PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-65
Ketika ia melemparkan semua buah dan kelinci yang sudah ia bunuh itu ke
atas tanah kemudian ia melompat naik ke atas pohon sawo yang besar,
memilih-milih sawo yang sudah masak, tiba-tiba ia mendengar suara orang
bercakap-cakap.
Retna Wilis yang berada di atas pohon itu cepat memandang dan tampaklah
olehnya empat orang laki-laki berjalan mendatangi tempat itu. Mereka
adalah empat orang laki-laki yang bersikap gagah, yang tiga orang
berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang masih muda, paling
banyak dua puluh tujuh tahun usianya.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan ketika mereka tiba di bawah
pohon, Retna Wilis mendengar seorang di antara mereka, yang
menggantungkan sebuah penggada besar di pinggangnya, berkata,
“Ki Warok Surobledug boleh dipercaya seratus prosen. Dia seorang satria
sejati yang pada waktu ini menjadi ketua sekalian warok di Ponorogo. Dia
boleh diajak berkawan dalam membela Jenggala. Kalau tidak sekarang
orang-orang gagah bergerak untuk berdarma bhakti kepada Jenggala,
menunggu sampai kapan?”
Tiba-tiba orang yang termuda, seorang yang bertubuh jangkung dan
berwajah tampan menghentikan langkahnya, memandang ke arah buah-buah dan
bangkai kelinci sambil berkata,
“Ssttt ada orang...”
Tiga orang kawannya berhenti juga. Tadi mereka asyik bercakap-cakap
sehingga tidak melihat buah-buahan itu. Kini mereka menghentikan
percakapan dan kesemuanya berhenti di bawah pohon sawo, memandang ke
kanan kiri. Pemuda itu tiba-tiba menengadah lalu tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Kiranya ada seekor monyet betina di atas pohon!”
Tiga orang kawannya memandang ke atas dan mereka pun tertawa.
“Jayus! Jangan bicara sembarangan!” bentak laki-laki yang membawa
penggada ketika ia melihat bahwa yang dikatakan monyet betina itu adalah
seorang gadis remaja yang amat jelita. Karena melihat seorang dara
berada di atas pohon sehingga dari bawah tampak betis memadi bunting dan
sebagian paha yang berkulit halus putih di balik kain yang tersingkap,
empat orang laki-laki itu tidak dapat mengalihkan pandang matanya.
Retna Wilis adalah seorang dara yang menjadi besar di tempat sunyi. Biar
pun perasaan wanitanya membisikkan rasa tidak suka kepada empat orang
laki-laki yang tersenyum-senyum menyeringai dan memandangnya dengan
sinar mata panas penuh gairah, namun ia tidak tahu apa yang mereka
pikirkan. la menekan kemarahannya ketika mendengar betapa orang muda itu
tadi menyebutnya monyet betina. Lamurkah mata pemuda itu yang mengira
dia monyet? Biar pun memanjat pohon, jelas bahwa dia berpakaian dan sama
sekali bukan monyet!
“Ha-ha-ha, Paman Brojol, memang dia betina tetapi tentu saja bukan
monyet, melainkan seorang dara jelita.Tadi kusangka monyet karena mana
ada seorang perawan cantik memanjat pohon seperti monyet? Eh, perawan
gunung yang jelita dan berkulit kuning, berbetis padi bunting dan
berpaha... wah, engkau benar hebat.Turunlah!” kata Jayus, orang muda
itu.
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak sudi turun.
“Kalian mau apakah? Aku tidak ada urusan dengan kalian. Pergilah, jangan sampai aku kehilangan kesabaranku.”
Suara Retna Wilis dingin, juga pandang matanya dingin sekali. Akan
tetapi karena sebagian wajahnya terhalang daun-daun sawo, hal ini
agaknya tidak tampak oleh Jayus yang tergila-gila melihat betis dan
pahanya, sedangkan tiga orang laki-laki yang lebih tua, sungguh pun
mereka bukan golongan mata keranjang dan pengganggu wanita, namun mereka
maklum akan darah muda Jayus, hanya tersenyum saja, maklum pula bahwa
Jayus hanya menggoda dara itu, tidak mempunyai niat yang buruk.
“Waduh-waduh, galaknya... Eh, genduk bocah ayu, turunlah dan mari kita
bicara baik-baik. Kakangmu ini bernama Jayus, ingin berwawancara
dengan-mu, bocah ayu. Kenapa mengusir kami pergi? Kalau engkau
kehilangan kesabaran, engkau mau apakah?”
“Tidak mau apa-apa, hanya mau membunuh kalian!” jawab Retna Wilis, mulai
jengkil, apa lagi ia teringat nasehat gurunya bahwa semua pria di dunia
ini tidak ada yang baik dan tidak ada yang boleh dipercaya omongannya.
“Ingat, muridku. Pria-pria itu seperti sekawanan kumbang yang berhati
palsu. Sebelum berhasil mendapatkan sari bunga, mereka beterbangan di
sekeliling bunga, berdendang bernyanyi dengan suara merdu, membujuk rayu
sehingga sang kembang akhirnya membuka kelopaknya. Celakalah sang
kembang yang dengan mudah tunduk akan rayuan mereka dan membuka
kelopaknya, karena kumbang-kumbang buas itu akan memasukinya dan
menghisap habis sampai kering madu sari bunga dan setelah bunga itu
mengering dan melayu, kumbang-kumbang itu pergi meninggalkannya tanpa
pamit dan terima kasih, paling-paling meninggalkan kotorannya di kelopak
bunga!”
Demikianlah nasehat Nini Bumigarba sehingga di sudut hati dara jelita ini telah bertumbuh benih kebencian terhadap kaum pria.
Empat orang pria itu terkejut dan memandang terbelalak ke arah dara
remaja yang berada di atas pohon sawo. Gllakah perawan ini? Mengancam
hendak membunuh mereka, jagoan-jagoan terkenal dari Gunung Kelud? Empat
orang ini terutama sekali si pemegang penggada adalah tokoh-tokoh Gunung
Kelud, murid-murid Sang Panembahan Ki Ageng Kelud yang terkenal sakti
mandraguna dan juga berwatak satria-satria perkasa.
Dan kini mereka diancam hendak dibunuh oleh seorang perawan yang baru
berusia belasan tahun? Tiga orang yang sudah berusia hampir empat puluh
tahun itu terbelalak dan terheran-heran, juga menjadi curiga karena
sebagai orang-orang yang perpengalaman mereka dapat menduga bahwa
perawan itu tentu tidak lancang begitu saja berani mengancam hendak
membunuh mereka. Akan tetapi Jayus, yang masih muda dan darahnya lebih
panas, tertawa bergelak dengan hati panas.
“Ha-ha-ha, perawan gunung bermulut besar! Engkau hendak membunuh kami?
Wah-wah-wah, seekor kadal sekali pun akan mati karena tertawa mendengar
kesombonganmu. Hayo turunlah dan bunuh aku kalau memang mampu. Apa
engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan? Inilah Jayus,
jangankan engau, biar ada seorang raksasa betina sekali pun, sekali
pegang dapat kulontaran sampai terjatuh ke laut kidul. Haa-ha!”
“Engkau minta mati?”
Tiba-tiba Retna Wilis melayang turun bagaikan gerakan seekor burung
srikatan melayang dan tahu-tahu telah berada di depan Jayus yang
memandang kagum akan tetapi tetap memandang rendah.
“Engkau minta mati dan dilempar jauh? Boleh!”
Setelah berkata demikian, dengan gerakan sembarangan Retna Wilis
melangkah maju Jayus cepat menggerakkan kedua tangan hendak menangkap
dara yang baru sekarang ia lihat amat jelita seperti puteri kahyangan
itu, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika kedua tangannya itu tak
dapat ia gerakkan lagi karena ada angin yang menyambar dari perawan itu.
Di lain saat, tangan kiri Retna Wilis menampar ke arah kepalanya.
“Prakkk!”
Darah dan otak muncrat dari kepala yang pecah terkena tamparan dahsyat
itu dan tangan kanan Retna Wilis mencengkeram pinggang, membuat gerakan
melempar dan mayat Jayus melayang jauh sekali, terbanting ke atas tanah
tak mampu bergerak lagi!
Tiga orang kawan Jayus berdiri seperti terkena hikmat, tak mampu
bergerak, kemudian Ki Brojol, yaitu laki-laki brewok yang memegang
penggada, sekali melompat telah mengejar tubuh Jayus yang dilontarkan.
Ia berlutut sebentar dekat mayat itu, kemudian melompat lagi menghadapi
Retna Wilis, mukanya merah, matanya melotot dan napasnya terengah-engah
saking marahnya.
“Kau... kau... perawan iblis... kau telah membunuhnya...!”
Dua orang kawannya juga marah sekali, yang memegang tombak sudah
mengangkat tombaknya, yang memegang pedang sudah mencabut pedangnya
sedangkan Ki Brojol sendiri sudah melepas penggadanya.
Retna Wilis berdiri dengan tenang menghadapi tiga orang laki-laki tinggi besar yang marah-marah dan siap menerjangnya itu.
“Dia minta mati sendiri, aku hanya memenuhi tantangannya. Kalian ini mau apa? Apakah juga minta mati seperti dia?”
Mendengar ucapan yang demikian tenang seolah-olah tak pernah terjadi
sesuatu, Ki Brojol dan dua orang kawannya bergidik, akan tetapi juga
kemarahan mereka berkobar. Jayus telah tewas, padahal kawan mereka yang
muda itu tidak melakukan sesuatu, hanya mengucapkan kata-kata menggoda
kepada gadis ini.
“Perawan iblis! Siluman keji! Engkaulah yang harus mampus agar tidak
mengotorkan dunia!” bentak Ki Brojol yang menjagli marah sekali.
Makiannya ini seolah-olah menjadi aba-aba bagi kedua orang kawannya
karena mereka bertiga langsung menyerang Retna Wilis dengan tiga macam
senjata mereka.
Biar pun mereka itu adalah satria perkasa yang tentu saja tidak sudi
mengeroyok seorang perawan bertangan kosong dengan menggunakan senjata,
namun kematian kawan mereka terlalu hebat dan terlalu menyakitkan hati
sehingga saking marah, mereka lupa akan sifat-sifat satria.
Gerakan mereka cepat dan kuat sekali, bagaikan kilat-kilat menyambar,
tombak yang runcing menusuk ke arah lambung Retna Wilis, pedang
menyambar ke lehernya dari belakang dan penggada di tangan Ki Brojol
menghantam kepalanya!
Namun Retna Wilis hanya berdiri diam tak bergerak, hanya masih bersikap
seperti tadi, lengan kanan terangkat dengan siku ditekuk dan tangan
kanan terbuka miring di depan dada, tangan kiri terkepal di pinggang
kiri, kedua kaki terpentang ke depan belakang, sedikit pun tidak
bergerak atau bergoyang, matanya terbelalak, berkedip pun tidak
menghadapi datangnya serangan tiga senjata dahsyat itu.
Biar pun kelihatannya tidak bergoyang, namun sesungguhnya ia telah
mengerahkan aji kesaktian Argoselo yang membuat tubuhnya kebal dan kokoh
kuat seperti batu hitam di gunung!
“Aahhhh...”
“Hemm...”
“Celaka...!”
Seruan-seruan ini keluar dari mulut tiga orang pria itu. Mereka adalah
satria-satria perkasa, tentu saja terkejut menyaksikan betapa lawan
mereka, hanya seorang perawan remaja, sama sekali tidak mengelak atau
menangkis serangan mereka.
Mereka merasa tidak enak hati dan berbalik khawatir kalau-kalau serangan
mereka akan mencelakakan dara yang tidak melawan ini, akan tetapi untuk
menarik kembali senjata sudah terlambat sehingga mereka hanya mampu
mengurangi tenaganya saja.
Tapi, begitu tiga buah senjata itu secara berbareng menimpa lambung,
leher dan kepala, mereka bertiga terkejut bukan main karena senjata
mereka membalik keras dan pada saat itu, tubuh Retna Wilis bergerak,
tangan kanannya dengan jari terbuka berkelebat menyambar tiga kali
menempiling kepada tiga orang lawannya dengan kecepatan yang tak dapat
diikuti pandangan mata sehingga tak mungkin dielakkan lagi.
Tamparan-tamparan itu tidak keras, seperti menyentuh saja, namun
akibatnya mengerikan karena tiga orang laki-laki tinggi besar itu
terpelanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus, sedangkan muka
mereka berubah menjadi hitam!
“Aduh Dewata pengatur jagat! Apa yang kau lakukan ini...?”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang kakek yang
agaknya datang tergesa-gesa dan berlari cepat. Dari jauh, kakek ini
sudah menyaksikan pertandingan-pertandingan itu, dan ia mempercepat
larinya, namun ia terlambat dan ia masih berkesempatan menyaksikan
betapa perawan remaja itu membunuh tiga orang lawannya dengan sekali
gerakan saja.
Retna Wilis membalikkan tubuh memandang. Yang datang adalah seorang
kakek tinggi besar bermuka kehitaman, bercambang bauk, matanya
besar-besar menyinarkan keheranan, usianya sekitar enam puluh tahun,
pakaiannya serba hitam, ikat pinggangnya atau kolornya berwarna merah,
di pinggangnya terselip gagang senjata, sikapnya gagah dan berwibawa.
Retna Wilis tetap tenang saja dan ia memang bukan berpura-pura.
Ia menganggap peristiwa itu biasa saja.Empat orang itu ingin mati,
menantangnya, maka ia turun tangan membunuh mereka. Apa anehnya dalam
hal ini? Kini kakek ini datang bertanya dan memandang penuh keheranan,
maka ia menjawab,
“Engkau melihat sendiri apa yang kulakukan. Mereka minta mati dan aku memenuhi permintaan mereka. Engkau mau apa?”
“Babo-babo...! Selama hidupku, aku Ki Warok Surobledug baru sekalI ini
menyaksikan kekejaman yang melewati batas! Banyak sudah kumelihat
pembunuhan, akan tetapi tidak ada yang sekeji ini! Banyak sudah
kumelihat orang aneh dan sakti, akan tetapi baru sekarang aku melihat
orang, apa lagi seorang perawan remaja, seorang bocah, dengan enak
membunuhi orang dan bersikap tenang seperti habis menginjak semut-semut
saja. Engkau siapakah, nini? Kulihat gerakanmu luar biasa sekali dan apa
salahnya Ki Brojol dan saudara-saudaranya maka engkau membunuh mereka
secara keji? Aku bukan seorang berpikiran dangkal, biar pun mereka ini
sahabat-sahabat baikku dan kutahu mereka ini satria-satria perkasa, akan
tetapi kalau mereka bersalah dan sudah selayaknya dibunuh, aku tidak
akan membela mereka.”
Retna Wilis mengerutkan alisnya. Ucapan kakek raksasa ini sukar
dimengerti, akan tetapi dia merasa tidak senang mendengar orang ini
banyak bicara dan ribut-ribut hanya karena dia membunuh empat orang
kasar tadi!
“Aku tidak ada waktu banyak bicara, kau pergilah. Kecuali kalau engkau
seperti empat orang itu minta mati, tentu. akan kupenuhi permintaanmu!”
Sepasang mata yang lebar itu makin terbelalak. Ki Warok Surobledug
adalah seorang tokoh besar di Ponorogo, sakti mandraguna dan tak pernah
merasa gentar menghadapi lawan yang bagaimana pun juga. Akan tetapi
sekali ini, melihat dari jauh betapa dara remaja ini sekali bergerak
membunuh sahabat-sahabatnya yang sakti, kemudian melihat dara remaja
yang cantik jelita ini bersikap dingin dan tenang, setenang batu karang,
bertanya dengan suara dingin apakah dia minta mati, benar-benar membuat
bulu tengkuknya meremang. Bahkan ia diam-diam menduga apakah dara ini
bukan manusia melainkan
iblis betina sendiri yang suka mengganggu manusia.
“Biar aku sudah tua bangka, akan tetapi tentu saja aku tidak minta mati.
nini! Aku hanya ingin mendengar mengapa engkau membunuh
sahabat-sahabatku itu dan...”
“Engkau ini laki-laki cerewet amat! Aku tidak ada waktu melayanimu...!”
Retna Wilis memunguti buah-buah dan bangkai kelinci, kemudian tanpa
menoleh lagi meninggalkan Ki Warok Sirobledug yang berdiri melongo.
“Hei! Tunggu...!”
Kakek Itu meloncat dan seperti Sang Harya Werkudara ia melangkah lebar
dan cepat sekali telah menyusul Retna Wilis yang berjalan
seenaknya,menghadang di depan dara itu.
Retna Wilis makin tak senang hatinya. Kedua tangannya penuh dengan
bawaan dan kini kakek itu menghadang jalan. Ia melangkah terus, kemudian
menggerakkan sikunya mendorong tubuh kakek itu sambil berkata.
“Minggir! Mau apa menghadang jalan?”
Ki Warok Surobledug adalah seorang gagah perkasa yang sudah banyak
pengalamannya. Melihat sepak terjang Retna Wilis tadi, ia sudah maklum
bahwa perawan ini memiliki kedigdayaan yang menggiriskan, maka kini
mellhat dara itu menyikunya, ia tidak berani memandang ringan dan cepat
ia memasang aji kekebatan untuk mengukur tenaga sakti dara yang patut
menjadi cucunya itu.
“ Dukkk!”
Sikut kecil meruncing halus bertemu dengan perut gendut yang penuh hawa
kekebalan dan akibatnya tubuh Ki Warok Surobledug terjengkang dan roboh!
Retna Wilis berjalan terus seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ki Warok
Surobledug yang merasa betapa perutnya seperti diseruduk tanduk banteng,
meloncat bangun, agak terengah dan merasa terheran-heran bercampur rasa
penasaran. Hal yang kelihatannya tak mungkin sama sekali telah terjadi.
Kekebalannya yang amat kuat, tubuhnya yang biasanya sanggup menerima
hantaman senjata apa pun juga, kini bobol hanya oleh pukulan siku
seorang perawan remaja!.
“Eh, tunggu dulu, nini...!” Dengan hati penasaran ia mengejar lagi.
Retna Wilis menjadi kesal hatinya. Ia menoleh dan melihat raksasa itu
mengejar. Ia lalu mengerahkan tangan kiri, berseru, “Engkau menjemukan!”
Ki Warok Surobledug melihat datangnya sinar hitam menyambar. Ia cepat
menggerakkan tangan kiri, membuka tangan itu dan telapak tangannya yang
penuh hawa sakti dan kebal, yang biasanya sanggup meremas hancur
sebatang golok tajam lawan, mencengkeram benda hitam yang ia sangka
tentu senjata rahasia lawan.
Ia bergerak sigap dan berhasil menangkap benda itu, akan tetapi tak
terasa mulutnya mengeluarkan teriakan karena telapak tangannya terasa
sakit bukan main. Ketika ia melihat tangannya, ia terkejut dan hatinya
berdebar tegang melihat telapak tangannya luka parah, kulit telapak
tangannya pecah dan ada tiga buah benda hitam menancap di telapak tangan
sedangkan seluruh tangan itu basah oleh darahnya sendiri dan oleh benda
kuning yang lembek dan hancur. Ia mencium bau yang amat dikenalnya,
akan tetapi masih ragu-ragu dan mendekatkan tangannya ke depan hidung.
“Ya Dewata Yang Maha Agung...!” Ia berseru, hampir tidak percaya, keheranannya mengatasi rasa nyeri.
Ternyata bahwa yang dipakai dara itu menyerangnya adalah sebutir buah
sawo yang sudah masak! Sawo yang lunak karena sudah masak itu pecah di
telapak tangannya dan tiga buah biji sawo melukai telapak tangannya,
sedangkan daging dan kulit sawo itu biar pun lunak, ternyata dapat
membuat telapak tangannva pecah-pecah!
Ia mengangkat muka memandang dan lebih terheranheran lagi dia ketika
melihat bayangan dara itu seperti terbang saja bergerak ke arah selatan,
“Jagad Dewa Bathara... adakah dia penjelmaan Kanjeng Ratu Roro Kidul...?”
Hati Ki Warok Surobledug yang biasanya tak pernah mengenal takut itu
kini menjadi gentar. Ia maklum bahwa kalau gadis itu tadi menyerangnya
dengan senjata keras, dengan batu misalnya, tentu dia tak hidup lagi.
Baru sebutir sawo saja sudah membuat tangannya yang kebal pecah-pecah!
Berkali-kali kakek ini menghela napas, kemudian dengan memaksakan diri
mengatasi rasa nyeri tangan kirinya, ia menggali lubang dan mengubur
jenazah empat orang sahabatnya itu di tempat itu juga.
Kemudian, setelah berkali-kali memandang ke arah selatan, ia lalu pergi
dengan cepat menuju ke Gunung Kelud yang berada di utara melaporkan
peristiwa mengerikan itu kepada Ki Ageng Kelud.
Bagi Retna Wilis, peristiwa yang terjadi tadi bukan apa-apa,sama sekali
tidak ia pikirkan lagi, bahkan setelah ia tiba di pantai dan menyuguhkan
buah-buahan kepada Nini Bumigarba, ia telah lupa akan
pembunuhan-pembunuhan yang ia lakukan di hutan itu.
“Retna Wilis muridku yang denok, muridku yang tercinta!” kata Nini
Bumigarba yang sudah duduk bersila dalam goa batu karang ketika nenek
ini melihat datangnya muridnya membawa buah-buah sawo dan kelapa. “Ah,
hal ini berarti bahwa tak lama lagi kita akan saling berpisah.”
Retna Wilis memandang nenek itu, hatinya merasa tak enak, akan tetapi ia
menekan batinnya yang sudah amat kuat sehingga rasa tak enak ini segera
lenyap di bawah kekuatan kemauannya yang membaja.
“Mengapa Eyang berkata demikian? Aku hanya bermain-main di hutan, mengambil buah, membunuh kelinci dan babi hutan!”
Terbayang wajah empat orang laki-laki tinggi kasar yang dibunuhnya.
Memang mereka itu tidak lebih hanyalah babibabi hutan berkaki dua,
pikirnya.
“Sudah menjadi kehendak Hyang Suksma, muridku. Sepandai-pandainya
manusia, tak mungkin ia dapat menguasai nyawanya sendiri. Aku sudah
merasakan getaran firasat dan sudah siap menghadapi segala yang mungkin
terjadi.”
“Apakah yang Eyang maksudkan?”
“Engkau tak perlu tahu. Dapat mengetahui sebelum terjadi merupakan ilmu
yang hanya akan menimbulkan sengsara dalam hati sendiri. Cukup kalau kau
ketahui bahwa kita takkan lama lagi tinggal bersama di sini. Karena
itu, perhatikanlah pesanku baik-baik. Selama lima tahun ini aku telah
menurunkan semua aji-ajiku kepadamu dan biar pun murid Ekadenta sendiri
tidak akan mudah menandingimu.”
“Siapakah murid Ekadenta, Eyang?”
“Kelak engkau akan mengetahui sendiri. Ingatbaik-baik bahwa engkau kelak
harus dapat mengalahkan murid Ekadenta. Dengarkah engkau? Kalahkan dia.
Tunjukkan bahwa murid Sarilangking atau Bumigarba tidak kalah oleh
murid Ekadenta. Kalau perlu, untuk mengalahkannya, engkau boleh membunuh
dia!”
“Apakah dia sakti sekali, Eyang?”
“Tidak ada yang dapat melebihi kesaktianmu, muridku. Memang dia mewarisi
ilmu-ilmu kesaktian, akan tetapi sebelum berpisah, aku akan menurunkan
hawa Wisalangking ke tubuhmu dan dengan hawa itu, engkau akan dapat
mengalahkan lawan yang memiliki kesaktian melebihimu! Akan tetapi, untuk
menerima Wisalangking engkau harus berpuasa membersihkan lahir batinmu
selama tiga hari tiga malam. “
“Baik, Eyang, akan kulakukan mulai sekarang juga.”
“Dengarlah dulu pesanku ini. Setelah aku pergi dan engkau sudah memiliki
hawa Wisalangking, engkau harus berlatih mempergunakan hawa itu di
sini, seorang diri, selama belum ada tanda yang akan tampak olehmu.
Engkau ingat akan bintang kehijauan di sebelah timur laut yang tampak
tiap malam tanpa bulan?”
“Yang Eyang katakan sebagai bintang yang berkuasa di Jenggala pada saat
ini dan tampak tersembul di puncak yang seperti cengger jago itu?”
“Benar. Kau lihat baik-baik. Selama bintang itu masih ada di langit,
engkau tidak boleh pergi dari sini. Akan tetapi, begitu kau lihat bahwa
bintang itu lenyap dari angkasa, engkau harus cepat pergi meninggalkan
tempat ini, kembali ke tempat kelahiranmu. “
“Di Wilis?”
“Benar. Kembalilah ke puncak Wilis dan engkau taklukkan semua penduduk
di seluruh wilayah Gunung Wilis. Engkau harus menjadi seorang ratu,
seorang puteri yang disembah-sembah di Wilis dan tak seorang pun boleh
melanggar wilayahmu. Ingat, siapa pun adanya dia,yang berani mencoba
untuk mengganggu wilayahmu, boleh kau bunuh. Tidak peduli dia itu
mengaku ibumu, atau ayahmu,atau siapa saja. Engkau akan menjadi Ratu
Wilis dan mengumpulkan kekuatan, menyusun pasukan sehingga kelak engkau
akan menyerang kerajaan keturunan Mataram! Inilah cita-citaku mengapa
aku bersusah payah mendidikmu, Retna Wilis. Mengertikah engkau?”
“Aku mengerti, Eyang.”
“Dan engkau akan mentaati pesanku? Kalau engkau tidak sanggup, sekarang juga engkau akan kulenyapkan dari muka bumi!”
“Aku taat dan sanggup melaksanakan semua perintahmu.”
“Bagus, engkau memang muridku yang amat baik. Dan jangan lupa. Di bawah
karang Kukura di barat itu, di bawah air ulekan (air berpusing) terdapat
goa di dalam lautan, goa yang bersambung dengan karang Kukura, menjadi
dasar karang. Setelah aku pergi dan setelah hawa Wisalangking di tubuhmu
kuat benar, kau pergilah ke sana, menyelam dan masuki goa di bawah air
laut. Di sana terdapat sebuah peti kecil berisi sebatang pedang pusaka.
Pedang itu adalah pedang pusaka Sapudenta, setelah kupakai sampai
seratus tahun, kusimpan di sana agar dapat menyedot hawa sakti Segoro
Kidul. Pedang itu tadinya kusediakan untuk menundukkan Ekadenta, akan
tetapi sekarang terlambat dan engkaulah yang akan menggunakannya untuk
menundukkan murid Ekadenta.”
“Baiklah, Eyang. Masih ada pesan lagi?”
“Ingat akan dua nama ini. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati. Mereka itu
adalah dua orang bekas sekutuku, boleh kau jadikan sabahat karena mereka
mewakili negara-negara yang kuat dan yang kelak perlu kau dekati agar
dapat membantumu menundukkan seluruh bumi Jawa di mana engkau akan
menjadi ratunya.Akan tetapi tentu saja engkau tidak perlu tunduk kepada
mereka, hanya permintaan-permintaan mereka itu asal pantas dan tidak
memberatkan hatimu, boleh kau penuhi,boleh kau bantu agar kelak mereka
tidak segan-segan untuk mendatangkan pasukan-pasukan negara mereka dan
membantu tercapainya cita-citamu.”
Di dalam hatinya Retna Wilis tidak setuju dengan ucapan terakhir ini. Ia
sama sekali tidak bercita-cita untuk menjadi ratu dan cita-cita itu
hanyalah merupakan idaman hati gurunya dan kalau kelak ia laksanakan
juga semata untuk memenuhi permintaan gurunya.
Pada saat ini, dia sama sekali tidak mempunyai cita-cita untuk menjadi ratu!
“Dan yang terpenting dari pada semua pesanku adalah pesanku yang telah
berulang kali kukatakan kepadamu, yaitu jangan sampai engkau jatuh cinta
kepada seorang pria! Gurumu ini merana dan menderita lahir batin hanya
karena telah berbuat bodoh sekali, yaitu jatuh cinta kepada seorang
pria.”
“Kepada Ekadenta?”
“Ih, bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja, Eyang. Eyang sendiri berkali-kali menasehati agar aku tidak
mencinta, tidak pula membenci. Akan tetapi Eyang kelihatannya amat
membenci Ekadenta sehingga Eyang menciptakan pedang pusaka, dan mendidik
aku untuk kelak mengalahkan muridnya. Eyang amat membenci Ekadenta,
tentu karena amat mencintanya.”
“Wah-wah, kiranya perasaan wanitamu masih halus dan peka! Aku khawatir sekali, Retna Wilis.”
“Tak perlu khawatir, Eyang. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepada
siapa pun juga. Laki-laki seperti babi hutan!” Ia teringat akan Jayus
dan tiga orang kawannya yang dibunuhnya di hutan.
Demikianlah, sejak hari tadi sampai tiga hari tiga malam lamanya, Retna
Wilis berpuasa dan yang dilakukannya selama tiga hari tiga malam ini
hanya duduk bersila memejamkan mata, bersamadhi mengheningkan cipta,
ditujukan untuk membersihkan dan membuka lahir batinnya untuk menerima
ilmu yang oleh gurunya disebut dengan nama Ajl Wisafangking.
Memang amat mengagumkan dan patut dipuji keteguhan hati dan kekuatan
kemauan dara ini. Selama lima tahun ia selalu berada di pantai dan
setiap hari hanya makan tetumbuhan laut dan ikan.
Kini, baru saja ia mendapatkan buah-buahan dan daging kelinci, sebelum
menikmati sedikit pun, ia telah berpuasa, namun sama sekali ia tidak
terseret oleh selera dan nafsunya! Buah nangka yang dibawanya pulang,
makin masak dan kalau malam mengeluarkan bau yang sêdap menggugah
selera.
Namun, perasaan Retna Wilis sedikit pun juga tidak terpengaruh karena
dalam keadaan samadhi seperti itu, penciumannya, seperti juga inderanya
yang lain,seolah-olah mati untuk sementara, semua panca indria telah
“ditarik” ke dalam sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di luar
tubuh.
Tiga hari kemudian, Nini Bumigarba menyadarkan muridnya dari samadhi.
Begitu Retna Wilis membuka mata dan pandang matanya kembali memasuki
dunia, ia lalu diangkat bangun oleh gurunya, digandeng tangannya diajak
pergi ke pantai sebelah barat di mana terdapat batu-batu licin dan di
pantai ini, air laut amat bersih, tidak bercampur pasir.
Pada waktu itu, hari telah menjelang senja, langit gelap oleh awan
mendung yang bunting tua dan bergerak-gerak seperti hidup, merupakan
barisan raksasa-raksasa hitam yang tiada kunjung habis, bergerak dari
selatan ke utara.
Angkasa yang gelap oleh mendung itu kadang-kadang dibakar kilat
berceleret, seperti senjata-senjata pusaka para pemimpin barisan itu.
Keadaan di angkasa yang menyeramkan ini mempengaruhi air laut pula
karena air laut tampak makin mengganas, suaranya bergemuruh dan
ombak-ombak kecil tiada hentinya bergerak seolah-olah laut sendiri
merasa gentar. menghadapi ancaman serangan barisan raksasa di angkasa
itu. Alam sepenuhnya memperlihatkan kehebatan dan kekuasaannya yang maha
besar dan menggiriskan hati manusia.
Dan dalam keadaan seperti inilah, Nini Bumigarba menyuruh muridnya
berlutut di atas batu karang yang licin, sedangkan dia sendiri berdiri
tegak di depan muridnya, dengan kedua kaki terpentang.Retna Wilis
disuruh “membuka” tubuh bagian dalam untuk menerima hawa sakti.
Gadis ini berlutut dengan kedua lengan bergantung lepas, tubuh lemas
karena selain berpuasa, juga ia melolos semua tenaga melawan agar dapat
menerima hawa sakti dari gurunya.
Air laut bergerak datang dan pergi lagi. Mula-mula hanya menyentuh lutut
Retna Wilis dan mata kaki Nini Bumigarba, akan tetapi makin lama makin
membesar sehingga ada kalanya air sampai merendam tubuh Retna Wilis
sampai ke leher dan Nini Bumigarba sampai ke pinggang!
Namun, dua orang itu tetap tidak bergerak, seolah-olah tidak merasakan
ini semua. Retna Wilis tetap berlutut menundukkan muka, adapun Nini
Bumigarba masih berdiri tegak dan menengadahkan muka ke atas,
seolah-olah sedang asyik menonton awan mendung berarak atau sedang
memohon kepada para dewata yang dianggap bertempat tinggal di atas!
Retna Wilis tetap menanti dengan penuh kesabaran, penuh kepasrahan dan
penuh kepercayaan.....
Komentar
Posting Komentar