PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-74
Sehabis berkata demikian Suminten bertepuk tangan tiga kali memberi
isyarat kepada kaki tangannya. Pintu kamar tahanan terbuka dan masuklah
dua orang laki-laki yang keadaannya mengerikan hati Pusporini dan
Setyaningsih.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki bertubuh besar dan bersikap kasar,
bermuka liar dengan mata terbelalak lebar penuh nafsu, mulut yang besar
dengan gigi yang menguning terkekeh-kekeh meneteskan air liur ketika
mereka melangkah maju dan terkekeh-kekeh menghampiri dua batang balok
berdiri di mana kedua orang wanita muda itu terikat tak berdaya!
Tanpa bicara sekali pun maklumlah Pusporini dan Setyaningsih, juga
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, apa yang akan dilakukan oleh dua
orang algojo setengah telanjang itu.
Setyaningsih dan Pusporini menjadi pucat wajahnya, memandang kepada dua
orang yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kasar, tubuh setengah telanjang
bulat yang berisi otot-otot melingkar seperti dadung dan begitu mereka
masuk telah tercium bau keringat yang kecut dan apek.
“Mundur kalian! Jangan ganggu isteriku dan Pusporini!” bentak Pangeran
Panji Sigit. Akan tetapi dua orang raksasa itu hanya tertawa
ha-hah-he-heh sambil langkah maju terns mendekati dua orang wanita itu.
“Kalau berani menjamah mereka, kuhancurkan lumat-lumat kepala kalian!”
Joko Pramono juga berteriak yang dijawab dengan suara terkekeh-kekeh
oleh dua orang itu.
Mereka sama sekali tidak mempedulikan ancaman kedua orang muda itu dan
berdiri di depan Pusporini dan Setyaningsih, dekat sekali. Mereka kini
kelihatan makin bernafsu dan air liur mereka menetes-netes menjijikkan.
Keadaan. mereka itu, ketika kedua orang wanita memandang wajah mereka,
mengingatkan Pusporini dan Setyaningsih akan muka dua ekor anjing
kelaparan melihat tulang. Napas mereka yang terengah engah keluar dari
mulut menimbulkan bau yang lebih menjijikkan dari pada bau keringat
mereka, seperti bau sampah membusuk. Tidak akan mengherankanlah kiranya
andai kata ada ulat-ulat berloncatan keluar dari mulut mereka, begitu
busuk baunya.
Tadinya empat orang tawanan itu menyangka bahwa dua orang raksasa ini
agaknya gagu, akan tetapi temyata tidak demikian karena kini raksasa
yang berdiri dekat Pusporini berkata, suaranya serak kasar seperti
kaleng diseret.
“Wah-wah, Kakang Suro. Aku menjadi semlengeren (silau) melihat dua orang
wanita denok montok dan segar ranum ini sehingga sukar untuk memilih.
Kalau boleh keduanya saja untukku, ha-ha-ha!”
“Heessss, Adi Digdo, biar yang putih kuning dan denok montok ini
untukku, yang manis legit itu untukmu!” jawab algojo yang berdiri di
depan Setyaningsih sambil meraba dagunya dengan kepalan tangannya yang
besar dan berbulu.
“Buaya darat, monyet kau! Celeng goteng kau! Coba lepaskan ikatanku dan
aku akan menginjak-injak hancur kepala kalian berdua babi hutan! Kalau
kalian begitu pengecut dan tidak berani melepaskan, bunuh saja kami
berdua!” teriak Pusporini yang tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, cah ayu...!” kata algojo
yang bernama Digdo sambil memandang seolah-olah hendak menelan
bulat-bulat tubuh Pusporini.
“Suro dan Digdo, jangan banyak cerewet! Lekas lakukan perintahku, tepat
seperti yang kalian ketahui. Awas, kalau tidak tepat seperti perintahku,
kusuruh penggal batang leher kalian!”
Tiba-tiba terdengar suara Suminten dari balik lubang dinding.
Dua orang algojo itu terkejut, menoleh dan menyembah.
“Renggut baju mereka sampai habis lepas!” kembali Suminten berteriak.
Dua buah lengan penuh bulu dengan jari-jari tangan sebesar pisang ambon
itu bergerak ke depan, mencengkeram baju Pusporini dan Setyaningsih.
“Breeettt... breeeettt...!”
Baju yang dipakai kedua orang wanita itu seperti kertas saja di tangan
Suro dan Digdo dan dalam sekejap mata, sekali gentak dan renggut
baju-baju itu robek semua dan terlepas dari tubuh bagian atas.
Setyaningsih dan Pusporini memejamkan mata dan mereka menjadi telanjang
dari pinggang ke atas. Dua orang algojo itu memandang sambil menelan
ludah, kedua tangan mencabik-cabik baju yang tadi menutupi tubuh atas
Pusporini dan Setyaningsih.
Diam-diam Suminten kagum dan iri hati menyaksikan keindahan tubuh atas
kedua orang wanita itu. Harus is akui bahwa biar pun tubuh atasnya
sendiri pun indah dan terawat baik, namun tidaklah memiliki kesegaran
seperti tubuh atas mereka.
Pada waktu itu, bertelanjang tubuh atas bagi wanita bukanlah merupakan hal yang terlalu berat.
Akan tetapi keadaan mereka itu berbeda lagi, mereka tengah ditelanjangi
oleh tangan kedua orang algojo itu dan hal ini merupakan penghinaan yang
amat hebat.
Joko Pramono dan Pangeran Panji Sigit meronta-ronta namun hanya berhasil
membuat rantai-rantai besar yang membelenggu mereka berkerontangan.
“Suminten, perempuan terkutuk! Bunuh saja Setyaningsih!” teriak Panji
Sigit, hampir ia terisak menyaksikan penghinaan yang dihadapi isterinya
tercinta.
“Suminten, engkau dan algojo-algojomu ini sekali waktu akan terjatuh ke
tanganku, dan awaslah akan pembalasanku atas perlakuan yang kaujatuhkan
pada Pusporini saat ini!” kata pula Joko Pramono, suaranya dingin akan
tetapi mengandung ancaman yang jelas melebihi suara halilintar
menyambar.
Suminten tersenyum penuh kemenangan. Memang itulah yang ia kehendaki.
Menyiksa batin kedua orang pria itu agar suka tunduk dan berlutut di
depan kakinya.
“Hi-hik, kalian merasa kasihan dan ngeri? Mengapa tidak menolong mereka
dan membebaskan mereka dari keadaan yang lebih hebat lagi? Mudah saja
dan ringan syaratnya, asal suka membantuku. Kalau kalian masih berkeras
kepala, dengarkan apa yang akan dilakukan oleh kedua orang algojoku ini.
Atas perintahku, mereka nanti akan merenggut lepas seluruh pakaian dua
orang wanita itu. Setelah itu, mereka berdua akan membeIai dan meremas
bagian-bagian tubuh Setyaningsih dan Pusporini, bagian-bagian yang
kalian tak ingin dijamah laki-laki lain. Setelah puas, mereka itu akan
kuperintahkan untuk memperkosa Setyaningsih dan Pusporini di depan mata
kalian sekuat mereka sampai dua orang wanita pujaan hati kalian ini
mati! Ya, akan kuperintahkan agar dua orang wanita ini diperkosa sampai
mati di sini, tiada henti-henti sampai mereka berdua ini mati atau kedua
orang algojo ini kurang kuat dan mereka yang diperkosa itu belum mati,
akan kudatangkan dua orang algojo lain yang masih segar dan kuat untuk
menggantikan mereka memperkosa Setyaningsih dan Pusporini, kemudian dua
lagi, menjadi enam orang, sepuluh orang, dua puluh, sampai seratus
orang, sampai Setyaningsih dan Pusporini kehabisan napas dan mati!”
“Perempuan iblis terkutuk “Joko Pramono memekik, wajahnya pucat kini.
“Tidak, jangan, kau bunuh saja kami, Suminten, bunuh saja kami,...!”
Pangeran Panji Sigit merintih suaranya lemah, air matanya bertitik menuruni pipinya.
Melihat keadaan suaminya seperti itu, Hati Setyaningsih seperti
diiris-iris. Ia lupa akan keadaan dirinya sendiri, lenyap rasa ngerinya
karena ia kasihan menyaksikan penderitaan bath yang ditanggung suaminya,
maka ia lalu berkata lantang setengah menjerit,
“Kakangmas Pangeran, mengapa berduka? Tubuhku ini bukanlah milik paduka,
bukan pula milikku, hanya tanah dan debu. Yang kita miliki adalah rasa
cinta kasih yang takkan lenyap dan abadi, dan kita akan dapat berkumpul
kembali setelah aku mati dan kemudian paduka menyusul. Biarlah mereka
lakukan apa saja atas tubuh bukan milik kita ini, Kakangmas.”
Semua orang tertegun bagaikan disiram air dingin mendengar ini. Suminten
merasa seperti ditampar mukanya, bahkan dua orang algojo itu sejenak
terbelalak.
“Duh Ayunda, engkau bijaksana sekali dan terima kasih...” bisik
Pusporini di sampingnya dan kini gadis ini pun dapat memandang
kekasihnya dengan tabah dan wajah berseri-seri, seolah-olah apa yang
akan dialami dan yang berangkir dengan kematian merupakan saat-saat dia
hendak melangsungkan pernikahan dengan Joko Pramono, pernikahan di
akhirat!
“Isteriku Setyaningsih yang tercinta! Maafkanlah kakanda yang diserang
kelemahan tadi. Kini hatiku lega dan marilah kita hadapi hukuman tubuh
yang penuh dosa dengan segala penyerahan kepada Hyang Widi. Suminten,
jangan mengira bahwa kejahatan dapat mengalahkan kebajikan, bahwa iblis
dapat mengalahkan dewata, lakukanlah sesuka hatimu, wahai perempuan
malang calon intip neraka!” kata Pangeran Panji Sigit.
“Ha-ha-ha, engkau mau berkata apa lagi sekarang, Suminten perempuan
rendah budi?” Joko Pramono tertawa bergelak, hatinya juga lapang setelah
mendengar ucapan Setyaningsih tadi.
Suminten memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan muka pucat. Ia
masih belum mau menerima kalah. Ia tidak percaya bahwa dua orang pria
muda itu akan kuat bertahan menyaksikan. kekasih-kekasih mereka
diperkosa dan disiksa.
“Suro dan Digdo, renggut kain-kain mereka, telanjangi mereka!” perintahnya.
Sikap dan ucapan empat orang muda itu mengandung wibawa yang amat hebat,
menggetarkan isi dada dua orang algojo yang kasar seperti binatang buas
itu sehingga gairah dan nafsu berahi mereka sudah banyak mendingin.
Akan tetapi perintah Suminten bagaikan cambuk yang memecut punggung
mereka, membuat mereka tergesa-gesa mengulur tangan meraih ke depan
hendak merenggut kain Setyaningsih dan Pusporini yang sudah memejamkan
mata sambil bersamadhi mematikan raga dan rasa, sedangkan dua orang pria
muda itu memandang dengan muka pucat akan tetapi dengan penuh
keikhlasan dan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa.
Pada saat itu terdengar jelas tarikan napas panjang yang entah dari mana
datangnya dan tiba-tiba berkelebat dua sinar kecil menyambar tengkuk
dua orang algojo itu.
Bagaikan disambar petir dua orang algojo itu yang sudah menyentuh kain
Setyaningsih dan Pusporini, mengejang dan berdiri kaku seolah-olah
mereka telah berubah menjadi dua buah arca batu!
Kembali datang menyambar sinar-sinar kecil, kini menuju ke arah
tambang-tambang kuat yang mengikat leher, lengan, dan kaki kedua orang
wanita itu dan seketika semua tambang pengikat tubuh mereka putus
seperti dikerat pisau tajam!
Keadaan ini membuat semua orang tertegun, bahkan Setyaningsih dan
Pusporini sendiri kini sudah sadar dari samadhi, membelalakkan mata
memandang semua tali pengikat yang sudah putus.
Sedemikian besar keheranan dan kekagetan mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan yang sudah bebas itu!
Hanya pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang sadar dan kini mereka
menoleh ke arah pintu dari mana tadi menyambar sinar-sinar itu, setengah
dapat menduga bahwa ada seorang sakti yang telah menolong mereka.
Akan tetapi ketika perlahan-lahan daun pintu yang berat itu terbuka,
mereka ini pun melongo keheranan karena yang muncul bukanlah seorang
kakek sakti mandraguna, juga bukan Resi Mahesapati seperti yang tadinya
disangka oleh Joko Pramono, melainkan seorang pemuda remaja berpakaian
sederhana berwajah tampan berkulit putih yang melangkah perlahan
memasuki tempat itu dengan senyum tenang penuh kesabaran di bibir!
Pemuda remaja ini bukan lain adalah Bagus Seta. Kedatangannya yang tepat
sekali pada waktunya itu merupakan hasil dari pada usaha Wiraman dan
Widawati semalam. Malam tadi, Bagus Seta masih berada di luar kota saja,
mendapatkan sebuah tempat yang amat nyaman dalam hutan sehingga ia
berhenti dan bersamadhi di tempat itu menikmati keindahan tetumbuhan dan
kebersihan hawa segar.
Akan tetapi pada malam harinya, Bagus Seta melihat sinar merah tanda
kebakaran membubung tinggi. Hal inilah yang membuat pemuda sakti
mandraguna mempercepat kepergiannya ke kota raja dan begitu memasuki
kota raja mendengar akan peristiwa ditawannya Pangeran Panji Sigit, Joko
Pramono, Setyaningsih dan Pusporini.
Disebutnya nama kedua orang wanita ini membuat Bagus Seta langsung saja
mendatangi tempat tahanan, mempergunakan kesaktiannya dan berhasil
datang pada saat yang tepat sehingga kedua orang bibinya itu tertolong.
Dengan demikian maka tidak sia-sialah kiranya pengorbanan yang dilakukan
oleh Wiraman dan Widawati. Kalau saja mereka tidak melakukan usaha itu
dan tidak terjadi kebakaran tentu kedatangan Bagus Seta akan terlambat.
Tentu saja segala macam liku-liku peristiwa yang kebetulan itu telah ada
yang mengatur-Nya dan hanya atas kehendak-Nya sajalah maka dapat
terjadi semua kebetulan itu!
Dengan langkah perlahan dan sikap tenang sekali Bagus Seta langsung
menghampiri Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, kemudian menggunakan
jari-jari tangannya yang halus itu meraih ke arah rantai baja. Terdengar
bunyi berkerotokan dan dalam sekejap mata saja kedua tangan merekapun
bebas, rantai itu patah-patah dan jatuh ke atas lantai.
Bagaikan menerima komando, tubuh Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono
meloncat ke depan dan menghantan dengan tangan yang mengandung aji
kesaktian ke arah kepala Suro dan Digdo yang masih berdiri seperti arca.
Terdengar suara keras “prakk!” dua kali dan tubuh tinggi besar kedua
algojo itu roboh dengan kepala pecah dan tewas di saat itu juga.
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono dengan sikap beringas memutar
tubuh hendak mencari Suminten, akan tetapi sudah sejak tadi wanita itu
lenyap dari balik lubang dinding, bahkan dinding itu sendiri kini tidak
berlubang lagi, tertutup oleh gerakan alat rahasia.
Karena tak dapat melihat Suminten, Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono
menjatuhkan diri berlutut di depan Bagus Seta, demikian pula
Setyaningsih dan Pusporini yang kini telah sadar dari keadaan terpesona,
merekapun cepat berlutut hendak menyembah, lupa akan keadaan tubuh atas
mereka yang masih telanjang.
“Harap jangan banyak penghormatan, kini bukan waktunya bicara, yang
terpenting harap lekas ikut bersama saya keluar dari kota raja.”
Bagus Seta menggunakan kedua tangan menyentuh pundak mereka, akan tetapi
sentuhan jari tangan itu mengandung kekuatan mujijat yang tak terlawan
sehingga keempat orang itu seperti ditarik tenaga raksasa dan bangkit
berdiri. Ucapan itu pun sekaligus mengingatkan mereka bahwa bahaya
belumlah terhindar selama mereka masih berada di tempat itu.
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono lalu menanggalkan baju
masing-masing dan memberikan baju mereka untuk dipakai oleh Setyaningsih
dan Pusporini sekedar untuk menutupi ketelanjaan tubuh atas mereka.
Kemudian mereka melangkah keluar mengikuti Bagus Seta yang tenang-tenang
saja berjalan keluar dari ruangan tahanan itu. Mereka disambut oleh
belasan orang pengawal yang bergerak kebingungan seperti rombongan semut
diganggu. Melihat ini, empat orang muda itu siap untuk mengamuk, akan
tetapi Bagus Seta berkata perlahan,
“Harap tenang dan tidak perlu melayani mereka, lebih baik cepat keluar dari sini.”
Dua pasang orang muda itu terheran. Dihadang rombongan pengawal tidak
boleh melawan, habis bagaimana akan dapat meloloskan diri? Akan tetapi
mereka berempat menjadi kagum dan terheran-heran ketika melihat pemuda
remaja itu mengembangkan kedua lengan dengan perlahan, akan tetapi
akibatnya, rombongan pengawal yang datang dari kanan kiri itu terlempar
dan roboh saling tindih seperti tertiup angin badai yang amat kuat.
Kini yakinlah hati kedua pasang orang muda itu akan kesaktian penolong
mereka dan mereka berjalan terus mengikuti Bagus Seta dengan cepat
keluar dari bangunan.
Setiap bagian yang mengandung alat rahasia menjadi macet tak dapat
bergerak karena dari jauh Bagus Seta telah menggunakan hawa sakti yang
meluncur tak tampak dari telapak tangannya untuk memukul rusak alat-alat
rahasia yang tersembunyi di balik dinding atau di bawah lantai, dan
setiap usaha para pengawal yang puluhan orang banyaknya untuk
menghalangi pelarian mereka, roboh malang-melintang dan jatuh bangun
oleh gerakan kedua lengan pemuda sakti mandraguna ini.
Tak seorang pun di antara para pengawal itu tewas, akan tetapi karena
tiupan angin kuat yang keluar dari gerakan kedua lengan pemuda baju
putih, membuat mereka menjadi gentar dan jerih.
“Harap pergunakan aji berlari cepat,” kata Bagus Seta setelah mereka berhasil keluar dari dinding istana.
Dua pasang orang muda itu cepat berlari mempergunakan ilmu mereka,
sedang Bagus Seta berlari di belakang mereka sebagai perisai. Apa bila
ada pengawal berani menghadang, pukulan-pukulan dua pasang orang muda
itu sambil berlari cukup untuk merobohkan para penghalang.
Ratusan anak panah yang diluncurkan oleh para pengawal yang melakukan
pengejaran dari belakang, runtuh semua hanya oleh lambaian tangan Bagus
Seta sehingga para pengawal menjadi makin gentar.
Akan tetapi, ketika dua pasang orang muda itu sudah hampir keluar dari
dinding kota raja melalui pintu gerbang yang terjaga kuat namun para
penjaganya kembali dirobohkan secara mudah oleh Bagus Seta, tiba-tiba
mereka tersusul oleh serombongan pengawal yang jumlahnya lima puluh
orang menunggang kuda dan dipimpin oleh Cekel Wisangkoro, Ni Dewi
Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro!
Mereka ini ternyata telah mengejar melalui pintu gerbang lain dan
memotong jalan sehingga mereka dapat menyusul, apa lagi karena mereka
menunggang kuda. Begitu melihat empat orang tawanan yang lobos bersama
penolong mereka yang muda belia dan aneh itu, tiga orang tokoh sakti ini
meloncat turun dari kuda diikuti lima puluh orang pengawal anak buah
mereka.
'Babo-babo! Siapakah gerangan bocah lancang yang berani mati membebaskan
para tawanan Kerajaan Jenggala! Mengakulah, anak muda, siapa andika
sebelum nenggalaku memenggal batang lehermu!” bentak Ki Kolohangkoro
menyembunyikan rasa ragu dan gentarnya mendengar berita betapa pemuda
berpakaian putih itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa!
Akan tetapi, sebelum Bagus Seta menjawab, Joko Pramono yang sudah
menjadi marah sekali melihat munculnya musuh-musuh besar itu, membentak,
“Ki Kolohangkoro, sekaranglah tiba saatnya kita boleh mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!”
Joko Pramono sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menyerang Ki
Kolohangkoro dan saking marahnya, begitu menyerang Joko Pramono sudah
menggunakan aji kesaktiannya yang amat ampuh, yaitu Cantuka-sekti yang
merupakan pukulan mendorong dari bawah dengan tubuh agak direndahkan
hampir berjongkok.
Ki Kolohangkoro menggereng keras dan menggerakkan nenggalanya menangkis
sambil mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi seperti ketika untuk
pertama kalinya ia bentrok dengan pemuda sakti murid Resi Mahesapati
ini, ia kalah tenaga dan tubuhnya terpental ke belakang.
Kekebalannya melindunginya sehingga hawa pukulan Cantuka-sekti itu tidak mampu merobohkannya.
Bentrokan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro ini merupakan komando
bagi para pengawal sehingga mereka menyerbu ke depan sambil
berteriak-teriak. Ni Dewi Nilamanik dan Cekel Wisangkoro sudah pula
menerjang maju, disambut oleh Pusporini yang menghadapi Ni Dewi
Nilamanik, sedangkan Setyaningsih bersama Pangeran Panji Sigit menyambut
terjangan Cekel Wisangkoro.
Serangan Ni Dewi Nilamanik yang menggunakan kebutan merah amat
dahsyatnya. Ujung kebutan yang kadang-kadang dapat lemas seperti ujung
cambuk kadang-kadang dapat mengeras dan runcing seperti ujung pedang itu
meluncur cepat ke arah leher Pusporini.
Namun secepat kilat Pusporini menggerakkan tangan kin dari samping
diputar dengan jari-jari tangan mencengkeram ujung kebutan sedangkan
tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengirim tamparan dengan Aji
Pethit Nogo yang ampuhnya menggila! Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan suara
menjerit, menarik kembali kebutannya dan menangkis tamparan dengan
kebutan yang diputar ke kiri
“Prattt!”
Ujung kebutan bertemu dengan jari tangan yang mengandung Pethit Nogo itu
menjadi bobol sedikit dan tubuh Ni Dewi Nilamanik agak terhuyung ke
belakang. Akan tetapi Pusporini juga merasa betapa jari tangannya pedas
dan panas, tanda bahwa lawannya ini bukanlah lawan yang ringan.
Yang hebat adalah Cekel Wisangkoro, murid terpandai dari Wasi Bagaspati.
Tongkatnya yang hitam berbentuk ular itu berubah menjadi gulungan sinar
yang mengurung Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih.
Suami isteri ini bertangan kosong, maka mereka cepat mengelak, kemudian
dari kanan kiri membalas dengan pukulan sakti yang mereka perdalam di
bawah pimpinan mendiang Ki Datujiwa.
Namun ternyata bahwa tingkat kesaktian suami isteri ini masih kalah oleh
tingkat Cekel Wisangkoro yang sudah tinggi sehingga sekali memutar
tongkatnya secara tepat, tidak saja cekel tua berhasil menggagalkan
serangan mereka, bahkan sebaliknya membalas dengan pukulan dan tusukan
tongkatnya bertubi-tubi membuat suami isteri itu sibuk mengelak.
Tiba-tiba gerakan tongkat ular itu terhenti di tengah udara oleh kekuatan yang tak tampak.
Ternyata Bagus Seta sudah turun tangan, menggerakkan tangannya mendorong
dengan pukulan jarak jauh, menahan gerakan tongkat sehingga suami
isteri itu dapat meloncat mundur.
Ketika Setyaningsih dan suaminya memandang, ternyata para pengawal yang
tadi menyerbu dan berada di bagian paling depan, telah roboh terjengkang
seperti yang dialami para pengawal yang menghadang di sepanjang jalan
tadi.
“Harap andika berempat cepat melarikan diri dan menanti saja di dalam hutan menuju Panjalu!”
Terdengar pemuda remaja itu berkata halus. Mendengar ini, Pusporini dan
Joko Pramono tidak suka membantah, mereka meloncat mundur karena maklum
bahwa kalau dilanjutkan melawan, biar pun mereka tidak akan kalah
menghadapi lawan itu seorang lawan seorang, namun kalau dikeroyok oleh
puluhan orang pengawal akan memakan waktu lama.
Apa lagi kalau sampai Patih Warutama datang membawa barisan, akan
berbahayalah keadaan mereka. Mereka berempat maklum akan kesaktian
pemuda remaja itu, maka ucapannya merupakan perintah bagi mereka dan
cepat mereka meloncat dan melarikan din ke selatan.
“Kejar! Tangkap tawanan yang kabur. Bunuh!” teriak Ki Kolohangkoro dan
sebagian besar para pengawal sudah berlari dan hendak menunggang kuda
melakukan pengejaran.
Mereka semua maklum bahwa kalau mereka gagal menangkap para tawanan,
mereka akan mendapat marah besar dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih
Warutama, terutama sekali mereka ngeri kalau mengingat akan kemarahan
Suminten.
Sebaliknya kalau mereka berhasil menawan kembali empat orang pelarian
itu, tentu mereka akan mendapat hadiah yang banyak. Karena inilah maka
mereka seakan-akan berlumba hendak melakukan pengejaran.
“Berhenti!” terdengar suara halus namun amat berpengaruh sehingga semua
orang seketika menghentikan gerakan mereka. Beberapa orang yang sudah
meloncat ke atas kuda dan sudah melarikannya, tiba-tiba terguling dari
atas punggung kuda ketika Bagus Seta mendorongkan tangan kirinya ke arah
mereka.
“Bocah berilmu setan! Siapakah engkau sesungguhnya berani menentang para pengawal Jenggala?”
Cekel Wisangkoro kini bertanya dengan hati tertarik karena selama
hidupnya dalam perantauan, dia belum pernah mendengar tokoh muda seperti
ini.
“Cekel Wisangkoro, ilmu apa pun juga di dunia ini kalau dipergunakan
untuk melakukan kejahatan menjadi ilmu hitam atau ilmu setan. Akan
tetapi aim akan selalu menggunakan sedikit pengertian yang kumiliki
untuk mengabdi kebenaran dan keadilan.”
“Babo-babo! Engkau telah mengenal aim?”
Kini tidak hanya Cekel Wisangkoro yang menghadapi pemuda ini, juga. Ki
Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik mendekat dan memandang penuh
perhatian, penuh takjub dan menduga-duga.
“Aku mengenal siapa andika, Cekel Wisangkoro. Andika murid utama dari
Sang Wasi Bagaspati, seorang pendatang dari Hindu yang memperjuangkan
perkembangan Agama Syiwa, bukan? Aku mengenal pula Ni Dewi Nilamanik
yang menjadi pemuka dari penyebaran Agama Bathari Durgo di Tanah Jawa,
yang menganggap dirinya sebagai penitisan Sang Bathari Durgo sendiri.
Aku mengenal pula Ki Kolohangkoro pemuka dari penyebaran Agama Bathara
Kolo di Tanah Jawa, yang mengaku dirinya sebagai penitisan Sang Bathara
Kolo sendiri. Wahai andika bertiga, mengapa mengabaikan perbedaan antara
baik dan buruk, antara salah dan benar dan menjadi hamba nafsu pribadi
yang hanya akan menimbulkan kebakaran dan kehangusan diri andika
sekalian sendiri? Manusia bebas memeluk agama apa pun juga, memilih
sesembahan mereka, bahkan bebas pula menyebarkannya. Akan tetapi, kalau
penyebaran agama itu dilakukan dengan tipu muslihat, dengan kekerasan
dan bahkan tidak segan-segan dengan kekacauan dan pembunuhan, hal ini
sudah menyeleweng dari pada kebenaran, merupakan pemerkosaan yang keji.
Mengapa andika tidak mau sadar?”
Tiga orang tokoh sakti itu terbelalak keheranan. Orang-orang seperti
mereka itu mans mungkin dapat mudah disadarkan? Betapa manusia dapat
mudah sadar dari pada penyelewengan kalau mereka menganggap bahwa
penyelewengan itu bukanlah penyelewengan melainkan kebenaran!
Berbahagialah manusia yang dapat mengenal penyelewengan mereka sendiri!
“Wahai bocah muda yang amat luar biasa. Siapakah sebenarnya andika?”
“Namaku Bagus Seta, dan sekali lagi kuperingatkan andika sekalian bahwa
usaha Negeri Sriwijaya dan Negeri Cola untuk menanamkan kuku-kuku
beracun mereka di Tanah Jawa akan mengalami kegagalan. Setiap kemenangan
dari kejahatan pasti akan tersusul, cepat atau pun lambat, oleh
kebenaran yang akan menggulung dan menghancurkannya. Belum terlambat
kalau andika insyaf dan mengundurkan difi, menyampaikan kepada Sang Biku
Janapati untuk tidak melanjutkan usaha mereka mengembangkan agama
dengan tipu muslihat dan kekarasan Terutama sekali, insyafkan mereka
bahwa angkara murka yang datang dari negara-negara asing untuk menjajah
Tanah Jawa takkan mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya mendatangkan
kehancuran dan kesengsaraan, terutama bagi fihak penjajah.”
“Babo-babo, bocah sombong! Lagakmu seolah-olah engkaulah penitisan Sang
Hyang Jagad Nata sendiri! Ataukah engkau bicara mewakili para penyembah
Sang Hyang Wishnu dan sengaja hendak menentang kami?” bentak Cekel
Wisangkoro marah.
Bagus Seta menggelengkan kepalanya dan sikapnya masih tenang sekali,
namun sepasang matanya mengeluarkan sinar yang membuat silau ketiga
orang sakti itu.
“Agaknya andika bertiga lupa akan inti sari dan sumber dari pada semua
agama yang kalian anut. Apakah perbedaan antara Sang Hyang Brahma, Sang
Hyang Wishnu, dan Sang Hyang Syiwa? Ketiganya adalah sifat dari pada
Sang Hyang Widhi Wasesa, satu-satunya kekuasaan tertinggi yang menguasai
seluruh jagad-raya seisinya. Ketiga sifat Tritunggal, disebut tiga
namun satu juga yang membuat jagad raya ini berputar terus. Kesatuan
dari tiga sifat inilah yang merupakan lingkaran tak pernah putus. Hyang
Brahma Maha Pencipta, yang mencipta seluruh alam mayapada seisinya.
Hyang Wishnu Maha Pelindung dan memelihara, yang memelihara segala
ciptaan tadi, yang bergerak maupun tidak. Hyang Syiwa Maha Pembinasa,
yang menghancurkan dan membinasakan segala ciptaan itu. Ketiganya adalah
Trimurti, selalu bersatu, tak pernah dapat terpisahkan karena ketiga
sifat ini dengan kerja sama yang wajar dan tak terelakkan membuat alam
mayapada seperti yang terjadi dahulu, yang kita lihat sekarang, dan yang
akan terjadi kelak. Sebuah raja di antara Tiga Sifat Yang Maha Kuasa
ini dipisahkan, segalanya akan terhenti. Sang Pencipta mencipta segala
benda dan mahluk sesual dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Sang Pemelihara
memelihara ciptaan-ciptaan itu agar dapat berlangsung, dan Sang
Pembinasa menghancurkan satu demi satu untuk memberi kelangsungan pula
kepada ciptaan-ciptaan baru!”
Tiga orang sakti itu mendengarkan dengan melongo. Hampir mereka tidak
percaya bahwa yang bicara di depan mereka itu adalah seorang pemuda
berusia dua puluhan tahun.....
Komentar
Posting Komentar