PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-81


Dua hari kemudian, setelah mereka tiba di kaki Gunung Wilis, rombongan lima belas orang yang dipimpin Retna Wilis ini bertemu dengan prajurit pelarian lain dari Jenggala yang berjumlah lima puluhan orang, dikepalai oleh seorang bekas perwira yang ikut melarikan diri.
Perwira ini bertubuh tinggi besar, dan sepasang matanya amat menakutkan, lebar dan agalcnya tak pernah berkedip, melotot terns seperti mata orang yang selalu marah.
“Heh, kalian juga berkeliaran sampai di sini?”
Laki-laki bermata lebar itu menegur bekas anak buahnya.
“Dan kalian mendapatkan seorang dara begin hebat? Berikan kepadaku dan kalian lebih baik menggabung dengan pasukanku, kami hendak menyerbu Wilis dan menduduki puncak itu untuk menjadi markas kita.”
Mata yang melotot itu memandang Retna Wilis penuh gairah.
“Eh... ahh... Kakang Barun... jangan bicara begitu... beliau ini adalah junjungan dan pemimpin kami... Gusti Puteri Retna Wilis. Lebih baik Andika semua menyerah dan menjadi anak buah Wilis, menyembah pemimpin kami yang sakti mandraguna ini...”
“Huah-ha-ha-ha! Apakah kalian sudah gila semua? Aku menyembah dara ini? Heh-heh, minggirlah biar kutangkap dia dan menjadi kekasihku!”
Barun sudah melangkah maju akan tetapi Retna Wilis membentak.
“Berhenti!”
Bentakan dara ini mengandung wibawa mujijat sehingga Barun tersentak kaget, tidak dapat melangkah maju lagi. Akan tetapi dasar dia seorang yang telah menganggap diri sendiri amat digdaya, hanya sebentar is terkejut dan tertawa lagi.
“Ha-ha, engkau sungguh denok akan tetapi galak. Aku senang akan dara yang penuh semangat sepertimu, manis. Namamu Retna Wilis? Aduh, terhadap aku jangan galak, bocah ayu.”
“Barun dan semua anak buahmu, lekas kalian berlutut menyembah aku. Akulah calon ratu Wilis dan calon ratu kerajaan besar yang menaklukkan seluruh kerajaan! Menyembahlah sebelum terlambat, karena sekali aku bergerak, engkau bersama teman-temanmu yang melawanku akan mampus!”
Sambil berkata demikian, ibu jari kaki Retna Wilis mencokel tanah dan segumpal tanah campur pasir melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan.
Akan tetapi Barun menoleh ke belakang, memandang kawan-kawannya dan tertawalah lelaki ini bergelak-gelak. Teman-temannya juga karena selama hidup mereka sekali ini melihat dan mendengar seorang gadis remaja mengeluarkan ancaman seperti itu.
“Huah-ha-ha-heh-heh, engkau sungguh lucu sekali! Hayo, kawan-kawan, kita maju dan melihat apa yang akan dilakukan dara jelita ini!”
Sesungguhnya, biar pun hatinya tidak percaya dan tidak takut akan ancaman Retna Wilis, namun bertemu pandang dengan dara itu mendatangkan sesuatu yang menyeramkan hatinya, maka Barun mengajak teman-temannya maju bersama.
Ada tujuh orang yang dengan penuh gairah meloncat maju mendampingi Barun, siap untuk menangkap dara yang cantik itu. Delapan orang itu lalu menghampiri Retna Wilis dengan muka menyeringai.
“Heh-heh-heh, hayo engkau akan dapat berbuat apa, bocah kewek?”
Barun mengejek, hatinya besar karena ada tujuh orang yang pembantunya mendampinginya. Jarak antara delapan orang itu dengan Retna Wilis masih ada empat meter, dan Retna Wilis yang ingin mendapatkan anak buah sebanyaknya itu membentak lagi,
“Berlututlah sebelum terlambat!”
Namun, tentu saja delapan orang laiki-laki tinggi besar itu tidak suka mentaati perintah ini dan mereka tetap melangkah maju.
“Mampuslah kalau begitu!”
Retna Wilis mengayun tangannya dan sinar hitam ke arah delapan orang itu.
Itulah tanah pasir yang dicongkel ibu jari kakinya tadi dan biar pun hanya pasir dan tanah biasa, namun berada di tangan Retna Wilis berubahlah menjadi senjata yang amat dahsyat mengerikan karena dia mempergunakan Aji Pasir Sakti! Begitu sinar-sinar hitam itu menyambar, delapan orang itu menjerit-jerit dan roboh bergulingan,berkelojotan seperti cacing-cacing terkena abu papas karena muka mereka telah ditembusi pasir-pasir halus itu sampai masuk ke dalam otak!
Sisa anak buah Barun terbelalak dan pucat sekali. Barulah mereka kini percaya bahwa gadis remaja ini amatlah sakti. Seketika kecut dan takutlah hati mereka dan cepa t-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah minta ampun.
Retna Wilis tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan, kemudian berkata,
“Akulah Gusti Puteri Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis yang tidak suka dibantah. Siapa lagi yang sudah bosan hidup?”
Kini semua orang, termasuk lima belas orang pengikutnya tadi, berlutut semua dan tidak berani berkutik. Baru sekali ini selama hidup mereka, orang-orang kasar ini benar-benar kagum, tunduk dan takut, juga merasa bangga bahwa mereka dapat menghambakan diri kepada seorang yang sesakti ini.
Dengan seorang pemimpin seperti dara ini, mereka percaya akan dapat menaklukkan seluruh kerajaan. Beramai-ramai mereka menyembah,
“Hamba sekalian taat akan segala perintah Gusti Puteri!” Demikian mereka berkata.
Dari tempat ,yang agak jauh, ada seorang laki-laki yang bersembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua peristiwa ia memandang dengan rata terbelalak, dan melihat sepak teijang Retna Wilis ketika membunuh delapan orang itu, ia bergidik dan menggumam,
“Hebat... hebat..., selama hidupku baru sekali ini menyaksikan seorang dara remaja yang sehebat itu... Ahh, kiranya Endang Patibroto sendiri tidaklah sehebat itu kepandaiannya. Barun mempunyai kesaktian lumayan, akan tetapi dengan tujuh orang kawannya terbunuh hanya oleh sambitan tanah pasir!”
Laki-laki ini diam-diam menjadi kagum sekali dan juga jerih, padahal dia bukanlah seorang lelaki biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang yang memiliki kedigdayaan, bahkan dapat disebut seorang yang sakti mandraguna karena dia ini bukan lain adalah bekas patih Jenggala, Ki Patih Warutama yang dahulu bernama Raden Sindupati!
“Ah, tidak salah. Tentu dia ini yang dahulu diambil murid Nini Bumigarba! Dan dia adalah puteri Endang Patibroto!”
Sindupati, sebaiknya kini kita menyebutnya Sindupati karena nama Warutama dahulu pun hanya nama samarannya saja, menarik napas panjang.
Dia tidak berani memperlihatkan diri karena biar pun gadis itu murid Nini Bumigarba, akan tetapi karena puteri Endang Ptibroto, dia tidak tahu bagaimana sikap gadis itu kalau melihatnya.
Akan tetapi, apakah gadis itu tahu kalau dia musuh Endang Patibroto? Ia memperkosa Endang Patibroto dan ia tidak percaya bahwa Endang Patibroto mau menceritakan aib yang dideritanya itu kepada orang lain, kepada puterinya sekali pun!
Betapa pun juga, dia harus berhati-hati dan tidak berani memperlihatkan diri. Setelah Retna Wilis mengajak anak buahnya pergi mendaki Gunung Wilis, Sindupati hanya mengikuti mereka dari jarak yang jauh dan cukup aman.
Pria yang cerdik ini segera mencari akal dan karena Retna Wilis yang membawa pasukan itu melakukan perjalanan lambat, ia mengerahkan kesaktiannya dan lari mendahului rombongan itu untuk mendaki puncak Wilis.
Mudah saja bagi Sindupati untuk mencari keterangan dan betapa girang hatinya bahwa Endang Patibroto kini tidak berada lagi di Wilis. Tadinya ketika ia melihat munculnya Endang Patibroto di Kota Raja Jenggala, ia mengira wanita itu masih memimpin Pondok Wilis. Akan tetapi setelah menyelidiki di puncak Wilis, ia mendapatkan berita yang amat menggirangkan hatinya, yaitu bahwa Wilis telah lama ditinggalkan wanita yang ditakutinya itu dan kini bahkan telah dipimpin oleh seorang “raja” baru, yang telah menaklukkan ketiga orang tokoh Wilis yang dulu menjadi pembatu-pembantu utama Endang Patibroto, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis.
Kepala atau “raja” baru ini adalah seorang manusia bertubuh raksasa yang bernama Ki Walangkoro, yang kabarnya amat digdaya dan ditakuti semua anak buah Wilis.
Kalau dulu di bawah pimpinan Endang Patibroto di situ berdiri Padepokan Wilis dan para anak buahnya disebut satria-satria Wilis, kini keadaan mereka berubah sama sekali dan kembali mereka menjadi Gerombolan Wilis yang ditakuti penduduk di sekitar Gunung Wilis. Mendengar berita ini, Sindupati cepat membuat persiapan-persiapan.
Demikianlah, ketika Retna Wilis dan lima puluh orang lebih anak buahnya mendaki sampai di lereng Wilis, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh seorang pria yang tampan dan gagah dan biar pun usianya sudah lima puluh tahun, namun masih tampan ganteng dan menarik.
Baik bentuk rambutnya, tarikan mukanya, dan pakaiannya, semua tidak ada bekas-bekasnya bahwa pria ini adalah bekas patih di Jenggala! Kini Sindupati telah berubah menjadi seorang yang sikapnya seperti seorang pertapa, halus gerak-geriknya, tenang pandang matanya.
Bahkan lima puluhan orang pengikut Retna Wilis itu tidak ada yang mengenahiya, ketika pria itu berdiri menghadang dengan sikap tenang.
Melihat keadaan dan sikap pria ini, Retna Wilis yang dapat mengenal orang pandai, melarang anak buahnya turun tangan dan dia sendiri yang melangkah, maju paling depan, memandang pria itu penuh perhatian lalu berkata,
“Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika menghadang perjalanan kami?”
Sindupati mengambil sikap seperti orang tercengang dan keheranan, lalu berkata, suaranya halus,
“Duhai puteri remaja yang mempunyai wibawa dan sinar kesaktian, adakah andika yang memimpin rombongan orang-orang gagah ini?”
Senang hati Retno Wilis mendengar ucapan yang halus dan penuh hormat ini. ia memandang dengan penuh perhatian, kemudian menjawab,
“Sungguh tepat ucapan Paman yang awas paningal. Saya Puteri Retna Wilis yang memimpin pasukan ini, hendak menghadap Ibunda Endang Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis. Siapakah andika, Paman?”
Mendengar ini Sindupati cepat membungkuk dan menyembah dengan hormat.
“Duh Sang Puteri, kiranya paduka adalah puteri ketua Padepokan Wilis! Pantas saja menyinarkan cahaya cemerlang, cahaya kesaktian yang menakjubkan. Saya bernama Adiwijaya, seorang pertapa biasa yang bertapa di Pagunungan Seribu. Telah beberapa pekan saya datang ke Wilis dengan maksud mengunjungi Padepokan Wilis yang amat terkenal, untuk menghaturkan sembah hormat kepada ketua Wilis yang saki mandraguna dan bijaksana, serta menawarkan bantuan tenaga saya yang tidak seberapa ini untuk perikemanusiaan. Siapa kira, sampai di sini saya merasa kecewa sekali karena tidak dapat berjumpa dengan ibunda yang mulia, bahkan menyaksikan kenyataan yang amat tidak menyenangkan hati.”
Retna Wilis mengerutkan alisnya.
“Ah Paman Adiwijaya, apakah yang teijadi? Ke manakah perginya ibuku dan Siapa kini yang berada di puncak?”
“Saya mendengar bahwa telah lama sekali ibunda meninggalkan Wilis dan semenjak itu, kekuasaan Padepokan Wilis berada di tangan ketiga orang gagah Limanwilis dan dua orang adiknya.”
“Ah, ketiga paman Wilis masih berada di puncak? Syukurlah!”
“Akan tetapi, Sang Puteri, ternyata keadaan tidaklah begitu menyenangkan seperti yang paduka kira. Kini puncak telah dikuasai oleh seorang ketua baru, dan Padepokan Wilis telah berubah menjadi Gerombolan Wilis!”
“Apa? Siapa yang berkuasa di sana?”
“Ketiga orang gagah Wilis telah ditundukkan oleh seorang tokoh jahat yang bernama Ki Walangkoro, seorang tokoh hitam yang kabarnya datang dari Madura.”
“Apa? Si keparat!” Retna Wilis menoleh ke belakang dan berkata kepada anak buahnya,
“Bersiaplah kalian membuktikan kesetiaan kalian kepadaku! Kita serbu puncak Wilis!”
“Hamba siap, Gusti Puteri!” Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para bekas prajurit Jenggala sehingga hati Sindupati yang kini berganti nama Adiwijaya menjadi makin kagum.
Puteri remaja ini benar-benar hebat, pikirnya. Tidak saja memiliki kesaktian yang mengerikan, juga amat berwibawa.
“Saya pun siap membantu paduka, Gusti Puteri,” katanya hormat.
Berseri wajah Retna Wilis.
“Bagus, Paman Adiwijaya. Aku girang sekali menerima bantuanmu, dan percayalah, engkau tidak akan rugi menghambakan diri kepadaku. Kelak aku akan menaklukkan seluruh kerajaan dan kalau andika memang benar setia dan berjasa, aku tidak akan melupakan bantuan-bantuanmu.”
“Hamba dapat melihat seorang yang sakti dan pandai, Gusti Puteri, dan hamba akan mempertaruhkan jiwa raga hamba untuk membela Paduka.”
“Bagus! Hayo kita mendaki terus!”
Sebagai jawaban ucapan Retna Wilis yang penuh semangat ini terdengarlah sorak sorai lima puluh orang anak buahnya itu dan tiba-tiba terdengar sorakan jawaban yang bergemuruh dari atas.
Retna Wilis mengangkat tangan mencegah anak buahnya bergerak maju dan sambil bertolak pinggang dara perkasa ini memandang ke depan. Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis dan berdiri di sebelah kanannya, juga memandang ke depan.
Pasukan yang turun dari atas puncak itu jumlahnya seratus orang lebih, dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar seperti raksasa. Sangat besar dan tinggi tubuh kakek ini sehingga tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis dan dua orang adiknya yang termasuk orang-orang tinggi besar kelihatan kecil, hanya setinggi pundak kakek itu!
Rombongan ini bersorak gembira ketika melihat ada rombongan lain yang mereka anggap sebagai calon-calon korban yang tentu akan dapat dipreteli pakaian dan senjatanya, apa lagi melihat ada seorang gadis remaja cantik sekali berada di antara mereka.
Akan tetapi tiba-tiba mereka itu berhenti ketika terdengar gadis remaja itu mengeluarkan suara yang amat nyaring dan membuat jantung mereka bergetar.
“Hai para satria Wilis! Beginikah kalian menyambut gusti puteri kalian? Paman Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis, apakah mata kalian sudah lamur sehingga tidak mengenal aku?”
Limanwilis dan kedua adiknya, juga para bekas anak buah Endang Patibroto, memandang dengan mata terbelalak. Anak tetapi anak buah-anak buah baru yang tadinya merupakan anak buah Ki Walangkoro yang kini digabungkan dengan anak buah Wilis, tertawa bergelak.
“Waduh, perawan remaja yang genit dan galak!”
Adapun Ki Walangkoro yang juga memiliki kesaktian dan bermata awas, dapat mengenal sinar kesaktian memancar keluar dari wajah dara perkasa itu, menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya seperti geluduk di musim hujan,
“Heh, babo-babo, siapakah andika bocah kemarin sore yang bermulut benar?”
“Hemm, engkau tentu si Walangkoro yang mengacau di Wilis! Mau tahu siapa aku? Akulah Perawan Lembah Wilis, akulah Puteri Retna Wilis. Setelah ibuku Endang Patibroto meninggalkan Wilis, andika lancang berani mengacau di sini, ya? Agaknya engkau sudah bosan hidup, Walangkoro!”
Kini terdengar seruan-seruan kaget dan heran dari mulut Limanwilis dan kedua orang adiknya, juga dari anak buah Wilis. Mereka teringat dan memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Anak perempuan yang dulu lenyap diculik nenek mengerikan itu kini telah pulang dan menjadi seorang dara remaja yang serupa benar dengan Endang Patibroto, sama cantik jelita dan sama gagah, bahkan jauh lebih galak dan berwibawa!
Akan tetapi karena mereka itu sudah merasa menyeleweng dan menghamba kepada pemimpin baru, dan karena kehidupan sebagai gerombolan lebih menyenangkan bagi mereka dari pada hidup sebagai anggota-anggota padepokan yang berdisiplin dan tidak memungkinkan mereka mengumbar nafsu angkara murka, mereka diam saja dan hendak melihat dulu bagaimana sikap pemimpin mereka yang baru dan yang sudah mereka ketahui kesaktiannya itu.
“Babo-babo, si keparat!” Ki Walangkoro memaki. “Dahulu aku mencari Endang Patibroto untuk kutundukkan dan kuangkat menjadi permaisuriku, akan tetapi dia telah minggat. Kini muncul puterinya yang lebih jelita, lebih denok dan lebih muda. Retna Wilis, eman-eman engkau bocah ayu kalau berani menentang Ki Walangkoro! Lebih baik engkau menyerah, menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sehingga engkau tetap akan disembah-sembah seluruh anak buah di Wilis. Menyerahlah, wong ayu!”
Ki Walangkoro bukanlah seorang pria yang mata keranjang, akan tetapi menyaksikan seorang dara yang begini denok dan jelita, gairahnya timbul dan ia hampir tidak kuat menahan gelora nafsunya, ingin terus memondong dara itu dan dibawa lari ke dalam kamarnya.
“Jahanam bermulut kotor!”
Tiba-tiba Adiwijaya meloncat maju, gerakannya trengginas dan sikapnya masih tenang, namun matanya menyorotkan kemarahan. Sekali ini Adiwijaya benar-benar marah, bukan pura-pura atau hendak mencari muka kepada Retna Wilis.
Entah bagaimana, begitu bertemu dengan dara ini, hatinya benar-benar tunduk dan timbul rasa kagum, menyayang dan hormat, sehingga ia tidak suka mendengar orang lain memaki dan menghina gadis itu. Ia lalu menoleh kepada Retna Wilis dan berkata dengan halus,
“Gusti Puteri, perkenankanlah hamba menghajar buto (raksasa) yang bermulut lancang dan kotor ini!”
Berseri wajah Retna Wilis.
“Paman Adiwijaya, dia memilild sedikit kepandaian, apakah andika mampu melawannya?”
“Gusti Puteri, untuk memukul seekor anjing korengan mengapa harus menggunakan tongkat besar? Sayang tangan Paduka yang akan menjadi kotor kalau menyentuh tubuhnya yang menjijikkan. Hamba akan mencobanya dan hamba rela mati membela Paduka.”
Retna Wilis tersenyum. Sikap orang tua ini benar-benar menyenangkan hatinya.
“Jangan khawatir, Paman. Aku tidak akan membiarkan kadal buduk ini mencelakakan seorang pembantu sebaik Paman. Maju dan lawanlah!”
Adiwijaya lalu membalikkan tubuhnya lagi menghadapi Ki Walangkoro, dan dengan sikap tenang ia mencawatkan sarungnya ke belakang dan mengikatkan ujungnya kuat-kuat di pinggang.
Kemudian ia berkata lantang,
“Ki Walangkoro! Wilis adalah milik Gusti Endang Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis, akan tetapi engkau telah lancang merampasnya selagi ketuanya tidak ada. Kini Gusti Puteri Retna Wilis telah pulang dan kalau memang engkau tahu diri, sebaiknya engkau bertekuk lutut dan menakluk, bersama semua pengikutmu menghambakan diri kepada Gusti Puteri. Kalau engkau merasa kuat, cobalah engkau melawan aku. Adiwijaya siap menghadapimu membela kedaulatan Gusti Puteri Retna Wilis!”
Ki Walangkoro memandang Adiwijaya dengan tertawa mengejek dan memandang rendah.
“Namamu Adiwijaya, heh? Omonganmu sungguh menjemukan! Dilihat jumlahnya pengikut, pasukanku dua kali lebih banyak dari pada pengikut Retna Wilis! Dilihat pemimpinnya, aku jauh lebih patut dan lebih gagah dari pada engkau yang mengaku menjadi pembantunya. Adiwijaya, kulihat engkau lumayan juga, memiliki kesaktian. Apakah tidak lebih baik engkau menjadi pembantuku saja dan Retna Wilis menjadi isteriku? Dengan demikian, keadaan kita menjadi lebih kuat!”
“Si bedebah!”
Teriakan ini keluar dari mulut Retna Wilis dan gadis ini saking marahnya sudah mengipatkan lengan lengannya ke arah Ki Walangkoro, dan anehnya tubuh raksasa yang tinggi besar itu terpelanting seolah-olah ditumbuk palu godam atau diseruduk banteng.
Padahal jarak antara dia dan gadis itu ada tiga meter dan dia terpelanting roboh hanya oleh angin kipatan tangan dara perkasa itu! Kembali Adiwijaya kagum dan ngeri. Dara itu benar-benar sakti mandraguna dan ia bergidik memikirkan betapa ngerinya kalau harus bertanding melawan gadis yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia ini!
Akan tetapi Ki Walangkoro adalah orang kasar. Dia hanya terbelalak dan merasa heran mengapa dadanya seperti didorong angin badai yang dahsyat tadi. Dia tidak mau mengerti bahkan menjadi marah karena malu. Dengan suara menggereng seperti harimau terluka ia menubruk maju, maksudnya hendak mencengkeram Retna Wilis akan tetapi ia disambut oleh pukulan tangan Adiwijaya ke arah dadanya.
“Desss!”
Ki Walangkoro menangkis dan kedua lengan yang amat kuat bertemu, akibatnya tubuh Adiwijaya terlempar ke belakang sedangkan Ki Walangkoro terhuyung saja.
“Huah-ha-ha-ha! Adiwijaya, sedemikian saja kekuatanmu dan engkau berani menantang Ki Walangkoro?”
Raksasa itu terbahak dan anak buahnya juga tertawa-tawa girang karena dalam gerakan pertama ini jelas tampak bahwa pemimpin mereka lebih besar tenaganya.
Namun Retna Wilis memandang tenang dan diam-diam ia merasa kagum dan senang terhadap pembantunya ini. Dalam pertemuan tenaga tadi, ia pun maklum bahwa dalam hal tenaga kasar, Ki Walangkoro memang kuat, akan tetapi biar pun tubuh pembantunya mencelat ke belakang,bukan sekali-kali karena terpental, melainkan karena sengaja pembantunya itu menggunakan tenaga lawan untuk meloncat ke belakang sehingga mematahkan daya pukulan lawan.
Sebaliknya, Ki Walangkoro yang menerima pukulan itu dengan tangkisan yang didasari tenaga kasar, biar pun kelihatannya hanya terhuyung bahkan mengeluarkan ucapan mengejek, sebetulnya di dalam dada raksasa ini terasa sesak dan perutnya mual.
“Tertawalah, Ki Walangkoro. Akan tetapi aku belum kalah!”
Adiwijaya menjawab dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan amat cepatnya, kemudian begitu kaki tangannya bergerak, dia sudah mengirim pukulan bertubitubi dengan kedua tangan disusul tendangan kakinya mengarah lambung.
“Eh-eh...!” Ki Walangkoro mendengus, agak bingung menyaksikan lawannya bergerak begitu cepat sehingga tubuh lawannya seolah-olah menjadi empat.
Dia menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan kekar itu untuk menangkis, juga untuk balas menyerang dengan cengkeraman dan pukulan.
Akan tetapi ia kalah cepat dan ketika ia terlambat menangkis, perutnya terkena tendangan Adiwijaya sehingga terdengar suara “bukkk!” yang keras.
Amat mengherankan ketika terlihat oleh para penonton akibat tendangan ini karena tubuh Adiwijaya sendiri yang terlempar ke belakang! Perut itu amat keras dan kuat, dan memang tubuh Ki Walangkoro memiliki kekebalan yang mengagumkan.
“Ha-ha-ha! Mampuslah kau, Adiwijaya!”
Ki Walangkoro menubruk maju seperti seekor gajah menggulingkan din. Baru terhimpit tubuh raksasa itu saja sudah akan cukup membuat tubuh Adiwijaya gepeng. Akan tetapi dengan cekatan sekali tubuh Adiwijaya bergulingan dan Ki Walangkoro menubruk tanah sehingga debu mengebul tebal.
“Desss!”
Sebelum Ki Walangkoro sempat mengelak ketika ia menerkam tanah tadi, Adiwijaya yang bergulingan sudah cepat menghantam ke arah tubuh raksasa itu sambil bergulingan. Gerakan ini tidak tersangka-sangka, bahkan Retna Wilis sendiri memandang kagum.
Baru sekali ini ia melihat gaya yang sedemikian anehnya dalam pertempuran, mengelak sambil bergulingan akan tetapi dalam bergulung-gulung ini dapat menyerang lawan. Ternyata cara bergulingan itu bukan sembarang mengelak, melainkan bergulingan dengan teratur, seperti langkah-langkah yang diperhitungkan.
Retna Wilis tidak tahu bahwa itulah Aji Trenggilingwesi yang memang menjadi keahlian Adiwijaya atau Raden Sindupati. Seperti pernah diceritakan, Adiwijaya ini dulunya adalah seorang perwira Jenggala yang sebetulnya sudah mendapat kepercayaan sang prabu dan menjadi pengawal istana.
Ketika ia berani mengganggu seorang puteri, maka ia melarikan diri ke Balidwipa dan di sana dalam perantauannya, dia mempelajari bermacam ilmu kepandaian sehingga ia menjadi seorang sakti. Setelah memiliki kepandaian, dia menghambakan diri kepada Adipati Blambangan yang kemudian hancur oleh serbuan bala tentara gabungan dari Jenggala dan Panalu, yang dipimpin oleh Endang Patibroto dan Pangeran Darmokusumo.
Kembali Raden Sindupati menjadi seorang kelana dan setelah berganti nama menjadi Warutama ia berhasil menduduki pangkat patih di Jenggala, menjadi sekutu Suminten dan Pangeran Kukutan.
Kini, kembali dia berganti nama Adiwijaya, mukanya telah berubah, jenggotnya yang rapi dan gemuk menutupi luka di dagu, kumisnya pendek, sikapnya berubah sama sekali dan memang Raden Sindupati memiliki kepandaian menyamar. Kalau perlu, dia dapat menyamar sebagai seorang wanita!
Kepandaian seperti ini pada waktu itu disebut aji mencalaputera-mencala-puteri.
Pukulan Adiwijaya yang mengenai tengkuk Ki Walangkoro amat hebatnya. Biar pun raksasa ini terkenal kebal dan kuat, namun pukulan yang datangnya tak tersangka-sangka dan disertai tenaga sakti yang kuat, juga mengenai tengkuknya, membuat ia terjungkal dan beberapa lamanya dunia ini seperti diombang-ambingkan ombak besar baginya dan di slang hari itu turun hujan bintang!
Ki Walangkoro bangkit dan menggoyang-goyang kepalanya yang besar, seperti seekor harimau menggoyang badannya yang basah, kemudian matanya menjadi merah saking marahnya ketika ia memandang Adiwijaya yang berdiri tenang di depannya sambil bertolak pinggang.
Ia menggereng, kemudian menerjang maju seperti badai mengamuk. Kedua lengannya yang panjang menyambar dan sebelum Adiwijaya sempat mengelak, ia sudah kena ditangkap pinggangnya, diangkat dan dibanting.
“Brukkkk...!”
Tubuh Adiwijaya dibanting, debu mengebul dan Adiwijaya hanya gelayaran (terhuyung) saja karena ketika dibanting dia telah dapat menggunakan kegesitannya sehingga dapat meloncat lagi ke atas.
“Engkau kuat sekali, Walangkoro!” kata Adiwijaya dan pada saat Walangkoro menubruk lagi, dia sudah melesat ke samping, menyambar lengan raksasa itu dari kanan dan memutar lengan, terus mengangkat dan membanting.
“Bresss...!”
Debu mengebul lebih tebal dan tubuh raksasa yang terbanting itu sejenak tak dapat bergerak.
Kepala Ki Walangkoro pening dan setengah merangkak, baru ia dapat bangun kembali. Keheranan mulai terbayang di sepasang matanya yang lebar.
Tanpa menjawab ia lalu maju memukul Adiwijaya yang hendak memperlihatkan kedigdayaannya kepada Retna Wilis, sengaja mengerahkan tenaga dalam dan menerima pukulan lawan. Dadanya terpukul, tubuhnya bergoyang dan kakinya mundur dua langkah, akan tetapi mulutnya tetap tersenyum. Kemudian ia balas memukul dan sekali ini agaknya Ki Walangkoro juga ingin memamerkan kekebalannya.
Ketika kepalan tangan Adiwijaya mengenai dadanya, tubuhnya hanya bergoyang, ia tidak melangkah mundur, akan tetapi napasnya menjadi sesak dan tanpa dapat ditahannya lagi ia menggunakan kedua tangan menekan-nekan dadanya!
Para anak buah kedua pihak bersorak-sorak menyaksikan pertandingan hebat ini. Dan bagaikan dua ekor ayam jantan, dua orang perkasa ini lalu saling menerjang lagi, lebih dahsyat dari pada tadi.
Mereka saling pukul, saling tendang, bergumul, piting-memiting, banting-membanting sehingga debu mengebul tinggi. Diam-diam Retna Wilis yang memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi girang dan kagum. Dia maklum bahwa keduanya dapat menjadi pembantu -pembantunya yang cakap, maka dia tidak ingin melihat seorang di antara mereka tewas.
Ketika melihat betapa makin lama Ki Walangkoro makin terdesak, makin sering menerima pukulan dan sudah terhuyung, ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan, raksasa yang amat berani dan pantang mundur itu tentu akan tewas.
“Cukuplah Paman Adiwijaya!” Ia berseru.
Mendengar ini, Adiwijaya yang sudah hampir menang itu cepat meloncat ke belakang. Ia pun seorang cerdik, maklum bahwa junjungannya yang baru ini ingin menarik raksasa itu sebagai pembantu. Ia pun maklum bahwa dalam menyusun kekuatan, makin banyak pembantu yang digdaya makin baik, maka ia mundur sambil tersenyum dan berkata kepada Ki Walangkoro,
“Walangkoro, andika mengagumkan sekali! Andika seorang yang digdaya!”
Ki Walangkoro berdiri dengan napas terengah-engah dan tubuhnya yang besar dan kokoh seperti batang pohon beringin itu penuh keringat. Ia pun memandang kagum kepada Adiwijaya. Biar pun dia seorang yang kasar, namun dia tidak bodoh dan dia mengenal orang pandai, harus mengaku bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, dia tidak akan kuat bertahan lagi.
Adiwijaya terlampau kuat baginya. Pukulan Adiwijaya tidak terlalu keras, akan tetapi mengandung tenaga mujijat yang seakan-akan menggetarkan isi dadanya. Selain itu, juga Adiwijaya memiliki kecepatan gerakan yang sukar ia lawan sehingga dalam pertandingan itu, dia lebih banyak menerima pukulan dari pada memukul.
“Heemmm... harus kuakui bahwa andika benar-benar digdaya. Kalau andika yang hendak merampas kedudukan di Wilis, aku suka mengalah dan suka menjadi pembantu andika karena jelas bahwa aku akan kalah kalau pertandingan dilanjutkan. Akan tetapi kalau dia ini... hemmm, bagaimana seorang laki-laki perkasa macam kita ini harus menghambakan diri kepada seorang wanita yang masih bocah?”
“Ha-ha-ha, Walangkoro, percuma saja menganggap dirimu digdaya dan berpengalaman kalau matamu masih begitu buta tidak dapat melihat seorang sakti mandraguna,” kata Adiwijaya sambil tertawa.
Melihat kepala gerombolan Wilis itu agaknya belum mau tunduk kepadanya, Retna Wilis lalu melangkah maju dan berkata,
“Paman Walangkoro, kalau dalam segebrakan saja aku dapat merobohkan engkau, apakah engkau masih belum percaya akan kesaktianku?”
“Apa? Andika akan merobohkan aku dalam segebrakan saja? Wahai, puteri muda belia yang suaranya nyaring melebihi halilintar, yang bicaranya tinggi mengatasi puncak Wilis! Kalau betul demikian, aku Ki Walangkoro akan menyembah telapak kaki andika!” kata Ki Walangkoro sambil menyeringai, tak percaya jika ada orang yang mampu merobohkannya dalam segebrakan saja, apa lagi seorang wanita setengah dewasa seperti Retna Wilis.
Retna Wilis tersenyum, tapi senyumnya hanya sedetik, cemerlang seperti menyambarnya kilat di angkasa.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar