PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-48


Namun kakek itu masih duduk bersila, seperti telah berubah menjadi sebuah arca yang terpahat dari batu hitam!
“Nenek jahat! Perbuatanmu sungguh keji di luar batas perikemanusiaan!” bentak Bagus Seta yang sudah melompat maju di samping gurunya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan lompatan Bayu Tantra hendak menggunakan pukulan dengan Ali Pethit Nogo yang ampuh.
Akan tetapi begitu ia menerjang asap hitam, tubuhnya seperti terbakar rasanya dan ia roboh terguling. Asap hitam itu menggulung-gulungnya diiringi suara gelak tawa Sang Wasi Bagaspati dan sebentar saja tubuh Bagus Seta juga menjadi hitam semua.
Pemuda remaja ini seperti cacing terkena abu, seluruh tubuhnya panas dan kepalanya pening. Hanya dengan tekat luar biasa saja ia berhasil bangkit duduk bersila, kemudian tubuhnya menjadi kaku dan panasnya makIn tak tertahankan.
“Hi-hik, Ki Tunggaljiwa. Katakan sekarang apakah Sang Hyang Widhi tidak menghendaki andika mati ditanganku.”
Pada saat itu,terdengar suara melengking halus, dibarengi datangnya angin bertiup dari arah kanan Ki Tunggaljiwa. Angin yang membawa datang hawa dingin, lalu tampak ampak-ampak (halimun) putih berarak.
Ketika halImun ini nyentuh tubuh Ki Tunggaljiwa dari kanan, bagian tubuh yang tersentuh lalu berubah menjadI bersih kembali. Halimun putIh itu terus bergerak dan perlahan-lahan tubuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta yang tersentuh uap putih itu menjadI bersih dari pada warna hitam!
Nini Bumigarba dan kedua orang kawannya memandang dengan mata terbelalak. Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila itu lalu tersenyum dan berkata,
“Kehendak Sang Hyang Widhi takkan dapat diubah oleh siapa pun juga, Nini Bumigarba. Apa lagi andika, para dewata sekali pun tidak kuasa mengubahnya. Buktinya, Sang Hyang Wldhi belummenghendaki saya dan Bagus Seta mati, maka pada saat terakhir kami berdua terbebas dari pada bencana maut dengan hadirnya seorang manusia yang maha sakti!”
Setelah berkata demikian, Ki Tunggaljiwa memutar tubuh ke kanan lalu menyembah.
Bagus Seta mencontoh perbuatan gurunya, menyembah ke arah kanan.
Adapun Nini Bumigarba, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati juga telah memandang ke jurusan itu. Akan tetapi tidak ada seorang pun manusia tampak. Betapa-pun juga, tiba-tiba Nini Bumigarba mengeluarkan seruan tertahan ketika hawa yang dingin mengusap wajahnya, mendesak dan medorong hawa panas yang keluar dari tubuhnya sebagai akibat pengerahan aji kesaktiannya tadi.
Kalau saja orang dapat menembus kabut uap hitan, yang menyelimuti nenek ini, tentu akan melihat betapa nenek ini membelalakkan mata dan wajahnya berubah pucat, bibirnya yang sudah keriputan namun masIh membayangkan bentuk yang cantik itu kin! menggigil seperti orang menahan tangis, dan terdengar bisikannya penuh kekecewaan,
“Engkau... engkau masih tidak suka mengalah kepadaku...?”
Bisikan ini bercampur dengan isak dan tubuh nenek itu membalik, kemudian pergi dari situ dengan langkah gontai. Melihat ini, Biku Janapatl dan Wasi Bagaspati menjadi gentar.
Mereka tidak melihat siapa-siapa, tidak tahu siapa yang telah menolong Ki Tunggaljiwa, akan tetapi jelas bahwa Nini Bumigarba sendiri agaknya gentar menghadapi lawan ini.
Mereka menarik napas panjang, lalu pergi pula mengejar Nini Bumigarba.
Setelah tiga orang itu pergi, dari dalam halimun putih itu muncul keluar seorang kakek, atau lebih tepat lagi, halimun putih itu menipis seperti tirai diangkat dan tampaklah ujud seorang kakek tua renta berdiri di situ.
Ketika Bagus Seta mengangkat muka memandang, ternyata kakek ini pun terselimuti wajahnya seperti halnya Nini Bumigarba tadi, hanya bedanya kalau muka nenek itu terselimut uap hitam, kakek ini wajahnya terbungkus uap putIh.
“Duh Eyang Bhagawan... sungguh besar kebahagiaan yang dilimpahkan para dewata kepada hamba sehingga saat ini hamba dapat bertemu dengan Eyang Bhagawan!”
Terdengar Ki Tunggaljiwa berkata sambil menyembah. Mendengar ini, Bagus seta tercengang. Gurunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi gurunya masih menyebut kakek luar blasa yang datang ini sebagai Eyang Bhagawan!
“Baik sekali, Tunggaljiwa. Andika telah memperoIeh kemajuan dan tidak menyeleweng dari pada garis yang lurus. Aku datang karena berjodoh dengan muridmu ini yang kelak akan menggantikan dan mewakili kita memberslhkan anasir-anasir sesat dari Nusantara.”
“Aahhhhh...!”
Sukar ditaksir apa arti seruan yang keluar dari dada Ki TunggaljIwa ini. MungkIn saking kaget dan herannya, atau saking girangnya, namun yang sudah pasti kakek ini cepat-cepat memegang lengan muridnya dan berbisik,
“Kulup, lekas menghaturkan terima kasih kepada Eyang Guru!”
Namun Bagus Seta yang sudah tergembleng sejak kecil tetap berpegang kepada kewaspadaannya. Ia membalas dengan bisikan pertanyaan,
“Siapakah gerangan Eyang ini?”
“Beliau adalah Sang Bhagawan Ekadenta, juga Sang Bhagawan Jitendrya dan boleh juga disebut Sang Bhagawan Sirnasarira!”
Tiga nama yang memiliki arti dalam ini agaknya cukup bagi Bagus Seta yang cepat menghadap dan menyembah di depan kakek tua luar biasa itu sambil berkata,
“Hamba menghaturkan terima kasih kepada Eyang yang berkenan hendak memberi bimbingan kepada hamba. Akan tetapi, lima tahun yang lalu Eyang Guru Tunggaljiwa berjanji kepada ramanda bahwa hamba hanya akan belajar selama Ilma tahun dan kini telah tiba saatnya hamba kembali kepada orang tua hamba. Kalau hamba tldak pulang, bukankah hal ini berarti menyalahi janji dan amat tidak baik bagi Eyang Guru Tunggaljiwa?”
Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum di balik tabir uap putih, dan sepasang mata yang bersinar-sinar itu mengeluarkan cahaya lembut.
“Ah, dasar keturunan satria! Jangan khawatir, Angger, memegang teguh janji bukan hanya menjadi kewajiban para satria, melainkan kewajiban setiap orang manusia, termasuk para pertapa seperti kami. Kalau andika suka menjadi muridku, sekarang juga aku akan membawa andika menemui ayahanda sebagai pelaksanaan dari pada janji Ki Tunggaljiwa.”
Bagus Seta menoleh ke arah gurunya dengan pandang mata penuh pertanyaan.
Betapa pun juga, selama lima tahun ia digembleng oleh kakek ini dan ia merasa terharu kalau harus meninggalkan guru-nya yang dikasihinya. Namun gurunya tersenyum kepadanya dan berkata,
“Berangkatlah, Angger, dan doa restuku selalu mendampingimu.”
Bagus Seta lalu menyembah ke arah Bhagawan Ekadenta,
“Baiklah, Eyang. Hamba siap untuk pergi bersama Eyang.”
“Bagus! Kau ikutlah aku, Angger. Ki Tunggaljiwa, sampai jumpa pula!”
Tubuh kakek itu bergerak, diselubungi halimun putih dan Bagus Seta cepat-cepat menyembah ke arah Ki Tunggaljiwa sebagai tanda pamit, lalu bergegas mengikuti halimun putih itu yang meninggalkan puncak bukit.
Ki Tunggaljiwa bangkit berdiri, memandang kepergian muridnya dengan mulut tersenyum.
Hatinya lega dan puas karena ia telah melaksanakan tugasnya selama lima tahun dan diam-diam ia berdoa semoga sinar terang selalu akan mengatasi kegelapan yang mengancam dunia, semoga kebenaran akhirnya akan unggul sehingga dunia menjadi tempat tinggal manusia yang penuh damai dan ketenteraman.
Clta-cita inilah yang menjadi kandungan hati setiap orang pertapa, sungguh pun Ki Tunggaljiwa sendiri maklum bahwa segala peristiwa telah diatur oleh Sang Hyang Widhi, dan bahwa manusia, betapa pun pandainya, tidak kuasa mengubahnya.
Dia maklum pula bahwa sudah menjadi kehendak alam bahwa dua sifat yang saling bertentangan, baik dan buruk, akan desak-mendesak, ganti-mengganti, berkuasa di dalam kehidupan manusia. Bahwa selama masih ada yang disebut kebaikan, maka di sampingnya akan selalu ada pula keburukan. Bahwa selama manusia mengenal kebajikan, manusia takkan bebas dari pada kejahatan, karena, sesungguhnya baik dan jahat, seperti halnya dua unsur berlawanan di dunia ini, adalah saudara kembar yang tak terpisahkan.
Betapa pun juga, manusia berkewajiban untuk berikhtiar, manusia berakal budi dan sadar akan perbedaan antara kedua unsur berlawanan itu. Dan ia mengerti pula bahwa kalau Sang Bhagawan Ekadenta sampai “turun” ke dunia ramai, hal ini hanyalah merupakan kewajibannya sebagai manusia maha sakti, untuk meng imbangi “turunnya” seorang tokoh sepert Nini Bumigarba! Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepalanya dan mengheia napas panjang.
“Panjalu dan terutama Jenggala akan geger... dan bocah itu telah terpilih menjadi orang yang akan menanggulangi dan mengimbangi kekuatan-kekuatan sesat. Alangkah berat tugasnya...!”
Kakek ini pun menggerakkan kaki, perlahan-lahan menghampiri mayat Sardulo Pethak dan dikuburnya mayat binatang yang derajatnya sudah mendekati manusia itu dengan penuh kasih sayang.
Tanpa berkata-kata, kakek yang tubuhnya diselubungi halimun putih itu berjalan terus, dlikuti oleh Bagus Seta. Setelah mereka turun dari bukit, kakek itu menoleh, memegang tangan Bagus Seta, digandengnya dan Bagus Seta tertegun.
Kini ia berada di dalam halimun putih dan tubuhnya terasa ringan sekali. Tampaknya saja mereka berjalan lambat-lambat, akan tetapi ia maklum bahwa sesungguhnya mereka melakukan perjalanan dengan kecepatan yang tak dapat ia bayangkan, karena mereka bukan berjalan biasa, melainkan bergerak maju didorong hawa sakti yang amat mujijat.
Seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu dari cerita ini, pada waktu itu Sang Adipati Tejolaksono sedang memimpin barisan Panjalu mengadakan pembersihan terhadap anak buah Sang Wasi Bagaspati. Telah diceritakan pula betapa Adipati Tejolaksono menyerbu ke Gunung Merak dan di gunung inilah dia terjebak, roboh oleh Sang Wasi Bagaspati dan tentu akan tewas di ujung senjata nenggala mIlik KI Kolohangkoro kalau saja tidak muncul Sang Bhagawan Ekadenta yang datang bersania Bagus Seta.
Nyawa TejoIaksono tertolong dan baru pertama kali itu Sang Bhagawan Ekadenta menampakkan diri sehingga kelihatan oleh Wasi BagaspatI dan Biku Janapati, bahkan oleh para anak buah mereka.
Pihak lawan ter usir dan Tejolaksono dapat bertemu d ngan puteranya yang telah pergi selama lima tahun lebih. Telah diceritakan pula betapa dalam pertemuan ini Bagus Seta memberikan setangkai bunga cempaka putih dengan pesan agar diberikannya bunga itu kepada ibundanya, kemudian Bagus Seta mengikuti gurunya meninggalkan ramandanya yang memandang penuh kagum dan haru.
Oleh kakek yang maha sakti itu, Bagus Seta dibawa ke puncak Gunung Mahameru, gunung yang tertinggi di seluruh Nusantara.
Puncak gunung ini tertutup awan putih dan samar-samar tampak asap yang tak pernah berhenti mengepul dari kawah di puncak. Dapat dibayangkan betapa dinginnya puncak yang selalu diselimuti halimun tebal itu, akan tetapi juga dapat diduga betapa panasnya kawah yang selalu mengepulkan asap. Namun, di antara pertemuan kedua hawa yang bertentangan ini, Bagus Seta dituntun Sang Bhagawan Ekadenta memasuki kawah di puncak Gunung Mahameru untuk memulai dengan gemblengan yang akan dIterima-nya sebagai murid sang sakti! Mulai saat Itu, terbebaslah Bagus Seta dari pada dunia ramai, hidup menggembleng diri seperti hidup di alam khayal, seolah-olah ia telah menjadi sebagian dari pada puncak Mahameru, menjadi sebagian dari pada alam…..
********************
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk, manis maupun pahit bagi manusia, sesungguhnya bukan lain adalah akibat-akibat dari pada sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Nafsu merajalela dalam diri manusia, menanggulangi kelemahan manusia sehingga manusia menjadi boneka-boneka atau hamba-hamba nafsu yang hidup semata-mata untuk melampiaskan dorongan nafsu. Nafsu membuat manusia menjadi makhluk yang paling mementingkan pribadi (egois) dan yang selama hidupnya bersandar kepada sifat ini sehingga tanpa disadarinya setiap pikiran, setiap perbuatan, setiap ucapan selalu merupakan penonjolan dari pada sifat egoistik ini. Mari kita renungkan dan bersiap-siap mengenal kelemahan kita sendiri.
Pandangan baik dan buruk, adil dan tidak, semua dipengaruhi watak kita yang egoistik. Biar pun orang sekampung menganggap seorang itu jahat, kalau si orang itu selalu baik terhadap anda, dapatkah anda menganggap orang itu jahat? Sebaiknya, andai kata orang se kampung menganggap seseorang itu baik, kalau si orang Itu menjadi musuh anda, dapatkah anda menganggapnya seorang baik?
Demikian pula tentang anggapan tentang adil atau tidak. Kalau adil untuk kita, maka kita anggap adil-lah! Atau lebih tepat, kalau MENGUNTUNGKAN kIta, maka kita anggap adil. Kalau MERUGIKAN, maka itu tidak adil namanya! Memang kita (manusia) adalah makhluk-makhluk yang amat lemah, badut-badut yang selalu menimbulkan lelucon yang hambar.
Hari hujan, Bibi penjual makanan mengeluh, Paman tani bersorak. Yang seorang menganggapnya buruk dan tidak adil, yang lain menganggapnya baik dan adil, sesuai dengan sifat-sifat egoisme masing-masing. Baik atau tidakkah hari hujan? Adil atau tidakkah? Tidak baik tidak buruk. Hujan ya hujan! Wajar dan sudah semestinya begitu. Berbahagialah dia yang dapat menerima segala sesuatu yang terjadi atas dirinya SEBAGAI SUATU KEWAJARAN!
Kerajaan Jenggala diliputi mega mendung yang gelap. Suasana menjadi keruh oleh pengumbaran nafsu yang melanda istana. Semua keadaan berbalik karena

merajalelanya nafsu. Yang putih nampak hItam, yang hitam diputihkan.

Akibat dari pada olah manusia penghamba nafsu yang dipelopori oleh sang prabu di Jenggala, yang menjadi gelap mata batinnya tanpa disadarinya, tenggelam ke dalam belaian nafsu yang digelorakan rayuan Suminten. Kalau kepalanya menyeleweng, tentu ekornya juga terbawa menyeleweng.
Kalau pimpinannya tersesat, pembantu-pembantupya tentu ikut-ikutan tersesat, karena jalan menuju kemaksiatan amatlah menyenangkan! Sang prabu mabuk oleh belaian nikmat, tenggelam dalam pelukan Suminten, tidak mempedulikan keadaan pemerintahan, bahkan menyerahkan segala urusan kepada selir yang terkasih ini. Pangeran Kukutan diangkat menjadi putera mahkota, orang-orang macam Tumenggung Wirokeling dan Tumenggung Sosrogali dijadikan ponggawa tinggi. Bahkan satu demi satu para ponggawa tinggi digeser dan diganti oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan sehingga akhirnya hanya tinggal Ki Patih Brotomenggala yang masih mempertahankan kedudukannya.
asih berat hati sang prabu untuk mengganti patihnya yang sudah mengabdi semenjak pemuda. Namun ki patih. sendiri maklum betapa ia telah dikurung oleh musuh-musuh yang berbahaya. Menghadapi musuh yang terang-terangan menentangnya dengan senjata di tangan, ki patih yang perkasa ini tidak akan undur selangkah-pun.
Namun kini musuh-musuhnya bergerak secara halus, dan inilah yang amat berbahaya. Hanya karena kesetiaannya kepada sang prabu saja yang membuat ki patih masih memaksa diri mengabdi di Jenggala, untuk melindungi dan membela junjungannya.

Makin besar pengaruh Suminten terhadap sang prabu, makin berani pula wanita ini mendesak dan memperbesar kedudukan dan kekuasaannya.

Dan ternyata bahwa Suminten bukan hanya seorang wanita yang gila akan kedudukan tinggi dan kekuasaan, juga gila akan pria-pria yang tampan. Untuk menutup ketidak puasannya bersuamikan seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih seperti Sang Prabu Jenggala, Suminten tidak saja menarik Pangeran Kukutan yang muda dan tampan sebagai kekasihnya, juga pangeran-pangeran lain yang menjadi sekutu mereka banyak yang ia pikat untuk melayani nafsu berahinya yang tak kunjung padam! Pengeran Kukutan tentu saja tahu akan hal ini akan tetapi dia yang telah jatuh ke dalam kekuasaan Suminten, tidak berani cemburu.
Apa lagi kalau diingat bahwa kegilaan pria yang menjadi watak Suminten ini merupakan semacam senjata yang ampuh pula untuk menundukkan dan menarik para pangeran itu menjadi sekutu sehingga kedudukan mereka menjadi makin kuat!
Suminten dan Pangeran Kukutan, sebagai pucuk pimpinan komplotan yang bercita-cita menguasai Kerajaan Jenggala ini, maklum bahwa kekuasaan mereka sudah cukup besar. Sebagian besar para ponggawa tinggi adalah kaki tangan mereka sehingga sebagian besar prajurit barisan Jenggala otomatis berada di bawah kekuasaan mereka. Kalau mereka bergerak dan terjadi bentrokan, mereka akan menang. Akan tetapi Suminten yang cerdik tidak mau mempergunakan kekerasan.
“Jangan terburu nafsu, Pangeranku yang gagah!” katanya mencela sambil membelai rambut Pangeran Kukutan yang merebahkan kepala di atas pangkuan sepasang paha yang bulat lunak Itu.
“Betapa pun kuat kedudukan kita, masih ada rintangan yang amat besar, yaitu Ki Patih Brotomenggolo dan antek-anteknya. Mereka ini masih memiliki pasukan pilihan yang masih bersetia kepada raja.”
“Kita tidak perlu takut, Dewiku yang jelita,” kata Pangeran Kukutan -sambil melingkari pinggang ramping yang sudah amat dikenalnya itu dengan lengannya,
“Kalau sampai terjadI perang, pasukan kita lebih banyak dan kawan-kawan kita bergerak dari dalam, mudah saja menguasai istana dalam waktu singkat. Adapun Si tua bangka itu, aku sendirI sanggup untuk mencekiknya sampai mampus.”
“Hiss...!”
Suminten menunduk dan menggunakan sepasang bibirnya yang merah dan manis itu untuk menutup mulut kekasihnya. Sejenak mereka berciuman. Kemudian Suminten mengangkat mukanya dan berblsik,
“Jangan bodoh, Pangeran. KIta tidak boleh terlalu mengandalkan kekerasan. Mungkin kita bisa menang menghadapi pasukan Jenggala yang masih setia kepada sang prabu. Akan tetapi kita harus waspada dan ingat kepada Panjalu. Apakah engkau kira Panjalu akan diam saja kalau Jenggala direbut dengan kekerasan? Dan kita tahu. betapa kuatnya Panjalu, apa lagi setelah Adipati Tejolaksono menjadi patih muda di sana. KIta tentu akan dipukulnya dan akan hancur sebelum sempat menikmati kemenangan kita...”
Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat dan ia bangkit duduk.
“Ah, kau benar juga, Dewiku...“ Pangeran hanya gagah kalau menghadapi lawan yang lemah, sebetulnya dia seorang pengecut yang belum apa-apa sudah mundur ketakutan menghadapi lawan yang kuat. “Habis, bagaimana baiknya?”
“Tenanglah, Pangeran Pati! Engkau kan sudah menjadi putera mahkota, perlu apa tergesa-gesa? Kalau kekuasaan itu berpindah ke tangan kita, hal itu harus berlangsung secara wajar dan tanpa ada kekerasan sehIngga Panjalu akan menerimanya pula dengan baik. Sekarang kita harus bersabar dan memperbesar dukungan. Hanya ki patih dan antek-anteknya yang masih menjadi duri dalam daging... dan... sang permaisuri!”
“Memang ki patih dan ibunda permaisuri agaknya memusuhi kita. Akan tetapi mereka itu terlalu kuat kedudukan mereka dan ramanda prabu terlalu sayang kepada mereka. Betapa mungkin menghalau mereka keluar Istana?”
“Eh, wong bagus, mengapa bingung? Serahkan saja mereka Itu kepadaku, dan kelak akan tiba masanya mereka jatuh ke tangan Suminten! Hanya Panjalu yang kukhawatirkan...” Suminten menghentikan kata-katanya karena pangeran itu kembali telah memeluknya dan membelainya, yang membuatnya sesak napas.
Napasnya selalu menjadi sesak oleh dorongan nafsu apa bila tubuhnya dibelai tangan-tangan pria muda yang sekaligus menghapus kekecewaan dan kemuakannya dalam melayani sang prabu yang sudah tua.
Kedua orang yang sudah dimabuk nafsu ini mengadakan pertemuan di dalam kamar Suminten. Kini mereka lebih berani, tidak lagi mengadakan pertemuan rahasia di taman sari, karena selain mereka yakin bahwa malam Itu sang prabu yang makin lemah tubuhnya tidak akan datang ke kamar Suminten, juga andai kata sang prabu datang, tentu lebih dulu mereka akan diperingatkan oleh para emban dan pengawal yang menjaga ketat.
Pendeknya, mereka itu terjaga dan aman oleh para abdi yang sudah mereka percaya penuh. Setiap mengadakan pertemuan, mereka bermain cinta semalam suntuk dengan hati tenteram di dalam kamar yang indah dan mewah itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang khianat ini ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar jendela kamar yang tadi sengaja mereka buka karena hawa udara malam hari itu agak panas. Mereka yakin bahwa tidak akan ada seorang pun abdi yang akan berani mendekatI jendela karena hal itu berarti mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi sekarang tiba-tiba ada orang tertawa di luar jendela, disusul suara seorang laki-laki yang halus penuh ejekan,
“Dua orang muda yang masih hijau hanya mengandalkan kenekatan dan keberanian, tanpa menggunakan kecerdikani Jika tidak kubantu, mana mungkin tercapai cita-cita dan dapat menanggulangi Panjalu? Ha-ha-ha!”
Pangeran Kukutan terkejut dan cepat melepaskan pelukannya, menyambar sebatang tombak di sudut kamar lalu meloncat keluar jendela itu sambil membentak,
“Keparat! Siapa berani kurang ajar?”
Akan tetapi terdengar suara gedobrakan dan tubuh Pangeran Kukutan terpelanting kembali ke dalam kamar karena ada tangan yang amat kuat mendorongnya dari luar jendela, kemudian disusul melayangnya sesosok tubuh seorang pria yang tampan dan gagah. Pangeran Kukutan yang terbanting ke atas lantai, cepat meloncat berdiri, dan bersama Suminten dia memandang orang itu dengan mata terbelalak.
Orang itu adalah seorang laki-laki berusia antara empat puluh tahun, tampan dan gagah, sikapnya tenang sekali, wajahnya berseri, senyumnya memikat dengan kumisnya yang tipis menghias di atas bibir.
Sungguh seorang pria yang tampan dan gagah, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Suminten membuat wanita ini berdebar karena pandang mata itu demikian penuh pengertian dan penuh daya tarik. Seorang pria yang jantan dan matang!
Akan tetapi Pangeran Kukutan yang amat marah itu berseru keras, tombak-nya bergerak menusuk dada yang telanjang itu. Pria itu hanya tersenyum memandang, sama sekali tidak mengelak.
“Desss! Krakkk...”
Tombak yang menusuk dada yang bidang itu meleset kemudian gagangnya patah! Terbelalak Pangeran Kukutan memandang gagang tombak yang berada di tangannya, wajahnya pucat sekali dan Suminten menahan jerit menutupi mulut dengan tangan. Laki-laki itu tersenyum lebar dan berkata,
“Kalau sekarang kutangkap kalian berdua, lalu kuadukan kepada sang prabu, nasib apakah yang akan menanti kalian? Dibakar hidup-hidup? Atau dipenggal leher?”
Makin pucat wajah Pangeran Kukutan, teringat ia akan pengawalnya, maka ia lalu membuka mulut berseru memanggil para pengawal. Akan tetapi malam tetap sunyi, tidak ada jawaban para pengawal. Pria itu tersenyum dan menggeleng-geleng kepala, melangkah ke pintu kamar dan sekali dorong pintu kamar terbuka.
“Lihatlah. Seluruh pengawal dan abdimu telah pulas. Percuma andika berteriak Pangeran. Dan hentikan terlak-teriakanmu. Bagaimana kalau yang datang itu pengawal istana dan melihat kalian di dalam kamar ini? Apa lagi kalau ki patih yang banyak memasang mata -mata sampai mengetahui pertemuan rahasia ini. Hemm... akan ramai!”
Pangeran Kukutan makin ketakutan dan hendak nekat melarikan diri, akan tetapi Suminten sudah menyentuh lengannya, kemudian wanita ini melangkah maju menghampiri pria itu yang sudah menutupkan kembali daun pintu di depan mana para pengawal telah tidur pulas dalam keadaan tidak wajar, ada yang duduk dan ada yang berdiri bersandar dinding!
“Siapakah andika? Dan apa maksud kedatangan andika seperti ini?”
Sebelum menjawab laki-laki itu memandang ke arah Suminten. Kamar itu diiterangi oleh sebuah lampu yang dibungkus sutera merah sehingga sinarnya kemerahan. Dengan pakaiannya yang kusut, Suminten kelihatan cantik jelita di dalam cahaya kemerahan. Laki-laki Itu memandang dengan pandang mata tajam penuh selidik.
Suminten membalas pandang mata itu dan merasa betapa bulu-bulu di tubuhnya bergerak merinding. Pandang mata laki-laki itu menjelajahi seluruh tubuhnya, seolah-olah jari-jari tangan yang membelai dan menyentuh mesra. Belum pernah ia bertemu dengan pria yang dapat membelainya hanya dengan pandang matanya, dan dapat membuat jantungnya berdebar, kulit tubuhnya merinding hanya dengan ulasan pandang mata!
“Cantik jelita! Hati siapa takkan tergila-gila? Pantas..., memang patut, dilabuhi pati (dibela sampai mati) setiap orang pria! Andika yang bernama Suminten, bukan? Dan dia ini adalah Pangeran Kukutan, yang kini menjadi putera mahkota? Ketahuilah, saya bernama Raden Warutama dari Bali-dwipa.”
“Maksud kedatanganmu seperti ini?” kata Suminten, sikapnya tenang sekali.
Wanita ini memang hebat. Dalam keadaan seperti itu, sebentar saja ia telah dapat menguasai dirinya dan dapat bersikap tenang, berbeda dengan Pangeran Kukutan yang menjadi gelisah sekali.
Diam-diam Raden Warutama menjadi kagum sekali dan mengertilah ia mengapa wanita ini dapat menguasai keadaan di dalam istana Jenggala, kiranya memang bukan wanita sembarangan.
“Maksud kedatanganku? Tidak lain hendak membantu cita-citamu! Kalian tadi mengatakan jerih menghadapi Panjalu, jerih menghadapi Tejolaksono. Tanpa bantuanku, cita-cita kalian takkan terlaksana. Akulah orangnya yang akan dapat membuat Pangeran Kukutan kelak menjadi raja, andika menjadi permaisurinya, dan aku... ha-ha, aku menjadi patihnya. Bukan hanya Raja Jenggala, melainkan Raja Jenggala dan Panjalu menjadi satu!”
Suminten mengerutkan alisnya yang menjelirit (kecil panjang hitam), memandang tajam dan berkata,
“Raden Warutama, ucapanmu yang muluk-muluk hanya membayangkan kesombongan yang tak berisi. Mungkin andika memiliki sedikit kedigdayaan sehingga sanggup mengalahkan Pangeran Kukutan, akan tetapi andika terlalu memandang remeh Panjalu. Apakah dengan sedikit kedigdayaanmu dan sikap menarikmu itu Panjalu akan dapat ditundukkan dengan mudah? Hendaknya andika jangan menjual lagak di sini, karena aku bukanlah seorang wanita yang mudah roboh oleh bujuk rayu!”
Makin kagum Raden Warutama. Wanita hebat seperti ini jarang dapat ditemukan dan akan menjadi sekutu yang amat berguna.
“Bagus sekali, memang tepat apa yang paduka katakan, wahai Sang Dyah Ayu. Dan paduka sang pangeran, harap maafkan kelancangan saya tadi. Kini, mari kita bicara dengan sungguh-sungguh, karena kedatanganku membawa amanat penting sekali yang akan menguntungkan kita bersama.”
Pangeran Kukutan masih ragu-ragu, akan tetapi Suminten yang maklum bahwa mempergunakan kekerasan terhadap orang ini tidak akan ada gunanya, apa-lagi karena semua abdl dan pengawal telah terkena sirep yang amat ampuh, lalu tersenyum ramah dan berniat untuk menghadapinya dengan jalan halus.
“Silakan, Raden. Mari kita bicara dengan sungguh-sungguh. Duduklah.”
Mereka bertiga kini sudah duduk berhadapan. Raden Warutama dan Pangeran Kukutan di atas bangku-bangku terbungkus sutera halus, adapun Suminten sendiri duduk di atas pembaringan yang lunak dan halus bertilam sutera merah jambon.
“Sebelum bicara tentang persekutuan, hendaknya paduka berdua mengetahui bahwa sesungguhnya saya adalah seorang anak kemenakan mendiang Sang Patih Narotama.”
“Ahhh... I”
Seruan ini keluar dari mulut Pangeran Kukutan yang dalam hal menekan perasaan masih kalah jauh oleh Suminten yang tetap tenang. Seruan ini adalah seruan kaget, karena Pangeran Kukutan yang sesungguhnya bukan keturunan Sang Prabu Jenggala, mengira bahwa keponakan Narotama yang setia kepada raja itu tentu saja akan membela sang prabu. la lupa dalam kegugupannya bahwa Warutama tentu saja tidak tahu bahwa dia bukanlah keturunan sang prabu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar