PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-56


Mereka berdua melawan rangsangan yang membuat mereka ingin saling dekap dan ingin melakukan hal-hal yang lebih berani lagi untuk melampiaskan dorongan hasrat yang amat kuat, dan terdengarlah Joko Pramono berkata terengah-engah,
“Pusporini... racun... racun ular... kita harus melawan... kumpulkan hawa sakti... bernapas sempurna mengusir hawa jahat...!”
Pusporinl yang terengah-engah mengangguk dan keduanya lalu menjatuhkan diri duduk bersila dan melakukan samadhi sekuamungkin, melawan rangsang-an yang amat hebat itu. Sungguh pun mereka itu adalah orang-orang gemblengan, namun mereka masih muda dan masih berdarah panas; maka dapat dibayangkan betapa sukarnya melawan racun yang merangsang nafsu berahi itu.
Syukur bahwa keduanya adalah murid-murid sang sakti Resi Mahesapati yang sudah cukup mengisi mereka dengan kekuatan batin yang dahsyat sehingga setengah jam kemudian mereka pun sudah berhasil mengusir hawa beracun dari tubuh dan kepala mereka.
Keduanya sadar dan begitu membuka mata saling berpandangan, keduanya malu sekali. Entah mana yang lebih merah mukanya, Pusporini ataukah Joko Pramono. Akan tetapi pengalaman itu membuat mereka berdua makin yakin akan perasaan hati selama ini bahwa biar pun lahirnya mereka selalu berlomba dan bersaingan, namun di dalam hati. mereka sudah berakar benih cinta kasih yang mendalam.
“Batu mustika itu...!” kata Joko Pramono tiba-tiba dan keduanya memandang ke arah batu yang masih terletak di antara mereka. Akan tetapi aneh sekali. Kini keduanya tidak bersicepat berdahuluan merebut batu.
Keduanya tetap duduk bersila dan tenang-tenang saja. Ketika kembali mereka beradu pandang, keduanya. menunduk dan tahulah mereka bahwa kini mereka tidak berpura-pura lagi, tidak peduli akan batu mustika itu, tidak ingin bersaing dan mengalahkan satu kepada yang lain.
“Pusporini...“
“Hemm...?” Tanpa mengangkat muka Pusporini menjawab lirih.
“Batu itu... mengapa tidak kau ambil?”
“Kau ambillah, sama saja.”
Joko Pramono tidak bergerak dari duduknya dan sunyi sampai lama.
“Pusporini...“
“Hemmm...?”
“Alangkah bahayanya racun itu...”
“Benar, mengerikan...“
“Untung engkau kuat...“
“Engkau pun kuat, Joko Pramono.”
“Hemm, masih baik kita berdua sadar. Hal itu berarti bahwa kita saling menghargai, bahwa kita saling...“
“...apa...“
“Saling mëncinta!”
“Husshhh!”.
Setelah kini terlepas dari bahaya yang mengerikan itu, saking girangnya Pusporini mulai timbul kembali kegalakannya, sungguh pun kini dia sama sekali tiada niat untuk bersaing lagi dengan Joko Pramono.
“Pusporini, tidakkah kau merasa di dalam hatimu seperti yang kurasakan sekarang?”
Pusporini mengangguk lalu menyambung, “Sudahlah. Kau bawa batu itu dan kita kembali kepada Eyang Resi. Kita serahkan batu itu kepada Eyang Resi.”
Joko Pramono tersenyum penuh kebahagiaan, kemudian ia pun bangkit, mengambil batu, membersihkannya dari darah dengan bajunya, mengamatinya sejenak penuh kekaguman, lalu menghampiri Pusporini yang juga sudah bangkit. Dia menyerahkan batu itu sambil berkata,
“Kau yang membawa dan menyerahkannya kepada Eyang Resi, Pusporini.”
“Tidak! Kau saja...“
“Aku laki-laki, aku lebih patut mengalah.”
Mereka berdiam. Pusporini menerima batu itu dan keduanya sejenak merasa terheran-heran akan perubahan yang tiba-tiba ini. Tadinya mereka ingin sekali saling mengalahkan dan bersaing, kini mereka ingin sekali saling mengalah!
“Eh, kulihat tadi si laki-laki gagah dan gadis itu... ke mana mereka?”
Joko Pramono tiba-tiba bertanya dan memandang ke kanan kiri.
Pusporini juga teringat, cepat menyimpan batu mustika ular di dalam kembennya dan juga mencari-cari dengan pandang matanya.
“Ah, jangan-jangan mereka telah tewas karena racun ular. Mari kita mencari mereka.”
Keduanya lalu melompati bangkai ular dan mencari-cari. Tak lama kemudian mereka berdiri terhenyak dan memandang ke atas rumput tebal di bawah pohon, di mana mereka melihat laki-laki itu dan gadis yang berpakaian robek-robek rebah di situ! Keduanya agaknya pingsan dalam keadaan masih saling berpelukan!
“Ihhh... Bedebah! Tak tahu malu!”
Pusporini berseru sambil membuang muka. Ia dapat menduga apa yang telah terjadi antara kedua orang yang masih berpelukan itu.
Wajah Joko Pramono juga menjadi merah sekali, dan ia hanya dapat berkata lirlh,
“Betapa mungkin mereka masih dapat berbuat seperti itu...?”
“Dasar manusia rendah! Lebih baik kubunuh saja!” seru Pusporini sambil menyambar sebuah batu besar di dekatnya. Akan tetapi Joko Pramono cepat memegang lengannya.
Dia teringat akan sesuatu dan cepat berbisik,
“Jangan, Pusporini! Ingatlah keadaan kita tadi! Kita yang sudah lama melatih diri dengan segala ilmu kesaktian, masih hampir tidak kuat menghadapi rangsangan hawa beracun. Tentu mereka berdua juga menjadi korban hawa beracun ular itu.”
Pusporini melepaskan batunya dan menghela napas sambil mengangguk.
“Kalau begitu... patut dikasihani mereka itu... siapakah gerangan mereka?”
“Kita bersembunyi di sana... ssttt, mereka sudah bergerak. Kita dengarkan apa yang mereka katakan dan kalau memang laki-laki itu seorang jahat, aku yang akan memberi hajaran kepadanya. Mari...!”
Keduanya meloncat dan menyusup ke dalam semak-semak, mengintai.
“Aduh... Jagad Dewa Bathara...! Apa yang telah kulakukan ini...?”
Begitu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya rebah berpelukan dengan Widawati, Wiraman meloncat bangun. Melihat keadaan pakaian gadis itu cepat ia membereskan dan menyelimuti gadis itu dengan sarungnya karena baju gadis itu robek-robek, kemudian ia duduk, menghela napas berkall-kali kemudian menutupi mukanya dengar kedua tangan.
“Aku telah gila...! Gila... Gila...!” Wiraman menampari kepala sendiri dan merenggut-renggut rambutnya.
Isak tangis yang terdengar tiba-tiba membuat Wiraman menurunkan kedua tangannya dan ia memandang Widawati yang sudah duduk menangis itu dengan wajah pucat. Gadis itu menangis terisak-isak dan air matanya mengalir turun melalui cela-cela kedua tangan yang menutupi muka.
Beberapa kali Wiraman menelan ludah, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut, kemudian dapat juga ia berkata, suaranya gemetar dan lirih,
“Di ajeng Widawati... aku... aku berdosa... aku telah merusakmu... aku manusia berhati binatang. Aku terkutuk! Aku patut dihukum seberat-beratnya, seribu kali mati pun masih belum dapat mencuci dosaku kepadamu. Akan tetapi, demi semua Dewata, aku bersumpah bahwa itu yang kulakukan tadi benar-benar terjadi di luar kesadaranku, Diajeng...”
Widawati masih menangis, makin mengguguk sampai pundaknya terguncang.
“Diajeng, penyesalanku lebih besar dari pada penyesalanmu. Percayalah dan sebagai bukti, biarlah kausaksikan kepalaku remuk oleh batu ini! Selamat tinggal, Diajeng...!”
“Kakang...! Jangan...!”
Widawati yang menurunkan kedua tangannya dan melihat betapa laki-laki itu sudah mengangkat sebuah batu besar hendak ditimpakan kepalanya sendiri, menjerit dan menubruk.
“Jangan, Kakang... lebih baik kaubunuh aku lebih dulu...” Dan ia menangis tersedu-sedu.
Wiraman menjadi lemas. Diturunkan batu itu dan dielus-elusnya rambut kepala yang bersandar di dadanya.
“Diajeng Widawati... apakah yang kau maksudkan? Mengapa engkau berkata demikian? Aku telah menodaimu aku telah berdosa dan aku hendak menebus dosa dengan nyawaku. Mengapa kau melarangku?”
Widawati masih menangis di dada Wiraman ketika ia menjawab,
“Kakang... bukan kesalahanmu seorang..., aku teringat semua sekarang... ah, akulah yang bersalah... aku gadis tak tahu malu... aku... aku yang menggodamu, Kakang...!”
Wiraman mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Terbayanglah semua peristiwa tadi, peristiwa yang amat mesra namun juga amat memalukan setelah kini diingat dalam keadaan sadar.
Memang sesungguhnyalah, dia tidak memperkosa Widawati, hal itu terjadi bukan karena kekerasan atau bujukan. Sama sekali bukan, melainkan terjadi atas kehendak kedua fihak. Terjadi karena rangsangan yang luar biasa, yang membuat keduanya seperti mabuk, melakukan hal itu karena tidak dapat menguasai diri sendiri, tidak sadar menjadi boneka-boneka yang dikuasai nafsu, dipermainkan rangsangan nafsu sampai mereka pingsan.
Wiraman menarik napas panjang. “Sekarang aku pun ingat, Diajeng. Tidak salah lagi, kita menjadi korban hawa racun ular itu... ah, setan telah menguasai kita berdua... dan... dan hal itu telah terlanjur... terjadi di luar kesadaran kita.”
“Aku aku. malu sekali, Kakang. Kaubunuhlah aku...”
Wiraman mendorong kedua pundak gadis itu, memaksanya untuk beradu pandang dengannya. “Diajeng, setelah hal itu terjadi di luar kesadaran kita... apakah... apakah engkau merasa terhina? Apakah engkau merasa menyesal?”
Widawati terpaksa memandang wajah Wiraman dengan mata merah dan muka basah air mata. Ia menggeleng kepala. “Bukan merasa terhina atau menyesal... hanya malu... karena aku... seolah-olah telah merampasmu dari isterimu, Kakang...“
Wiraman menarik napas panjang lagi.
“Ah, jangan berkata demikian, Diajeng Widawati. Hal ini telah terjadi di luar kehendak kita, berarti bahwa Hyang Widi Wisesa telah menentukan demikian. Kalau engkau sudi... aku pun bersumpah bahwa mulai saat ini kau kuanggap sebagai seorang Isteriku... dan aku akan melindungimu sebagai seorang suami, selama-lamanya, Diajeng...”
Widawati mengeluh dan menyandarkan mukanya di dada Wiraman.
“Ahh, Kakang... aku hidup sebatangkara di dunia ini, hanya engkaulah yang kupandang, hanya engkau seorang yang menjadi sandaran, hidupku... tadinya engkau kuanggap sebagai seorang kakak, sebagai pengganti orang tua dan saudara-saudaraku... akan tetapi, sekarang terjadi hal ini... terserah kepadamu, Kakang, terserah kebijaksanaanmu.”
“Jangan khawatir, kelak kalau bertemu dengan keluargaku, akan kuceritakan semua peristiwa ini. Isteriku seorang yang bijaksana, tentu dapat memahami dan akan menerimamu sebagai saudara muda dengan tangan dan hati terbuka.”
Agak lega hati Wiraman bahwa peristiwa yang mengerikan itu berakhir dengan dipertemukannya hatinya dengan hati Widawati sehingga terdapat persesualan faham. Tiba-tiba ia teringat akan dua orang muda sakti yang tadi telah menolongnya.
“Ah, di mana mereka...? Diajeng, kalau tidak ada dua orang muda yang sakti mandraguna datang menolong, tentu kita berdua telah berada di dalam perut ular itu.”
Widawati bergidik. “Aku pun samar-samar melihat berkelebatnya bayangan mereka. Mari kita cari mereka, Kakang...”
Keduanya bangkit berdiri dan Widawati kini menggunakan sarung Wiraman untuk menutupi tubuh atasnya, karena pakaiannya koyak-koyak. Akan tetapi ketika mereka berdua keluar dari belakang semak-semak, mereka melihat dua orang muda sakti itu berdiri dengan wajah berseri.
Seketika wajah Widawati menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Apakah kedua orang muda itu melihatnya dan mendengarkan semua percakapannya dengan Wiraman? Akan tetapi, Wiraman segera maju dan memberi hormat.
“Syukur kepada para Dewata Yang Agung bahwa Andika berdua dalam ke-, adaan selamat. Saya yakin bahwa Andika berdua yang sakti mandraguna telah berhasil membunuh ular siluman itu. Boleh-kah kami mengenal nama Andika berdua yang sakti mandraguna?”
Joko Pramono yang tadi mendengarkan percakapan mereka dan bersama Pusporini mendapat kesan baik atas diri Wiraman dan Widawati, juga merasa kasihan kepada dua orang itu, membalas penghormatan itu dan menjawab,
“Nama saya Joko Pramono dan dia ini adalah adik seperguruan saya, namanya Pusporini. Kami adalah murid-murid Sang Resi Mahesapati yang mentaati perintah guru kami untuk membunuh ular sakti Puspo Wilis. Andika siapakah dan mengapa sampai berada di dalam hutan liar ini?”
Berdebar jantung Wiraman. Dia telah diselamatkan oleh dua orang sakti ini, dan mereka itu telah mengaku dan memperkenalkan diri secara terus terang. Sungguh pun dia belum pernah mendengar nama mereka, belum pula mendengar nama Sang Resi Mahesapati, namun ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu murid-murid seorang pertapa yang maha sakti.
Sudah sepatutnya sebagai orang yang berhutang budi, ia mengaku terus terang akan keadaannya dan keadaan Widawati. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka berdua adalah orang-orang buruan yang harus melakukan perjalanan secara rahasia, membuka rahasia mereka berarti membahayakan keselataman Widawati. Wiraman merasa serba salah dan setelah ragu-ragu sebentar, ia lalu menjawab, setengah benar setengah bohong,
“Nama saya Wiraman dan dia ini adalah adik misan saya bernama Widawati. Kami berdua adalah perantau-perantau dari dusun yang hendak pergi ke kota raja Panjalu, dengan niat mencari pekerjaan di sana...“
“Eh, paman mengapa bersembunyi-sembunyi dan membohong kepada kami?”
Tiba-tiba Pusporini mencela. Gadis ini memang lincah dan kenes, juga paling membenci segala macam bentuk kebohongan karena dia sendiri tidak pernah membohong dan selalu menghendaki kejujuran.
“Paman bukan orang dusun, apa-lagi Ayunda ini, pasti. sekali bukan seorang gadis dusun! Cara Paman melawan ular tadi pun menunjukkan bahwa Paman bukan seorang petani biasa! Kami tidak keberatan Paman tidak mengaku siapa sebenarnya Andika berdua karena bukan urusan kami, akan tetapi kami pun tidak suka dibohongi karena yang membohong dan menyembunyikan diri hanyalah para pengecut. Dan kami yakin Paman bukan seorang pengecut!”
Ucapan ini keluar dari hati yang jujur karena setelah tadi mendengar percakapan mereka, Wiraman mendatangkan kesan yang baik dalam hati Pusporini, maka gadis perkasa ini menjadi kecewa mendengar pengakuan Wiraman yang tidak sejujurnya.
Merah wajah Wiraman dan sejenak ia tidak dapat bicara. Tak disangkanya ia akan bertemu dengan gadis sakti yang begini terus terang tanpa tedeng aling-aling kalau bicara!
“Saya... sesungguhnya...“ ia menggagap.
Melihat keadaan Wiraman ini, Widawati menjadi kasihan. Gadis ini tentu saja maklum mengapa Wiraman perlu membohong, tentu untuk menjaga keselamatannya karena mereka berdua belum mengenal betul siapa adanya muda-mudi yang sakti itu.
BagaImana kalau mereka itu orang-orang yang pro kepada kekuasaan baru yang kini mencengkeram Jenggala? Cepat ia membela, siap mengorbankan dirinya,
“Sesungguhnya, saya bernama Widawati dan saya adalah satu-satunya cucu Ki Patih Brotomenggala di Jenggala yang terbebas dari pada malapetaka yang membasmi keluarga kepatihan. Dan Kakang Wiraman ini hanya mengantar saya menuju ke Panjalu minta pengadilan...“
“Diajeng...!”
Wiraman hendak mencegah, namun pengakuan itu telah lengkap.
Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali mendengar pengakuan itu dan mereka saling pandang. Kemudian Pusporini cepat melangkah maju dan memegang tangan Widawati sambil berkata,
“Ah, kIranya Andika ini cucu Ki Patih Brotomenggala di Jenggala? Dan keluarga-kepatihan Jenggala terbasmi habis? Apa artinya itu? Apa yang telah terjadi di Jenggala?”
Widawati dan Wiraman saling pandang dan pada pandang Wiraman terdapat pesan kepada Widawati, agar jangan mengaku sebelum mengenal siapa adanya dua orang muda-mudi ini. Melihat ini, Pusporini menjadi tidak sabar dan cepat berkata,
“Andika berdua tidak perlu curiga. Kami adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan. Ketahuilah, aku adalah seorang dari Kadipaten Selopenangkep. Sang Adipati Tejolaksono adalah rakandaku, kakak misanku! Ayunda Endang Patibroto adalah kakakku! Masih tidak percayakah Andika kepadaku?”
Kini yang menjadi amat terkejut adalah Wiraman, sedangkan Widawati memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja ia sudah mendengar dan tahu siapa adanya Endang Patibroto yang dahulu menjadi isteri Pangeran Panjirawit di Jenggala! Serta-merta kedua orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan Widawati lalu menangis.
“Sungguh merupakan kemurahan para Dewata bahwa hamba berdua mendapat pertolongan dari Paduka yang menjadi saudara muda Gusti Patih Tejolaksono di Panjalu...!” kata Wiraman dengan girang sekali.
Kini giliran Pusporini yang tercengang. “Apa kau bilang? Rakanda Tejolaksono adalah adipati di Selopenangkep, mengapa Andika menyebutnya gusti patih?”
Wiraman melongo.
“Betapa mengherankan pertanyaan Paduka ini! Gusti Adipati Tejolaksono kini telah menjadi patih muda di Panjalu. Bagaimana Paduka sampai tidak mengerti?”
Pusporini mengangguk-angguk.
“Syukurlah kalau begitu. Ketahuilah, Paman Wiraman. Telah bertahun-tahun aku meninggalkan Selopenangkep dan menjadi murid Eyang Resi Mahesapati. Sekarang ceritakannya kesemuanya, ceritakanlah apa yang terjadi di Jenggala, siapa sebenarnya Andika ini, dan mengapa kepatihan Jenggala terbasmi, oleh siapa.”
Maka berceritalah Wiraman tentang dirinya, betapa dia bersama sebelas orang temannya sebagai orang-orang kepercayaan mendiang Ki Patih Brotomenggala melakukan tugas mengawal secara diam-diam pada sri baginda yang mengadakan perburuan.
Betapa kemudian sri baginda diserbu penjahat. Dia menceritakan semua rahasia, juga membongkar rahasia orang yang bernama Raden Warutama yang dengan licik telah dapat mengangkat diri menjadi patih di Jenggala.
Dia juga menceritakan bagaimana Ki Patih Brotomenggala difitnah dan dijatuhi hukuman mati sekeluarga dan hanya Widawati saja yang kebetulan dapat lolos. Diceritakan pula betapa Kerajaan Jenggala kini dicengkeram oleh selir baru yang bernama Suminten dan persekutuan antara Suminten, Pangeran Kukutan, dan patih baru yang bernama Warutama.
“Karena hamba berdua merupakan orang-orang buruan Jenggala, maka hamba mengajak... Diajeng Widawati untuk melarikan diri ke Panjalu, untuk mohon bantuan dan pengadilan sri baginda di Panjalu. Karena hamba berdua melakukan perjalanan secara rahasia, maka hamba melewati daerah-daerah yang sunyi. Siapa nyana, di sini hamba berdua diserang ular siluman dan untung tertolong oleh Paduka. Akan tetapi hamba...“
Wiraman tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia teringat akan peristiwa yang terjadi antara dia dan Widawati.
Joko Pramono maklum akan isi hati bekas pengawal yang gagah perkasa itu, maka ia cepat berkata,
“Paman Wiraman harap menenangkan hati. Aku dan Pusporini yang menjadi saksi bahwa Paman berdua telah menjadi korban racun ular yang amat jahat. Kami berdua yang menjadi saksi akan perlindungan dan pembelaan Paman yang amat setia terhadap cucu mendiang Ki Patih Brotomenggala.”
Wiraman mengangkat muka memandang wajah Joko Pramono dengan penuh syukur dan terima kasih.
“Kalau begitu, perkenankan hamba berdua untuk melanjutkan perjalanan agar dapat segera sampai di Panjalu.”
“Nanti dulu, Paman. Cerita Paman sungguh menarik hati dan aku sendiri ingin pergi menjumpai Rakanda Tejolaksono di Panjalu, Akan tetapi, aku harus minta ijin dulu dari Eyang Resi dan sebaiknya Andika berdua ikut dengan kami menghadap Eyang Resi untuk mendapat nasehat dan doa restunya.”
Wiraman tidak berani membantah, apa lagi sebagai seorang gagah perkasa, ia pun ingIn sekali menghadap guru dua orang muda yang sakti itu, yang ia percaya tentu memiliki ilmu kesaktian, yang luar biasa hebatnya. Adapun Widawati yang telah menyerahkan jiwa raga dan nasibnya ke tangan Wiraman, hanya menurut saja.
Berangkatlah mereka berempat menuju ke puncak Gunung Kawi dan di sepanjang perjalanan Wiraman dihujani pertanyaan-pertanyaan, terutama sekali oleh Pusporini yang ingin tahu tentang keadaan keluarganya. Ketika mendengar akan kejahatan Suminten yang telah mencengkeram Jenggala melalui sang prabu yang lemah dan tua, dua orang murid Resi Mahesapati ini menjadi marah.
Akan tetapi sungguh berbeda dengan kedua orang muridnya yang marah mendengar kelaliman merajalela di Jenggala, Sang Resi Mahesapati malah tersenyum lebar, seolah-olah tidak merasa heran dan juga tidak menganggap peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi di Jenggala itu sebagai hal-hal yang menjadikan penasaran. Ia menerimanya dengan tenang, tersenyum dan mengangguk-angguk, menganggapnya sudah wajar!
“Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk menurut penilaian orang, adalah wajar dan sudah ditentukan oleh Sang Hyang Widi Wisesa, sesuai dengan hukum karma, sama wajarnya dengan perkembangan sebab-akibat sebutir benih yang ditanam lalu tumbuh, berdaun, berkembang, dan berbuah. Dan sesungguhnya, untuk menghadapi semua itulah maka aku dahulu mengambil kalian sebagai murid, Joko Pramono dan Pusporini!”
“Eyang Resi, kalau begitu, hamba mohon Eyang sudi memperkenankan hamba pergi bersama Paman Wiraman berdua ke Panjalu untuk menghadap Rakanda Tejolaksono dan membantunya membebaskan Jenggala dari cengkeraman persekutuan busuk itu!” kata Pusporini penuh semangat.
“Ha-ha, belum tiba saatnya, Pusporini. Ingatkah engkau akan janjimu dahulu bahwa kalian berdua harus lima tahun menerima gemblengan? Baru berjalan tiga tahun, dan yang kalian bantu bukanlah Sang Patih Muda Tejolaksono. Jangan tergesa-gesa, muridku.”
“Pusporini, agaknya engkau lupa akan tugas yang kita lakukan atas perintah Eyang Resi. Mengapa tidak kau keluarkan mustika ular itu dan kita sama sekali belum menceritakan hasil tugas kita kepada Eyang Resi.”
Pusporini terkejut. Peristiwa perjumpaan dengan Wiraman dan Widawati, kemudian mendengar tentang rakandanya, membuat ia lupa sama sekali akan hal itu. Cepat ia mengeluarkan batu mustika ular itu dan menyerahkannya kepada Resi Mahesapati, sedangkan Joko Pramono lalu menceritakan secara ringkas tentang hasil mereka membunuh ular Puspo Wilis.
Tentu saja ia tidak menyinggung-nyinggung tentang peristiwa mengerikan yang hampir saja menyeret mereka menjadi hamba-hamba nafsu karena pengaruh racun mujijat dari ular itu, juga tidak menceritakan tentang keadaan Wiraman dan Widawati.
Kakek itu menerima batu mustika ular, memandanginya sejenak dan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Kemudian sinar matanya yang halus penuh wibawa itu menyapu ke arah wajah keempat orang itu. Sinar mata ini begitu penuh pengertian sehingga tanpa dapat ditahan lagi empat orang yang duduk menghadap itu menundukkan muka yang menjadi merah padam, terutama sekali Wiraman dan Widawati.
“Kau simpaniah batu mustika ular Puspo Wilis ini, Pusporini. Ketahuilah bahwa di antara semua binatang berbisa, ular Itu telah menghimpun segala macam bisa dan kebal terhadap semua bisa karena khasiat batu mustika ini. Batu ini kelak, sesuai dengan kehendak para Dewata, akan dapat menyelamatkan banyak orang yang terancam keselamatannya oleh racun-racun yang disebar oleh orang-orang sesat. Semua luka berbisa dapat digosok bersih dengan batu ini, dan semua racun dalam tubuh dapat dibersihkan dengan minum air yang merendam batu ini.”
“Eyang, mengapakah hamba belum diperkenankan pergi ke Panjalu sekarang untuk membantu pembersihan di Jenggala terhadap persekutuan jahat?” Pusporini masih penasaran. “Telah tiga tahun hamba mempelajari ilmu dari Eyang, dan hamba merasa cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawan jahat itu. Hamba tidak takut biar menghadapi iblis sekali pun yang mengeruhkan Kerajaan Jenggala!”
Kakek itu tertawa.
“Pusporini, engkau tidak tahu. Calon-calon lawanmu adalah orang-orang yang sakti mandraguna, dikemudikan oleh orang-orang yang maha sakti. Jangankan hanya engkau dan Joko Pramono, biar aku sendiri belum tentu dapat menandingi mereka. Karena itu, bersabarlah dan belajarlah lebih rajin lagi. Selama dua tahun. Kalau sudah tiba masanya, tentu kuperkenankan kalian berdua untuk pergi. Juga Ki Wiraman dan Nini Widawati kuperkenankan tinggal selama dua tahun di sini. Ki Wiraman adalah seorang hamba yang setia di Jenggala, adapun Nini Widawati adalah seorang korban kekeruhan yang melanda Jenggala, karena itu keduanya berhak untuk menerima ilmu sekedarnya dan kelak menjadi pembantu-pembantu yang baik. Tentu saja kalau Andika berdua suka menerima bimbinganku...“
Wiraman sudah menyembah dan menjawab dengan suara mantab,
“Hamba menghaturkan banyak terima kasih bahwa Paduka sudi menurunkan kasih sayang dan hendak memberi petunjuk kepada hamba berdua Diajeng Widawati.”
Demikianlah, semenjak hari itu, bukan hanya Pusporini dan Joko Pramono yang dengan rajin memperdalam ilmu mereka, juga Wiraman dan Widawati digembleng dengan aji-ajI kesaktian oleh Sang Resi Mahesapati di puncak Gunung Kawi…..
********************
Semenjak perginya Setyaningsih yang ikut bersama suaminya, Pangeran Panji Sigit, dari Gunung Wilis, maka bagi Endang Patibroto dan puterinya, Retna Wilis, tempat itu menjadi sunyi. Setyaningsih adalah seorang gadis yang pendiam, namun setelah dia pergi, mereka merasa kehllangan.
Apalagi bagi Endang Patibroto yang selalu menekan penderitaan batinnya. Bertahun-tahun wanita sakti yang bernasib malang ini menekan perasaan rindunya kepada Tejolaksono, satu-satunya pria di dunia ini yang amat dicintanya, ayah dari Retna Wilis. Kemudian ditambah dengan malapetaka hebat yang menimpa dirinya, yaitu penghinaan berupa perkosaan atas dirinya yang dilakukan oleh Sindupati atau Warutama. Penderitaan batin ini ditahannya secara diam-diam, tak seorang pun mengetahuinya. Kini kepergian adik kandungnya, Setyaningsih, membuat Endang Patibroto makin menderita dan kesepian, memperhebat rasa rindunya kepada Tejolaksono. Betapapun juga, demi untuk puterinya, ia mempertahankan diri dan tekun menggembleng puterinya itu yang kini mempunyai seorang guru yang boleh diandalkan yaitu Ki Datujiwa yang sakti mandraguna.
Pada suatu pagi yang cerah, mereka bertiga duduk bersila menerima sepenuhnya cahaya matahari pagi, bermandi cahaya untuk menerima inti kesaktian sinar sang surya. Endang Patibroto duduk bersila, mengatur napas, akan tetapi sukarlah baginya untuk menenteramkan pikirannya yang melayang-layang penuh kerinduan kepada Tejolaksono dan Setyaningsih. Pikirannya yang muram dan kacau ini ia coba menenteramkannya dengan mendengarkan wejangan-wejangan yang keluar dari mulut Ki Datujiwa yang sedang menggembleng Retna Wilis. Guru dan murid itu pun duduk bersila menghadap ke timur. Retno Wilis bersila seperti Arca, wajahnya yang cantik itu gemilang bersinar terkena cahaya matahari yang keemasan, dengan tekun ia mendengarkan suara yang keluar dari mulut gurunya.
"Muridku, Retna Wilis, camkanlah baik-baik. Di dunia ini, tidak ada kesaktian yang lebih tinggi daripada menaklukkan dan menguasai nafsu-nafsu diri pribadi karena inilah yang merupakan syarat terpenting menuju ke arah sempurnanya segala ilmu yang dipelajari manusia. Ilmu macam apa pun akan menjadi ilmu yang menghasilkan buah-buah kebaikan apabila dimiliki oleh orang yang telah dapat menguasai nafsu-nafsu pribadi. Sebaliknya, segala macam ilmu akan menjadi ilmu hitam yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain apabila ilmu itu dimiliki oleh orang yang menjadi hamba daripada nafsu-nafsunya."
Endang Patibroto yang ikut mendengarkan, dapat merasakan kebenaran wejangan ini dari pengalaman. Di waktu mudanya ia sudah banyak berdekatan dengan orang-orang sakti golongan sesat dan orang-orang sakti yang bersih, dan ia dapat merasakan bahwa mereka yang termasuk golongan sesat itu adalah orang-orang yang selalu bertindak menurutkan hawa nafsu. Dan betapapun saktinya dia yang menurutkan hawa nafsu, akhirnya akan roboh sebagai akibat daripada tindakannya sendiri.
"Dan tidak ada, kemenangan yang paling mutlak dan besar kecuali kemenangan yang diperoleh dari sikap mengalah, muridku. Mengalah dengan tulus ikhlas, mengalah bukan karena takut, melainkan mengalah karena sadar bahwa jalan kekerasan bukanlah jalan yang baik. Memang betul bahwa engkau sejak kecil digembleng dan mempelajari ilmu kesaktian, akan tetapi bukanlah kehendak ibumu dan kehendakku untuk mendidik engkau menjadi orang yang mengandalkan kesaktian mengejar kemenangan dengan kekerasan. Mengalah adalah laku yang paling utama, muridku."
Sekali ini, di dalam hatinya Endang Patibroto tidak dapat menyetujui sepenuhnya akan wejangan Ki Datujiwa. Mengalah untuk menang? Ah, betapa tidak sesuai dengan kenyataan! Dia sudah mengalah kepada Ayu Candra, meninggalkan Kadipaten Selopenangkep, meninggalkan orang yang dicintainya, Adipati Tejolaksono, akan tetapi dia tidak merasakan kemenangan karena mengalah ini! Dia menderita sampai bertahun-tahun! Akan tetapi, dapatkah kepergiannya tanpa pamit itu digolongkan perbuatan mengalah? Endang Patibroto menarik napas panjang, pikirannya menjadi bingung.
"Heh-heh-heh, ini dia anak yang kucari! Sukar mencari yang lebih baik daripada ini! Sayang dirusak oleh omongan-omongan kosong pertapa dungu!"
Tiga orang yang sedang bersila itu terkejut sekali. Lebih-lebih Endang Patibroto dan Ki Datujiwa. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, yang tidak saja sudah memiliki telinga yang terlatih bahkan mempunyai apa yang dinamakan telinga batin sehingga dapat mendengar apa yang sukar tertangkap oleh pendengaran telinga biasa. Akan tetapi kedatangan orang ini sama sekali tidak mereka ketahui dan secara tiba-tiba saja ada suara yang kedengarannya begitu dekat, akan tetapi ketika mereka memandang, tidak tampak bayangan seorang pun manusia di situ!
Endang Patibroto merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Ia maklum bahwa yang bicara itu adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis, mungkin dapat menghilang atau dapat mengirimkan suara dari tempat jauh. Apalagi Endang Patibroto, bahkan Ki Datujiwa sendiri yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari wanita itu, juga menjadi pucat wajahnya dan dapat menduga bahwa yang datang adalah orang yang amat tinggi tingkat kesaktiannya. Jantungnya berdebar aneh dan kakek ini cepat mempergunakan kekuatan batinnya untuk menindas guncangan itu, lalu ia berkata, suaranya tenang penuh wibawa,
"Salam dan hormatnya Ki Datujiwa harap diterima oleh sahabat sakti mandraguna yang berkenan datang mengunjungi Wilis! Jika Andika mempunyai kepentingan dengan kami, sudilah kiranya datang, kami membuka kedua tangan menanti kunjungan Andika!" Dari ucapan ini Endang Patibroto dapat menarik kesimpulan bahwa suara itu datang dari orang yang masih berada di tempat jauh.
Namun suaranya tadi demikian jelas seolah-olah pembicaranya berada di depannya. Kembali terdengar suara yang tadi, "Datujiwa bocah kemarin sore! Tak tahu engkau bersopan-sopan aku memang akan datang!"
Mendadak bertiup angin keras yang menerbangkan daun-daun di pohon, merontokkan daun-daun kuning dan tampaklah berkelebat bayangan orang seperti asap bergulung-gulung. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nenek yang berpakaian serba hitam.
Nenek ini sukar ditaksir berapa usianya, kedua lengannya mengenakan sepasang gelang emas dan wajahnya diselimuti uap kehitaman sehingga sukar dilihat mukanya. Nenek itu berdiri tegak dan amat menyeramkan karena kehadirannya membawa hawa yang luar biasa, dingin dan mengerikan sehingga kembali Endang Patibroto bergidik. Sekian banyaknya orang-orang sakti ia jumpai, akan tetapi dibandingkan dengan nenek ini, mereka itu hanya seperti kanak-kanak saja.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar