PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-55
Dia tidak berduka akan kenyataan yang sudah diketahuinya ini, dan dia hanya ingin melihat Widawati hidup bahagia.
Wiraman menjadi terheran-heran ketika ia memasuki hutan itu karena hutan
ltu amat sunyi, tidak tampak seekor pun binatang buruan.
Hanya burung-burung beterbangan dl atas pohon dan agaknya hurung-burung
itu pun dalam keadaan gelisah. Karena belum juga melihat adanya binatang
buruan, Wiraman menyusup makin dalam ke dalam hutan dengan hati
penasaran.
Ia harus mendapatkan makanan untuk Widawati, kalau tidak murigkin
menangkap atau membunuh seekor binatang yang dapat dimakan dagingnya
sedikltnya ia harus bisa mendapatkan buah-buah untuk gadis itu. Wiraman
mengusap peluhnya.
Di sekitarnya pohon pohon raksasa menjulang ,tInggi dan membuat hutan
itu kelihatan gelap dan menyeramkan. Pakaiannya, pakaian pengawal sudah
1usuh dan basah oleh kerlngat. la merasa makin heran karena kini la
telah berada di tengah hutan, namun masih juga belum ditemuinya seekor
pun binatang buruan.
Mulailah ia putus asa untuk mendapatkan daging binatang dan ia kIni
mencari-cari ke atas kalau-kalau ada buah yang dapat dimakan. Sudah
lebih satu jam ia berkeliaran di hutan tanpa hasil. WIdawati tentu
menunggunya dengan hati gelisah dan perut lapar.
Teringat akan gadis itu, teringat pula ia akan pengakuannya terhadap
Widawati, cinta kasihnya, Wajah orang gagah ini menjadi merah.
Berhakkah ia menyatakan cinta kasihnya secara terus terang seperti tadi?
Benarkah ia seorang pria yang mata keranjang, yang mudah tergiur
hatinya melihat perawan cantik? Tidak! Biasanya dia tidak pernah
tertarik kepada wanita lain, betapa pun cantiknya dan muda belianya.
Dia mencinta isterinya dan teringat akan penderitaan isterinya ketika
melahirkan anak-anaknya, teringat pula betapa isterinya terlunta-lunta
karena dia menjadi seorang buruan, cintanya diperdalam dengan rasa
kasihan.
Tidak! Dia bukan seorang yang kurang setia, bukan seorang suami yang
bosan kepada isterinya karena cintanya terhadap isterinya bukanlah cinta
nafsu belaka, melainkan cinta yang mendalam dan murni. Isterinya tentu
akan memaafkannya, dan akan menyetujuinya kalau dia menjatuhkan hati
kepada seorang wanita seperti Widawati. Selamanya dia tidak pernah
mempunyai selir seperti orang lain.
Dan terhadap Widawati, ada sesuatu yang amat aneh pada diri gadis itu
yang menarik hatinya. Bukan nafsu semata! Widawati tidaklah terlalu
cantik kalau dibandingkan dengan wanita-wanita cantik yang pernah
dijumpainya.
Tiba-tiba Wiraman yang mengaso duduk di bawah pohon itu tersentak kaget
dan meloncat bangun. mendengar jerit mengerikan. Jerit seorang wanita
yang ketakutan! Widawati! Jerit itu datangnya dari arah di mana tadi
meninggalkan gadis itu. Bagaikan seekor kijang ketakutan, dengan sigap
Wiraman lari ke arah suara jerit yang kini makin santer dan
berulang-ulang didengarnya itu.
Keris pusaka telah berada di tangannya dan sambil mengerahkan tenaga berlari cepat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.
“Aiiihhhh...! Kakang Wiraman... tolongggg...!”
Pucat wajah Wiraman. Kalau tadi ia masih setengah berharap bahwa jerit
wanita itu bukan keluar dari mulut Widawati, kini harapan itu musnah dan
kekhawatirannya makin memuncak.
Widawati dalam bahaya! Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan berloncatan ke arah jerit yang terakhir didengarnya itu.
Tibalah ia di sebuah tempat terbuka di mana pohon-pohon raksasa agak
berjauhan tumbuhnya. Dan apa yang ia lihat membuat bulu romanya bangun,
kedua kakinya menggigil dan mukanya panas karena marah dan khawatir.
Widawati berada di situ, menggigil dan bingung, matanya terbelalak
memandang ke depan, Mulutnya bergerak-gerak terbuka tanpa ada suara yang
keluar. Agaknya saking takutnya, gadis itu kehilangan suaranya! Bajunya
compang-camping, robek sebagian besar sehingga tampaklah sebagian dari
dadanya.
Kulit tubuhnya banyak yang terkait dan tergores duri-duri sehingga pecah
mengeluarkan darah. Apakah yang membuat dara itu ketakutan setengah
mati seperti itu? Wiraman sejak tadi sudah melihatnya dan ia sudah siap
dengan seluruh urat syaraf menegang, gagang keras dipegang erat di
tangan.
Ular itu tidaklah amat besar. Kurang lebih sepaha manusia besarnya, akan
tetapi amat panjang dan kulit tubuhnya yang membelit pohon itu amat
indahnya, berwarna dasar hijau dengan kembang-kembang kuning bergaris
merah. Karena warna yang kehijauan, dari jauh tidak tampak di antara
daun-daun pohon.
Akan tetapi sepasang matanya yang merah menyala amat mengerikan,
seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan api. Lidahnya yang bercabang
dan amat merah itu menjilat-jilat keluar masuk cepat sekali. Kepalanya
tergantung ke bawah dan mendekati tubuh Widawati yang berdiri seperti
arca, dengan mata terbelalak kehilangan akal. Ular itu siap agaknya
untuk melakukan serangan terakhir, untuk meluncurkan kepala dan
menggigit daging lunak pada dada dan leher dara itu.
Pada detik yang tepat tubuh Wiraman sudah meloncat ke depan, menerjang
ular itu yang juga sudah meluncurkan kepalanya dengan mulut terbuka
lebar ke arah dada Widawati yang membusung!
“Ular jahanam!”
Wiraman mengeluarkan pekik dahsyat dan untunglah bahwa kemarahannya
membuat ia mengeluarkan bentakan itu karena andai kata tidak, tentu dia
akan kalah cepat oleh ular itu dan tentu Widawati sudah terkena gigitan
mulut yang mengerikan itu.
Karena pekik yang nyaring ini, ular itu terkejut dan menahan kepalanya
yang sudah siap menggigit, lalu memutar kepala memandang ke kanan dari
mana tubuh Wiraman sudah menerjang maju.
Cepat sekali gerakan Wiraman, tangan kanannya yang memegang keris sudah
menyerang, keris pusakanya ditusukkan tepat ke arah ular dari arah
kanan.
“Tessss... '
Wiraman mengeluarkan seruan dan cepat-cepat ia membuang diri ke kini
sehingga terhindar dari pada serangan ular yang kini membalik dan
menyerangnya.
Ternyata bahwa tusukan kerisnya itu sama sekali tidak dapat menembus
leher ular, bahkan sedikit pun tidak dapat melukai kulit ular yang indah
itu. Kerisnya meleset dan ular itu seolah-olah tidak merasakan
tusukannya lalu membalik dan menyerangnya.
Namun Wiraman tidak menjadi gentar.
Demi keselamatan Widawati ia harus melakukan perlawanan. Ia melihat
betapa gadis itu masih berdiri terpaku di tempat yang tadi, terbelalak
seperti telah berubah menjadi arca. Mukanya merah sekali dan hal ini
amat mengherankan hati Wiraman.
“Diajeng, larilah...! Pergilah menjauh...!” teriaknya namun Widawati
tIdak menjawab, juga tidak bergerak. Terpaksa Wiraman menghentikan
teriakannya karena kini ular itu meluncur ke arahnya dalam sebuah
serangan yang amat cepat dan dahsyat.
Wiraman adalah seorang prajurit perkasa yang sudah banyak mengalami
pertandingan. Gerakannya sigap, terampil dan matanya awas. Serangan ini
dapat Ia hindarkan dengan mengelak ke kiri, kemudian pada saat kepala
ular meluncur lewat, ia sudah menghunjamkan kerisnya, kini mengarah mata
kanan ular itu. Dia maklum bahwa kulit ular itu kebal, maka kini ia
menyerang matanya karena tidak mungkin matanya kebal, pikirnya.
Akan tetapi, ternyata ular hijau Itu tangkas dan tidak dapat diakali
begitu saja. Kepalanya bergerak sedikit dan tusukan keris Wiraman
meleset karena tidak mengenal mata melainkan mengenai kulit kepala.
Bukan hanya meleset, bahkan hampir terlepas dari tangan Wiraman karena
“tangkisan” dengan kepala itu mengandung tenaga yang amat kuat, membuat
tangan Wiraman seperti lumpuh sesaat.
Dan sebelum Wiraman dapat menguasai dirinya, tiba-tiba ular itu
mengeluarkan suara mendesis keras dan uap yang kehijuan menyambar ke
arah muka bekas pengawal ini. Wiraman cepat miringkan mukanya, namun
masih tercium bau yang amat harum mengandung bau amis yang memuakkan.
Kepalanya menjadi pening, pandang matanya gelap sedetik, kemudian
berubah menjadi ganjil sekali karena ia melihat beraneka warna-warna
cemerlang terbentang di depan matanya. Pohon-pohon tidak berwarna hijau
lagi melainkan berwarna indah barmacam-macam seperti seribu pelangi
mewarnai segala sesuatu yang berada di depan matanya. Ia terpesona dan
tak dapat bergerak seperti berubah menjadi arca dan pada saat itu
tubuhnya telah dibelit ekor ular.
Kepala ular Itu sejenak bergoyang-goyang seperti menari di depan
mukanya, kemudian mulut yang bergigi runcing itu dibuka lebar, siap
untuk menggigit. Wiraman maklum akan bahaya yang mengancam dirinya namun
ia masih terpesona oleh warna-warna aneh yang mengelilinginya. Muka
ular yang dekat dengan mukanya itu pun kini tidak berwarna hijau seperti
tadi, melainkan menjadi bermacam-macam warnanya, cemerlang dan amatlah
indahnya.
Sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman hidupnya, Wiraman segera
dapat menekan perasaannya dan mengerjakan otaknya. Kini terlintas di
otaknya dalam keadaan bahaya mengancam seperti itu bahwa dia telah
terkena racun yang amat hebat. Dan kini teringatlah ia akan keadaan
Widawati yang juga berdiri seperti orang terpesona. Tidak salah lagi.
Gadis itu yang agaknya tidak lagi melihat bahaya, yang berdiri memandang
dengan mata kagum, tentu telah terkena racun pula seperti dia.
Teringat akan ini, Wiraman mengerahkan tenaganya, hendak meronta dari
libatan tubuh ular, hendak melawan mati-matian dan menyelamatkan
Widawati. Namun, sia-sia belaka. Ular itu bukan main kuatnya dan kini
moncong yang terbuka lebar itu telah mendekatinya, mengeluarkan bau
amis-amis harum dan tampak olehnya rongga mulut ular yang merah seperti
darah.
Karena usahanya untuk melepaskan diri dari belitan ular sia-sia belaka,
mendadak Wiraman mendapat pikiran untuk mengorbankan dirinya saja. Kalau
ular ini sudah menelan tubuhku, tentu ia menjadi kenyang dan tidak akan
mengganggu Widawati lagi. Pikiran ini membuat Wiraman menjadi tenang
dan dia memandang ular itu dengan penuh keberanian, bahkan ada rasa
girang terselip di hatinya bahwa pada detik terakhir ini dia dapat
melakukan sesuatu untuk Widawati.
“Desss...”
Wiraman hanya melihat berkelebatnya sesosok bayangan manusia yang
menghantam ke arah kepala ular yang sudah siap mencaplok kepalanya.
Wiraman mengerahkan tenaganya ketika merasa betapa Iibatan ular pada
tubuhnya menegang dan mengencang, kemudian tiba-tiba ekor itu bergerak
dan melontarkannya ke udara Wiraman terkejut sekali dan hanya dan
mencegah tubuhnya terbanting keras dengan cara meringankan tubuhnya
menyembunyikan kepala dalam pelukan kedua tangannya.
Ketika ia berguling lalu meloncat bangun dalam keadaan pening, ternyata
ia telah terlempar tidak jauh dari tempat Widawati berdiri. Gadis itu
masih berdiri seperti arca dengan mata terbelalak. Ketika ia menoleh,
kagum dan kaget sekali melihat seorang gadis cantik sedang bertanding
melawan ular sakti itu.
Tak lama kemudian berkelebat bayangan orang lain dan muncul seorang
pemuda yang tangkas dan tanpa banyak cakap gadis dan pemuda itu lalu
mengeroyok ular yang mengamuk hebat sambil berdesis-desis mengerikan.
Melihat gerakan mereka, Wiratama dapat mengenal orang-orang sakti. Maka
dia lalu menghampiri Widawatl, merangkul pundaknya dan membawa gadis
yang masih terpesona itu pergi dari situ.
Widawati terisak lalu terhuyung, tubuhnya lemas. Wiraman cepat
memondong-nya lari menjauhi tempat berbahaya itu. Setelah jauh berada di
dalam hutan, Wiraman menurunkan tubuh Widawati ke atas rumput hijau
yang tebal.
Dia sendiri masih merasa pening dan pandang matanya masih aneh seperti
tadi, masih tampak warna-warna yang cemerlang indah. Namun dia berusaha
melawan perasaan aneh dan pandangan luar biasa itu dengan kekuatan
batinnya, karena ia harus cepat-cepat menolong Widawati yang agaknya
berada dalam keadaan tidak wajar.
Gadis ini setelah ia turunkan dan baringkan di atas rumput,
menggeliat-geliat dan mengeluarkan rintihan-rintihan lirih. Karena
khawatir, Wiraman cepat memeriksanya, dan melihat guratan-guratan merah
di leher dan dada, ia menjadi bingung.
Dia tidak tahu apa yang menyebabkan guratan-guratan yang mengeluarkan
sedikit darah seperti tertusuk dan terbarut duri. Hanya terkena duri
ataukah luka karena ular?
“Diajeng... apanya yang nyeri. Di mana yang luka...?”
Akan tetapi Widawati hanya merintih dan menggeliat-geliat sambil
memejamkan matanya. Wiraman terpaksa menekan perasaannya karena melihat
tubuh yang muda dan sebagian besar tidak tertutup rapat karena bajunya
robek-robek, ia diserang rangsangan aneh yang membuat napasnya menjadi
sesak.
Setan! Dia mengutuk diri sendiri, lalu berusaha mencurahkan perhatiannya
untuk memeriksa dan menolong gadis ini dari bahaya. Karena dia tidak
tahu apakah luka-luka guratan di leher dan dada beracun atau-kah tidak,
ia cepat berkata lirih dan merasa heran mengapa suaranya menjadi
menggetar seperti itu dan mukanya terasa panas, bahkan seluruh tubuhnya
menjadi panas.
“Diajeng, maaf... aku akan membersihkan lukamu dari racun...”
Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menempelkan mulutnya pada luka guratan di
leher Widawati dan mengecupnya untuk menyedot darah dan mengeluarkan
racun jika kiranya luka itu ada racunnya.
Akan tetapi begitu bibirnya mengecup luka di pangkal leher yang melekuk
dan hangat itu, naik sedu-sedan dari dadanya yang membuat napas Wiraman
menjadi sesak.
Terpaksa ia memejamkan mata untuk melawan rangsangan hebat yang
mengguncang seluruh tubuh dan perasaannya. Telinganya mendengar betapa
Widawati mengeluh dan mengeluarkan suara aneh.
Dia cepat menyedot darah yang terasa asin panas, meludahkannya, membuka
mata kemudian menyedot lagi luka yang agak ke bawah di bawah tulang
pundak kiri.
Hampir ia tidak kuat menghisap luka itu karena pada saat itu dari dalam
pusarnya naik rangsangan yang tidak wajar, yang membuat matanya
berkunang, napasnya memburu kepalanya berdenyut-denyut.
Pada saat itu, ia merasa betapa dua buah lengan yang halus hangat
melingkari lehernya, betapa wajah yang halus dan panas itu mendekap
mukanya, betapa hidung yang mancung itu mendengus-dengus seperti
kehabisan napas. Widawati telah memeluknya, dan menciuminya!
Wiraman hanyalah seorang manusia biasa. Memang dia seorang manusia
gemblengan yang telah lama berlatih untuk menguasai hawa nafsunya
sendiri. Namun saat itu tanpa ia sadari, ia telah terbius oleh racun
ular Puspo Wilis yang amat hebat.
Racun yang keluar dari desis ular itu mula-mula telah meracuni Widawati
sehingga dara itu menjadi terpesona, pandang matanya melihat beraneka
warna cemerlang indah, telinganya berdengung-dengung mendengar gamelan
yang merayu indah, dan tubuhnya terangsang oleh hawa nafsu yang selama
ini belum pernah dikenalnya.
Kemudian Wiraman juga terkena racun itu. Biar pun ila sudah berusaha
untuk meneguhkan hatinya, untuk menekan perasaannya, namun keadaan tldak
membantunya.
Kalau saja ia tidak khawatir akan keselamatan Widawati, kalau saja ia
tidak berusaha menghisap racun yang disangkanya berada dalam luka-luka
guratan yang sebetulnya hanya guratan terkena duri-duri saja, agaknya
pria itu akan dapat menguasai rangsangan yang timbul dari racun ular
Puspo Wilis itu. Akan tetapi, keadaan tidak demikian.
Dia harus menghisap luka-luka itu, di leher yang indah, di dada yang
menggairahkan. Semua ini memperlipatgandakan rangsangan yang
menguasainya, ditambah lagi dengan pelukan dan ciuman Widawati 'yang
berada dalam keadaan tidak sadar dan dipermainkan oleh pengaruh racun.
Wiraman jatuh!
Gadis yang telah menyelamatkan Wiraman pada detik terakhir tadi bukan
lain adalah Pusporini. Dalam lomba, lari mencari ular, Pusporini menang
cepat, akan tetapi karena ia harus mencari-cari dengan teliti dan tidak
dapat berlari cepat di dalam hutan itu, Joko Pramono dapat menyusulnya
dan pemuda ini sudah mulai pula mencari-cari dalam hutan sebelum
Pusporini berhasil menemukan ular Puspo Wilis yang dicari-cari.
Kemudian, tiba-tiba terdengar pekik yang keluar dari mulut Widawati
tadi. Pusporini yang berada dalam jarak lebih dekat, lebih dahulu tiba
di tempat itu dan kebetulan sekali ia menyaksikan betapa ular itu sudah
hendak mencaplok kepala Wiraman. Pusporini menggunakan Aji Bayu Tantra,
tubuhnya mencelat ke depan laksana kilat menyambar dan dengan pukulan
Aji Pethit Nogo ia menghantam ke arah kepala ular itu!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya menyaksikan betapa ular itu
tidak remuk kepalanya oleh pukulannya Pethit Nogo, melainkan tersentak
ke belakang, melepaskan lingkarannya dan melemparkan tubuh Wiraman
sampai jauh. Pusporini maklum bahwa ular inilah yang dimaksudkan Sang
Resi Mahesapati, maka ia cepat menerjang maju lagi dengan pukulan Pethit
Nogo yang lebih keras lagi ke arah moncong yang mendesis-desis itu.
“Desss...!”
Pukulan Pethit Nogo amatlah ampuhnya, akan tetapi benar-benar luar biasa
sekali ular itu karena kepalanya tidak pecah terkena pukulan itu, hanya
desis mulutnya makin menghebat seolah-olah dia bersambat kesakitan.
Tubuhnya kini sudah membelit pohon lagi dan kepalanya bergoyang-goyang
kemudian ia membalas dengan luncuran kepalanya yang amat cepat,
mengimbangi kecepatan gerak tangan Pusporini tadi.
KepaIanya itu seolah-olah merupakan tangan seorang lawan tangguh yang
mengirim pukulan ke arah dada Pusporini, bahkan lebih hebat dari pada
pukulan orang karena mulutnya terbuka, mengirim semburan uap kehijauan
dan giginya siap menggigit. Pusporini penasaran dan menangkis, akan
tetapi biar pun ia berhasil menangkis serangan itu, ketika lengannya
bertemu dengan leher ular, tenaga serangan binatang itu membuat ia
terhuyung ke belakang.
Dan ular itu dengan amat cepatnya sudah menerjang lagi dengan mulut mendesis-desis.
“Plakk!”
Kepala ular itu terlempar belakang oleh sebuah pukulan keras yang dilakukan Joko Pramono yang sudah tiba di situ.
Hebat pukulan ini, tidak kalah hebat oleh Aji Pethit Nogo tadi, bahkan
mengandung tenaga yang lebih kuat lagi karena itulah pukulan dengan Aji
Cantuka Sekti. Namun ular itu hanya pening sebentar karena kembali ia
sudah membalas dengan serangan kuat ke arah leher Joko Pramono yang
tertegun dan cepat menangkis.
“Aku tidak membutuhkan bantuanmu!” Pusporini membentak.
“Aku tidak membantumu! Kita berlomba membunuhnya!” jawab Joko Pramono.
Celakalah binatang itu karena sekarang dia dikeroyok dua oleh sepasang
orang muda sakti yang berlomba untuk membunuhnya! Betapa pun kuatnya
ular yang sudah ratusan tahun umurnya ini; berat juga ia menanggulangi
amukan dua orang muda murid Sang Resi Mahesapati. Ia menjadi bulan-bulan
pukulan sakti, tidak mampu balas menyerang dan untuk melampiaskan
kemarahannya, ular itu terus-menerus mendesis-desis mengeluarkan uap
hijau yang makln lama makin tebal.
Dua orang muda itu tadinya terlalu mengandalkan kekebalan tubuh dan
kekuatan hawa sakti mereka, akan tetapi lama-kelamaan mereka menjadi
terkejut sekali karena napas mereka sesak dan pandang mata mereka selain
berkunang-kunang juga mulailah tampak warna-warna cemerlang yang amat
aneh.
“Pusporini... hati-hati...racun...!” Joko Pramono memperingatkan, agak terengah napasnya.
“Kalau takut racun, pergilah!” jawab Pusporini tak acuh sungguh pun ia
sendiri merasa heran mengapa pandang matanya melihat warna-warni
cemerlang sehingga wajah Joko Pramono memiliki warna cemerlang yang amat
indah dan luar biasa.
Keduanya kini mengerahkan tenaga dan biar pun ular itu tidak remuk
kepalanya oleh pukulan-pukulan mereka, akan tetapi jelas menjadi agak
lemah. Bahkan kini ekor yang tadi membelit pohon telah terlepas dan
membelit tubuh Joko Pramono.
Pemuda ini mengerahkan hawa saktinya sehingga belitan yang kuat itu
tidak terasa olehnya, malah ia sudah mencengkeram perut ular itu.
Pada saat yang sama, Pusporini yang mengelak dari gigitan kepala ular
itu, cepat sekali menggunakan kesempatan itu menangkap leher ular. Tadi
tidak mungkin hal dilakukan karena ular itu memiliki gerakan yang amat
gesit.
Akan tetapi setelah tenaganya berkurang dan agaknya binatang itu lelah,
kegesitannya pun berkurang sehingga lehernya dapat ditangkap Pusporini.
Melihat ini, Joko Pramono takut kalau ia sampai kalah, maka ia membetot
tubuh ular yang ia cengketam perutnya itu. Purporini tidak mau kalah, ia
juga membetot leher binatang itu. Terjadilah tarik-menarik antara
Pusporini dan Joko Pramono. Sungguh sial binatang itu yang kini tidak
mampu bergerak, dijadikan seperti tambang untuk tarik-tarikan adu
tenaga.
Kekuatan ular terletak pada urat-urat di tubuhnya yang dapat
digerak-gerakkan dan dapat menggeliat-geliat. Kini setelah tubuhnya
ditarik, lumpuhlah dia. Dua orang muda itu terus menarik, mengerahkan
tenaga saktinya dan...”krakk...!” tubuh ular itu terobek dan putus
menjadi dua! Bagian belakangnya berada di tangan Joko Pramono sedangkan
bagian depannya berada di tangan Pusporini.
Dua bagian tubuh ular itu masih menggeliat-geliat hidup, bahkan bagian
depan yang berada di tangan Pusporini tiba-tiba melakukan gerakan
sarentak dan kulit tubuhnya mengeluarkan minyak, kepalanya mendesis
keras dan... tubuh itu dapat melepaskan diri dari pegangan Pusporini.
Dari kepala sampai ke bagian tubuh yang buntung masih ada semeter lebih
panjangnya. Ular yang tinggal sepotong itu begitu tiba di tanah lalu
meluncur cepat hendak melarikan diri.
Pusporini seperti, orang terpesona atau bingung karena dia berdiri
terbelalak saja memandang. Adapun Joko Pramono ketika melihat ini,
melemparkan bagian belakang ular yang berada di tangannya kemudian
berteriak,... ,
“Pusporini! Jangan biarkan dia lari...!
Pemuda Itu menubruk, berbareng dengan Pusporini yang juga menubruk, agaknya gadis ini sadar kembali oleh teriakan Joko Pramono.
Mereka masih berlomba, berebutan. Begitu ular itu dapat ditangkap, dua
pasang tangan berebut dulu menangkap bagian kepala dan merobek mulut
ular itu.
“Kraaaak... brettttt...!”
Uap hijau makin tebal mengepul. Kedua orang itu tidak mempedulikan,
melainkan berebut mencari batu mustika yang menurut guru mereka berada
di kepala ular. Mulut ular sudah robek menjadi dua dan kini tampaklah
benda mencorong di telak (rongga mulut atas) yang bersinar hijau.
Karena perebutan ini, tangan mereka bertemu dan cengkeraman mereka
membuat setengah kepala ular bagian atas itu hancur. Sinar berkelebat
dan sebutir batu bulat lonjong meloncat karena licin sekali dari dalam
kepala yang hancur, jatuh ke atas tanah. Itulah mustika ular yang
dimaksudkan Sang Resi Mahesapati, sebuah batu hijau mencorong yang
besarnya hanya seibu-jari kaki.
Melihat benda ini, Joko Pramono dan Pusporini menubruk ke bawah dalam
detik yang sama. Karena mereka tergesa-gesa dan batu itu amat kecil, apa
lagi karena pandang mata mereka telah disilaukan warna-warni yang aneh,
mereka bertubrukan dan saling cengkeram.
Tanpa disengaja, Pusporini memegang lengan Joko Pramono, sedangkan
pemuda itu pemegang kedua pundak Pusporini. Mereka beradu pandang, muka
mereka hampir beradu dan pada saat itulah terjadinya getaran yang amat
hebat, yang membuat keduanya menggigil, mata saling pandang, napas agak
terengah dan batu mustika ular dilupakan. Bagaikan dalam mimpi, mereka
saling pandang penuh kemesraan, penuh gairah dan berahi,, mulut berbisik
lirih,
“Pusporini...!”
“Joko Pramono...!”
Bagaikan digerakkan tangan-tangan setan yang tak tampak, dua muka yang
elok itu saling berdekatan, hidung sudah hampir saling menyentuh,
hembusan napas masing-masing terasa hangat di pipi. Rangsangan yang
hebat menguasai mereka, mendorong hasrat ingin saling berpelukan, saling
berciuman, saling melimpahkan cinta kasih.
Tangan mereka menggigil dan mulut mereka sudah saling berdekatan, bibir
sudah saling bersentuhan. Pada saat itulah, keduanya sadar ketika
pandang mata mereka bertemu kembali.
“Ah, ini tidak benar!” seru Pusporini melepaskan pelukannya.
“Memang salah! Harus kita lawan...!” Joko Pramono juga berseru kemudian keduanya melepaskan pelukan dan meloncat mundur.
Tetapi mereka terhuyung lagi ke depan, saling pandang penuh kasih mesra
dan sebelum mereka sadar apa yang mereka lakukan, keduanya telah saling
tubruk dan saling rangkul. Joko Pramono menundukkan mukanya mencium
Pusporini dengan penuh nafsu yang dibalas oleh gadis itu tanpa malu-malu
lagi, dengan mata setengah dipejamkan.....
Komentar
Posting Komentar