PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-71
“Andika berdua menjaga di luar sini, biarkan saya sendiri menyelidiki ke dalam.”
Pusporini mengangguk, Memang sebaiknya demikian. Merurut apa yang mereka
dengarkan dalam percakapan antara tiga orang tokoh sakti tadi, tempat
tahanan ini dipasangi alat-alat rahasia yang amat berbahaya.
Jika mereka semua masuk, sekali terjebak, mereka semua akan celaka.
Kalau hanya seorang; andai kata terjadi sesuatu, yang berada di luar
dapat saja sewaktu-waktu menolong.
Sebaliknya, jika ada bahaya yang datangnya dari luar, dia dapat
menyambutnya untuk melindungi Joko Pramono yang bertugas di dalam.
Akan tetapi Setyaningsih membantah, “Saya akan ikut masuk mencari Kakangmas Pangeran...”
“Harap Ayunda suka menjaga saja di luar bersama Pusporini,” kata Joko
Pramono. “Bergerak seorang diri di dalam akan lebih leluasa, pula kita
belum tahu bahaya apa yang mengancam di dalam.”
“Betul, Ayunda. Tugasnya sudah amat berat, dan dia hams dapat menemukan
dan membebas kan Rakanda Pangeran. Kita sudah mendengar tadi akan
percakapan mereka. Di dalam banyak terdapat alat-alat rahasia yang
berbahaya. Pula, keadaan. di luar sini tidak kurang pentingnya. Kalau
ada musuh-musuh sakti menyerbu, Ayunda dapat membantuku menghadapi
mereka.”
Setyaningsih terdesak dan terpaksa menyerah sungguh pun hatinya sudah
ingin sekali bertemu dengan suaminya yang tercinta. Setyaningsih tidak
membantah lagi, mulailah Joko Pramono memasuki bangunan besar yang
dijadikan tempat tahanan itu.
Dengan tenaga saktinya, mudah saja Joko Pramono mendorong pintu gerbang
terbuka dan ia merasa lega ketika melihat empat orang penjaga
menggeletak di balik pintu gerbang dalam keadaan pulas. Untuk mencegah
kalau-kalau ada musuh datang dari luar dan melihat pintu gerbang
terbuka, ia menutupkan lagi daun pintu gerbang sehingga kini
Setyaningsih dan Pusporini yang berada dl luar tidak dapat melihatnya,
lagi.
Joko Pramono melangkah maju terns dengan hati-hati sekali, matanya
memandang ke depan dan kanan-kiri. Untung baginya bahwa bangunan itu
cukup terang mendapat cahaya lampu -lampu gantung yang cukup banyak di
tempat itu, Pintu ke dua merupakan pintu dari baja, akan tetapi ketika
ia mendorongnya, ternyata pintu itu tidak terpalang hanya ditutupkan
saja, maka mudah terbuka.
Ketika ia melihat para penjaga malang-melintang tidur pulas di bawah
pengaruh aji penyirepan nya tadi. Banyak sekali penjaga di sebelah dalam
ini, ada belasan orang. Di antara mereka terdapat seorang kakek tinggi
besar yang bersandar dinding, suara dengkurnya keras seperti macan
menggereng.
Joko Pramono maklum bahwa penjaga yang seorang ini bukanlah sembarang penjaga, tentu setidaktidaknya kepala penjaga.
Tubuh penjaga ini kuat sekali tampaknya, bahkan menyeramkan. Akan tetapi
karena panjaga ini pun pulas, la tidak memperhatikannya lagi dan
melangkah maju terus. Di depan terdapat ruangan yang luas, lantainya
dari papan tebal. Ia berlaku hati-hati, tidak segera meloncat maju,
melainkan mencoba lantai papan itu dengan cara menekan-nekannya dengan
sebelah kakinya. Ia khawatir kalau-kalau lantai, itu dapat bergerak.
Akan tetapi lantai itu kokoh kuat dan Joko Pramono melangkah terus,
matanya mencari-cari bagian mana kiranya yang akan dimasukinya untuk
mencari Pangeran Panji Sigit. la telah tiba di tengahtengah ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa di sebelah belakangnya dan ketika
secepat kilat ia membalik kan tubuh, kiranya penjaga yang tinggi besar
seperti raksasa itu telah berdiri di depannya! Kini tampak jelas betapa
penjaga yang tua ini tubuhnya benar mengejutkan, seperti raksasa.
Telinganya dihias anting-anting dan tangan kanannya memegang sebuah
senjata nenggala, tombak kecil yang nincing kedua ujungnya, dipegang di
tengah-tengah.
Melihat keadaan kakek ini, terkejutlah hati Joko Pramono karena ia
segera mengenalnya. Inilah Ki Kolohangkoro! Pernah ia bersama Pusporini
menghadapi kakek ini dan Ni Dewi Nilamanik, bahkan akhirnya dia ditawan
Ni Dewi Nilamanik sedangkan Pusporini ditawan kakek ini. Untung dia dan
Pusporini tertolong oleh guru mereka, Resi Mahesapati!
“Ah, kiranya andika menjadi seorang di antara tikustikus yang menggerogoti Kerajaan Jenggala, Ki Kolohangkoro!”
Joko Pramono berkata tenang dan ia bersiap-siap dengan penuh kewaspadaan
karena maklum bahwa lawan ini bukanlah seorang yang lemah.
“Ha-ha-ha-ha! Engkau Joko Pramono? Apakah yang engkau andalkan maka
berani memasuki sarang harimau? Hendak membebaskan Pangeran Panji Sigit?
Ha-ha-ha, jangan mimpi, orang muda. Lebih baik menyerah sebelum
nenggalaku yang sudah lama tidak mencium darah ini menggelogok darahmu!”
“Manusia raksasa seperti engkau berhati iblis! Jangan mengira akan mudah
mengalahkan Joko Pramono seperti lima tahun yang lalu. Sambutlah ini!”
Joko Pramono cepat menerjang maju dengan pulkulan kepalan kanannya.
Dahsyat sekali gerakannya akan tetapi sambil tertawa Ki Kolohangkoro
menggerakkan nenggalanya menyambut terjangan pemuda itu dengan terjangan
balasan, yaitu ia menusukkan nenggalanya ke arah dada Joko Pramono.
“Plakk!”
Dengan gerakan indah, Joko Pramono sudah membuka kepalannya tadi,
merubah pukulan menjadi gerakan tangan terbuka melingkar dari kin ke
kanan, diputar sedemikian rupa sehingga ia berhasil menangkap
pergelangan tangan lawan yang memegang nenggala itu dari samping.
Sedetik dua tenaga raksasa bertemu, saling betot, dan tiba-tiba Joko
Pramono berseru keras dan menyendal tangan lawan itu dengan gentakan
kuat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh raksasa itu
kehilangan keseimbangan, kudakudanya tergempur dan tubuhnya terbanting
ke kanan.
Hal ini amat mengejutkan hati Ki Kolohangkoro.
Hampir ia tidak percaya bahwa pemuda yang lima tahun lalu masih amat
lemah dan hanya memiliki kepandaian yang tidak ada artinya, kini dapat
memiliki tenaga sakti yang sedemikian lcuatnya sehingga hampirhampir ia
tidak kuat menahan nenggalanya. Untung ia masih dapat mempertahan kan
senjatanya itu sehingga tidak terampas biar pun tubuhnya hampir
terbanting roboh.
“Babo-babo, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan yang lumayan. Makanlah senjataku!”
Raksasa itu menerjang lagi, kini lebih hebat dengan memutar pergelangan
tangannya sehingga nenggala itu berputar seperti kitiran, mendatangkan
angin dan mengeluarkan suara berdesing. Hebat memang Ki Kolohangkoro
yang memiliki tenaga gajah, sedangkan senjata nenggala di tangannya itu
pun merupakan sebuah nenggala yang amat ampuh.
Akan tetapi Joko Pramono sekarang sama sekali berbeda dengan Joko
Pramono lima tahun yang lalu. Setelah mendapatkan gemblengan dari Resi
Mahesapati yang sakti mandraguna, kedigdayaannya menjadi berlipat ganda
dan kini menghadapi tendangan Ki Kolohangkoro itu, ia dapat melihat
dengan jelas gerakan lawan sehingga dapat dengan mudah pula mengelak ke
ldri, secepat kilat kakinya menyambar dari samping ke arah lambung
lawan.
Andai kata tadi Ki Kolohangkoro belum merasakan betapa kuatnya pemuda
ini tentu dengan memandang rendah ia berani menerima tendangannya itu
karena ia dapat mengandalkan kekebalannya yang akan melindtmgi
lambungnya.
Akan tetapi ia tahu bahwa tendangan pemuda sekuat itu tenaga saktinya,
apa lagi yang ditujukan ke arah lambung, amatlah berbahaya. Maka ia lalu
memutar pergelangan tangan, membuat nenggala yang luput sasaran tadi
membalik ke kanan untuk memapaki kaki lawannya dengan senjatanya yang
ampuh Mi. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika
melihat perkembangan selanjutnya.
Ternyata kaki itu tidak dilanjutkan menendang lambung, melainkan
meluncur ke bawah dan menendang ke arah lututnya! Ki Kolohangkoro
berusaha untuk meloncat agar terhindar dari tendangan yang dapat membuat
sambungan lututnya terlepas itu, akan tetapi masih kurang cepat
sehingga kakinya masih tercium tendangan lawan, mengenai betisnya
sehingga kuda-kudanya tergempur dan ia roboh terguling!
Biar pun merasa amat kaget, namun Ki Kolohangkoro adalah seorang yang
sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran, maka ia cepat menggerakkan
tubuhnya bergulingan sehingga Joko Pramono yang sudah datang menerjang
dengan tendangan susulan itu tidak berhasil. Cepat sekali Ki
Kolohangkoro bergulingan lalu meloncat dan menghilang melalui sebuah
pintu ruangan itu.
Joko Pramono yang ingin mencari di mana adanya kamar tahanan Pangeran
Panji Sigit, cepat meloncat pula mengejar. Dia berada di ruangan lain
yang dindingnya berwarna hijau, akan tetapi tidak melihat bayangan Ki
Kolohangkoro yang telah lenyap entah lari ke mana. Dengan hati-hati ia
melangkahkan kakinya maju ke ruangan hijau yang kosong itu, siap menjaga
kalau-kalau ada serangan lawan atau kalau-kalau ada jebakan rahasia.
Ruangan itu kosong dan sunyi. Hanya terdapat sebuah pintu kecil di
sebelah kanan ruangan. Karena itu, tentu dari pintu itulah larinya Ki
Kolohangkoro. Joko Pramono menghampiri pintu, tidak sembrono melainkan
dengan hatihati sekali ia mendorong daun pintu sambil menyelinap untuk
menjaga kalau-kalau ada senjata rahasia menyambutnya.
Akan tetapi tidak teijadi sesuatu dan kini daun pintu terbuka lebar,
selebar mata Joko Pramono yang memandang terbelalak ke dalam ruangan ke
tiga ini. Ruangan di balik pintu itu berwarna merah muda dan di ujungnya
terdapat sebuah pembaringan di mana tampak Pangeran Panji Sigit rebah
terlentang tak bergerak, entah tidur ataukah pingsan. Dan di pinggir
pembaringan, membelakanginya, duduk bersimpuh seorang wanita yang
mengelus-elus rambut kepala pangeran itu dengan jari-jari tangan mesra.
Dan belakang tampak bahwa wanita itu adalah Suminten.
Melihat ini, bangkit kemarahan Joko Pramono. Wanita iblis itulah yang
menjadi biang keladi semua peristiwa yang terjadi. Wanita itulah yang
mengatur siasat mengadu domba sehingga hampir saja Pusporini
membunuhnya.
Kebetulan sekali ia mendapatkan wanita itu di situ. Ia dapat membebaskan
Pangeran Panji Sigit dan sekalian menangkap wanita itu. Ia dapat
menangkap Suminten. Kalau wanita ini ditangkap dan diseret ke Panjalu,
tentu akan hancur persekutuan jahat yang mencengkeram Jenggala.
“Perempuan iblis!” bentaknya dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam
ruangan itu, siap untuk menangkap Suminten. Ia maklum bahwa yang
terpenting menawan wanita ini karena hal itu akan dapat dipergunakan
untuk perisai dan untuk memaksa kaki tangan Suminten memberi kebebasan
kepada Pangeran Panji Sigit.
“Wirrrr... tar-tar... hi-hihik!”
Joko Pramono mengeluarkan suara tertahan dan cepat sekali membalikkan
tubuh berjungkir balik menghindar diri dari sambaran pengebut lalat
berwarna merah yang digerakkan oleh wanita itu yang kini telah
membalikkan tubuh.
Ia terluput dari serangan maut dan kini berdiri di tengah ruangan,
memandang wanita yang disangkanya Suminten itu, akan tetapi yang
ternyata adalah Ni Dewi Nilamanik yang dahulu pernah menawannya!
Yang disangkanya Suminten adalah wanita iblis itu yang agaknya sengaja
menyamar sebagai Suminten dan karena wanita yang usianya sudah empat
puluh tahun lebih ini memang masih cantik dan bertubuh ramping, maka
dari belakang tidak jauh bedanya dengan Suminten.
“Ah, kiranya andika juga berada di sini? Kalau begitu lengkaplah sudah.
Jenggala, tepat di dalam istananya, dijadikan sarang sekumpulan iblis
bertubuh manusia!” Joko Pramono berseru marah.
“Hi-hi-hik, bocah bagus, engkau terlalu sombong!”
“Ha-ha-ha, kematian sudah di depan mata!”
Terdengar suara Ki Kolohangkoro dari belakangnya. Joko Pramono cepat
membalik dan ternyata raksasa itu kini sudah berdiri di ambang pintu, di
belakangnya.
Joko Pramono tidak menjadi gentar menghadapi dua orang musuh lama ini.
Ia hanya cemas melihat keadaan Pangeran Panji Sigit yang rebah tak
bergerak, agaknya pingsan karena pangeran itu sama sekali tidak
terganggu oleh keributan di situ.
Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang dan siap untuk mengadu
kesaktian melawan dua orang manusia iblisitu. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara berderit keras di atas kepalanya.
Karena mengira bahwa tentu ada alat rahasia yang akan menyambarnya dari
atas, Joko Pramono memandang ke atas dan sebagian besar perhatiannya
tertuju ke langit-langit ruangan itu.
Dan memang inilah yang dikehendaki oleh ahli pembuat alat rahasia di
tempat tahanan istana Jenggala itu. Begitu orang mengarahkan
perhatiannya ke atas, tentu saja perhatiannya ke bawah berkurang dan
tiba-tiba lantai yang diinjak Joko Pramono terkuat ke bawah! Pemuda itu
terkejut sekali, namun terlambat.
Tubuhnya sudah meluncur ke bawah dan lantai yang tadi terkuak ke bawah,
itu telah menutup kembali diiringi suara tertawa Ki Kolohangkoro dan Ni
Dewi Nilamanik.
Joko Pramono maklum bahwa la telah terjebak. Akan tetapi sebagai seorang
satria perkasa, is pantang menyerah terhadap keadaan. Ia mengerahkan
hawa saktinya sehingga biar pun tubuhnya meluncur ke bawah, namun ia
masih menguasai dirinya dan tidak akan terbanting ke dasar sumur itu.
Begitu kakinya menyentuh lantai, tubuhnya sudah bergerak seperti per
sehingga daya luncuran tertahan dan sekali meloncat ia telah mematahkan
daya luncuran tadi. Ia berdiri di tengah ruangan di bawah tanah itu dan
memaksa matanya untuk menembus kegelapan di situ.
Akan tetapi keadaan gelap pekat, tidak tampak sesuatu sehingga akhirnya
Joko Pramono terpaksa hams menggunakan kaki tangannya untuk meraba-raba.
Kiranya ia telah terkurung oleh dinding yang kuat dan yang bentuknya
bundar. Tidak ada pintu maupun jendelanya, sedangkan ketika ia
menengadah, lantai jebakan yang kini menjadi langit-langit itu tidak
tampak, hanya gelap dan hitam saja yang membayang di matanya.
Betapa pun juga, Joko Pramono tidak menjadi putus asa menghadapi kenyataan bahwa dirinya benar-benar terancam bahaya maut ini.
Ia melakukan hal yang terpenting, yaitu duduk bersila di tengah-tengah
ruangan gelap itu untuk mengumpulkan tenaga sakti dan menenangkan
pikiran. Dia maklum bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya harus
diterima dalam keadaan tenang dan wajar, karena hanya ketenangan jiwanya
sajalah yang akan dapat membuat ia kuat menghadapi segala kepahitan dan
kemudian mengatasinya dengan langkah-langkah yang tepat. Teringatlah
pemuda ini kepada sebuah di antara wejangan-wejangan Resi Mahesapati
yang pada saat itu terngiang di telinganya.
“Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, yang menimpa dirimu, adalah
sesuai dengan hula yang ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu, kita
hams dapat menerimanya sebagai suatu kewajaran dan bersandarkan
kesabaran dan ketenangan, kita harus berani memandang ke depan. Segala
macam peristiwa yang menimpa diri kita, apa bila sudah dikehendaki
demikian oleh Sang Jagad Nata (Pengatur Dunia) takkan dapat dihindarkan
oleh manusia, betapa pun saktinya manusia itu. Maka, jalan satu-satunya
bagi manusia mahluk lemah ini hanyalah bersandar kepada Hyang Widi
Wisesa dengan penuh ketulusan hati, dengan penuh pasrah namun tidak
melepaskan segala ikhtiar yang menjadi kewajiban manusia yang telah
diberi perlengkapan sempurna untuk kewajiban itu.”
Joko Pramono tekun mengheningkan cipta dan ia menanti datangnya
kesempatan baik untuk menolong dirinya sendiri. Dia tidak takut, tidak
gentar karena dia telah menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Dewa,
sehingga andai kata kematian akan menjemputnya sekali pun, ia tidak
merasa gentar karena maklum bahwa semua itu sudah dikehendaki oleh Yang
Maha Kuasa.
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti desis ular. Joko Pramono bangkit
berdiri, bersikap tenang waspada, bersiapsiap menghadapi hal yang
seburuknya, tenaga sakti telah menjalar ke arah kedua lengannya. Akan
tetapi tiba-tiba ia terbatuk karena mencium bau yang amat harum namun
menyengat hidung, dan tahulah ia bahwa fihak lawan telah menyerangnya
dengan asap yang entah masuk di ruangan itu dari mana.
la menahan napas, lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya untuk mengusir
asap harum menyengat hidung itu. Asap yang masuk berwarna putih dan
menjadi buyar terkena sambaran angin pukulan Joko Pramono. Akan tetapi
asap masuk makin banyak dan makin tebal, sedangkan Joko Pramono, biar
pun telah menjadi pemuda sakti, namun tak mungkin dapat menahan napas
selamanya.
Akhirnya ia tersedak, terengah dan cepat ia duduk bersila,menghentikan
perlawanan dan mengosongkan pikiran, siap untuk menerima datangnya maut
yang tak dapat ia hindarkan lagi. Sungguh patut dikagumi Joko Pramono
ini, biar pun masih amat muda akan tetapi sudah dapat menghadapi bahaya
maut dengan sikap yang tenang, bahkan dapat mengatur diri sehingga andai
kata ia mati, pikiran dan hatinya kosong, sikap yang amat sempurna.
Sementara itu, Pusporini dan Setyaningsih yang menjaga di luar bangunan
tempat tahanan itu menjadi gelisah. Menanti adalah pekerjaan yang amat
sukar dan berat. Apa lagi menanti seperti mereka lakukan itu, menanti
Joko Pramono yang memasuki tempat tahanan, yang mereka tahu amat
berbahaya. Sukar ditentukan siapa yang lebih gelisah antara kedua orang
wanita muda cantik itu, karena Setyaningsih cemas memikirkan suaminya,
sedangkan Pusporini tentu saja gelisah memikirkan keselamatan kekasihnya
yang memasuki “goa iblis” seorang diri.
Setelah lewat satu jam lebih belum juga Joko Pramono kembali, dan
keadaan tetap sunyi senyap, Setyaningsih tak dapat lagi menahan
kegelisahan hatinya.
“Pusporini, mari kita masuk menyusul Dimas Joko Pramono, mencari Kakangmas Pangeran,” kata Setyaningsih dengan suara perlahan.
Pusporini mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
“Tidak baik kalau kita pun pergi menyusulnya, Ayunda. Bukankah tadi Joko
Pramono sudah meninggalkan pesan agar kita berdua menanti dan menjaga
di sini?”
“Ah, sudah begin lama dia pergi dan masih juga belum ada tanda-tanda dia
kembali. Sampai kapan kita menanti di sini, adikku? Tepatkah kalau kita
membiarkan dia menempuh bahaya untuk menolong Kakangmas Pangeran
seorang diri? Bagaimana kalau Adimas Joko Pramono tertangkap pula? Kita
harus menyusul, Rini, dan kalau kau tidak mau, biarlah aku pergi sendiri
menyusul Joko Pramono dan menolong suamiku.”
Pusporini menghela napas panjang. Memang sesungguhnya kekhawatiran
hatinya tidak kalah besar, dan jawabnya tadipun hanya untuk menutupi
kekhawatirannya, atau untuk menghibur dirinya sendiri saja. Maka is
berkata,
“Baiklah, Ayunda. Memang aku pun merasa heran mengapa dia belum juga
kembali. Marilah, akan tetapi biar saya jalan di depan dan Ayunda di
belakang. Kita hams berhati-hati sekali, Ayunda. Musuh kita terlampau
keji dan curang.”
“Jangan khawatir, Pusporini. Untuk menolong suamiku, aku siap menghadapi apa pun juga.”
Kedua orang wanita ini melangkah masuk melalui pintu gerbang yang tadi
sudah dibuka Joko Pramono. Mereka berjalan dengan hati-hati, melihat
pula para penjaga yang masih tertidur pulas di bawah pengaruh aji
penyirepan mereka tadi, dan terus memasuki ruangan depan.
Seperti halnya Joko Pramono tadi, mereka pun tiba di dalam ruangan yang
berwarna hijau. Hanya bedanya, kalau tadi di sebelah belakang itu
terdapat sebuah pintu kecil, kini pintu itu lenyap menjadi dinding rata,
dan di sebelah kiri muncul sebuah pintu lain. Pusporini yang berjalan
di depan dalam keadaan siap itu memberi tanda kepada ayundanya dan
mereka mendorong pintu sebelah ldri itu sehingga terbuka.
“Kakangmas Pangeran...!” Setyaningsih menjerit lirih dan berlari
memasuki kamar itu ketika melihat suaminya duduk bersila di atas sebuah
pembaringan di sudut kamar.
“Ayunda, jangan...!” Pusporini berseru.
“Isteriku..., jangan masuk...!” Pangeran Panji Sigit juga berseru ketika
melihat isterinya dan Pusporini muncul di pintu. Akan tetapi
Setyaningsih tidak peduli dan sudah berlari masuk, lalu menubruk
suaminya dan mereka berpelukan.
Pada saat itu terdengar suara ketawa di belakang Pusporini yang cepat
menengok, akan tetapi Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik telah
menyerangnya darl belakang menggunakan senjata mereka. Pusporini cepat
meloncat ke belakang, ke dalam kamar itu karena tidak ada jalan lain
untuk menyelamatkan din dari serangan senjata nenggala dan kebutan yang
ampuh itu.
Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai, pintu itu tertutup
sendiri dan hanya terdengar suara ketawa Ni Dewi Nilamanik dan Ki
Kolohangkoro di luar pintu.
“Ah, kalian terjebak...!” Pangeran Panji Sigit berseru cemas.
Pusporini menjadi marah sekali. Ia mengerahkan aji kesaktiannya,
menyalurkan tenaga sakti ke dalam lengannya, kemudian sambil memekik ia
meloncat ke depan menghantam pintu itu.
“Desss!”
Hebat bukan main hantaman dara perkasa ini sehingga seluruh dinding
kamar itu tergetar, akan tetapi daun pintu hijau itu ternyata terbuat
dari pada baja yang kuat sekali dan tertutup oleh gerakan alat rahasia
sehingga hanya tergetar saja dan tidak terpecahkan. Kembali Pusporini
menghantam, sampai tiga kali tanpa hasil. Ia menjadi makin marah,
bertolak pinggang menghadapi daun pintu lalu membentak,
“Iblis-iblis laknat! Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, jika memang
kalian orang-orang sakti, bukalah pintu dan mari bertanding melawan
Pusporini yang akan menghancurkan kepala kalian dan memecahkan dada
kalian!”
Namun, yang menjawab tantangannya hanyalah asap putih yang masuk melalui
dua bush lubang kecil di lantai. Asap itu masuk mengeluarkan suara
mendesis seperti ular menyambar dan sebentar saja kamar itu penuh oleh
asap yang berbau harum bercampur bau amis yang menyengat hidung.
“Awas asap beracun! Rakanda, Ayunda, bertiarap!” seru Pusporini.
Pangeran Panji Sigit yang merangkul isterinya itu menarik tubuh
Setyaningsih dan mereka segera bertiarap di atas lantai, menelungkup.
Adapun Pusporini, seperti juga yang dilakukan Joko Pramono tadi, menahan
napas dan mengerahkan hawa sakti untuk mengayun-ayun lengannya,
mendorong dengan maksud mengusir asap itu keluar dari kamar.
Sambaran angin pukulannya membuat asap itu buyar dan bergerak-gerak.
Akan tetapi karena kamar itu agaknya memang tidak diberi lubang, asap
yang buyar dan membubung ke atas itu menurun kembali, bersatu dengan
asap barn yang keluar terus dari lantai sehingga menjadi tebal memenuhi
kamar.
Setelah melihat usahanya gagal, Pusporini melirik ke arah Pangeran Panji
Sigit dan Setyaningsih, melihat mereka itu telah roboh pingsan sambil
berpelukan. Dia menarik napas panjang lalu. duduk bersila dalam keadaan
samadhi, seperti yang dilakukan Joko Pramono tadi sehingga tak lama
kemudian dia pun menjadi pingsan dalam keadaan duduk bersila!
“Tak-tak, herrr... Hayolah, kerbau goblok, kerbau malas! Plak-plak! Tarr!”
Kerbau yang menarik luku di sawah itu tetap mogok dan mendekam di atas
lumpur yang begitu sejuk dan nikmat rasanya di bawah terik sinar
matahari di siang hari.
“Kerbau tolol, kubunuh engkau!” bentak petani setengah tua itu yang
sudah lelah memaki-maki kerbaunya dan kini mulai mencambukinya sekuat
tenaga.
Seorang pria muda yang berpakaian serba putih sederhana menghentikan
langkahnya menyaksikan peristiwa ini. Ia lalu memutar tubuh menghampiri
pinggir sawah dan matanya sayu memandang ke arah kerbau yang digebuki.
Pria ini masih muda sekali, usianya paling banyak dua puluh satu tahun,
akan tetapi is memiliki sepasang mata yang selain tajam berpengaruh,
juga demikian penuh pengertian seperti yang hanya dimiliki oleh
kakek-kakek pendeta yang sudah memiliki ilmu batin yang hat!
Pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi tidak mengurangi ketampanan
wajahnya yang berkulit putih halus seperti kulit tubuh wanita.
Alisnya yang tebal hitam dan kelihatan garang itu tidak dapat menandingi
kelembutan pandang matanya, sedangkan bibirnya seperti yang selalu
tersenyum maklum, seperti senyum seorang ayah melihat tingkah laku
anaknya yang nakal dan masih kecil.
“Sudah, Paman. Tiada gunanya menyiksa pembantumu dan tiada baiknya menurut hati yang digelapkan nafsu amarah.”
Suara pemuda aneh ini demikian penuh ketenangan dan kesabaran, begitu
halus dan lemah lembut sehingga laki-lald yang marah dan menggebuki
kerbaunya itu menghentikan perbuatan nya dan menoleh dengan heran, siap
untuk menimpakan kemarahan dan kemendongkolan hatinya kepada orang yang
berani mencegah dia menggebuki kerbaunya sendiri.
Akan tetapi begitu bertemu pandang dengan mata pemuda itu, seolah-olah
ada tetesan embun dingin yang memadamkan semua api kemarahannya, bahkan
membuat dia menjadi malu dan merah mukanya.
Akan tetapi, ia hendak membela diri dan mengusir rasa malunya dengan
bantahan, sungguh pun kata bantahannya tidak terdorong kemarahan lagi,
“Orang muda, mudah saja maido (mencela). Kerbau ini malas dan bodoh, dia
tidak mau menarik luku, habis kalau tidak digebuki apakah harus
kutimang-timang?”
Pemuda itu memperlebar senyumnya yang sudah selalu siap di bibir, kemudian ia duduk di atas galengan sawah.
“Maaf, Paman. Aku tidak mencela atau maido, hanya ingin mengingatkan
Paman bahwa kerbau itu adalah pembantu Paman. Dia mogok bekerja karena
lelah dan kurasa bukan hanya hari ini dia membantu Paman meluku sawah.
Manusia telah dikurniai akal budi sedangkan kerbau dikurniai tenaga,
sehingga dengan akalnya, manusia dapat mempergunakan tenaga kerbau untuk
membantunya meluku sawah. Padahal, meluku sawah atau bekerja untuk
mencari pengisi perm adalah menjadi kewajiban si manusia sendiri.
Setelah dapat mempergunakan akal sehingga kerbau dapat membantu, manusia
seharusnya berterima kasih, tidak hanya kepada Sang Hyang Wisesa yang
berkahnya begitu melimpah-limpah kepada manusia, juga kepada kerbau yang
membantu nya. Kerbau mogok bekerja tentu ada sebabnya, mungkin dia
lelah, mungkin dia sakit, karena kerbau termasuk binatang, mahluk yang
selalu bergerak berdasar kewajaran, tidak seperti manusia yang lebih
condong kepalsuan dan tidak wajar. Seperti tidak wajarnya perbuatan
Paman menggebuki kerbau yang selalu menjadi pembantu Paman.”
Petani itu melongo dan hanya bisa menangkap sedikit saja dari ucapan yang mengandung arti dalam dan sukar itu.
“Akan tetapi dia tidak mau menarik luku, berarti membuat pekerjaan
terbengkalai, padahal tanah ini perlu dibuka cepat-cepat agar jangan
terlambat kalau hujan turun!”
“Sifat manusia memang tidak mengenal budi, berdasar watak ingin senang
sendiri, Paman. Kurasa sudah ribuan kali kerbau ini membantu Paman
meluku sawah, akan tetapi satu kali saja dia mogok, yang ribuan kali itu
tak teringat lagi oleh Paman sehingga Paman tega untuk menyiksanya. “
Petani itu kini melepaskan gagang lukunya dan membalikkan tubuh,
menghadapi langsung pemuda itu,tidak seperti tadi yang hanya sambil
menoleh saja.
“Eh, Kisanak, engkau masih muda akan tetapi bicaramu seperti seorang
pendeta saja! Bicara sih mudah, hanya menggoyang lidak menggerakkan
bibir, akan tetapi yang menjalankan ini yang sukar. Kalau kerbaunya
tidak mau membantu, habis aku hams berbuat bagaimana?”
“Paman keliru. Bicara tidaklah mudah, kalau kita tahu bagaimana harus
bicara. Apa yang masuk ke dalam mulut haruslah yang baik dan bersih agar
kesehatan kita selalu terjamin. Sebaliknya apa yang keluar dalam mulut
pun hams selalu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Kalau kerbau
Paman mogok bekerja karena lelah atau sakit, sebaiknya dia dibiarkan
beristirahat dan makan, sedangkan soal pekerjaan dapat Paman lanjutkan
dengan cangkul.”
Petani itu melototkan matanya.....
Komentar
Posting Komentar