PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-52


Diam-diam sang permaisuri berdoa kepada para dewata agar malam ini dia mendapatkan jalan untuk menjatuhkan wanita berbahaya itu. Ia berdoa agar dapat menangkap basah Suminten yang menerima kekasihnya di dalam kamar pesanggrahan di taman, sehingga dia mendapatkan senjata untuk menghantam Suminten di depan sang prabu.
Doa permaisuri tua yang menderita batinnya itu agaknya diterima karena belum lama dia dan embannya mengintai, tampak sesosok bayangan berindap-indap memasuki taman sari, langsung menghampiri pondok Itu dan mengetuk pintunya tiga kali. Suminten sendiri yang membuka pintu pondok, kemudian terdengar suara mereka berdua di dalam kamar itu.
Ketika sang permaisuri mengintai, hatinya agak kecewa karena yang memasuki pondok itu bukanlah seorang pria, melainkan seorang abdi pelayan yang masih muda dan cantik. Akan tetapi hatinya berdebar tegang ketika mendengar percakapan mereka.
“Emban, mengapa engkau yang datang? Mana gustimu?” tanya Suminten, suaranya membayangkan kekecewaan dan kemarahan.
“Hamba diutus oleh gusti pangeran untuk menghadap Paduka dan menyatakan penyesalannya bahwa gusti pangeran berhalangan datang. Akan tetapi gusti pangeran memerintahkan hamba menghaturkan sepucuk surat kepada paduka.”
Berkata emban itu sambil bersujut dan menghaturkan sebuah sampul surat.
Suminten menjadi merah mukanya, mulutnya merengut dan ia menampar tangan emban itu sehingga suratnya melayang jatuh ke atas lantai.
“Aku tidak butuh surat! Pangeran itu memang terlalu! Bila dia sudah tidak suka mematuhi panggilanku, bilang saja terus terang! Sudah sejak sore aku menunggunya di sini, untuk bertemu dengan dia, bukan dengan suratnya! Engkau adalah kepercayaan sang pangeran, bahkan abdi kinasih (abdi tercinta), tentu engkau dapat merasakan kekecewaan seorang wanita yang menanti-nanti akan tetapi tidak diperhatikan!”
“Ampun, Gusti Ayu, harap sudi bersabar. Gusti pangeran tentu saja terhalang oleh kesibukannya sebagai seorang putera mahkota, agaknya ada urusan penting yang...”
“Alasan! Kau abdi terpercaya dan terkasih, tentu saja hanya akan membelanya. Pendek kata aku tidak suka menerima suratnya, aku tidak sudi membacanya!”
Sang permaisuri yang mendengarkan dari luar menjadi berdebar-debar tegang hatinya. Maklumlah ia kini bahwa emban itu adalah utusan Pangeran Kukutan! Kalau saja ia bisa mendapatkan surat itu, terrtu dapat ia bawa kepada sang prabu sebagai bukti pengkhianatan hubungan jina antara Suminten dan Kukutan! Juga diam-diam dia merasa geli mendengar ucapan Suminten yang menolak membaca surat karena ia tahu benar bahwa selir ini tidak pandai membaca!
Seorang selir yang tadinya hanya menjadi abdi dari Pangeran Panjirawit, mana mungkin dapat membaca surat? Akan tetapi hatinya makin tegang ketika ia mendengar percakapan mereka berdua itu lebih lanjut.
Sang emban tertawa genit.
“Gusti, hamba sudah mendapat perintah gusti pangeran bahwa kalau paduka tidak sudi membaca, hamba disuruh membacakan surat beliau itu di hadapan Paduka.”
“Sukamu! Masa bodoh kalau kau mau baca! Aku sendiri tidak sudi menyentuh suratnya, apa lagi membaca,” kata Suminen dengan sikap ngambek dan duduk di atas pembaringan memutar tubuh membelakangi emban itu.
Emban itu yang agaknya tahu belaka akan hubungan gelap antara selir sang prabu dan puteranya itu, tersenyum-senyum dan dengan gerakan genit mengambil surat dari atas lantai, membuka sampulnya dan kemudian membaca dengan suara dibuat-buat, merdu dan mesra :
“Adindaku yang tercinta, juita sayang pujaan kalbu, Adinda Suminten yang denok ayu. Betapa pun rindu hatiku pada Adinda, ingin sekali berdekatan dengan Adinda, bercumbu-rayu bersenda gurau, berenang berdua di samudera cinta, ingin mendengar suara emas Adinda, mencium rambut Adinda yang sedap harum, memeluk tubuh Adinda yang indah, kulit yang halus lunak dan hangat, namun terpaksa malam ini kakanda tak dapat datang menjumpai Adinda. Malam ini kakanda sibuk dengan Ki Dukun untuk mengatur siasat yang Adinda rencanakan. Ramuan racun telah dibuat Ki Dukun, tidak ada rasanya dan dapat dicampurkan dalam minuman untuk sang prabu dan permaisuri. Di malam Respati depan. Harap Adinda... agar pada malam Respati...”
“Cukup! Goblok engkau, emban! Masa hal begitu kau baca keras-keras! Sang pangeran juga sembrono sekali, mengirim surat seperti itu kepadaku! Bagaimana kalau terjatuh ke tangan orang lain? Lekas kau pergi dari sini, bawa surat yang berbahaya itu, kembalikan kepada sang pangeran. Katakan bahwa aku bukan anak kecil, aku tahu apa yang harus kulakukan. Cepat, pergi...!”
Emban itu menyembah, menyelipkan surat itu ke dalam sampul kembali, lalu membawa surat itu pergi keluar dari dalam pondok. Akan tetapi, ketika emban ini sedang berjalan tergesa-gesa menyelinap di antara pohon-pohon yang gelap, tiba-tiba ia menahan pekik karena tahu-tahu di depannya telah berdiri sang permaisuri!
Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Seorang emban tua yang menemani permaisuri dengan cepat menangkap kedua lengannya, dan ditelikung ke belakang, dan tanpa banyak cakap sang permaisuri lalu merampas surat bersampul.
“Ampun... ampunkan hamba...harap kembalikan surat itu... surat itu milik hamba... hendak dipersembahkan kepada Gusti Ayu Suminten... Emban itu meratap dan menangis dengan muka ketakutan, tubuhnya menggigil seperti orang menderita sakit demam.
“Diam kau?” Sang permaisuri membentak penuh wibawa. “Hayo ikut bersamaku!”
Dengan masih menangis emban yang sial itu lalu dibawa pergi memasuki taman sang permaisuri.
“Kau lihat, aku tidak membuka sampul surat kotor yang kau bawa. Kita tunggu hadirnya sang prabu agar sang prabu sendiri yang membuka dan memeriksa!”
“Tapi... tapi, duh Gusti... ampunkan hamba... surat... surat itu adalah surat...,”
“Cukup! Aku tahu surat kotor macam apa!” bentak sang permaisuri yang segera memerintahkan seorang abdi untuk melaporkan sang prabu bahwa urusan darurat yang amat penting memaksa sang permaisuri untuk mohon menghadap di ruangan dalam. Ruangan ini khusus untuk tempat keluarga raja berunding tentang masalah-masalah kekeluargaan yang pelik-pelik dan tidak perlu diketahui oleh para ponggawa.
Tak lama kemudian abdi yang diperintah datang kembali menyampaikan perintah sang prabu yang telah siap menanti di ruangan dalam.
Permaisuri bersama emban tua menggiring emban cantik itu memasuki ruangan dalam di mana sang prabu telah duduk di atas kursi dengan wajah keruh. Agaknya sang prabu merasa tidak senang diganggu pada malam hari itu, malam yang merupakan malam istirahat baginya. Maka begitu sang permaisuri muncul bersama dua orang emban, sang prabu telah menegurnya dan dengan sikap yang tidak terlalu manis menanyakan maksud isterinya mengganggu istirahatnya.
“Harap Kakanda sudi memaafkan kalau mengganggu Paduka, akan tetapi urusan yang amat penting terjadi sehingga terpaksa saya mengganggu. Akan tetapi karena urusan ini menyangkut diri selir Paduka Suminten yang jelas sedang merencanakan pengkhianatan dan pembunuhan, maka saya harap sukalah Paduka memerintahkan agar Suminten dipanggll menghadap.”
Wajah sang prabu berubah mendengar ucapan yang tenang ini. Sekilas ia memandang ke arah sampul yang berada di tangan permaisuri dan keningnya berkerut. Sang prabu cukup mengenal isterinya ini, seorang puteri yang angkuh dan berbudi luhur.
Lain orang isterinya boleh jadi akan menurutkan hati cemburu menjatuhkan fitnah, namun ia merasa yakin bahwa permaisuri tidak akan mau bertindak seperti itu. Maka dia kini menjadi berdebar risau, karena biasanya, apa yang dinyatakan oleh permaisuri pastilah benar dan bukan fitnah, bukan pula main-main. Ia menekan perasaan yang tegang lalu bertepuk tangan memberi isyarat.
Seorang pengawal yang hanya boleh menjaga di luar ruangan itu, muncul dan sang prabu segera memerintahkan untuk memanggil Suminten menghadap. Karena panggilan ini datangnya dari sang prabu yang berada di ruangan dalam, tanpa dijelaskan pun Suminten akan tahu bahwa panggilan ini ada hubungannya dengan urusan penting mengenai keluarga, dan ia tidak boleh membawa pelayan.
Suasana menjadi tegang sekali ketika mereka yang berada di dalam ruangan itu menanti munculnya Suminten. Hanya terdengar isak tertahan si emban muda yang menangis. Sang prabu mengerti bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak perlu ia bertanya-tanya. Sang permaisuri akan menjelaskan kesemuanya setelah Suminten datang.
Sementara itu, sang permaisuri lalu menyimpan surat yang dipegangnya tadi di balik bajunya karena ingin menjatuhkan Suminten dengan tepat dan baru mengeluarkan surat itu ketelah mendengar pengakuan palsu
Suminten yang ia tahu pasti akan mencari-cari alasan. Ia harus bersikap cerdik menghadapi ular betina itu, pikirnya.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti muncullah Suminten yang cantik jelita, yang ayu dan segar seperti orang baru saja keluar dari kamar mandi. Sekali lirik tahulah sang permaisuri bahwa Suminten telah bertukar pakaian.
Tadi ketika berada di pesanggrahan dalam taman, pakaiannya serba merah jambon, kembennya tipis semrawang sehingga terbayang tubuhnya dan lekuk lengkung tubuhnya. Berbeda dengan tadi ketika menanti kekasih, kini pakaiannya lebih sopan, masih serba merah dan jelas menonjolkan tubuhnya yang berbentuk indah menggairahkan, namun patut menjadi pakaian seorang selir terhormat.
Suminten serta merta menjatuhkan diri berlutut menghaturkan sembah kepada sang prabu dengan gerak tubuh yang lemah lembut. Melihat selir terkasih ini, seketika keraguan di hati sang prabu melenyap. Selirnya ini, Suminten yang begitu mesra dan penuh kasih sayang kepadanya setiap kali mereka memadu kasih, menjadi pengkhianat dan pembunuh? Tidak mungkin!
“Duhai Kakanda prabu junjungan hamba!”
Suminten berkata dengan suaranya yang halus merayu, membuat hati sang permaisuri makin mendidih apa lagi mendengar bahwa kini Suminten tidak lagi menyebut gusti melainkan kakanda kepada sang prabu.
“Paduka amat memerlukan istirahat, mengapa malam-malam Paduka masih terjaga? Hal ini amat tidak baik bagi kesehatan Paduka!”
Senang hati sang prabu mendengar betapa selirnya ini amat memperhatikan keadaan kesehatannya. Tidak seperti permaisuri tua yang rewel.
“Bukan kehendakku, Suminten. Adinda permaisuri yang menghendaki karena katanya ada urusan penting hendak disampaikan kepadaku, di hadapanmu. Nah, Adinda permaisuri, Suminten telah datang menghadap. Lekas ceritakan apa yang menjadi kehendak hatimu.”
Nada suara sang prabu tidaklah ramah. Namun permaisuri itu tetap tenang, karena ia yakin bahwa sekali ini ia akan menang dengan adanya senjata surat rahasia itu di tangannya.
“Kakanda tentu masih ingat betapa seringnya saya memperingatkan Kakanda akan kepalsuan wanita ini, bukan karena cemburu, melainkan demi mengingat keamanan paduka dan kerajaan. Namun Paduka tidak pernah mempercaya saya.
Sekarang, saya telah mendapatkan bukti kuat akan kepalsuan Suminten. Eh, emban yang menjadi kaki tangan pengkhianat, katakan apa yang kaulakukan di waktu malam tadi?”
Sang permaisuri bertanya kepada emban cantik pembawa surat. Emban itu gemetar bibirnya ketika menjawab,
“Hamba... hamba tidak melakukan sesuatu kesalahan...”
“Cukup!” permaisuri membentak, kini menoleh ke arah Suminten yang bangkit berdiri dengan sikap menantang. “Suminten, engkau tadi berada di dalam pesanggrahan di dalam taman, lalu datang emban ini mengantar surat untukmu. Betulkah itu?”
Permaisuri mengira bahwa Suminten pasti akan menyangkal, maka amatlah heran hatinya menyaksikan keberanian wanita itu ketika Suminten menjawab,
“Memang benar hamba telah menerima surat yang hamba suruh emban membawa kembali kepada pengirimnya.”
Bagus, pikir permaisuri. Engkau berani dan tabah, akan tetapi keberanianmu memudahkan penyelesaian perkara ini yang akan menjatuhkanmu! Wajah yang tua itu tersenyum penuh kemenangan ketika ia menoleh ke arah emban yang berdiri menggigil di belakang Suminten sambil menghardik,
“Engkau abdi dari mana?”
“Hamba... abdi dalem pangeran mahkota...”
“Suminten, dari siapakah surat yang kauterima tadi?”
Masih tenang sikap Suminten, bahkan dia mengerling ke arah sang prabu dengan bibir tersenyum dan mata seolah-olah menyatakan betapa cerewetnya permaisuri tua ini.
“Surat itu dari puteranda pangeran mahkota.”
Suaranya mengandung tuntutan mengapa hal begitu saja dihebohkan. Akan tetapi wajah sang permaisuri menjadi pucat mendengar jawaban emban dan Suminten. Jawaban ini saja sudah jelas membuktikan bahwa antara Pangeran Kukutan dan Suminten terdapat hubungan gelap, dan mereka telah bersurat-suratan!
Wajah sang prabu berubah menjadi makin merah dan makin merah, tanda bahwa ia mulai cemburu dan marah. Sang permaisuri sebaliknya berseri wajahnya. Wajah tua yang masih berbekas garis-garis cantik ini tersenyum ketika ia menoleh sang prabu sambil mengeluarkan surat dari balik bajunya.
Melihat surat ini, Suminten kelihatan kaget, menahan jerit dengan jari-jari tangan halusnya menutupi bibirnya yang merekah merah. Melihat ini, sang prabu makin merah mukanya dan sang permaisuri makin berseri.
“Harap Paduka bersabar. Sebelum saya menyerahkan surat agar dapat dibaca oleh Paduka pribadi, lebih baik Paduka mendengarkan lebih dulu apa yang telah saya dengar dan didengar pula oleh emban saya di pondok dalam taman sari Karena saya tidak menjatuhkan fitnah, biarlah emban saya yang menceritakani kesaksiannya. Emban, ceritakanlah apa yang engkau dengar tadi.”
Emban tua Itu sebenarnya amat takut terhadap Suminten, apa lagi Suminten memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan terdengar suara Suminten
“Hm emban!.”
“Perlukah engkau menceritakan hal yang mendatangkan bencana?”
Suara Suminten mengandung aricaman mengerikan sehingga emban tua. itu menjadi ketakutan, menjatuhkan did berlutut di depan sang permaisuri sambil berkata,
“Mohon Paduka melindungi hamba,Gustl,” katanya sambil menangis.
“Emban! Jangan banyak tingkah, lekas Ceritakan!” sang prabu membentak.
Emban itu cepat menyembah dan bercerita,
“Hamba bersama gusti permaisuri menyaksikan dan mendengar ,dari luar jendela pondok ketika surat itu di-serahkan oleh abdi gusti pangeran mahkota kepada... Gusti Ayu Suminten: Kemudian surat itu dibaca oleh abdi ini dan... dan...”
“Apa bunyinya surat? Katakan!” desak sang permaisuri.
“Menurut pendengaran hamba... surat dari gusti pangeran mahkota itu menyebut tentang persekutuan dan rencana untuk... untuk meracuni Paduka berdua, Gusti Sinuwun dan Gusti Ratu...”
“Bohong...!”
Tiba-tiba Suminten menjerit dengan mata terbelalak memandang emban tua itu.
“Engkau wanita setan, engkau bohong..., menjatuhkan fitnah keji... Kakanda harap jangan mendengarkan hasutan-hasutan busuk dan keji! Hamba lebih baik pergi saja dari sini dari pada mendengarkan fitnah keji yang amat memuakkan...!”
Setelah berkata demikian, Suminten bergerak hendak meninggalkan ruangan itu...
Akan tetapi sang permaisuri sudah mengulurkan tangannya memegang lengan muda yang halus itu. Biar pun jauh lebih tua, namun permaisuri adalah seorang puteri yang di masa mudanya suka mempelajari olah keprajuritan, maka masih memiliki tenaga yang kuat sehingga Suminten tak dapat bergerak.
“Jangan pergi dulu Kedudukanmu hanya selir, itu pun selir palsu yang berkhianat, bagaimana engkau berani pergi tanpa diperintah?”
Tadinya sang prabu tidak percaya akan tuduhan yang dijatuhkan kepada selirnya yang terkasih, akan tetapi mendengar cerita emban tua dan melihat betapa Suminten yang menyangkal itu hendak melarikan diri, hatinya seperti ditusuk rasanya. Sikap Suminten yang hendak melarikan diri itu menghapus keraguannya dan timbullah kecurigaannya.
“Suminten, jangan pergi dan tunggu sampai selesai perkara ini!” katanya.
Nada suaranya sudah berbeda, kehilangan irama kasih sayang yang biasanya terdapat dalam ucapannya terhadap Suminten.
Sementara itu, dengan wajah berseri penuh kemenangan yang sudah membayang di depan mata, sang permaisuri lalu mempersembahkan sampul surat itu -kepada suaminya sambil berkata,
“Saya bersumpah bahwa saya sendiri tidak pernah membaca surat ini yang semenjak saya rampas dari tangan emban pengkhianat itu tak pernah terlepas dari tangan saya. Dan untuk membuktikan bahwa saya dan juga emban saya tidak membohong, saya persilakan Paduka membacanya sendiri surat yang menjijikkan dan kotor ini.”
Jari-jari tangan sang prabu yang Sudah tua itu menggigil ketika ia -mengeluarkari surat dari sampulnya. Bukan mengglgil karena sudah buyuten, melainkan menggigil karena tegang, seolah-olah bukan nasib Suminten yang akan dihancurkan oleh surat Itu, melainkan nasibnya sendiri.
'“Aduh, Kakanda sinuwun sesembahan hamba “
Suminten sudah merenggutkan lengannya dan lari menjatuhkari diri berlutut menclumi kaki sang prabu sambil menangis.
“Hamba mohon dengan seluruh hati hamba, hendaknya jangan dibuka dan dibaca surat itu oleh Paduka... hamba... hamba... tidak ingin mencelakakan siapa-siapa, hamba lagi, hamba tidak ingin melihat Paduka menjadi berduka Percayalah, hamba selalu mencinta dan setia kepada Paduka... dan bahwa kesemuanya inI hanyalah fitnah semata...”
“Kau hendak mengatakan bahwa surat ini bukan dari Kukutan untukmu?” Sang prabu yang merah mukanya menghardik.
“Tidak hamba sangkal, memang benar demikian akan tetapi...”
“Mundurlah engkau!”
Sang prabu menggerakkan kakinya dan tubuh Suminten terjengkang ke belakang, di mana wanita ini berlutut lagi sambil menangis sesenggukan. Emban cantik segera menubruknya dan ikut pula menangis. Sang permaisuri memandang dengan mulut mengejek, maklum bahwa tangis wanita muda itu adalah tangis palsu, air mata buaya. Ia merasa girang bahwa sang prabu mulai sadar, tidak terpengaruh oleh tangis wanita palsu itu.
Jari-jari tangan sang prabu masih menggigil ketika ia membuka surat itu, lalu bibirnya yang gemetar mulai bergerak ketika membaca. Wajah keriputan yang tadinya mulai memucat, itu kini merah kembali, sepasang mataya makin lama makin terbelalak lebar.
Tiba-tiba sang prabu tertawa bergelak, suara ketawa aneh yang mengandung rasa sesal di hati, kemudian ketawanya terhenti diganti suara menggeram dan tangan kirinya menampar lengan kursinya. la masih terbelalak seolah-olah tak percaya akan isi surat yang dibacanya lagi.
“Ha-ha-ha! Aahhhh... kalau Adinda Ratu sudah sekeji ini... entah aku sudah menjadi gila ataukah masih waras...!” serunya.
Tentu saja sang prameswari menjadi kaget dan heran. Melihat wajah suaminya, ratu ini menjadi gelisah dan mukanya berubah pucat. Sudah gilakah sang prabu? Dia khawatir dan menyesal sekali. Kalau sang prabu menjadi gila saking hebatnya pukulan batin yang dideritanyari sungguh bukan demikian yang ia kehendaki. Ia menghendaki sang prabu menjadi sadar dan bebas dari pada cengkeraman wanita iblis Suminten, demi keselamatan keluarga dan kerajaan.
“Kakanda... mengapa Paduka...?“
“Diam! Jangan buka lagi mulutmul yang berbisa itu! Baca saja surat ini!” bentak sang prabu sambil melemparkan surat ke arah permaisuri. Surat itu melayang ke atas lantai dan sang permaisuri membungkuk untuk memungutnya dengan tangan gemetar. Isak tangis Suminten makin mengguguk.
Sang permaisuri memegang surat itu dan membacanya. Matanya terbelalak, makin lama makin lebardan mukanya menjadi lebih putih dari pada kertas yang dipegangnya. Bibirnya gemetar dan akhirnya terlontar dari mulutnya, “Aduhh... Dewata...!” Tubuh sang ratu menjadl lemas dan robohlah wanita tua Ini, terkulai dan pingsan di atas lantai. Surat itu terlepas dari tangannya dan melayang di atas lantai pula.
Emban tua menjerit dan menubruk junjungannya, memanggil-manggil dan menangisi dengan bingung. Dalam kebingungannya, ia menjadi penasaran, cepat menyambar surat itu dan membacanya tanpa permohonan lagi.
“Ha-ha-hal Emban berhati busuk, boleh... kau bacalah...!”
Sang prabu masih ter tawa-tawa, kemudian terdengar suaranya bercampur isak,
“Tak kunyana... tak kusangka... Adinda Ratu... demikian keji...Setelah dia sendiri begini palsu, siapa pula yang dapat kupercaya...?
Suminten cepat berdiri dan menubruk sri baginda, merangkulnya dan berkata dengan kata-kata halus,
“Aduh junjungan hamba, masih ada hamba di sini,. mengapa Paduka berkeluh-kesah? Di sini hamba, Kakanda, di sini Suminten... biarlah hamba yang akan mengusir semua kedukaan Paduka! Bukankah hamba tadi sudah memperingatkan Paduka agar jangan dibaca saja surat itu? Hanya menimbulkan malapetaka belaka, sang ratu pingsan dan Paduka berduka...”
Sang prabu memeluk dan merangku! leher selir terkasih ini, mengecup dahinya dan berkata mesra,
“Aduh wong ayu... kalau tidak ada engkau agaknya sudah bosan aku hidup lebih lama lagi...”
Sementara itu, emban yang membaca surat, sama halnya dengan sang prabu dan sang ratu, terbelalak seolah-olah tidak percaya. Wajahnya pucat sekali dan dia pun mengulang membaca isi surat itu:
Puteranda mohon maaf telah beranl menyurat kepada Ibunda, akan tetapi karena keselamatan Ibunda, terutama sekali Ramanda terancam bahaya, terpaksa puteranda melakukannya juga. Puteranda mendengar dari para penyelidik bahwa Ibunda Ratu telah merencanakan siasat untuk membunuh Ramanda dan Paduka. Dan puteranda setiap saat telah memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerak Paduka dan puteranda yang selalu menjaga keselamatan Ramanda yang sudah sepuh (tua). Karena puteranda tidak berani mengingatkan sendiri kepada Ramanda berhubung hal ini akan menyinggung nama baik Ibunda Ratu, terpaksa puteranda mohon kepada Ibunda sudilah kiranya memperingatkan Ramanda dari pada bahaya yang tak tersangka-sangka Ibunda Ratu agaknya telah lupa diri dengan nafsu kebenciannya kepada Paduka yang dikasihi Ramanda, kepada puteranda yang diangkat menjadi pangeran mahkota, dan kepada Ramanda yang agaknya telah menyia-nyiakan cinta, kasihnya menurut bisikan hati sang cemburu. Kemudian terserah kebijaksanaan Ibunda.
Demikianlah bunyi surat Pangeran Kukutan kepada Suminten. Emban tua itu terbelalak keheranan. Alangkah bedanya bunyi surat itu dengan yang dibaca emban cantik tadi! Padahal surat rampasan itu tak pernah berpisah dari tangan sang ratu.
Emban itu mengerling ke arah emban muda yang kini bersimpuh di sudut sambil tersenyum-senyum penuh ejekan kepadanya: Maka tahulah emban tua ini bahwa ia dan junjungannya telah masuk perangkap, telah menjadi korban siasat yang busuk dan licik sekali, yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia berhati iblis! Tahulah dia yang memang mengerti akan segala persoalan di dalam keraton, bahwa sang ratu telah. terkena pancingan, bahwa Suminten sengaja memancing dengan membuka pintu taman dan berada di dalam pondok taman malam itu, kemudian emban muda yang menjadi kaki tangan itu datang membawa surat.
Kini mengertilah ia bahwa sesungguhnya Suminten dan embannya itu tahu akan kedatangan sang ratu yang mengintai, lalu sengaja si emban membaca Surat secara palsu, kemudian bahkan membiarkan dirinya tertangkap. Dan kini jelas pula baginya bahwa segala sikap Suminten semenjak dipanggil datang, adalah sikap yang amat cerdik, menjalankan siasat dan sandiwara yang sukar dimainkan oleh lain orang, kecuali wanita cantik berhati ular beracun itu. Timbullah kemarahan besar di hati emban tua ini. Dan karena dia hanya seorang emban, maka kemarahannya ia timpakan kepada si emban cantik yang tersenyum-senyum Itu.
“Engkau manusia keji!” jeritnya sambil menubruk emban muda yang tentu saja melakukan perlawanan. Maka bergumullah kedua orang emban itu dan karena lebih muda, emban kepercayaan Suminten yang menang dan akhirnya, dengan kain tersingkap memperlihatkan pahanya yang putih pada emban muda itu dapat menunggangi emban tua dan menjambak-jambak sambil memukul dan mencakarl muka lawannya.
Sang prabu yang masih memeluk Suminten lalu berseru memanggil pengawal. Lima orang pengawal yang mendengar ribut-ribut itu cepat muncul dan sang prabu lalu menudingkan telunjuknya ke arah sang ratu sambil berkata,
“Tangkap sang ratu yang berkhianat, bersama emban tua keparat ini! Jebloskan sang ratu dalam tahanan dan bunuh mati sl emban tua!”
Lima orang pengawal itu ternganga keheranan, saling pandang dan sejenak mereka tidak bergerak. Menangkap sang ratu yang tua? Mereka takut kalau-kalau salah dengar, maka tidak berani bergerak.
“Apakah kalian tuli? Gusti sinuwun sudah memberi perintah, kalian masih berdiri seperti arca?” Suminten berseru marah.
“Akan tetapi... tetapi...”
“Kalian berani membangkang terhadap perintahku? Apakah pengawal-pengawalku sendiri hendak memberontak?”
Mendengar perintah ini, para pengawal itu hilang keraguannya dan cepat mereka menyeret tubuh emban tua yang sudah dltunggangi dan dipukuli emban muda itu, dan karena sang permaisuri sudah siuman dan tengah menangis, para pengawal kemudian memegang lengannya, dengan halus namun paksa mereka membantunya bangun dan menggiringnya keluar dari ruangan itu.
Kembali Kerajaan Jenggala menjadi geger ketika beberapa hari kemudian rakyat mendengar bahwa sang ratu mereka ini telah “dibuang” atau “diasingkan”, yaitu ditempatkan di luar istana, di sebuah pesanggrahan yang terletak di kaki Bukit Anjasmoro sebelah utara, sebuah pesanggrahan yang amat sederhana bagi seorang bekas permaisuri raja namun cukup mewah dan indah bagi rakyat kecil, lengkap dengan segala keperluan dan pelayan, namun pondok-pondok itu dikurung dinding tinggi dan terjaga oleh beberapa orang prajurit.
Mengingat akan kedudukannya dan akan hubungan mereka, maka oleh sang prabu, bekas permaisuri ini tidak dihukum, hanya diasingkan dan dilarang meninggalkan tempat pengasingan ini sampai mati. Adapun emban tua yang menjadi abdi kepercayaan bekas permaisuri itu dihukum mati.
Sang ratu yang kini telah diasingkan, tidak merasa berduka akan nasib yang menimpa diri. pribadi, melainkan dia merasa berduka dan gelisah memikirkan nasib sang prabu, dan terutama sekali nasib Kerajaan Jenggala.
Dia maklum bahwa setelah ia gagal dalam melawan manusia-manusia iblis yang pada waktu itu sedang mencengkeram kerajaan, takkan ada lagi yang bisa melawan Suminten dan kaki tangannya. Saking prihatin dan nelangsa hatinya, bekas ratu ini menanggalkan pakaiannya yang indah dan mengganti pakaiannya dengan pakaian pendeta, dan setiap hari pekerjaannya hanya duduk bersamadhi, mengheningkan cipta dan memanjatkan doa kepada para dewata agar supaya sang prabu dan Kerajaan Jenggala dilindungi dari pada kehancuran. Dan memang tidak kelirulah apa yang dikhawatirkan bekas permaisuri ini.
Kemenangan mutlak atas diri permaisuri yang siasatnya diatur oleh Suminten, benar-benar membuat Suminten dapat mencapai puncak kekuasaannya. Tepat pula seperti dugaan emban tua yang kini telah dihukum mati, semua yang terjadi, semenjak di dalam taman sari, di pesanggrahan Suminten, sampai kejadian di depan sang prabu, telah lebih dahulu diatur oleh Suminten.
Akal siasat yang amat cerdik dan licik itu adalah hasil pengolahan mereka bertiga, yaitu Suminten, Ki Patih Warutama, dan Pangeran Kukutan! Diolah di antara buih-buih gelombang cinta berahi antara Suminten dan kedua orang pria yang ia layani bermain cinta secara bergiliran. Dan hasilnya hebat, seperti siasat yang diatur iblis sendiri. Sang ratu yang berbathin bersih itu mana mungkin dapat menghadapi siasat manusia-manusia iblis ini? Dia terjebak dan terpaksa mengaku kalah.
Kalau Suminten makin besar kekuasaan dan pengaruhnya atas diri sang prabu yang sudah tua, dan Pangeran Kukutan kini sudah dapat merasa yakin bahwa sepeninggal ayahandanya, pasti dia yang akan menjadi penggantlnya, adalah Ki Patih Warutama yang kini hidup penuh kemewahan dan kesenangan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar