PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-49


“Nah, paduka kini mengerti bahwa di antara paduka dan saya terdapat pertalian yang dekat, Pangeran. Paman Narotama adalah seorang ponggawa yang amat setia kepada mendiang Sang Prabu Airlangga, bukankah sudah tepat sekali kalau kelak Paduka, sebagai cucu Sang Prabu Airlangga, mempunyai seorang patih seperti hamba? Dan karena saya keturunan Narotama itulah yang membuat saya datang jauh-jauh dari Bali-dwipa untuk menghambakan diri kepada bekas Kerajaan Mataram. Namun, setelah tiba di Jenggala, saya menyaksikan kenyataan yang amat mengecewakan. Bekas Mataram telah terpecah dua, dan dlrajai oleh keturunan Sang Prabu Airlangga yang ternyata tidak dapat mengurus kerajaan sehingga selalu terjadi kekacauan-kekacauan. Setelah saya mendengar akan cita-cita mulia paduka 'berdua, saya melihat cahaya terang. Pangeran Kukutan, sebagal calon raja, paduka adalah keturunan Sang Prabu Airlangga, dan kelak padukalah, dengan bantuan saya, yang akan mengembalikan keutuhan Kahuripan, kembali seperti di masa jaman Mataram.”
Lega hati Pangeran Kukutan, Akan tetapi Suminten cepat bertanya,
“Raden, andika belum menerangkan betapa caranya untuk menundukkan kedua kerajaan. Jenggala sudah jelas akan dirajai oleh Pangeran Kukutan, akan tetapi Panjalu...?”
“Ha-ha-ha, Sang Dyah Ayu Suminten jangan khawatir. Saya telah mempunyai rencana yang amat bagus dan sudah pasti akan berhasil. Kita harus dapat memperkuat kedudukan dan pengaruh di Jenggala leblh dahulu sehingga segala sesuatu berIangsung dengan wajar, tidak menimbulkan kecurigaan Panjalu. Kelak, kalau Sang Prabu Jenggala..., maaf, yaitu suami dan junjungan paduka sang puterl, telah meninggal dunia dan paduka pangeran telah menjadi raja di sini, barulah kita gempur Panjalu. Untuk itu, kalau saya yang menjadi patihnya, sungguh gampangnya seperti membalik telapak tangan sendiri saja. Ketahuilah bahwa bala tentara Sriwijaya dan Cola sudah siap, dan para pemimpinnya yang maha sakti adalah sahabat-sahabat baik saya...”
“Sriwijaya dan Cola...? Musuh-musuh besar itu...?” kata Pangeran Kukutan, wajahnya berubah pucat.
“Ha-ha-ha! Itulah namanya siasat, Pangeran! Menjadikan musuh sebagai kawan dalam menghadapi musuh baru, itulah siasat yang amat baik dan sukar. Pendeknya, paduka serahkan saja kepada hamba, baik sekarang dalam perkembangannya maupun kelak kalau sudah tercapai cita-cita pertama paduka. Tidak percuma hamba menjadi keponakan sang bijaksana Narotama, Pangeran!”
“Hemmm, kami baru saja berjumpa dengan andika malam ini. Betapa kami dapat menjenguk isi hatimu, dapat membuktikan kesetiaanmu dan iktikad baikmu?” kata pula Pangeran Kukutan.
Raden Warutama tersenyum sambil melIrik ke arah Suminten yang masih diam saja, kemudian menjawab,
“Hamba sudah membuktikan iktikad baik hamba dengan mengajak paduka bersekutu, andai kata hamba berniat buruk, apa sukarnya bagi hamba untuk membunuh paduka dan menculik sang puteri? Ha-ha-ha, hendaknya paduka dapat mempertimbangkan hal ini dengan kecerdikan.”
Pangeran Kukutan membungkam. Memang ada benarnya ucapan ini. Sudah jelas bahwa orang ini amat digdaya dan kalau mempunyai niat buruk, sukar baginya meloloskan diri. Kini Suminten yang berkata, suaranya penuh kesungguhan dan sekalIgus merupakan tuntutan.
“Iktikad baik sudah terbukti, namun kesetiaan dan kejujuran masih harus dibuktikan. Bagaimanakah rencana andika untuk dapat kami percaya?”
“Sudah ada rencana saya yang amat baik. Untuk membuktikannya, saya akan menjalankan siasat agar Ki Patih Brotomenggala yang tua itu dapat disingkirkan dari Jenggala, bahkan dihukum mati oleh sang prabu sendiri, dan sang prabu akan dengan suka hati menerima saya sebagai seorang ponggawa yang dipercayai”.
“Bagaimana caranya?”
Raden Warutama tersenyum, kemudian mendekat dan berbisik-bisik didahului kata-kata yang ia tujukan terhadap Suminten,
“Dalam hal ini, hanya dengan bantuan paduka akan berhasil.”
Kemudian dia membisikkan rencana siasatnya yang didengarkan oleh kedua orang itu dengan wajah berseri. Diam-diam Suminten memuji orang ini sebagaI seorang pembantu yang amat berharga, apa lagi yang memiliki daya tarik hebat sebagai seorang pria yang sudah matang segala-galanya.
Pangeran Kukutan juga kagum, akan tetapi diam-diam pangeran ini mengambil keputusan di dalam hatinya untuk kelak mengenyahkan orang yang baginya amat berbahaya. Maka berundinglah tiga orang ini dan menjelang pagi barulah Raden Warutama keluar dari dalam kamar itu. Di luar pintu ia menengok kepada Suminten dan berbisik,
“Bilakah saya dapat mengharapkan anugerah dari paduka pribadi atas jasa saya?”
“Tidak ada anugerah jasa diberikan sebelum jasa itu sendiri dilaksanakan.”
“Paduka tidak akan mengingkari janji?”
“Bagaimana diingkari kalau janji itu sendiri merupakan bayangan yang amat menyenangkan?”
“Terima kasih.” Setelah bertukar senyum, Warutama berkelebat lenyap di dalam gelap.
“Dia... dia sakti dan berbahaya...“ kata Pangeran Kukutan.
Suminten menoleh kepadanya, kemudian menggandeng lengannya, diajak memasuki kamarnya.
“Makin banyak orang sakti membantu, makin baiklah bagi kita. Tentang bahaya... apakah engkau cemburu, wahai kekasihku?”
“Tidak...! Tidak, Wong Ayu. Tidak cemburu..., karena aku tahu bahwa betapa pun juga, kau tetap butuhkan aku seperti aku membutuhkanmu!”
“Ucapan bijaksana, patut diberi ganjaran. Jangan pulang dulu, malam masih panjang, dan pagi ini dingin sekali...”
Mereka berpelukan sambil memasuki kamar. Pintu kamar ditutup dan sunyilah yang menyusul…..
********************
Rombongan yang megah itu di sepanjang jalan mendapat sambutan rakyat. Timbullah pula harapan rakyat yang tadinya merasa gellsah dan putus asa karena selama sang prabu di Jenggala tidak mengacuhkan pemerintahannya, mereka ini hidup tertindas dan tertekan oleh para penguasa setempat. Sudah terlalu lama sang prabu hanya tinggal di dalam istana, tidak pernah keluar dan tidak pernah mengurus soal-soal yang menyangkut pemerintahan dan tidak pula mempedulikan nasib rakyatnya.
Kini, melihat rombongan sang prabu yang hendak melakukan perburuan ke hutan, hati rakyat menjadi lega dan mengira bahwa tentu kini sang prabu sudah tidak “mengasingkan diri” lagi.
Selama ini, para petugas dan penjabat selalu mendesas-desuskan bahwa karena usianya sudah tua, sang prabu mulai tekun bertapa maka tidak lagi mengurus pemerintahan. Berduyun-duyun rakyat keluar menyambut dan hati mereka terharu menyaksikan tubuh tua kurus dan muka pucat tak bersemangat itu. Juga mereka kagum menyaksikan kemudaan dan kesegaran yang terpancar dari wajah Suminten, selir terkasih yang amat terkenal dan yang kini menjadi orang paling berkuasa di dalam istana.
Atas bujukan dan desakan Suminten, akhirnya sang prabu yang sudah tua itu berkenan memerintahkan para pengawal membuat persiapan karena sang prabu hendak berpeslar bersama selirnya dan pergi berburu binatang di hutan. Tadinya Ki Patih Brotomenggala sendlri hendak mengantarkan dan mengawal junjungannya, akan tetapi dia dicegah oleh Pangeran Kukutan yang berkata dengan suara tegas,
“Tak usah Paman Patih mengawal, karena Paman sendiri sudah sepuh (tua). Biarlah saya sendiri mengawal ramanda prabu! Tidak ada bahaya mengancam ramanda prabu, yang lebih penting menjaga keamanan istana. Harap Paman Patih menjaga di istana, sedangkan saya yang mengepalai para pengawal.”
Di dalam hatinya, Ki Patih Brotomenggala merasa khawatir sekali. Kiranya di antara semua ponggawa, hanya dia seoranglah bersama sang permaisuri yang dapat mengenal kepalsuan Pangeran Kukutan dan Suminten.
Akan tetapi sang prabu telah menyambut ucapan Pangeran Kukutan dan memerintahkan agar pengawalan dilakukan oleh sang pangeran, dia tidak berani membantah. Betapa pun juga, Ki Patih Brotomenggala bukan seorang bodoh. Diam-diam dia telah memerintahkan pasukan pilihannya yang terdiri dari dua belas orang pilihan dan dlgdaya untuk membayangi kepergian sang prabu, secara sembunyi melindungi keselamatan junjungannya.
Hati ki patih agak lega ketika barisan pengawal yang berjumlah tiga puluh orang itu adalah pengawal-pengawal istana yang ia percaya merupakan orang-orang yang masih setia kepada sri baginda dan belum “terbeli” oleh Suminten dan Pangeran Kukutan.
Maka patih yang setia dan sudah berusia tua ini mengantar keperglan sang prabu dengan penuh harapan mudah-mudahan kalau sang prabu menyaksikan rakyatnya dari dekat, hal in! Akan menggugahnya.
Tak dapat disangkal lagi, sang prabu menjadi amat terharu menyaksikan keadaan rakyat yang dilanda kemiskinan, melihat tubuh rakyatnya kurus-kurus dan melihat wajah yang kurus pucat dengan sinar mata mengandung penuh harapan ditujukan kepadanya.
Suminten yang cerdik pandai itu sengaja membawa bekal uang receh (kecil) beberapa kantung dan dibagi-bagikan uang itu kepada rakyat di sepanjangn jalan. Melihat ini, sang prabu menjadi girang dan memuji kemurahan hati selirnya yang terkasih. Juga Pangeran Kukutan membagi-bagi uang kepada rakyat sehingga rakyat bersorak gembira dan segera menjadi buah tutur mereka betapa murah hati adanya selir sang prabu dan Pangeran Pati Kukutan.
Iring-iringan itu memang megah dan indah. Karena sang prabu sudah tua dan sudah tidak setangkas dahulu sehingga mengkhawatirkan kalau menunggang kuda dan memburu binatang, dan terutama sekali sang prabu membawa selirnya yang tak boleh dipisahkan dari sisi sang prabu, maka dalam perjalanan ini sang prabu dan selirnya menggunakan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda.
Sang prabu mengenakan pakaian berburu dan di punggungnya tampak busur dan anak panah, di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan tombak bersandar di dalam kereta. Adapun Suminten yang mendapat kesempatan keluar istana, tidak menyianyiakan kesempatan bersolek sebagus-bagusnya sehingga rakyat memandangnya dengan mata terbelalak kagum. Pangeran Kukutan yang tampan dan gagah menunggang seekor kuda putih yang tinggi besar, juga berpakaian pemburu dengan senjata lengkap di tubuh. Tiga puluh orang pengawal itu rata-rata bertubuh tinggi tegap, merupakan pasukan pengawal yang kuat dan terpercaya.
Pada masa itu, hutan tempat berburu sang prabu merupakan daerah terlarang. Tidak ada seorang pun berani melakukan perburuan di hutan ini.
Karena sudah bertahun-tahun sang prabu tidak pernah berburu, maka hutan itu penuh dengan binatang-binatang yang berkembang biak dan begitu rombongan memasuki hutan, mereka ini menjadi amat gembira menyaksikan banyaknya binatang di hutan itu. Rombongan kijang yang gemuk-gemuk lari cerai-berai, kancil, kelinci, harimau, dan babi hutan merupakan sasaran yang lunak. Juga banyak sekali burung-burung besar yang menantang bukti kemahiran para pemanah.
Pangeran Kukutan segera menghujankan anak panahnya dengan amat gembira. Juga sang prabu timbul kegembiraannya, teringat masa mudanya dan raja yang sudah tua ini berkali-kali melepas anak panah dari dalam kereta, dipuji-puji oleh Suminten setiap kali anak panah ada yang mengenai sasaran, merobohkan seekor kijang atau kelinci.
Ketika ada seekor harimau gembong terjebak masuk ke dalam kurungan para pengawal yang berbaris mengelilingInya dengan tombak di tangan, sang prabu menjadi amat gembira sehingga dia turun dari kereta, membawa tombaknya dan ikut mengeroyok harimau itu yang akhirnya roboh tewas dengan tubuh penuh luka-luka karena ke mana pun ia lari, mata tombak yang runcing menghunjam ke tubuhnya. Sorak-sorai para pengawal membuat burung-burung hutan terbang ketakutan.
Tiba-tiba terdengar jerit-jerit kesakitan, disusul teriakan-teriakan marah dan keadaan menjadi kacau-balau. Dalam sekejap mata, para pengawal sudah berperang tanding melawan serbuan banyak sekali orang-orang yang berkepala gundul! Melihat ini, Pangeran Kukutan cepat melompat turun dari kudanya, membawa sang prabu kembali ke dalam kereta, di mana sang prabu memandang dengan wajah pucat, berdekapan dengan Suminten yang menggigil ketakutan.
“Jangan khawatir, Ramanda Prabu. Hamba menjaga di sini!” kata Pangeran Kukutan dengan sikap gagah, berdiri melindungi kereta sambil melintangkan tombaknya setelah cepat-cepat ia melepaskan empat ekor kuda yang menarik kereta karena takut kalau-kalau empat ekor kuda itu menjadi ketakutan dan membalapkan kereta.
“Tenanglah, Manis. Tenanglah..., jangan takut. Para pengawal kita akan membasmi pengacau-pengacau itu!” Sang prabu menghibur sambil merangkul leher kekasihnya.
“Entah siapakah mereka yang begini kurang ajar berani menggangguku!”
Karena bersembunyi di dalam kereta, sang prabu tidak dapat menyaksikan pertandingan yang mati-matian antara pasukan pengawal dan orang-orang berkepala gundul yang jumlahnya lebIh dari tiga puluh orang itu. Tidak melihat betapa pasukan pengawal yang setia itu membelanya mati-matian, namun kalah kuat oleh para penyerbu yang rata-rata memiliki tubuh kebal dan keberanian yang luar biasa.
Kalau hanya terpukul dan tertusuk tombak menimbulkan lecet kulit dan pecah daging saja tidak membuat mereka undur, dan mereka yang tertusuk sampai keluar ususnya atau tertembus tubuhnya, roboh berkelojotan dan mati, barulah menghentikan amukannya.
Menghadapi serbuan orang-orang nekat seperti ini, para pengawal terdesak hebat.
Tiba-tiba muncul dua belas orang gagah perkasa yang berpakaian serba hitam. Mereka ini bukan lain adalah pasukan pilihan yang diutus ki patih untuk diam-diam melindungi sang prabu. Munculnya dua belas orang pilihan ini merubah keadaan. Mereka ini mainkan golok mereka dengan tangkas dan para penyerbu yang berkepala gundul itu segera terdesak, banyak di antara mereka roboh termakan golok. Akan tetapi, segera terdengar bentakan-bentakan buas dan muncultiga orang yang amat hebat sepak-terjangnya, bahkan dengan tangan kosong tiga orang ini menyambut dua belas orang pengawal baju hitam.
Yang seorang adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah, yang ke dua seorang licki-laki bertubuh raksasa dan yang ke tiga seorang wanita cantik. Cepat dan ampuh sekali pukulan mereka ini sehingga dalam waktu singkat, sebelas orang pengawal baju hitam roboh tewas dan hanya seorang di antara mereka yang tempat melarikan diri menggondol luka pukulan tangan Ni Dewi Nilamanik yang membuat separuh dadanya menjadi gosong menghitam.
Ya, tiga orang itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama sendiri! Setelah kedua belas orang pengawal baju hitam itu terbasmi habis, mereka bertiga pun cepat menyelinap bersembunyi, membiarkan barisan gundul itu berperang tanding melawan para pengawal kerajaan.
Perang tanding yang amat hebat, yang seru dan liar buas. Para pengawal bertanding mati-matian, melawan musuh yang lebih banyak dan lebih kuat. Koran-korban kedua fihak berjatuhan. Sejam mereka berperang tanding dan akhirnya, orang penghabisan fihak pengawal menjerit dengan perut robek.
Tiga puluh orang pengawal itu tewas semua dan di fihak penyerbu, hanya bersisa sepuluh orang gundul yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sedikit darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka di tubuh, sebagian besar darah lawan yang mereka robohkan dan tewaskan. Kini sepuluh orang itu dengan roman buas dan golok di tangan menghampiri kereta!
Pangeran Kukutan dengan sikap gagah menerjang maju ketika sepuluh orang itu mengurung kereta. Ia disambut oleh empat orang gundul dan terjadilah pertempuran hebat ketika pangeran itu dikeroyok. Sedangkan enam orang gundul yang lain menghampiri sang prabu dan Suminten.
Raja yang tua itu bangkit semangatnya melihat bahaya mengancam. Ia sudah melolos pedangnya, lengan kiri memeluk pinggang Suminten, tangan kanan memegang pedang siap melakukan perlawanan. Tiba-tiba Suminten merenggut dirinya terlepas dan berdiri menghadang di depan sang prabu.
“Jangan bunuh...! Kami menyerah...!” teriaknya, kemudian ia memegang lengan kanan sang prabu dan berbisik, “Harap paduka melepas pedang, tiada gunanya melawan. Lebih baik menyerah.”
Sang prabu mengerling ke arah Pangeran Kukutan dan ternyata pangeran itu telah kehilangan tombaknya dan kini sudah ditangkap oleh para pengeroyoknya. Sang prabu menarik napas panjang dan melempar pedang, akan tetapi berdiri dengan sikap agung dan angkuh.
Orang-orang gundul itu menangkap sang prabu dan Suminten dan mereka bertiga telah dlikat kedua tangan mereka di belakang tubuh, lalu digiring keluar dari tempat itu. Dengan sikap kasar sepuluh orang gundul itu lalu mengikat tubuh mereka pada batang pohon, masing-masing terpisah dua meter.
“Kalian siapakah? Mengapa menyerbu dan menangkap kami?” Sang prabu bertanya, suaranya keras dan sama sekali tidak kelihatan takut.
Seorang di antara orang-orang gundul itu menghampiri sang prabu dan tertawa menyeringai. Kemudian, dengan suara yang parau ia menjawab,
“Kami anak buah Brotomenggala!”
“Tidak mungkin...!”
Sang prabu membentak dan membelalakkan mata penuh kekagetan dan keheranan.
“Ha-ha-ha, Brotomenggala yang memerintahkan kami menangkap Paduka. Paduka dan Pangeran Mahkota akan kami sembelih dan wanita ini dihadiahkan kepada kami. Ha-ha!”
“Bohong! Kalian ini perampok-perampok laknat yang bohong!”
Sang prabu membentak penuh kemarahan.
“Bohong? Paduka saksikanlah!” Si gundul yang tinggl besar ini lalu menghampiri Suminten, tangan kirinya meraih dan menarik keras-keras, “Brettt...!”
Bagian depan pakaian atas yang dipakai Suminten robek sehingga tampak sebagian dadanya. Suminten menjerit dan merintih perlahan, menangis.
“Tahan...!” Sang prabu membentak dan berusaha meronta-ronta. Juga Pangeran Kukutan meronta-ronta. Dua orang gundul menghampiri mereka dan menodongkan ujung golok ke dada mereka penuh ancaman.
“Jangan bergerak!” Dua orang ini membentak.
“Tahan... jangan lakukan itu...! Aku berjanji, demi kedudukanku sebagai Raja Jenggala. Kalau kalian membebaskan kami, aku akan memberi hadiah apa saja yang kalian minta!”
“Ha-ha-ha!” Si gundul yang menjadi pemImpin mereka bergelak. “Ki Patih Brotomenggala sudah menjanjikan hadiah terbesar bagi kami. Lebih baik kami sembelih kalian ayah dan putera terlebih dahulu agar jangan mengganggu kesenangan kami!”
Si gundul kini mengangkat golok menghampiri sang prabu. Betapa pun tabahnya, kini sang prabu menjadi pucat.
“Tunggu sebentar...!” katanya perlahan. “Aku tidak takut mati, akan tetapi sebelumnya katakan mengapa Kakang Patih Brotomenggala melakukan penghianatan ini!”
“Paduka masih bertanya lagi? Ha-ha-ha! Sudah bertahun-tahun paduka menyakitkan hati Ki Patih Brotomenggala. Paduka membunuh putera mantunya, dan paduka memilih putera mahkota yang tidak dikehendakinya! Apakah paduka kira ki patih tidak mempunyai cita-cita? Ha-ha-ha...!”
“Brotomenggala penghianat...!” Pangeran Kukutan memaki marah.
“Sudah hamba katakan berkali-kali, akan tetapi paduka tak percaya...“ kata pula Suminten di antara isaknya.
Sang prabu menghela napas panjang. “Ahh, siapa kira...! Kakang Patih Brotomenggala...! Nah, Kisanak, lakukanlah tugasmu. Kamu hanya petugas, aku siap menerima kematian akibat penghianatan seorang manusia durhaka!”
Si gundul itu tertawa kembali, kemudian mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Sang prabu membelalakkan mata, bersikap seperti seorang di saat terakhir.
Akan tetapi sebelum golok itu menyambar turun, mendadak si gundul menjerit aneh dan tubuhnya roboh terjengkang, sebatang anak panah menancap di tenggorokannya.
Pada saat berikutnya, sesosok bayangan berkelebat bagaikan seekor garuda menyambar dan begitu bayangan ini menggerakkan kaki tangannya, dua orang gundul kembali roboh, yaitu mereka yang menjaga Pangeran Kukutan dan Suminten. Orang ini bukan lain adalah Raden Warutama!
Sang prabu memandang dengan heran dan kagum kepada pria perkasa yang kini mengamuk, dikeroyok tujuh orang gundul yang bersenjata golok. Bagaikan seekor burung srikatan saja tubuhnya cepat berkelebatan, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya.
Tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan ternyata itu adalah sebatang keris luk tujuh yang bersinar hijau dan dipegang oleh pria itu. Begitu sinar itu berkelebat, secara berturut-turut robohlah lima orang gundul. Pria itu masih mengamuk, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Kukutan berseru,
“Ksatria yang perkasa, harap tawan hidup-hidup dua orang itu!”
Pria itu menoleh, tersenyum, lalu kakinya bergerak menendang. Dua orang gundul terguling roboh, golok mereka mencelat dan setelah menyimpan kerisnya, pria itu lalu menelikung lengan mereka ke belakang, mengikat tangan mereka mempergunakan robekan pakaian mereka sendiri. Kemudian dengan sikap penuh hormat ia melepaskan belenggu sang prabu, Suminten, dan Pangeran Kukutan.
“Mohon ampun bahwa hamba agak terlambat sehingga paduka mengalami banyak kaget, Gusti.” kata pria itu sambil bersimpuh dan menyembah penuh kehormatan.
Setelah mengelus-elus pergelangan tangan yang terasa sakit, sang prabu memandang pria itu, kemudian berkata,
“Andika telah menyelamatkan kami, sungguh merupakan budi yang amat besar. Kalau tidak salah pandanganku, agaknya aku pernah melihatmu, ksatria yang perkasa. Siapakah gerangan andika?”
Raden Warutama menyembah dan menekan debar jantungnya.
“Ampunkan, Gusti. Sesungguhnya, baru pertama kali ini hamba mendapat kehormatan menghadap paduka. Hamba bernama Warutama dan datang dari Bali-dwipa. Akan tetapi, tidaklah terlalu keliru perkiraan paduka kalau diingat bahwa paman hamba Narotama dahulu adalah abdi setia dari Sang Prabu Airlangga...”
“Ahhh, kiranya Andika ini anak kemenakan Paman Patih Narotama? Sungguh besar kekuasaan Dewata! Kami bersyukur bahwa yang menolong kami adalah keturunan Paman Patih Narotama...”
Hemm, sungguh awas pandang mata kakek yang sudah tua ini, pikir Warutama setelah hatinya lega kembali. Ia cepat bangkit dan berkata,
“Seyogianya paduka cepat-cepat kembali ke istana, Gusti. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat ini masih banyak kawannya, Biarlah hamba mencarikan kuda yang telah lari itu.”
Ia lalu melesat cepat dan tak lama kemudian sudah kembali menuntun empat ekor kuda. Dua ekor ia pasangkan di depan kereta sri baginda yang ia persilakan memasuki kereta bersama Suminten.
“Biarlah hamba mengawal paduka sampai ke istana.”
Dua orang gundul yang menjadi tawanan itu lalu diikat di belakang kereta. Kemudian berangkatlah kereta itu dikawal oleh Warutama dan Pangeran Kukutan, kembali ke istana meninggalkan hutan yang mtngerikan itu, di mana berserakan puluhan mayat manusia.
Di dalam kereta yang kudanya dituntun dari depan oleh Warutama yang juga menunggang kuda sedangkan Pangeran Kukutan mengawal di belakang kereta, Suminten Menangis sambil memeluk sang Prabu.,
“Aduh, junjungan hamba... betapa ngerirasa hati hamba kalau teringat akan peristiwa tadi...! Yang hamba khawatirkan adalah paduka, Gusti...”
Sang prabu menjadi terharu dan mencium tengkuk wanita yang menelungkupkan muka di atas pangkuannya itu. “Dewata masih melindungi kita, Suminten kekasihku.”
“Untung muncul Raden Warutama itu, kalau tidak...”
“Dia amat berjasa. Harus kita beri anugerah yang sepadan dengan jasanya yang besar.”
“Dia keponakan mendiang Ki Paitih Narotama yang amat setia. Kalau paduka mempunyai seorang patih seperti dia, setia dan sakti mandraguna, barulah akan aman tenteram rasa hati hamba...”
“Mengangkat dia menjadi patih?” Sang prabu meragu.
“Jasanya besar, kesetiaannya sudah terbukti...”
“Akan tetapi... patih adalah warangka raja!”
“Dia jauh lebih setia dan lebih baik dari pada penghianat Brotomenggala.”
“Aahhh...!” Sang prabu menghela napas ketika nama ini disebut. “Tak tahu aku mengapa Kakang Brotomenggal. menjadi begitu kejam dan curang. Dia sampai tega mengarah kematianku.”
“DIa harus dihukum berat, seberat beratnya agar menjadI contoh bagi para ponggawa lain!” kata Suminten penuh semangat.
Sang prabu hanya dapat mengangguk angguk dengan lemas dan berduka. Sesungguhnya hatinya merasa berat sekali harus menghukum patihnya yang begitu setia sejak muda, akan tetapi dosanya sudah terbukti dan dosa ini melampaui batas.
“Betapa hatiku tak akan remuk? Di begitu setia...”
“Paduka jangan terlalu lemah! Perasaan pribadi harus dikalahkan dan kepentingan kerajaan harus dikemukakan. Kalau orang berdosa seperti dia, yang sudah berkhianat, mengarah kematian junjungannya tidak dibasmi sampai ke akar-akarnya tentu akan timbul lain penghianatan yang lebih kejam lagi!”
Sang prabu mengelus lengan yang berkulit halus lembut itu. “Engkau selalu benar, Suminten. Sudah berkali-kali engkau memperingatkan aku akan kepalsuan patihku, namun... ah, siapa mengira? Aku menyerahkan pelaksanaan hukuman kepadamu.”
“Biarlah, Paduka jangan ikut-ikut. Biar hamba yang akan membalas kejahatannya! Kalau dia hanya membenci hamba dan mengusahakan kematian bagi hamba, hal ini tidak hamba peduli dan hamba menganggap hal yang tidak penting. Akan tetapi... dia berani hendak menyuruh bunuh Paduka! Paduka raja besar junjungan rakyat seluruh Jenggala! Penghlanat macam dia harus dibasmi sampai seluruh keluarganya. Ijinkanlah hamba menyuruh pengawal menangkap penghianat itu bersama seluruh keluarga dan semua abdinya, dan menjatuhkan hukuman gantung di alun-alun agar semua ponggawa menjadi takut melakukan penghianatan.”
Gegerlah seluruh isi istana ketika rombongan sang prabu yang berangkat dengan megah itu kini pulang dalam keadaan yang mengejutkan. Apa lagi Ki Patih Brotomenggala sendiri yang sedang bersiap-siap untuk menyambut pulangnya junjungannya, tiba-tiba kedatangan serombongan pasukan pengawal yang sertamerta menangkap dia dan seluruh keluarganya.
Sebagai seorang patih yang berwibawa dan berkuasa, tentu saja Ki Patih Brotomenggala menjadi marah dan membentak,
“Kalian ini mau apa? Sudah berbalikkah dunia ini sehingga barisan pengawal hendak menentang atasannya?”
Komandan pasukan itu hanya menjawab singkat,
“Kami mengemban tugas gusti sinuwun yang memerintahkan untuk menangkap dan membawa Paduka sekeluarga menghadap gusti sinuwun!”
Hujan tangis terjadi di dalam kepatihan. Namun, sekali ini Pangeran Kukutan tidak mau sembrono dan karena perintah penangkapan itu sebetulnya datang dari Suminten, tentu saja pengawal yang diutus untuk menangkap keluarga kepatihan adalah pasukan pengawal kepercayaannya.
Biar pun keluarga kepatihan meratap dan menangis, pasukan pengawal ini sedikit pun tidak menaruh kasihan dan memaksa seluruh keluarga, berikut beberapa orang anak-anak yang menjadi cucu dan buyut Ki Patih Brotomenggala, juga semua pelayan, dipaksa untuk ikut menjadi tahanan.
Jumlah semuanya ada tiga puluh enam orang! Hanya ada seorang anggota keluarga kepatihan yang secara kebetulan saja lobos dari penangkapan ini. Dia itu adalah seorang cucu luar ki patih, seorang gadis berusia Sembilan belas tahun yang bernama Widawati.
Pada saat penangkapan terjadi, gadis ini sedang keluar dari kepatihan untuk berlatih tari-tarian di rumah seorang sahabatnya yang menjadi puteri pelatih tarian. Begitu mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarganya, Widawati dibujuk dan dinasehati kawankawannya untuk melarikan lolos dari dalam istana dengan bantuan para ponggawa yang setia dan yang menaruh kasihan kepada sang puteri.
Ketika para tahanan dihadapkan kepada raja, mereka itu berlutut dan tidak kedengaran lagi isak tangis. Keluarga kepatihan yang sudah terlatih ini menahan semua perasaan dan berlutut sembah dengan penuh kekhidmatan kepada sang prabu yang menjadi junjungan mereka.
Bahkan yang kecil-kecil pun tahu akan sopan-santun istana ini. Di dalam hatinya, sang prabu merasa seperti ditusuk pisau berkarat menyaksikan wajah patihnya yang setia itu, yang kini berlutut dengan wajah tua keriputan di depan kakinya, dengan pandang kosong terheran-heran.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar