PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-64
“Kalian tak usah khawatir,” demikian pesan nenek itu kepada Biku
Janapati dan Wasi Bagaspati, “semenjak dahulu aku tidak suka kepada
Mataram dan keturunannya. Semenjak dahulu Ekadenta membantu Mataram!
Akan tetapi sudah ada perjanjian pribadi antara dia dan aku bahwa kami
berdua tidak akan mencampuri secara langsung urusan kerajaan. Dia tidak
akan membantu Mataram dan aku tidak akan memusuhi Mataram! Kalau dia
berani muncul dan langsung membantu Mearam, percayalah, aku akan slap
menandinginya. sampai napas terakhir! Kulihat dia mempunyai murid yang
baik, tentu muridnya yang akan maju. Karena itu, aku pun harus mencari
seorang murid yang baik pula. Dalam segala macam hal, aku tidak mau
kalah oleh Ekadenta!”
Biar pun mereka berdua orang-orang sakti mandraguna, Biku Janapati dan
Wasi Bagaspati tidak tahu rahasia apa yang tersembunyl di balik
kebencian nenek ini terhadap kakek sakti Bhagawan Ekadenta. Namun mereka
menjadi girang karena Bhagawan Ekadenta saja yang mereka takuti.
Karena itu, perbualan Nini Bumigarba di puncak Wilis, yaitu menculik
Retna Wilis dan karena perbuatan ini terpaksa bertanding dengan Ki
Datujiwa dan membunuh kakek sakti itu, sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan urusan kerajaan, tidak ada sangkut-pautnya dengan
urusan pribadi, baik terhadap Endang Patibroto maupun terhadap
Tejolaksono.
Nenek sakti ini menculik Retna Wilis karena dia suka kepada anak ini
yang dianggapnya merupakan calon murid terbaik yang penah dilihatnya.
Dia sedang mencari murid untuk menandingi murId Bhagawan Ekadenta, maka
melihat Retna Wilis dia menjadi girang sekali dan merasa yakin bahwa
kalau digembleng anak ini akan menjadi orang yang tiada tandingan di
dunia ini, biar murid Bhagawan Ekadenta sekali pun!
Siapakah sebenarnya nenek yang amat luar biasa kesaktiannya ini? Untuk
mengenalnya, kita membuka lembaran riwayatnya secara singkat. Nini
Bumigarba ini sekarang usianya sudah amat banyak, sukar untuk diketahui,
mungkin seratus tahun lebih, mungkin juga dua ratus tahun!
Dahulu dia merupakan seorang puteri cantik jelita dan sakti mandraguna
dari kerajaan kecil Umbul-tirta yang bergabung dengan Kerajaan Wengker
menentang Kerajaan Mataram. Namanya sebagai puteri cantik adalah Dewi
Sari-langking, selain cantik jelita, juga memiliki kesaktian yang tiada
tandingnya di waktu itu. Akan tetapi, karena pasukan kerajaan-kerajaan
kecil itu tidak mampu menandingi barisan-barisan besar Mataram, kedua
kerajaan itu selalu terpukul mundur. Kemudian, muncullah seorang ksatria
perkasa dan tampan di fihak Mataram, seorang kelana yang memakai nama
Joko Ekadenta.
Ksatria inilah yang dapat menentang dan menandingi kesaktian Dewi
Sarilangking sehingga puteri ini tidak saja kalah dalam bertanding, juga
jatuh hatinya terhadap ksatria yang tampan dan perkasa itu.
Namun, Joko Ekadenta yang dapat meneropong keadaan puteri itu melihat
sifat-sifat yang tidak baik sehingga biar pun dia sebagai seorang pria
juga amat kagum dan jatuh hati terhadap Dewi Sarilangking, namun dia
“mundur” dan tidak mau melayani cinta kasih puteri itu. Hal ini merubah
cinta kasih Dewi Sarilangking menjadi kebencian sehingga ia selalu
mencari gara-gara untuk dapat bertanding melawan Joko Ekadenta yang
selalu pula diakhiri dengan kekalahan di fihaknya.
Satu-satunya bukti bahwa Ekadenta masih mencintanya adalah kenyataan
bahwa dalam setiap pertandingan, kalau Dewi Sarilangking menyerang
dengan sungguh-sungguh dan dengan serangan maut, namun sebaliknya
Ekadenta selalu merobohkannya dengan hati-hati agar tidak melukainya.
Setelah Dewi Sarilangking dapat dikalahkan dan menemui tandingannya,
Kerajaan Umbul-tirta yang kecil itu dengan mudah dapat ditaklukkan oleh
Mataram.
Dewi Sarilangking mengumpat caci dan mengutuk Joko Ekadenta karena
kehancuran kerajaan ayahnya Semua keluarganya terbasmi dalam perang,
hanya dia sendiri, berkat kesaktiannya, dapat menyelamatkan diri dan
menghilang untuk bertapa dan memperdalam ilmunya.
Joko Ekadenta juga maklum bahwa semenjak itu, dia menanam bibit
pertnusuhan yang hebat dan akan selalu terancam oleh Dewi Sarilangking,
yang membencinya karena dua hal, pertama karena dia menolak cinta
kasihnya atau tidak suka menyambung pertalian cinta yang ada di antara
mereka, ke dua karena Joko Ekadenta membantu Mataram kerajaannya. Karena
maklum akan hal ini, Joko Ekadenta tidak mau kalah, juga pergi
mengasingkan diri, bertapa dan mengejar ilmu kesaktian sebagai bekal
untuk melindungi diri terhadap ancaman Dewi Sarilangking.
Kekhawatirannya terbukti. Ke mana pun dia bertapa, selalu Dewi
Sarilangking dapat mencarinya dan entah berapa puluh kali selama belasan
tahun wanita itu selalu berusaha untuk membunuhnya dalam
pertandingan-pertandingan yang amat dahsyat. Akan tetapi selalu Ekadenta
dapat mengalahkan puteri itu dan selalu membujuknya agar menyudahi
permusuhan mereka.
Namun Sarilangking tetap berkeras kepala dan setiap dikalahkan, bertapa
dan menggembleng diri lagI untuk kelak dipakai dalam pertandingan
lanjutan! Melihat ini, Ekadenta mengalah dan pergi ke barat, melintasi
lautan dan merantau sampai ke Pegunungan Himalaya di mana ia memperdalam
ilmunya dan juga terutama sekali untuk menjauhkan diri dari
Sarilangking!
Dewi Sarilangking yang makin sakti mandraguna itu kehilangan musuhnya
dan dia lalu menggunakan ilmunya untuk membantu Kerajaan Wengker, bahkan
kemudian dia menjadi guru dari Dewi Mayangsari yang menjadi permaisuri
di Wengker, permaisuri Sang Prabu Boko, Raja Kerajaan Wengker yang sakti
sekali itu!
Demikianlah sedikit riwayat Dewi Sarilangking yang kemudian dikenal
dengan julukan Nini Bumigarba, menjadi seorang nenek yang amat hebat,
seorang wanita yang tidak pernah menikah, akan tetapi biar pun sudah
menjadi nenek tua renta, ia masih mendendam kepada Ekadenta yang kini
pun sudah menjadi seorang kakek tua sekali yang amat sakti, yaitu Sang
Bhagawan Ekadenta atau juga disebut Sang Sakti Jitendrya atau Sang
Bhagawan Sirnasarira.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, ketika Nini Bumigarba
yang memenuhi permintaan bantuan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati,
datang menyerang Ki Tunggaljiwa, nenek sakti ini tidak berhasil membunuh
Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta karena muncul secara tiba-tiba kakek
sakti yang menjadi musuhnya semenjak muda sehIngga terpaksa nenek ini
melarikan diri. Kemudian Nini Bumigarba pergi mencari murid untuk
menandingi murid kakek itu kelak dan di puncak Wilis dia berhasil
menculik Retna Wilis setelah membunuh Ki Datujiwa.
Mungkin tanpa disadari oleh Endang Patibroto sendiri, wataknya yang aneh
dan keras, suka akan kesaktian, menurun kepada puterinya. Biar pun
menyaksikan dengan mata sendiri betapa Nini Bumigarba telah membunuh
gurunya, Ki Datujiwa, namun Retna Wilis malah menjadi kagum dan suka
sekali menjadi murid nenek itu! Hal ini bukan sekali-kali karena Retna
Wilis tidak menyayang gurunya itu, melainkan karena dalam anggapan anak
ini, pertandingan antara gurunya dan nenek itu adalah pertandingan adu
kesaktian yang adil sehingga kalau gurunya kalah dan tewas dalam
pertandingan itu, sudahlah sewajarnya. Bahkan ia merasa gembira sekali,
biar pun ia harus meninggalkan ibunya, karena ketika ia dipondong dan
dibawa lari nenek itu, ibunya sendiri menyatakan dengan suara yang jelas
bahwa ibunya rela dia menjadi murid Nini Bumigarba. Pula, ketika ia
dibawa lari, ia merasa seolah-olah dibawa terbang, demikian cepatnya
nenek itu melarikannya.
Nini Bumigarba melakukan perjalanan yang amat cepat sampai tiga hari
lamanya dan baru berhenti setelah tiba di tepi Laut Selatan! Pantai Laut
Selatan di daerah ini sunyi tak tampak seorang pun manusia dalam jarak
puluhan kilometer. Pantai itu sendiri merupakan lautan pasir dan memang
oleh penduduk di pedalaman, daerah yang merupakan daerah tandus ini
disebut merupakan daerah tandus ini disebut Segoro Wedi (Lautan Pasir).
Adapun di pantai, gunung-gunung karang menjulang tinggi, seolah-olah
merupakan perisai yang menentang amukan badai Laut Selatan sehingga air
tidak sampai meluap dan merendam seluruh Nusa Jawa! Sunyi dan tidak
subur seperti neraka, penuh dengan bahaya dan menyeramkan.
Bahkan binatang-binatang darat tak tampak di daerah yang tandus ini,
burung-burung pun tidak tampak, kecuali burung laut yang memang hidup
dari ikan-ikan laut. Mahluk-mahluk hidup yang tampak di daerah ini
hanyalah binatang pantai yang kecil seperti undur-undur, kepompong,
kepiting, dan yang besar-besar hanyalah kura-kura laut yang
kadang-kadang mendarat di pantai penuh pasir untuk bertelur.
Kura-kura laut yang amat besar-besar, sedemikian besarnya sehingga
takkan dapat terpikul oleh empat orang dan sedemikian kuatnya sehingga
dua tiga orang dewasa saja yang menduduki punggungnya masih akan
terangkut olehnya.
Sunyi sekali di situ, sunyi dari suara-suara yang biasa terdengar di
darat. Tetapi sedetik pun tak pernah berhenti dari suara bising ombak
laut bertanding kekuatan melawan batu-batu karang yang menggunung di
pantai, suaranya berdeburan, berkerosakan, seperti air mendidih,
kadang-kadang bergelegar seperti halilintar mengamuk.
Ketika Nini Bumigarba menurunkan Retna Wilis dari pondongannya dan gadis
cilik ini berdiri meman dang ke arah laut bergelombang, nenek ini
melirik dan tersenyum gembira menyaksikan betapa wajah muridnya itu
berseri, pandang mata yang tajam itu bersinar-sinar penuh kekaguman
memandang air laut yang bergelora. Nenek itu kagum melihat betapa
muridnya itu setelah melakukan perjalanan lama yang amat melelahkan,
tidak tampak kehilangan semangatnya dan senang hatinya melihat muridnya
tidak kecewa menyaksikan daerah yang akan menjadi tempat tinggalnya.
“Retna Wilis, bagaimana pendapatmu dengan tempat ini? Engkau dan aku
akan tinggal di daerah ini dan di sini engkau akan kugembleng dengan
kesaktian sehingga kelak engkau akan menjadi seorang muda yang sakti
tanpa tanding!”
Tanpa menoleh dari laut yang bergelombang, anak itu menjawab, “Aku senang sekali tinggal di sini, Eyang.”
Nini Bumigarba tertawa, hatinya senang disebut eyang dan ia makin suka
melihat sikap yang polos itu, tidak menjilatjilat, tidak takut,
melainkan sikap sewajarnya mencerminkan watak yang keras hati, angkuh,
dan tidak mau merendahkan diri. Inilah calon muridnya yang cocok. Kalau
saja ia dahulu di waktu mudanya memiliki watak seperti ini, angkuh dan
tidak mau merendahkan tentu ia akan hidup bahagla. Akan tetapi dia telah
menjatuhkan hatinya kepada Ekadenta yang mengakibatkan hldupnya penuh
dengan kekecewaan, merana dan sengsara!
“Muridku bocah manis. Kenapa engkau suka tinggal di sini? Mengapa tempat ini yang amat sunyi dan tandus menyenangkan hatimu?”
“Aku senang, Eyang. Aku kagum menyaksikan kedahsyatan laut dan ombaknya
yang setinggi gunung! Betapa dahsyatnya, betapa ganasnya, dan betapa
kuatnyal Dan aku terpesona menyaksikan batu-batu karang menggunung.
Betapa tenang menerima hantaman ombak yang begitu ganas, dan betapa
kokoh kuatnya! Sungguh hebat dan besar laut dan gunung karang, dan
betapa kecilnya kita ini!”
“Heh-he-he-he-he! Tepat sekali pendapatmu, muridku. Dan engkau akan
kugem-bleng agar kelak engkau dapat memiliki kedahsyatan dan keganasan
gelombang laut kidul, memiliki keterangan yang dingin dan daya tahan
yang kokoh kuat dari gunung-gunung karang! Ha-ha-ha!”
Demikianlah, tanpa diketahui oleh seorang manusia pun, Nini Bumigarba
yang telah mendapatkan seorang murid yang mencocoki hatinya, mulai
menggembleng Retna Wilis dengan pelbagai ilmu dan aji kesaktian di
pantai laut kidul yang sunyi itu.
Ternyata Retna Wilis amat suka tinggal di tempat ini. Selama hidupnya
anak ini belum pernah melihat laut, semenjak lahir selalu berada di
puncak Gunung Wilis.
Kini, sekali berhadapan dengan laut dan gunung karang, ia terpesona dan
menerima kesan yang menggetarkan jiwanya. Ia merasa seolah-olah lautan
luas itu hidup, seolah-olah dapat melihat dewa-dewa penjaga laut yang
perkasa, dapat melihat dewa-dewa penjaga gunung karang yang maha sakti
dan ia ingin sekali dapat menjadi seperti mereka.
Karena itu, ia tekun sekali belajar ilmu, mentaati segala perintah
gurunya dan tidak ada perintah yang terlampau berat baginya. Seringkali
ia menerlma latihan-latihan bertapa yang amat berat dari gurunya.
Latihan bersamadhi duduk di atas pasir di tepi pantai sampai kalau air
laut sedang pasang, ombak yang datang menenggelamkan tubuhnya dan
kadang-kadang pasir itu sampai membenamnya sepinggang lebih. Namun,
sedetik pun ia tidak pernah undur, tidak pernah meragu karena selain ia
merasa yakin bahwa perintah gurunya itu demi untuk memperkuat dirinya,
jasmani dan rohani, juga ia yakin bahwa gurunya tidak akan membiarkan
dia mati dalam berlatih!
Kadang-kadang sampai dua hari dua malam ia “dibiarkan” saja oleh gurunya
dalam keadaan seperti itu sehingga tubuhnya serasa membeku dan
seolah-olah telah berubah menjadi batu karang sendiri yang kuat dan
kokoh dalam menerima terjangan ombak! Ada kalanya Ia diharuskan
bersamadhi di atas batu karang menerima gempuran gelombang, tak pernah
berhenti tertimpa hujan dari air yang pecah berhamburan menghantam
karang.
Setiap detik ia terancam bahaya, terhempaskan dari atas karang dan kalau
hal ini terjadi, tentu tubuhnya akan diangkat oleh gelombang dan
dibanting hancur ke atas batu-batu karang! Namun, Retna Wilis tetap
mentaati semua perintah gurunya dan keyakinan ini memang bukan membuta
karena sesungguhnya, setiap saat Nini Bumigarba menjaga murldnya dengan
wajah berseri penuh kegembiraan dan kebanggaanl
Kalau matahari sedang teriknya, dan pantai pasir itu seolah-olah
terbakar mengeluarkan uap dari bawah, Retna Wilis diharuskan bersamadhi
di atas pasir yang panas sekali. Di bawah tubuhnya, pasir panas dan uap
dari bawah itu seolah-olah memanggang tubuhnya, adapun dari atas, sinar
matahari secara langsung menimpa tubuhnya sehingga kalau habis berlatih
seperti ini, kulit tubuhnya menjadi gosong dan menghitam!
“Muridku, Retna Wilts yang tersayang,” kata Nini Bumigarba setelah
setahun lebih muridnya digembleng menghimpun kekuatan dengan cara
bersamadhi yang aneh-aneh dan amat sukar.
“Engkau mulai dapat menerima inti tenaga sakti yang timbul dari
gelombang lautan dan ketenangan batu karang yang mengandung hawa dingin.
Secara langsung engkau dapat menahan hawa dingin yang timbul dari,
latihan melawan ombak laut.
Sebaliknya, berlatih di atas pasir panas di bawah terik matahari, engkau
dapat menerima inti tenaga sakti dari matahari dan dari uap bumi.
Latihan-latihan itu berat, namun manfaatnya besar sekali, muridku.
Dengan dasar tenaga sakti yang kau terima intinya dari kekuatan alam
ini, kau akan dapat menghadapi aji-aji pukulan lawan yang hanya
mempunyai dasar dua itu pula, dan engkau akan dapat kelak menerima
latihan-latihan aji pukulan yang hebat-hebat. Tahukah engkau, aji-aji
pukulan apa yang dimiliki ibumu dan yang telah diajarkan atau
diterangkan kepadamu?”
Retna Wilts mengangkat mukanya. Bocah ini usianya baru sebelas dua belas
tahun, dan baru setahun lebih berada di situ, namun pandang matanya
kini sudah jauh bedanya dengan setahun yang lalu. Pandang matanya penuh
kesungguhan, sikapnya penuh ketenangan, tarikan bibirnya penuh
keangkuhan dan kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga ia telah
memiliki himpunan sifat-sifat batu karang, lautan, dan pasir panas di
bawah timpaan sinar matahari!
“Biar pun aku belum banyak menerima pelajaran aji pukulan dari ibu, akan
tetapi menurut keterangan ibu, dia memiliki aji pukulan ampuh seperti
Pethit Nogo, Wisangnolo, dan Gelap Musti, Eyang.”
Nenek itu mengangguk-angguk.
“Engkau telah menyaksikan dahulu ketika ibumu mencoba memukulku sampai
dua kali dan aku sama sekali tidak roboh, bahkan ibumu yang terpental.
Mengapa? Pertama ibumu menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang 'biar
pun belum kukenal, akan tetapi dapat kuketahui dasarnya, yaitu dengan
dasar hawa sakti yang panas. Tentu saja dengan mudah aku dapat
menerimanya karena inti tenaga sakti panas di dalam tubuhku jauh lebih
kuat, sehingga pukulannya itu seperti setitik air memasuki jembangan
penuh air, amblas tidak terasa. Demikian pula dengan pukulan ke dua.
Pukulan ke dua ini kukenal baik, karena itu adalah pukulan Wisangnolo
yang didapatkan ibumu dari gurunya, Si Mamangkoro! Heh-he-he! Tentu saja
pukulan itu tidak ada artinya bagiku karena aji itu adalah ciptaanku
sendiri! Nah, sekarang engkau mengerti betapa pentingnya melatih diri
dengan samadhi yang menghimpun hawa-hawa murni untuk menciptakan tenaga
sakti. Maka, kau belajar dan berlatihlah terus dengan penuh ketekunan,
setelah engkau berhasil, baru aku akan menurunkan aji-aji pukulan yang
maha sakti.”
Retna Wilis mengangguk. “Aku mengerti, Eyang. Aku tidak merasa puas
sebelum dapat memiliki ketenangan dan kekuatan dan daya tahan seperti
gunung karang.”
“Heh-he-he-he, jangan khawatir. Engkau akan memiliki kedigdayaan seperti
aku! Cuma satu hal yang kupesanka agar engkau ingat-ingat betul,
muridku; Semua kesaktian itu akan musnah dan luntur hanya oleh satu
hal...”
Retna Wilis mengerutkan keningnya. Alis itu hitam panjang dan kecil,
seperti dilukis saja menghias wajahnya yang cantik jelita, yang kini
mulai jelas tampak menurun wajah ibunyal “Hemm, harusnya Eyang memberi
tahu kepadaku apa pantangan itu, karena hal itu penting sekali agar
jangan sampai aku melanggarnya di luar kesadaranku.”
“Pantangannya adalah kelemahan batin yang tidak mampu menolak perasaan hati sendiri.”
“Mengapa menurutkan perasaan dapat memusnahkan dan melunturkan kesaktianku, Eyang?”
“Perasaan hati yang dituruti amatlah berbahaya, muridku. Di antaranya
adalah rasa suka, duka, takut, malu, dan marah. Manusia memang
berperasaan dan di dalam hidupnya diombang-ambingkan oleh perasaan ini
sehingga menjadi lemah dan menjadi hamba dari pada perasaannya.sendiri.
Terutama sekali perasaan cinta kasih amatlah berbahaya dan segala
kesaktlanmu akan tiada gunanya sekali engkau dicengkeram oleh perasaan
cinta ini.Maka, engkau harus memperkuat, harus dapat mengekang dan
mengendalikan perasaanmu sendiri, kalau perlu engkau boleh membunuh
perasaanmu!”
Retna Wilis masih terlampau kecil untuk mengetahui betapa tak mungkin
ajaran ini dilaksanakan, kecuali kalau dia akan merubah diri menjadi
iblis yang tidak berperasaan atau menjadi binatang. Akan tetapi karena
dia hanya mempunyai satu keyakinan, yaitu bahwa di dunia ini gurunya
inilah orang yang paling sakti mandraguna, paling benar, ia lalu
mengangguk dan mencatat semua ajaran itu di dalam hatinya.
“Lihatlah samudera luas, muridku! Betapa dahsyatnya,betapa ganas dan
garangnya, tak terlawan! Mengapa dia begitu sakti? Karena dia tidak sudi
menjadi hamba perasaan, tidak mempunyai rasa sayang, atau takut, atau
kasihan, atau malu mau pun marah. Karena itu hebatnya bukan kepalang.
Dan lihatlah gunung karang. Dia pun tidak berperasaan, maka demikian
kokoh kuat menghadapi segala macam terjangan, tak pernah mengeluh, tak
peduli akan keadaan di sekelilingnya. Karena itu ia tidak suka tidak
duka dan kokoh kuat!”
Pelajaran yang keluar dari mulut Nini Bumigarba ini amatlah berbahaya
bagi jiwa kanak-kanak yang sedang berkembang. Memang sesungguhnya
mengandung filsafat yang amat tinggi, akan tetapi oleh karena keliru
cara mengajarnya dan memang cara nenek ini mengajar pamrih dan juga
terpengaruh oleh pengalaman-pengalaman pahit getir di waktu mudanya,
maka pelajaran ini tidak akan memberi kebekuan terhadap duniawi dan
kelembutan dalam watak, melainkan akan menjadikan orang membeku
dan kehilangan perasaan peri kemanusiaan!
Pelajaran semacam ini dijatuhkan ke dalam hati Retna Wilis yang pada
dasarnya memang keras hati karena selama ini terpengaruh watak dan sifat
ibunya. Tentu saja amat berbahaya bagi gadis itu sendiri yang tanpa
disadarinya telah digembleng oleh gurunya menjadi seorang yang selain
maha sakti seperti gurunya, dalam hal perasaan malah leblh mengerikan
dari pada gurunya!.
Namun Retna Wilis menjadi amat tekun belajar semenjak menerima nasehat
gurunya ini. Seringkali ia bermenung sampai berjam-jam memandang laut
yang nengganas dan memandang batu karang yang kokoh kuat, menerima
gempuran air yang pecah sendiri menjadi atom.Air laut bergerak terus,
sedetik pun tak pernah berhenti.
Matahari dan bulan bergerak terus, kelihatan lambat namun tak pernah
berhenti sedetik pun dan karena gerakan yang tiada hentinya ini maka
waktu berlalu amat cepatnya, cepat akan tetapi tidak terasa dan kelihatn
lambat, seperti gerakan bulan dan natahari.
Seolah-olah baru kemarin dulu Retna Wilis tinggal di pantai Teluk Prigi
atau Segoro Wedi.Seolah-olah baru beberapa hari ia datang di tempat itu
bersama gurunya.
Padahal, telah lima tahun ia berada di tempat itu dan kini Retna Wilis
bukanlah bocah lagi,melainkan telah menjadi seorang gadis remaja yang
amat elok wajah dan bentuk tubuhnya.
Wajahnya cantik jelita,ayu dan manis sekali, cemerlang karena bersih dan
aseli, kecantikan yang wajar dan liar, seperti kecantikan setangkai
bunga mawar hutan bermandi embun di antara duri-duri meruncing, seperti
keindahan seekor harimau betina muda yang mengkilap bulunya, seperti
keindahan ular yang bermata tajam dan berlidah merah meruncing dengan
gerakannya yang lemas namun kuat, seperti Endang Patibroto di waktu
muda.
Dia sendiri tidak tahu, karena ibunya tak pernah menceritakannya, bahwa
keadaannya bersamaan dengan ibunya di waktu kecil. Ibunya, Endang
Patibroto, di waktu kecilnya pun digembleng menuntut ilmu kesaktian di
antara deburan ombak laut kidul dan batu karang yang kokoh kuat. Hanya
bedanya, kalau ibunya digembleng oleh neneknya, dia digembleng oleh Nini
Bumigarba yang memiliki kesaktian yang jauh lebih tinggi dari pada
ibunya dan neneknya, digembleng tidak hanya dengan aji kesaktian,
melainkan juga dengan ilmu kebatinan yang aneh, yang membuat dia
bagaikan membaja lahir batinnya.
Siapa pun orangnya yang berjumpa dengan Retna Wilis, tentu akan
terpesona dan tentu akan tergetar batinnya oleh bermacam perasaan yang
mengaduk hati. Ada rasa kagum tentu, terutama bagi pria, menyaksikan
wajah yang demikian cantik jelita, rambut yang hitam halus dan panjang
dilepas bebas, digelung sederhana di atas kepala agak ke belakang,
sepasang daun telinga yang tersembul antara ombak-ombak rambut menghitam
tampak tipis dan indah lekukannya, lubang daun telinga yang kecil
setiap hari berganti hiasan, ada kalanya batu karang merah, atau karang
mengkilap, bahkan kadang-kadang bunga laut kering atau ujung supit udang
atau kepiting!
Namun, apa pun juga yang terselip dibawah daun telinga itu, selalu
menambahkan manis wajah yang hebat itu! Dahinya halus, bagian atasnya
terhias sinom (anak rambut) yang halus melingkar-lingkar seperti
puteri-puteri pemalu.
Sepasang alisnya menjelirit kecil panjang, kedua ujungnya agak ke atas
sehingga membayangkan keangkuhan, kelihatan berlawanan sekali dengan
sepasang mata yang lebar memancarkan sinar bagaikan sepasang bintang di
langit.
Mata ini yang amat mempesona, bening dan amat tajam sinarnya, namun
mengandung wibawa yang aneh, kesungguhan dan penuh pengertian seperti
hanya terdapat dalam mata pendeta-pendeta yang sudah awas paningal.
Mata itu menyeramkan sinarnya, mengandung pengaruh yang merupakan
ancaman, akan tetapi keseraman yang tersembunyi ini tertutup keindahan
hiasan bulu mata yang hitam, panjang melentik dan demikian lebat
sehingga sekeliling mata di mana bulu mata itu berakar kelihatan garis
hitam seolah-olah pinggir mata itu diberi coretan hitam.
Hidungnya kecil mancung, dan mulutnya merupakan imbangan keindahan
matanya. Mulut itu manis bentuknya, dengan sepasang bibir yang penuh
menjendol, ukurannya kecil akan tetapi sedemikian rupa sehingga daging
di bawah kulit tipis merah seolah-olah setiap saat dapat pecah.
Bentuknya seperti gendewa terpentang dan amatlah sayang bahwa mulut
semanis itu jarang sekali tersenyum, apa lagi tertawa, padahal kalau
tersenyum tentu akan membuat dunia menjadi lebih cerah!
Karena bibir itu selalu tertutup, maka deretan gigi yang putih bersih
dan rapi merupakan mutiara-mutiara terpendam yang jarang dapat terlihat
orang.
Wajah yang seperti wajah dewi kahyangan memiliki tubuh yang padat
ramping dan semampai, berkulit kuning halus dan karena sikap dan
pembawaannya mengandung daya kekuatan dahsyat, maka tubuh yang indah ini
menyembunyikan kegagahan di balik keluwesannya.
Sungguh alam telah bermurah hati sekali kepada Retna Wilis yang dikaruniai jasmani sedemikian indahnya!.
Takkan ada seorang manusia pun yang akan dapat mengira bahwa di dalam
tubuh yang denok ini tersembunyi kesaktian yang amat dahsyat dan
mengerikan! Selama lima tahun tanpa mengenal lelah, secara tekun sekali
menerima gemblengan Nini Bumigarba, kini Retna Wilis merupakan seorang
gadis remaja yang, amat digdaya, sakti mandraguna dan di dalam tubuhnya
terdapat aji-aji kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Dara remaja ini amat suka tinggal di pantai Teluk Prigi, di darat
bermain-main dengan kura-kura raksasa atau berlatih aji kesaktian,
kadang-kadang ia menanggalkan seluruh pakaiannya, bertelanjang bulat
menerjang ombak Laut Selatan, menyelam dan berenang berkejaran dengan
ikan-ikan di laut sehingga kalau pada waktu itu ada yang melihat tentu
akan mengira bahwa dia adalah seorang peri Segoro Kidul, atau puteri
dari Ratu Roro Kidul sendiri!
Tubuhnya sedemikian penuh terisi hawa kesaktian sehingga ikan-ikan hiu
yang banyak berkeliaran di bawah ombak, sama sekali tidak dapat
mengganggunya, bahkan seringkali diganggu Retna Wilis, dipegang ekornya
dan dilontarkan jauh ke atas permukaan air, dicengkeram sisinya dan
dipatahkan taringnya! Kalau menyaksikan muridnya seperti itu, Nini
Bumigarba tertawa terkekeh-kekeh dengan penuh kebanggaan dan kekaguman.
Di waktu ia muda dahulu, harus ia akui bahwa dia tidaklah sehebat
muridnya ini.
Namun ada kalanya Retna Wilis memandang ke arah utara, ke daratan di
balik gunung karang di mana sayup-sayup tampak gerombolan hutan di
lereng Pegunungan Seribu. Pada suatu hari yang cerah, selagi Nini
Bumigarba yang kini banyak menghabiskan waktunya untuk bersamadhi dan
nenek itu kelihatan kini malas, Retna Wilis tak dapat menahan keinginan
hatinya dan seorang diri ia lari ke utara dengan niat hendak melihat
hutan di utara itu dan mencari buah-buahan kelapa atau pisang.
Dia menggunakan kedua kakinya seperti orang biasa berlari,namun hasil larinya sama sekali tak dapat dikatakan biasa!
Tubuhnya berkelebat cepat sukar diikuti pandangan mata, dan lajunya melebihi larinya seekor kuda membalap.
Sebentar saja ia sudah tiba di dalam hutan yang tampak dari Segoro Wedi.
Setibanya di tempat yang penuh tumbuhtumbuhan dan pohon-pohon besar
itu, Retna Wilis menjadi gembira hatinya seperti seorang yang melihat
benda-benda indah yang belum pernah dillhatnya.....
Komentar
Posting Komentar