PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-63
Demikianlah, raja yang tua ini pun tidak membantah ketika ia menerima
kedatangan putera yang dikasihinya itu dalam ruangan yang dihadiri pula
oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama! Sang prabu
memandang dengan wajah berseri ketika Pangeran Panji Sigit datang
menghadap bersama Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono. Pandang
matanya melekat pada wajah puteranya, dan kepada tiga orang lain yang
berlutut dan menyembah, ia hanya memandang sekilas saja.
“Kanjeng Rama, hamba Panji Sigit menghaturkan sembah sujud...”
“Sigit, Puteraku..., kenapa lama benar kau pergi? Ke mana saja engkau pergi?”
Mendengar suara ramandanya yang gemetar, melihat wajah yang tua dan
pucat, hati Pangeran Panji Sigit seperti disayat. “Hamba pergi merantau,
mencari pengalaman...”
“Puteraku wong bagus, majulah Panji Sigit, mendekatIah ke sini...”
Pangeran Panji Sigit bergerak maju sampai di depan ramandanya. Sang
prabu menyentuh rambut puteranya,kemudian rasa girang dan haru
menyelimuti hatinya sehingga raja tua itu membungkuk dan merangkul.
Panji Sigit tak dapat menahan keharuannya dan ia memeluk kaki
ramandanya, menitikkan air mata dan berkata lirih,
“Kanjeng Rama... apakah yang telah terjadi? Hamba mendengar hal-hal yang amat hebat terjadi di sin!... dan... dan...”
“Husssshhh... jangan menyebut-nyebut tentang itu, Puteraku. Engkau tidak
tahu betapa banyaknya orang-orang yang kelihatan setia namun
sesungguhnya berhati palsu. Masih untung bahwa sampai sekarang ramandamu
dapat mengalahkan mereka semua. Engkau tidak boleh mendengarkan
bisikan-bisikan fitnah yang bukan-bukan, Puteraku. Percayalah bahwa
semua yang terjadi di sini adalah sudah seadil-adilnya dan semestinya.
Memang sepintas lalu kelihatan hebat, akan tetapi engkau belum tahu
betapa sukar menjenguk isi hati manusia...”
Pangeran Panji Sigit mengerling ke arah Suminten yang duduk anteng di
sebelah kiri sang prabu. Wanita itu kelihatan makin cantik jelita,
dengan tubuh yang matang menggairahkan. Timbul rasa muak dan benci di
hati Panji Sigit, akan tetapi ia hanya mundur dan berkata,
“Paduka benar, Kanjeng Rama. Sukar sekali menjenguk isi hati manusia.
Orang yang kelihatan sebaik-baiknya, yang di luarnya manis budi dan
menyenangkan, belum tentu memiliki hati yang beriktikad baik terhadap
kita. Karena itu, sebaiknya Kanjeng Rama juga jangan terlalu mudah
menjatuhkan kepercayaan kepada seseorang...”
“Waduh, Adimas Pangeran! Masa benar demikian? Kurasa harus melihat
orangnya! Seperti aku ini terhadapmu, Dimas, apakah Andika juga
mempunyai anggapan bahwa mungkin hatiku terhadapmu palsu?”
Tiba-tiba Pangeran Kukutan mencela sambil tersenyum.
Panji Sigit mengerling ke arah kakak tirinya itu, pandang matanya tajam menusuk.
“Biar pun saudara, tetap saja kita tidak dapat saling menjenguk isi hati
masing-masing, Rakanda Pangeran. Hanya diri sendiri dan Hyang Maha
Agung sajalah yang mengetahui akan isi hati sendiri!”
Sang prabu tersenyum.
“Cukup kiranya tentang filsafat dan prasangka yang bukan-bukan. Kita di
antara keluarga sendiri. Eh, Panji Sigit, aku mendengar bahwa engkau
pulang bersama isterimu. Mana dia? Mana mantuku?”
Setyaningsih menyembah,
“Hamba Setyaningsih menghaturkan sembah bakti kepada Paduka, Gusti...”
“Engkaukah isterinya? Wah, cantik jelita dan gagah perkasa... aku
mendengar bahwa engkau adik kandung mantuku Endang Patibroto. Betulkah?”
“Sesungguhnyalah, Gusti...”
“Setyaningsih, engkau mantuku, jangan menyebut gusti kepadaku. Aku
ramandamu juga! Panji Sigit, senang sekali hatiku melihat isterimu.
Mulai sekarang, jangan engkau pergi-pergi lagi meninggalkan Jenggala.
Engkau sudah dewasa, sudah beristeri, seharusnya tinggal di sini dan
melakukan tugasmu sebagai seorang pangeran, membantu kakakmu Pangeran
Kukutan demi ketenteraman Jenggala.Aku sudah tua, kalau bukan
putera-puteraku seperti Kukutan dan engkau yang mewakili aku memegang
kendali pemerintahan, habis siapa lagi? Bukankah benar begitu, Patih?”
Semua mata memandang kepada Ki Path Warutama yang duduk di sebelah kiri
dan yang sejak tadi seperti halnya Suminten, duduk dengan anteng dan
penuh hormat sebagai seorang ponggawa yang baik.
Ki Patih Warutama dengan tenang menyembah, sedikit pun tidak
memperlihatkan reaksi terhadap pandang mata penuh selidik dari empat
orang muda itu, kemudian terdengar suaranya yang tenang dan penuh
pengertian,
“Tiada seujung rambut pun selisihnya kebenaran wawasan dan sabda Paduka
yang amat bijaksana, Gusti! Seorang pangeran muda sudah seyogyanya
memperluas pengalaman dan mengejar ilmu dalam tapa brata, akan tetapi
semua itu dilakukan dengan cita-cita agar kelak semua ilmunya dapat
dipergunakan untuk berdharma bakti kepada orang tua dan negara! Hamba
merasa girang sekali mendengar bahwa Gusti Pangeran Panji Sigit membantu
tugas Gusti Pangeran Mahkota, ada pun hamba hanya siap untuk melayani
dan membantu.”
“Ha-ha-ha-ha, kau lihat sendiri, Panji Sigit. Bukankah patihku ini
hebat? Engkau akan senang sekali mendapat bantuan seorang yang setia,
cerdik pandai, dan memiliki kesaktlan yang amat hebat seperti Ki Patih
Warutama ini.”
Pandang mata Panji Sigit bertemu dengan pandang mata Warutama dan
pangeran muda ini tertegun. Alangkah hebatnya orang ini! alangkah
berbahayanya. Sudah jelas baginya bahwa orang yang menjadi patih
ramandanya ini adalah penjahat busuk yang pernah menyelundup ke Wilis
dan yang pernah menculik Retna Wilis bersama dua orang kawannya yang
mengerikan, yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro.
Kalau dahulu tidak ada gurunya, Ki Datujiwayang menolong dan merampas
kembali Retna Wilis, tentu anak ayundanya itu telah dibawa pergi. Patih
ini adalah seorang jahat, dan tentu saja tahu bahwa dia mengenalnya.
Akan tetapi patih itu masih bersIkap begitu tenang seolah-olah merasa
belum pernah bertemu sebelumnya! Alangkah beraninya! Namun, apa yang
dapat ia lakukan? Dia berada di sarang harimau, sungguh pun hal ini aneh
kalau diingat bahwa dia berada di istana ramandanya sendiri! Pula,
urusan penculikan Retna Wilis adalah urusan pribadi yang tidak ada
sangku-pautnya dengan ramandanya, maka tentu saja tidak perlu baginya
untuk membeberkan persoalan itu di depan ramandanya.
Sungguh pun ia mempunyai keyakinan bahwa Nini Bumigarba yang kini
berhasil menculik Retna Wilis dan membunuh Ki Datujiwa itu tentulah
mempunyai hubungan dengan Patih Warutama, namun tentu saja ia tidak
dapat menanyakannya begitu saja. Adanya Ki Patih Warutama di istana itu,
di samping Pangeran Kukutan dan Suminten, membuat Pangeran Panji Sigit
menjadi lebih hati-hati lagi.
Untuk beberapa detik lamanya, perasaan yang sama mengaduk hati Pangeran
Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini kagum. Pantas
saja kalau Warutama dapat menyelundup dan menjadi patih. Orang itu amat
cerdik dan berbahaya melebihi seekor ular welang!.
Hanya ada dua kemungkinan. Ki Patih Warutama ini seorang cerdik yang
amat berbahaya kalau benar apa yang diceritakan oleh Ki Wiraman, atau
sebaliknya, dia seorang yang gagah perkasa dan bijaksana kalau cerita Ki
Wiraman itu tidak betul. Terhadap orang seperti ini, mereka harus
berhati-hati sekali.
“Hamba merasa girang sekali bahwa Paduka telah mendapatkan seorang patih
yang pandai dan bijaksana,Kanjeng Rama. Semoga dengan adanya Paman
Patih ini, kerajaan Paduka akan terbebas dari pada orang-orang munafik
yang hanya di luarnya saja baik namun di sebelah dalam dadanya
mengandung niat yang laknat, seperti ular-ular berkedok domba.”
Sambil berkata demikian, dengan pandang mata tajam penuh selidik Pangeran Panji Sigit memandang wajah ki patih itu.
Namun tusukan yang terkandung dalam ucapan ini agaknya sama sekali tidak dirasai oleh Ki Patih Warutama.
Wajah yang sudah matang dan masih tampan menarik itu tetap tenang dan
bersih, seperti wajah orang yang tidak mempunyai dosa apa-apa, bahkan
mulut itu tersenyum dan pandang matanya tenang lembut.
“Harap Paduka jangan khawatir, Gusti Pangeran. Hamba akan membela
Jenggala dengan taruhan jiwa raga hamba sebagai imbalan atas
kebijaksanaan dan segala anugerah yang telah dilimpahkan oleh Gusti
Sinuwun kepada hamba.”
Kalau saja Pangeran Panji Sigit belum pernah mendengar cerita ratu, dan
Joko Pramono belum mendengar cerita Ki Wiraman, tentu mereka itu akan
dapat terbujuk oleh sikap dan kata-kata patih ini.
Hanya Setyaningsih dan Pusporini dengan perasaan wanitanya dapat
menangkap sifat-sifat yang jauh lebih buas dan keji terhadap wanita
dalam pribadi patih ini, dibandingkan dengan Pangeran Kukutan.
Ketampanan dan kematangan sifat jantan ki patih ini benar-benar membuat
mereka berdebar dan penuh kengerian, juga menimbulkan kemuakan yang
mendatangkan benci tanpa sebab.
“Kanjeng Rama, perkenankan hamba memperkenalkan dua orang sahabat yang
datang menghadap bersama hamba. Gadis ini bukan orang lain, melainkan
adik tiri Diajeng Setyaningsih, bernama Pusporini. Adapun sahabat ini
bernama Joko Pramono, saudara seperguruan Adinda Pusporini. Hamba mohon
agar mereka ini diperkenankan tinggal di sini dan diberi tugas pekerjaan
membantu hamba.”
“Ah, gadis yang cantik dan pemuda yang perkasa. Tentu saja boleh,
Puteraku, dan biarlah tentang tugas mereka ini kuserahkan kepada Patih
Warutama yang akan mengaturnya.”
Setelah bercakap-cakap sebentar dan Pangeran Panji Sigit menceritakan
pengalamannya semenjak meninggalkan istana tanpa menyinggung-nyinggung
persoalan yang didengarnya tentang Jenggala, pertemuan dibubarkan dan
selanjutnya, Pangeran Panji Sigit dan isterinya mendapat tempat tinggal
di lingkungan istana, adapun Joko Pramono dan Pusporini untuk sementara
tinggal di padepokan tamu istana sehingga mereka berempat sewaktu-waktu
dapat mengadakan pertemuan karena tempat mereka itu hanya terpisah oleh
taman sari yang luas dan indah.
Tanpa mereka sangka sama sekali, semua ini telah direncanakan oleh
Suminten yang menghendaki empat orang itu dekat dengannya, tidak saja
untuk pelaksanaan siasatnya, akan tetapi juga agar lebih mudah kaki
tangannya mengadakan pengawasan.
Dengan hati-hati sekali empat orang muda yang sudah berhasil menyelundup
dan diterima di istana Jenggala itu berusaha untuk menyelidiki keadaan
Nini Bumigarba.
Namun ternyata sama sekali tidak berhasil. Bahkan ketika Pangeran Panji
Sigit mendapat kesempatan menyinggung nama ini di depan sang prabu,
ramandanya juga mengerutkan alisnya dan menyatakan tidak mengenal nama
itu. sama sekali. Juga Ki Patih Warutama menyatakan tidak mengenal nama
itu. Hanya Pangeran Kukutan ketika ditanya oleh Pangeran Panji Sigit,
membelalakkan matanya dan berkata,
“Aku hanya pernah mendengar nama itu, nama seorang nenek yang sakti
mandraguna seperti dewi katon, tiada lawannya di dunia ini. Akan tetapi
aku belum pernah melihatnya dan tentu saja tidak tahu di mana tempat
tinggalnya.”
Pangeran Panji Sigit menjadi bingung dan gelisah, karena agaknya tidak
ada harapan untuk mencari keterangan tentang Nini Bumigarba yang telah
menculik Retna Wilis.
Di samping menyelidiki tentang Nini Bumigarba, tentu saja mereka juga
menyelidiki tentang keadaan Kerajaan Jenggala dan apa yang mereka
dapatkan membuat Pangeran Panji Sigit menarik napas panjang berkali-kali
dengan hati penuh duka dan gelisah.
Ternyata bahwa para ponggawa yang setia dari ramandanya, kalau tidak
“hilang” tanpa bekas tentu telah berubah seratus prosen dan kini menjadi
kaki tangan Pangeran Kukutan.
Para ponggawa yang dahulunya setia kepada ramandanya, kini telah habis.
Yang jiwanya gagah perkasa dan satria sejati, sudah hilang atau tewas
secara aneh dalam pertempuran-pertempuran.
Adapun mereka yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan
menduduki tempat-tempat penting, adalah orang-orang baru dari luar
daerah, atau mereka yang dahulunya setia akan tetapi berjiwa plin-plan
yang menunjukkan pribadi orang-orang yang rendah budi, yang tidak
segan-segan dan malu-malu menjadi penjilat demi untuk kesenangan diri
pribadi. Orang-orang seperti inilah yang paling berbahaya.
Akan tetapi, diam-diam Pangeran Panji Sigit menjadi girang melihat bahwa
betapa pun juga masih ada di antara mereka yang benar-benar masih setia
kepada ramandanya, dan bukan merupakan kaki tangan Pangeran Kukutan,
sungguh-pun mereka ini menentang Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama
di dalam hati mereka saja karena sama sekali tidak berdaya.
Di antara mereka yang setia ini, Pangeran Panji Sigit mengenal Ki
Pawitra, guru seni tari yang sudah tua. Ketika bertemu dengan Joko
Pramono dan Pusporini dan mendengar cerita murid-murid Sang Resi
Mahesapati ini tentang Ki Wiraman dan Widawati, betapa dahulu Widawati
diselamatkan ketika seluruh keluarga Ki Patih Brotomenggala dibasmi,
yaitu dilarikan oleh Ki Mitra yang menjadi juru taman keluarga guru seni
tari itu, hati Pangeran Panji Sigit menjadi girang sekali.
“Bagus kalau begitu!” kata Pangeran Panji Sigit kepada Joko Pramono,
didengarkan pula oleh Setyaningsih dan Pusporini. “Kita harus dapat
menghubungi Ki Mitra dan mungkin dari teman-teman setia Ki Pawitra kita
akan dapat mengetahui keadaan sesungguhnya dari Jenggala, bahkan siapa
tahu di antara mereka ada yang dapat mengetahui di mana adanya Nini
Bunigraba dan tahu pula sebetulnya golongan manakah yang secara rahasia
membantu persekutuan Suminten dan Warutamal”
Memang patut dikagumi kegigihan dan kebesaran semangat juang empat orang muda ini yang seakan-akan telah memasuki gua harimau.
Akan tetapi patut dikasihani pula mereka karena mereka tidak tahu bahwa
sebenarnya mereka telah terperosok ke dalam lubang jebakan yang diatur
oleh Suminten yang cerdik licin. Mereka berempat sama sekali tidak tahu
bahwa tempat mereka berunding,yaitu di ruangan tempat tinggal Pangeran
Panji Sigit, telah dipasangi lubang-lubang rahasia di mana dipasang kaki
tangan Suminten yang tugasnya hanya bersembunyi dan mendengarkan semua
percakapan empat orang itu yang dilakukan di ruangan itu.
Bahkan semua percakapan antara Pangeran Panji Sigit dan isterinya di
dalam kamar pun tidak ada yang terlepas dari telinga kaki tangan itu
yang selalu bersembunyi dan mendengarkan! Mereka tidak pernah mimpi
bahwa Suminten telah mengetahui semua rahasia, rencana dan
langkah-langkah yang akan mereka ambil, dan bahwa pedang malapetaka
telah tergantung di atas kepala mereka.
Pada malam hari itu juga, seorang kakek datang menghadap Pangeran Panji
Sigit, dilaporkan oleh seorang penjaga. Ketika tiba di depan pangeran
itu, kakek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, kemudian
menengok kanan kin dan berbisik,
“Gusti Pangeran... hamba Ki... Mitra, mohon bicara...”
Pangeran Panji Sigit terkejut dan memandang penuh perhatian. Kakek ini
usianya sudah enam puluh tahunan, pakaiannya sederhana seperti pakaian
pelayan, sikapnya cerdik. Cepat pangeran itu memberi isyarat kepada Ki
Mitra untuk mengikutinya.
Setyaningsih yang berada di dalam, menjadi heran melihat suaminya
menuntun masuk seorang kakek yang tidak ia kenal. Sebelum ia membuka
mulut bertanya, Pangeran Panji Sigit sudah mendahuluinya memperkenalkan,
“Diajeng, dia inilah Ki Mitra yang kita bicarakan kemarin.”
“Ahh, kebetulan sekali. Akan tetapi, apakah yang kau kehendaki, paman? Mengapa engkau datang mencari gusti pangeran?”
Pertanyaan ini mencerminkan kecerdikan dan kewaspadaan Setyaningsih.
KI Mitra yang melihat bahwa dia telah berada di sebelah dalam dan tidak
akan terlihat orang lain, sudah menjatuhkan diri bersila kembali,
kemudian berkata dengan sikap penuh hormat,
“Hamba dahulu melarikan cucu puteri mendiang ,gusti patih yang malang,
dan setelah berhasil menyerahkan puteri itu kepada Ki Wiraman, hamba
segera pulang ke sini dan tetap bekerja sebagai juru taman di rumah guru
seni tari.Hamba yang banyak melihat dan mendengar keadaan di kota raja
umumnya dan di istana khususnya, yang bersumpah di dalam hati untuk
bersetia kepada gusti sinuwun sampai mati, tentu saja hamba dapat meIasa
bahwa Paduka Gusti Pangeran Panji Sigit sependapat dengan hamba dan
karena itu hamba memberanikan diri lancang menghadap Paduka. Mamba siap
melakukan segala perintah Paduka, Gusti.”
“Bagus sekali kalau begitu!“ Pangeran muda itu berseru girang. “Mari kau ikut bersamaku ke taman sari, Paman Mitra.”
“Mengapa tidak bicara di sini saja, Gusti?”
“Hush, jangan membantah. Kau tidak tahu, di sini pun mungkin tidak aman.
Aku mulai curiga karena tadi aku mendapatkan lubang-lubang di dinding
kamar itu dan mungkIn telingaku salah dengar, akan tetapi aku seperti
mendengar napas orang di balik dinding. Mari kita bicara di taman sari.
Di tempat terbuka itu takkan mungkin ada yang mengintai atau
mendengarkan pembicaraan kita. Engkau adalah seorang abdi ponggawa
istana, dan kenalanku di luar istana amat banyaknya sehingga tidak akan
mengherankan hati orang kalau engkau menghadap dan bercakap-cakap
denganku di taman sari, apa lagi karena engkau adalah seorang ahli juru
taman.”
“Baiklah, Gusti.”
Keluarlah suami isteri muda itu diikuti si juru taman tua dan mereka
berjalan ke taman sari seenaknya sambil bercakap-cakap, menuding-nuding
ke arah pelbagai tanaman sehingga kelihatan dari jauh seperti
bercakapcakap tentang tanaman. Padahal Pangeran Panji Sigit bertanya
tentang keadaan di Jenggala.
“Bagaimana pendapatmu tentang peristiwa yang menimpa keluarga Paman Patih Brotomenggala, Paman?”
Sambil menuding ke arah sekumpulan kembang menur,Pangeran Panji Sigit
bertanya dan mereka berhenti di depan kelompok kem-bang menur itu. Ki
Mitra menjawab,
“Peristiwa itu patut disesalkan, Gusti. Hamba sendiri masih merasa heran
mengapa gusti patih yang semenjak dahulu terkenal setia itu tiba-tiba
saja dapat melakukan hal yang amat keji itu, berusaha hendak membunuh
gusti sinuwun.”
Pangeran Panji Sigit menghela napas. Kakek juru taman ini tentu saja
banyak melihat dan mendengar, akan tetapi tentu saja tidak dapat
mengetahui rahasia apa yang mungkin tersembunyi di balik semua peristiwa
mengerikan yang terjadi dl Jenggala.
“Bagaimana dengan dibuangnya Ibu Ratu?”
“Wah, tentang itu..., Paduka tentu dapat memaklumi perasaan wanita-anita
yang bersaing dan bertentangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
terdapat perang dingin antara gusti ratu dan gusti selir muda sehingga
tentu saja keduanya. berusaha saling menjatuhkan.Paduka tentu mengerti
pula betapa kejamnya hati yang sudah dipenuhi oleh cemburu dan iri hati
sehingga mungkin saja kalau gusti ratu menjadi lupa sehingga menjatuhkan
fitnah. Justeru pertentangan antara kedua wanita itulah yang
menimbulkan perpecahan sehingga timbul dua fihak.”
Setyaningsih mengerutkan keningnya, akan tetapi Pangeran Panji Sigit
hanya menarik napas panjang. Seorang juru taman seperti Ki Mitra ini
boleh jadi memiliki kesetiaan besar sehingga untuk membela junjungannya
bersedia mengorbankan nyawa, bahkan sudah berjasa menyelundupkan cucu
puteri Ki Patih Brotomenggala dari kota raja.
Akan tetapi mana mungkin dapat berpemandangan luas dan dapat mengerti
akan persoalan persoalan yang pelik dan penuh rahasia yang menimpa
istana?
“Begin!, Ki Mitra. Yang penting sekarang, engkau ini setia kepada fihak mana? Kepada siapa?”
“Tentu saja kepada gusti sinuwun dan kepada Paduka Gusti Pangeran.
Paduka boleh memerintahkan tugas apa saja dan hamba akan melaksanakannya
dengan taruhan nyawa!”
Makin yakin hati Pangeran Panji Sigit bahwa kakek ini hanyalah seorang
pelaksana yang setia, akan tetapi hanya terbatas pada tugas-tugas yang
kasar dan ringan saja.Betapa pun juga, kesetiaan seorang yang bodoh dan
jujur seperti ini boleh dipercaya
“Baiklah, Ki Mitra. Engkau tentu mehgenal atau tahu akan
ponggawa-ponggawa baru yang telah diangkat oleh paman patih dan rakanda
pangeran mahkota, ,yang kabarnya memiliki kesaktian hebat.”
“Tentu saja, Gusti. Hamba mendengar berita bahwa gusti patih sendiri
memiliki ilmu kesaktian yang tidak lumrah manusia. Ketika gusti sinuwun
dahulu diserang perampok, dengan tangan kosong saja gusti patih
merobohkan mereka semua. Kemudian, ketika kota raja diserang angin
taufan, nyaris bagian kiri istana hancur tertimpa pohon beringin yang
roboh tumbang oleh angin, gusti patih pula yang membuktikan kesaktiannya
yang luar biasa dengan menahan batang pohon raksasa itu dan
mendorongnya sehingga pohon itu roboh di bagian lain, tidak menimpa
bangunan istana! Tentu masih banyak ponggawa yang sakti, sungguh pun
tidak sehebat gusti patih, seperti misalnya Gusti Tumenggung Wirokeling,
Gusti Tumenggung Sosrogali dan masih banyak lagi yang hamba tidak
ketahui sampai di mana kedigdayaan mereka. Akan tetapi yang jelas, para
ponggawa sekarang ini terdiri dari orang sakti yang dapat dikumpulkan
oleh gusti patih dan gusti pangeran mahkota.”
“Ki Mitra, pernahkah kau mendengar akan nama Nini Bumigarba?”
Kakek itu kelihatan terkejut.
“Pernah; Gusti dan... huhh, masih meremang bulu tengkuk hamba kalau
mendengar nama itu. Hamba mendengar berita angin di antara para ponggawa
yang dahulu pernah bercakap-cakap sambll menonton latihan seni tari
para puteri istana di tempat kediaman majikan hamba. Kabarnya pada suatu
malam Jum'at, manusia sakti seperti dewi yang berjuluk Nini Bumigarba,
atau juga bewi Sarilangking itu, yang pandai menghilang, muncul dan
menemui gusti patih yang kabarnya masih menjadi buyut muridnya...”
“Betulkah itu?” Pangeran Panji Sigit terkejut dan girang.
“Entahlah, Gusti. Hanya kabarnya, kedatangan nenek sakti itu adalah
untuk ;mengusir dan melenyapkan hawa siluman yang kabarnya mengotorkan
angkasa di atas kota raja.”
“Tahukah engkau, di mana tempat tinggal nenek itu?”
Ki Mitra menggeleng kepalanya.
“Hamba rasa tidak ada seorang pun yang tahu. Kabarnya, kalau tidak
dikehendaki tak seorang pun dapat melihatnya karena dia pandai
menghilang atau terbang ke angkasa...”
Pangeran Panji Sigit kecewa.
“Kiranya cukuplah, Paman. Engkau kembalilah ke tempat kerjamu. Sewaktu-waktu kalau aku memerlukanmu, akan kupanggil engkau.”
Ki Mitra menyembah.
“Hamba siap melaksanakan segala perintah Paduka. Andai kata Paduka
hendak mengirim berita-berita rahasia ke Panjalu atau ke mana saja,
hamba sanggup melaksanakannya.”
“Baiklah, akan tetapi untuk sekarang belum ada tugas untukmu. Pergilah.”
Setelah kakek itu pergi, Pangeran Panji Sigit saling pandang dengan
isterinya dan pangeran itu menarik napas panjang, agaknya merasa kecewa
akan keterangan-keterangan yang ia dapat dari Ki Mitra. Isterinya maklum
akan isi hati suaminya, maka segera mendekati dan berkata halus,
“Memang tidak mudah menyelidiki keadaan seorang nenek yang sifatnya
tidak seperti manusia biasa Kakanda.Akan tetapi hal ini memerlukan
kesabaran besar sekali. Kita tahu bahwa dia adalah di fihak musuh, dan
saya kira, dia pun sudah tahu akan keadaan kita. Karena dia selalu
menyembunyikan diri, maka sebaliknya kita menanti sampai dia dan kaki
tangannya turun tangan terhadap kita.Nah, di saat itulah, pasti
musuhimusuh kita takkan mampu menyembunyikan diri lagi.”
Pangeran muda itu mengangguk-angguk, lalu merangkul pinggang isterinya yang ramping dan mengajaknya masuk ke dalam kamar mereka.
“Engkau benar, dan memang kita harus berani menghadapi bahaya. Mereka
itu ternyata amat pandai dan halus, biar pun mereka telah berhasil
menguasai kerajaan dan menancapkan kuku-kuku mereka di manamana,
mengganti para ponggawa dengan orang-orang mereka, namun pada lahirnya
tidak tampak sedikit pun kesalahan mereka, bahkan kelihatannya
seolah-olah mereka itu merupakan abdi-abdi yang amat setia dan baik dari
kanjeng rama!”
Dan memang tepat sekali pendapat Pangeran Panji Sigit.
Akan tetapi pangeran ini pun hanya tahu satu tidak tahu banyak hal lain,
hanya melihat belangnya kulit harimau saja, tidak melihat seluruh
tubuh, kepala dan ekornya!
Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bahaya hebat bukan disebabkan
semata karena pengkhianatan beberapa gelintir manusia yang menginginkan
kedudukan. Sama sekali bukan! Melainkan diatur dan dikemudikan secara
halus dan pandai oleh dua orang tokoh dari Sriwijaya dan Cola, yaitu
Sang Biku Janapati utusan Sriwijaya yang halus dan sakti mandraguna, dan
Sang Wasi Bagaspati yang kasar dan amat cerdik panda! lagi sakti.
Mereka berdua inillah, dibantu oleh orang-orang sakti yang menjadi kaki
tangan mereka, yang sebetulnya mengemudikan segala macam peristiwa yang
terjadi di Jenggala, dengan mempergunakan kesempatan baik selagi di situ
terdapat seorang seperti Suminten, dan muncul pula seorang seperti
Warutama dan seorang seperti Pangeran Kukutan. Dan di atas dari semua
pembantu-pembantu ini, kedua orang pendeta dari Sriwijaya dan Cola itu
masih mempunyai seorang yang mereka andalkan, yang memiliki kesaktian
yang amat hebat, jauh melampaui kesaktian mereka sendiri, yaitu Nini
Bumigarba.
Mereka maklum bahwa ada orang-orang sakti bermunculan dan berusaha
menentang mereka membela Jenggala, dan bahwa di antara lawan-lawan saktI
itu terdapat seorang yang amat mereka segani dan takuti, yaitu Sang
Bhagawan Ekadenta atau Sang Sakti Jitendrya, juga Sang Bhagawan
Sirnasarira. Maka mereka berdua lalu mohon bantuan Nini Bumigarba untuk
mengimbangi fihak lawan.
Pangeran Panji Sigit tidak mengetahuI akan hal ini semua, hanya mengira
bahwa semua itu digerakkan oleh Suminten dan Pangeran Kukutan yang
menginginkan kedudukan dan kekuasaan, dibantu oleh Warutama yang ia
anggap seorang petualang yang haus kedudukan dan kemuliaan.
Adapun orang-orang sakti seperti Nini 'Bumigarba itulah menjadi tokoh-tokoh undangan semua.
Pangeran Panji Sigit, Setyanringsih, Joko Pramono, dan Pusporini sama
sekali tidak menduga bahwa semenjak mereka menginjakkan kaki di bumi
Jenggala mereka telah memasuki perangkap yang sengaja diatur oleh
Suminten secara cerdik sekali.
Suminten yang begitu melihat Pangeran Panji Sigit menghadap, melihat
wajah tampan yang serupa benar dengan wajah pria yang pertama kali
dipujanya, yaitu mendiang Pangeran PanjIrawit, hatinya seperti diremas
dan cinta kasihnya cinta kasih lama yang tadinya hampir terpendam kini
tergali kembali dan makin menggelora. Juga ketlka melihat Joko Pramono
yang selain tampan gagah juga membayangkan kejantanan yang kuat, watak
gila prianya bangklt dan nafsu berahinya berkobar.
Biar pun empat orang muda itu tinggal di istana, hidup mewah dan serba
kecukupan, terhormat dan terjaga, namun mereka ini sesungguhnya
merupakan tawanan-tawanan yang setiap saat dapat di jadikan korban
keganasan iblis-iblis yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu!
Penuturan tentang Nini Bumigarba yang didengar oleh Pangeran Panji Sigit
dan isterinya dari mulut Ki Mitra bukan semata-mata bohong.
Memang sesungguhnyalah, biar pun pernah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati
mohon pertolongan nenek sakti mandraguna ini untuk menghadapi Ki
Tunggaljiwa dan hampir saja nenek ini dapat membunuh Ki Tunggaljiwa dan
Tejolaksono kalau tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Ekadenda, namun Nini
Bumigarba tidak mengikatkan dirinya secara langsung dengan kedua orang
pendeta itu. Nini Bumigarba tidak mau terikat, apa lagi setelah ia
melihat betapa di fihak musuh terdapat kakek sakti Bhagawan
Ekadenta.....!
Komentar
Posting Komentar