PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-67
Akan tetapi suara pekik nyaring mulutnya berubah teriakan kaget dan
kesakitan. Pasir-pasir hitam itu telah runtuh sebelum mengenai tubuh si
kakek, bahkan terjangannya sendiri bertemu dengan tenaga tak tampak yang
melindungi kakek itu dalam jarak tiga kaki! Tubuh Retna Wilis
terbanting sehingga kulit sikunya babak serta daging pinggulnya terasa
panas sesenutan.
Ia tak dapat lagi menguasai hatlnya yang marah. Begitu bangkit, dara
remaja ini menerjang lagi, menghantam dengan kedua tangan bertubi-tubi.
Akan tetapi kembali ia terpelanting karena tubuhnya bertemu dengan
tenaga tak tampak.
Berkali-kali ia bangkit lagi dan mengirim serangan seperti menggila,
namun selalu ia terpelanting dan terbanting jatuh ke atas tanah, padahal
kakek itu sedikitpun tidak bergerak, hanya memandang kepadanya dengan
senyum dan sinar mata penuh ibat Retna Wilis hampir menjerit-jerit
saking marahnya dan ia terus bangkit dan menerjang lagi.
Tiada bedanya dengan seekor ayam menyerang ayam lain yang berada dalam
kurungan. Setiap kali menerjang dari luar, sebelum menyentuh ayam di
dalam, telah bertumbukan dengan kurungan dan terpelanting jatuh.
“Retna Wilis, mundurlah!” tiba-tiba Nini Bumigarba berseru.
Retna Wilis masih penasaran, akan tetapi dia pun maklum bahwa dia tidak
dapat berbuat apa-apa terhadap musuh gurunya yang benar-benar luar biasa
ini, maka ia lalu mundur dengan muka merah. Ia masih tidak mau menerima
kalah dan andai kata tidak ada gurunya yang menyuruhnya mundur, tentu
ia akan menyerang terus sampai lawannya roboh atau sampai dia sendiri
yang roboh kehabisan tenaga dan napas!
“Ekadenta, tidak malukah engkau tua bangka menghina orang muda?” Nini
Bumigarba menghardik dengan sikap seperti seekor ayam biang membela
anaknya.
Kakek itu menoleh dan membalikkan tubuhnya kepada Nini Bumigarba, lalu
terdengar suaranya, “Sarilangking, tidak ada yang menghina atau terhina.
Aku hanya mencegah kesesatan yang lebih parah. Mengapa engkau
menjadikan dia seperti itu? Apa gunanya bagi dunia dan manusia?”
“Wah-wah, sombongnya si kepala batul Aku menggembleng muridku sendiri,
apa sangkut -pautnya denganmu? Engkau sendiri juga telah menggembleng
seorang murid! Aku hanya menandingimu karena dialah yang kelak akan
menandingi muridmu. Suruh dia ke sini, kita adu mereka. Hayoh, kita sama
lihat siapa di antara murid kita yang lebih digdaya!”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Sari, sungguh sayang sampai kini engkau
masih belum mau berusaha untuk berpaling ke arah kebenaran. Aku
mendidik seorang murid untuk mewakili aku, menyumbangkan tenaga demi
untuk kebahagiaan manusia, demi untuk ketenteraman hidup, demi untuk
menentang kejahatan.”
“Benar! Aku yang jahat dan harus ditentang, ya? Aku tidak menyangkal!
Aku malah sebaliknya darimu. Muridku akan mewakill aku, merusak
kebahagiaan manusia sombong macam engkau, mendatangkan kekacauan untuk
meramaikan dunia, dan menentang manusia-manusia yang menganggap diri
suci dan baik!”
“Muridku akan berusaha membawa penerangan bagi manusia “
“Dan muridku akan membawa kegelapan!”
“Muridku akan mewakili kebajikan
“Dan muridku akan menjadi ratu kejahatan!”
“Sari, mengapa engkau tidak mau sadar juga? Lupakah engkau bahwa kita
ini hanyalah manusia-manusia biasa, manusia yang tidak dapat menguasai
mati hidupnya sendiri? Sari, ingatlah, betapa ketika kita dilahirkan,
kita tanya bisa menangis, itu pun terjadi di luar kehendak kita? Kita
lahir kecil dan lemah, tanpa pikiran, tanpa kehendak, tanpa pendapat,
hanya menyerahkan diri di luar kesadaran, hanya bergerak sesuai dengan
kehendak Hyang Widi Wisesa. Kita dikurniai segala perlengkapan, sampai
pengertian dan akal budi, akan tetapi mengapa semua itu membuat kita
lupa akan asal mula diri kita? Sari, kaulihatlah baik-baik. Kau
pandanglah aku dan kau... sadarlah... Sari!”
Nenek itu tidak menjawab, hanya memandang bagaikan kena pesona. Sampai
lama mereka berpandangan, maka nenek itu makin lama makin terbelalak
lebar, penuh takjub, penuh kagum, penuh takluk dan takut, kemudian nenek
ini menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis!.
“Ekadenta... aku... aku... terlampau jauh tersesat... aku hanyut... tolonglah aku, Ekadenta...”
Kakek itu melangkah perlahan-lahan, seakan-akan tidak mempedulikan nenek
itu, mulutnya mengeluarkan suara seperti orang bertembang, halus dan
merdu, seperti bisikan angin lalu,
“Yang pahit dan getir itu banyak manfaatnya, yang manis dan lezat itu
banyak bahayanya. Namun manusia membenci yang pahit getir, tergila-gila
kepada yang lezat manis. Akibatnya, banyak derita duka nestapa. Tak baik
terpengaruh oleh keindahan lahir, kupaslah kulit dan periksa isi karena
kulit yang buruk menyembunyikan isi yang berguna, sebaliknya kulit yang
indah seringkali menyembunyikan isi yang tak berguna.”
Perlahan-lahan Nini Bumigarba bangkit dan melangkah pula mengikuti
Bhagawan Ekadenta. Kakek itu berjalan di depan sambil bertembang nenek
itu melangkah di belakangnya, mata memandang jauh ke depan seperti orang
dalam mimpi. Mereka berdua berjalan terus menuju ke laut!
“Eyang... Retna Wilis berseru perlahan, akan tetapi gurunya sama sekali
tidak menjawab, menoleh pun tidak. Mereka berdua kini telah tiba di
pantai yang disentuh ombak, akan tetapi keduanya berjalan terus,
seolah-olah tidak meiihat gelombang yang datang dari depan.
“Eyang...!” Kini Retna Wilis menjerit keras dan meloncat maju mengejar gurunya.
Akan tetapi ia berdiri terbelalak di pinggir laut, membiarkan air laut
bermain di kakinya sampai setinggi lutut. Ia tidak merasa ini semua
karena sedang terpesona memandang ke selatan, memandang tubuh kakek dan
nenek itu yang terus melangkah dengan tenangnya, melangkah di atas
gelombang laut kidul yang datang bergulung-gulung!
Retna Wilis berdiri tanpa berkedip memandang dua orang itu yang terus
melangkah seakan-akan mereka itu sedang berjalan -jalan di dalam taman
saja. Kadang-kadang ombak menggunung menutup mereka, dan kadang-kadang
mereka muncul lagi. Mereka terus bergerak ke selatan sampai akhirnya
bayangan mereka lenyap di antara gelom bang lautan yang makin bergelora.
Retna Wilis menahan isak saking kagum, terharu dan juga terheran-heran.
Kemudian baru ia merasa betapa air telah membasahi kainnya sampai ke
paha, maka cepat ia menjauhi air dan duduk di atas pasir, termenung
memandang ke arah selatan, mengharapkan sewaktu-waktu gurunya akan
muncul dari selatan.
Ia ingin sekali mengetahui apa yang tampak oleh gurunya ketika memandang
kakek itu, dan mengapa gurunya lalu berlutut dan takluk, kemudian ia
ingin tahu ke mana dua orang sakti itu pergi. Namun, selamanya hal ini
takkan pernah dapat dijawabnya, takkan pernah dapat dijawab oleh siapa
pun juga kecuali oleh manusia-manusia yang telah terbuka mata batinnya
akan hakekat hidup.
Retna Wilis termenung sampai lama di. tepi laut, kemudian sadar bahwa
gurunya takkan kembali lagi, sadar bahwa dia kini berada seorang diri di
atas permukaan dunia ini. Hatinya mengeras, keberaniannya timbul dan ia
lalu mengingat-ingat apa yang dipesankan gurunya.
Hawa Wisalangking telah berada di tubuhnya dan menurut pesan gurunya, ia
harus melatih diri, melatih aji kesaktian Wisalangking, cara
mempergunakannya seperti yang telah diterangkan gurunya. Dan ia harus
pula mengambil pedang Sapudenta dari dalam goa di bawah permukaan air
laut. Kemudian, setelah ada tanda lenyapnya bintang di atas puncak
Gunung Cengger Jago, ia harus meninggalkan pantai ini dan pergi ke
Wilis.
Retna Wilis membulatkan tekadnya dan mulailah ia berlatih Aji
Wisalangking yang amat dahsyat. Aji kesaktian ini adalah aji yang paling
dahsyat di antara semua ilmu yang dipelajarinya dari Nini Bumigarba.
Setahun kemudian, ia telah dapat melatih ilmu itu dengan baik, sungguh
pun belum sempurna benar, namun ia sudah dapat menguasai hawa
Wisalangking di tubuhnya.
Menurut petunjuk gurunya, sesuai dengan cita-cita gurunya dahulu untuk
mengalahkan Ekadenta dengan Aji Wisalangking ditambah penggunaan pedang
Sapudenta, Retna Wilis lalu mendatangi pantai di sebelah barat. Ia sudah
tahu di mana adanya air ulekan di bawah karang Kukura, yaitu batu
karang di mana agaknya menjadi sarang binatang kura-kura raksasa karena
kura-kura raksasa yang mendarat untuk bertelur selalu muncul dari air
ulekan ini. Setelah ia tiba di pantai itu, ia berdiri memandang air yang
berpusing itu dengan hati penuh gairah.
Retna Wilis maklum bahwa sekuat-kuatnya tenaga manusia, tak mungkin akan
dapat melawan air berpusing seperti itu. Bagian ini merupakan teluk
kecil yang bentuknya bundar, sehingga ombak yang bergelombang datang
memasuki teluk kecil ini, airnya berputar dan membentuk pusingan air
yang hebat dan kuat. Dan dia diharuskan terjun menyelam karena goa di
mana tersimpan pedang pusaka Sapudenta terdapat di bawah batu karang
Kukura yang ia injak sekarang, berada di dinding karang yang tertutup
air yang kadang-kadang tenang apa bila ombak berhenti menderu.
Retna Wilis tidak merasa ngeri menyaksikan air berpusing itu. Semenjak
berada di situ, ia seringkali bermain-main dengan air dan ombak,
menggoda ikan-ikan hiu yang ganas dan dia merupakan seorang ahli renang
yang kuat, kuat menahan napas dan dapat membuka mata di dalam air
sehingga dapat melihat ikan-ikan di bawah permukaan air.
Memang belum pernah ia mandi di bawah karang Kukuran ini karena tempat
itu memang berbahaya, akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa takut di
hatinya ketika Retna Wilis berdiri di atas batu karang, siap untuk
terjun. Dia sudah meraba-raba bajunya seperti biasa kalau hendak mandi
di laut, hendak membuka pakaiannya. Akan tetapi ketika teringat akan
sesuatu, ia menghela napas dan tidak melanjutkan gerakan jari tangannya.
Semenjak ia melatih Wisalangking, bahkan semenjak ia menerima pemindahan
hawa Wisalangking dari gurunya, ia menjadi malu kepada diri sendiri
untuk bertelanjang bulat seperti biasa.
Dahulu, sebelum ia memiliki aji lesaktian itu, tubuhnya berkulit putih
kuning dan mulus tanpa cacad. Akan tetapi semenjak ia memiliki hawa
Wisalangking, la melihat betapa kulit di sekeliling pusarnya diliputi
lingkaran warna menghitam! Ia merasa malu dan tak senang dengan cacad
ini, akan tetapi betapa pun ia berusaha, lingkaran warna menghitam di
sekeliling pusarnya itu tak dapat lenyap.
Karena itu pula dia sekarang tidak jadi membuka pakaiannya dan setelah
menarik napas, menghimpun hawa segar ke dalam rongga dadanya, dara
perkasa ini membelitkan sarungnya ke belakang, mengikatnya kemudian
meloncat terjun ke dalam air!
Begitu tubuh dara itu menyentuh air, langsung ia dicengkeram oleh
pusaran air dan Retna Wilis cepat menjungkirkan tubuhnya, menyelam
mempergunakan gerakan kaki tangannya dengan sekuatnya. Namun, kembali ia
dikuasai oleh air berpusing dan betapa pun ia melawan, tetap saja
tubuhnya dihanyutkan oleh tenaga sakti yang tak mungkin dapat ia lawan.
Betapa pun saktinya, Retna Wilis adalah seorang manusia dan manusia
ditakdirkan hidup di darat sehingga dalam melawan pusaran air, dara yang
sakti mandraguna itu akan kalah jauh dibandingkan dengan seekor ikan
kecil.
Sampai pening rasa kepala Retna Wilis karena tubuhnya hanyut dan dibawa
berputar terus, makIn diseret ke bawah di mana pusingan air itu menjadi
makin kuat. Dia maklum bahwa kalau tidak segera dapat melepaskan diri
dari pusingan air, ia akan terancam bahaya maut, yaitu dapat terbanting
pada batu karang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Maka ia cepat mengerahkan seluruh tenaga, menahan kekuatan dahsyat itu
dart matanya terbelalak memandang melalui air yang sudah mulai gelap
karena pusingan air membawanya sampai dalam.
Tiba-tiba ia melihat bayangan seekor kura-kura raksasa lewat. Kura-kura
ini hanya sedikit saja terpengaruh oleh pusingan air karena tentu saja
dalam hal bermain di air, dia seratus kali lebih pandai dari pada Retna
Wilis! Kura-kura adalah seekor binatang yang tidak buas, tidak suka
menyerang manusia apa bila tidak diganggu, dan tidak suka pula makan
daging manusia. Dia mendekati Retna Wilis hanya karena tertarik melihat
benda aneh yang bergerakgerak melawan pusingan air.
Akan tetapi, begitu binatang ini lewat dekat, kedua lengan Retna Wilis
menyambar ke depan dan ia berhasil merangkap dua kaki belakang kurakura
itu yang menjadi terkejut sekali dan meronta sekuatnya.
Sia-sia saja usahanya ini karena kedua tangan Retna Wilis sudah
mencengkeramnya dengan kekuatan yang luar biasa, bahkan gadis itu dapat
terus merayap dan menerkam binatang itu di atas punggungnya,
bertelungkup dan merangkul leher binatang itu dengan kedua lengan!
Kura-kura itu menyelam dan menjungkir-balikkan tubuhnya dalam air, namun
Retna Wilis tetap berada di punggungnya, bahkan kini dara perkara itu
mencekik leher kura-kura sehingga binatang itu akhirnya tidak meronta
lagi, maklum bahwa makluk yang berada di punggungnya itu amat kuat.
Ia hanya berenang menjauhi pusaran air karena dalam keadaan tidak
berdaya dalam cengkeraman mahluk kuat di punggungnya itu, pusaran air
menjadi berbahaya baginya.
Retna Wilis yang masih menelungkup di punggung kurakura raksasa menjadi
lega setelah kura-kura itu menjadi jinak, maka ia lalu menggunakan
tangannya menekuk leher kura-kura ke arah kiri. Kura-kura itu kesakitan
dan otomatis membelok ke kiri untuk menyelamatkan lehernya. Dengan
demikian, dara itu kini dapat “menyetir” binatang raksasa itu menuju ke
bawah karang Kukura.
Dengan kekuatan pandang mata dan dengan rabaan tangan kiri, akhirnya
Retna Wilis berhasil menemukan goa dan ketika kura-kura itu membawanya
memasuki goa, ternyata bahwa goa itu penuh dengan kura-kura besar!
Terbuktilah dugaannya bahwa tempat itu memang menjadi sarang kura-kura.
Ada beberapa ekor kura-kura yang dengan gerakan ganas datang menyerang,
akan tetapi dengan dorongan tangan kirinya Retna Wilis membuat beberapa
ekor kura-kura ini terjengkang sehingga akhirnya mereka menjadi
ketakutan dan berenang menjauhkan diri, keluar dari dalam goa.
Retna Wilis turun dari punggung kura-kura dan binatang ini yang ternyata
merupakan kura-kura terbesar di situ, mendekam di sudut, agaknya dia
mulai jinak dan maklum bahwa manusia yang sakti itu tidak berniat jahat,
buktinya tidak membunuhnya.
Retna Wilis cepat mencari dan dengan mudah menemukan peti kecil panjang
yang terjepit di sela-sela batu karang dalam goa. Ia menarik peti kecil
itu, membuka dan matanya silau menyaksikan sebatang pedang yang indah di
dalam peti, pedang yang tertarik sedikit gagangnya sehingga tampak
sedikit mata pedang yang putih mengkilap.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil pedang yang sudah lengkap dengan
sarung pedang dan talinya itu, mengalungkan talinya di pundak sehingga
pedang itu berada di punggungnya. Kemudian ia menghampiri kura-kura
raksasa dan naik lagi ke punggungnya. Dengan menepuk-nepuk kepala
kura-kura, binatang ini berenang keluar dan seperti tadi, Retna Wilis
mengemudikan binatang ini sampai dapat melalui pusaran air dan timbul di
permukaan air dengan selamat.
Retna Wilis cepat menghirup napas, menyedot hawa segar dan duduk bersila di atas punggung kura-kura.
“Kukura, bawa aku mendarat!” teriaknya riang dan kurakura itu cepat meluncur ke pantai.
Dengan wajah berseri Retna Wilis membiarkan dirinya dibawa kura-kura
raksasa itu ke pantai, duduk bersila dengan tenangnya, dengan pedang di
punggung, gagah perkasa dan cantik jelita seperti dewi laut. Kalau ada
orang melihat dara ini duduk bersila di atas punggung kura-kura raksasa,
muncul dari dalam laut, tentu orang itu takkan ragu-ragu mengatakan
bahwa dia telah melihat dewi atau peri penjaga Segoro Kidul!
Setelah Retna Wilis meloncat turun, kura-kura itu dengan gerakan lamban
berjalan atau merangkak kembali ke air, menoleh satu kali memandang ke
arah Retna Wilis, kemudian menyelam ditelan ombak mendatang. Retna Wilis
melambaikan tangan sambil tertawa.
“Terima kasih, Kukura!”
Mulai hari itu, Retna Wilis lalu makin tekun melatih diri, kini ia
menggerakkan dan mainkan pedang pusaka Sapudenta yang memiliki sinar
putih seperti perak dalam latihan-latihannya sesuai dengan pelajaran
yang ia terima dari Nini Bumigarba.
Kalau ada orang melihat dari jauh ketika dara ini sedang berlatih
pedang, tentu akan mengira bahwa di pantai itu ada kilat
menyambar-nyambar karena pedang itu ketika dimainkan dengan dorongan
tenaga sakti Wisalangking, berkelebatan seperti kilat menyambar,
mengeluarkan sinar putih menyilaukan mata.
Setiap malam Retna Wilis tak pernah lupa untuk memandang ke angkasa, ke
atas gunung yang berbentuk cengger jago, dan setiap kali melihat bintang
Icehijauan masih bersinar-sinar di angkasa, ia menghela napas dan
merasa menyesal bahwa waktunya belum tiba untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah gurunya tiada, dara ini merasa kesepian dan bosan tinggal
seorang diri di situ.
Akan tetapi ia selalu taat akan pesan gurunya dan ia tiada akan
meninggalkan pantai itu sebelum ada tanda yang dipesankan gurunya, yaitu
lenyapnya bintang kehijauan yang menjadi lambang kejayaan kekuasaan
yang mencengkeram Jenggala di waktu itu.
Kita tinggalkan dulu dara perkasa Retna Wilis yang setiap malam menanti
datangnya tanda seperti yang dipesankan gurunya dan mari kita menjenguk
keadaan di Jenggala sendiri. Telah dituturkan di bagian depan bahwa
Pangeran Panji Sigit bersama isterinya Setyaningsih, telah tinggal di
Jenggala, di lingkungan istana. Juga Pusporini dan Joko Pramono tinggal
di istana Jenggala.
Mereka, empat orang muda perkasa ini, gagal dalam penyelidikan mereka
tentang diri Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Kemudian mereka
lebih menujukan perhatian mereka terhadap keadaan di Jenggala dan
bertekad untuk membantu perjuangan dari Panjalu yang dipimpin oleh
Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono, yaitu untuk membebaskan
sang prabu dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman persekutuan jahat yang
telah mereka ketahui siapa orang-orangnya itu. Makin jelaslah kini bagi
Pangeran Panji Sigit dan isterinya, juga Pusporini dan Joko Pramono,
akan keadaan di kerajaan ini.
Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar telah terlalu dalam tenggelam
dan semua kekuasaan telah dicengkeram oleh Suminten, Pangeran Kukutan,
dan Ki Patih Warutama. Empat orang muda ini maklum bahwa persekutuan ini
amat licin dan cerdik, tidak memperlihatkan kekuasaan namun sudah
mutlak mengoper kekuasaan Jenggala di tangan mereka sehingga kalau
sewaktu-waktu sang prabu yang sudah tua itu meninggal, otomatis Pangeran
Kukutan yang menggantikan menjadi Raja Jenggala, Ki Patih Warutama
tetap menjadi patih, dan Suminten menjadi ibusuri!
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa untuk menyelamatkan kerajaan harus
dilakukan sekarang juga selagi ramandanya masih hidup. Mulailah pangeran
ini mulai mendekati ramandanya, mulailah mencari kesempatan untuk
memberi ingat kepada ramandanya akan bahaya yang mengancam bagi Kerajaan
Jenggala.
Menurut penyelidikan Joko Pramono dan Pusporini, tidak hanya para
ponggawa yang diganti oleh orang-orang baru, juga para emban dan pendeta
Agama Wishnu telah didesak dan kini telah dibangun candi-candi besar
untuk keperluan beberapa orang pendeta penyembah Shiwa yang agaknya
mendapat tempat istimewa dan dianakemaskan oleh Ki Patih Warutama dan
Pangeran Kukutan.
Dalam pertemuan rahasia mereka, Pangeran Panji Sigit memutuskan untuk
mengirim Joko Pramono dan Pusporini ke Panjalu dan memberi kabar kepada
Ki Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo tentang hasil penyelidikan
mereka, dan tentang gagalnya penyelidikan mereka mengenai diri Nini
Bumigarba.
Empat orang muda ini tidak tahu bahwa rencana mereka telah diketahui
Suminten, bahwa Suminten telah mengatur siasat yang telah lama
direncanakan dan yang kini dipercepat pelaksanaannya untuk mendahului
rencana Pangeran Panji Sigit yang hendak mengutus dua orang muda itu
membuat laporan ke Panjalu.
Malam itu terang bulan dan langit cerah sekali. Langit yang membiru
dihias beberapa buah bintang, terang oleh sinar bulan yang sejuk.
Ketika Pangeran Panji Sigit sedang bercakap-cakap dengan isterinya di
luar kamar sambil memandang bulan purnama yang indah, tiba-tiba seorang
pelayan wanita datang menghadap dan menyampaikan permintaan gusti selir
yang minta kepada Setyaningsih untuk menemaninya di dalam taman
keputren. Gusti selir hendak menikmati cahaya bulan di taman dan minta
agar Setyaningsih suka menemaninya bercakap-cakap.
Tentu saja hal yang wajar ini sukar ditolak oleh Setyaningsih, bahkan
Pangeran Panji Sigit yang tidak ingin menimbulkan kecurigaan di hati
Suminten musuh utama yang paling berbahaya itu, membujuk isterinya untuk
berdandan dan segera berangkat bersama pelayan itu untuk memenuhi
panggilan ibunda selir.
Biar pun di dalam hatinya Setyaningsih merasa segan dan tidak senang
karena sesungguhnya ia muak melihat Suminten, namun ia tidak berani
menolak dan setelah cepat berdandan, berangkatlah ia bersama pelayan
wanita yang diutus memanggilnya itu memasuki keputren dan langsung
menuju ke taman yang indah, milik pribadi Suminten.
Sementara itu, Joko Pramono yang sedang duduk bersamadhi di dalam
kamarnya, mendapat kunjungan Ki Mitra. Kakek ini berindap-indap mengetuk
daun jendela kamar Joko Pramono.
“Raden...! Raden..., keluarlah...“ la berbisik.
Joko Pramono turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela.
“Paman Mitra, bagaimana engkau bisa masuk...?”
Pemuda ini merasa heran karena orang tua ini menjadi juru taman di luar
istana dan untuk memasuki daerah istana bukanlah hal yang mudah.
“Ssttt... hamba mengenal seorang pengawal setia.Dia yang memanggil hamba karena terjadi urusan yang gawat sekali!”
Joko Pramono menarik kakek itu memasuki kamarnya. “Apakah yang terjadi?”
“Lekas paduka bertindak, Raden, kalau tidak...bisa terlambat...! Hamba
mendengar dari pengawal setia bahwa Gusti Puteri Setyaningsih malam ini
diundang ke taman bunga di taman sari oleh Gusti Selir Suminten...”
Joko Pramono memandang tajam, “Hemm, urusan begitu saja, apa salahnya?”
“Ah, paduka terlalu memandang rendah Gusti Selir Suminten! Menurut
laporan-laporan yang hamba dengar, malam ini Gusti Puteri Setyaningsih
sengaja dipancing untuk diajak makan minum dan... akan diracun!”
“Apa...?” Joko Pramono terkejut sekali.
“Lekaslah paduka menolongnya sebelum terlambat!”
“Di manakah Kakangmas Pangeran Panji Sigit? Dia harus diberi tahu, dan...Pusporini “
“Ah, Raden, mengapa menyia-nyiakan waktu? Gusti selir banyak memasang
mata-mata, dan kalau kita ribut-ribut...dapat terlambat dan celaka!
Lebih baik sekarang juga paduka cepat memasuki taman sari dan menolong
Gusti Puteri Setyaningsih sebelum terlambat terkena racun. Hamba yang
akan memberi tahu kepada Gusti Pangeran Panji Sigit dan Raden-ayu
Pusporini.
Karena mengkhawatirkan keadaan Setyaningsih, Joko Pramono mengangguk
setuju, kemudian ia meloncat keluar dari jendela kamarnya, menghilang ke
dalam gelap untuk cepat-cepat menolong Setyaningsih yang terancam
bahaya maut di tangan Suminten yang jahat. Ki Mitra juga berindap-indap
menuju ke pondok keputren di mana terdapat kamar Pusporini.
Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit yang masih duduk di serambi depan
pondoknya, merasa tidak enak mengapa isterinya belum juga pulang. Andai
kata bukan Suminten yang mengajak isterinya bersenang-senang di taman,
andai kata selir lain dari ramandanya yang sekarang sudah terasing,
tentu ia tidak gelisah seperti itu.
“Pangeran...”
Pangeran Panji Sigit tersentak kaget ketika mendengar suara ini dan
melihat orangnya yang muncul dari pintu tembusan ke belakang. Ternyata
orang yang dikhawatirkan akan mencelakakan isterinya, Suminten, berada
di situ! Cantik jelita dan seluruh pembawaannya mengandung tantangan
yang merangsang dan genit.
Wanita ini memang cantik manis sekali, hal ini tak dapat disangkal oleh
Pangeran Panji Sigit, dan terutama sekali mulut dan mata itu mengundang
cinta kasih pria dan tentu akan mudah menjatuhkan hati pria yang
bagaimana keras pun. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit yang sudah
mengenaI watak dan isi dada inilah membusung itu, isi yang amat keji dan
kotor, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia bangkit berdiri sambil
menghormat.
“Ibunda selir... mengapa berada di sini... Di mana isteriku, Setyaningsih?”
“Aduh Pangeran..., karena dialah aku bersusah payah datang mencarimu
Marilah kau ikut bersamaku melihat dia. Lihat apa yang dilakukan
isterimu dan sahabat baikmu, si keparat Joko Pramono.”
“Apa... apa yang terjadi... Tipu muslihat apa lagi yang kaulakukan?”
Pangeran Panji Sigit serta-merta menuduh ibu tirinya ini dan memandang
dengan kening berkerut dan jantung berdebar penuh kegelisahan akan
keselamatan isterinya dan sahabat baiknya.
Bibir yang merah semringah itu menahan senyum mengejek, bibir bawah yang
penuh bergerak-gerak, dagunya berguncang-guncang karena di dalam rongga
mulut lidahnya bergerak-gerak.
Dalam keadaan begini, Suminten tampak amat menarik hati dan menggemaskan
hati pria, apa lagi disertai pandang mata yang redup sayu seperti mata
orang yang mengantuk, benar-benar memikat.
Sang Arjuna sendiri biar pun sedang bertapa, kalau digoda seorang wanita
seperti Suminten, agaknya belum tentu akan kuat bertahan! Kalau dalam
ceritera Arjuna Mintaraga, Sang Arjuna yang bertapa digoda oleh tujuh
orang bidadari dapat bertahan, bukanlah aneh karena bidadari-bidadari
yang suci mana mungkin bisa membangkitkan nafsu berahi seorang satria!
“Aduh, Pangeran, paduka juga puteraku dan saya adalah ibumu...ah begitu
keras dan kejamkah hatimu sehingga kesalahan kecil yang pernah saya
lakukan dahulu itu masih saja tak terlupakan? Saya tidak melakukan
fitnah... tadinya isterimu bersamaku di taman. Karena sesuatu urusan,
saya terpaksa meninggalkannya sebentar di taman dan... ah, kau lihat
sendiri sajalah. Saya sudah mempersiapkan pengawal mengepung taman, akan
tetapi saya tidak membolehkan mereka turun tangan sebelum paduka
menyaksikan dengan mata sendiri agar kelak jangan menuduh saya
menjatuhkan fitnah terhadap isteri dan sahabatmu. Marilah, Pangeran...”
Pangeran Panji Sigit menjadi pucat wajahnya dan jantungnya berdebar
keras sekali. Bagaimana dia dapat menolak? lsterinya belum kembali dan
dia amat khawatir. Tidak, sama sekali bukan khawatir bahwa berita yang
dibawa Suminten in! mengandung kebenaran.
Isterinya dan Joko Pramono? Wah, biar dunia kiamat dia tidak akan dapat
percaya akan hal ini isterinya memang cantik jelita dan dapat
meruntuhkan hati setiap orang pria, akan tetapi Joko Pramono adalah
seorang satria sejati, seorang gagah perkasa dan seorang pria yang
mencinta Pusporini.
Sebaliknya, biar pun Joko Pramono adalah seorang pemuda yang tampan dan.
gagah perkasa dan pasti akan mudah menjatuhkan hati setiap orang
wanita, akan tetapi isterinya, Setyaningsih, tentu saja amat setia dalam
cinta kasihnya dan sampai mati pun ia tidak akan meragukan kesetiaan
isterinya sedikit pun juga isterinya dituduh tidak setia oleh wanita
hina yang gila laki-laki ini? Ah, betapa ingin ia menampar atau mencekik
wanita ini di saat itu juga!
“Ibunda selir...saya akan melihat dan... kalau ini hanya fitnah... demi
para dewata, saya takkan mendiamkan saja penghinaan ini...!” desisnya
dengan gigi terkancing.
Suminten tersenyum, bibirnya merekah sehingga mututnya terbuka seperti
sebuah luka yang tampak dagingnya memerah, dan sebelum Pangeran Panji
Sigit dapat menolaknya, wanita itu telah menyambar lengannya dan
ditariknya lengan pemuda bangsawan itu keluar dari situ melalui pintu
belakang.
“Marilah, Pangeran. Saksikan saja sendiri dan buktikan kebenaran omongan Suminten...!”
Ketika menyebutkan namanya sendiri ini, terdengar seperti bisikan mesra
sekali. Wanita ini sudah menyebutkan nama sendiri, tidak lagi bersikap
sebagai seorang ibu tiri, dan andai kata hati Pangeran Panji Sigit tidak
sedang diliputi kegelisahan hebat, tentu ia akan merasakan ketidak
wajaran dan sikap yang jelas menantang asmara ini.....
Komentar
Posting Komentar