bagaikan terbang saja dan sambil meloncat, ketika melewati dekat kepala Pangeran Panji Sigit, tangan kirinya menjangkau dan cepat ia menyambar ikat kepala pangeran itu, direnggutnya terlepas dari kepala pangeran Itu.
Pangeran Panji Sigit maklum akan isi hati dara yang dicintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mempertahankan ikat kepalanya, atau dapat ia mengirim pukulan maut ke perut dara yang sedang melambung di atasnya itu andai kata dara itu seorang musuh.
Akan tetapi tentu saja ia tidak mau melakukan hal ini, sebaliknya ia membiarkan ikat kepalanya dirampas dan cepat sekali lengannya menyambar dan memeluk pinggang yang ramping dari Setyaningsih dan langsung membawa dara itu meloncat turun panggung! Setyaningsih terkejut, namun tidak dapat meronta karena pelukan lengan pada pinggangnya itu membuat ia menjadi lemas dan seperti lumpuh!
Ketika turun ke atas tanah, Pangeran Panji Sigit lebih dulu menurunkan dara itu, baru ia turun belakangan.
Dengan demikian, berarti bahwa Setyaningsih yang lebih dulu turun dari panggung dan ia berada di fihak menang. Akan tetapi untuk tidak menyinggung perasaan orang yang dicintanya, ia membungkuk dan berkata sambil tersenyum dan memegangi rambutnya,
“Engkau hebat, Diajeng, telah berhasil merampas ikat kepalaku. Aku mengaku kalah...”

Setyaningsih memandang dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena girang dan juga jengah, mulutnya berkata gagap,

“Ohhh... tidak..., kau..., tidak kalah... aku yang lebih dulu turun...”
Setelah berkata demikian dara ini lari menuju ke tempat duduK Endang Patibroto dan lupa bahwa tangannya masih membawa ikat kepala pangeran muda itu.
Pangeran Panji Sigit mengejarnya da bersama Setyaningsih ia lalu menjatuhka diri bertekuk lutut di depan Endang Pa tibroto sambil berkata,
“Mohon Ayunda sudi memaafkan dan tentang hasil pertandingan tadi, saya hanya taat aka keputusan Ayunda.”
“Sudah terang Bibi Setyaningsih yang kalah!” Retna Wilis berteriak. “Semua, orang juga melihatnya. Bibi Setyaningsih yang lebih dulu menginjak tanah, berarti dia yang lebih dulu dipaksa turun!”
Semua orang yang menonton tertawa Mereka ini pun merasa suka akan pemuda yang tampan, tangkas serta lemah lembut dan sopan itu. Seperti mendapat aba-aba, sebagian besar di antara mere berseru,
“Pemuda itu menang...!”
Diam-diam Endang Patibroto meras terharu sekali, namun sedikit juga tidak tampak pada wajahnya. Ia cukup yakin sekarang bahwa adik kandungnya benar-benar telah jatuh cinta kepada Pangeran Panji Sigit.
Terkenanglah ia kepada Joko Wandiro atau Tejolaksono, satu-satunya pria yang dicintanya dengan tulus ikhlas dan seluruh jiwa raganya. Betapa merana dan sengsara hidup ini dipisahkan dari orang yang dicinta.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar