PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-84
“Retna Wilis...!”
Bentakan Endang Patibroto amat janggal didengar. Mengandung pencetusan rasa rindu, dicampur kemarahan, teguran, dan kedukaan.
Retna Wilis memandang ibunya, kemudian pandang matanya bergerak,
memandang ke arah tubuh sepuluh orang prajurit yang kepalanya hancur,
memandang mayat Ki Walangkoro yang tidak terluka, kemudian melihat
kepada tiga orang kakak beradik Wilis yang mukanya bengkak-bengkak dan
masih merintih-rintih, kepada para prajurit yang berlutut di depan
ibunya, akhirnya ia kembali memandang ibunya.
“Ah, kiranya Kanjeng Ibu yang datang mengamuk. Hemmm, orang-orang sial itu memang patut dibunuh, berani menentang Ibu...”
“Retna Wilis! Apa yang telah kaulakukan di sini?”
Retna Wilis yang sudah menghampiri ibunya untuk memeluk, menghentikan langkahnya dan dengan sikap dingin menggerakkan pundaknya.
Ibunya datang-datang marah kepadanya dan tidak ada sikap mesra, maka kerinduannya pun menipis dan kegirangannya lenyap.
“Apa yang kulakukan, Ibu? Tidak ada hal yang menyusahkan hatimu telah
kulakukan. Bahkan sebaliknya.Anakmu datang sebagai seorang ratu besar
yang berhasil menghimpun tenaga dan berhasil menundukkan banyak
kadipaten...”
“Retna Wilis! Mengapa engkau menyeleweng seperti ini?”
“Eh, Ibu Menyeleweng bagaimanakah yang Ibu maksudkan? Aku membentuk
kerajaan dan akan kutaklukkan seluruh kerajaan, termasuk Panjalu dan
Jenggala! Kelak akulah yang akan menjadi ratu dari seluruh Jawa-dwipa!
Dan ibu akan menjadi ibu suri yang disembah-sembah manusia sejagat!”
“Gila! Apakah engkau sudah gila, Retna Wilis? Tidak boleh engkau
melakukan hal ini! Ibumu adalah kawula Panjalu dan ayahmu adalah Patih
Panjalu. Bagaimana engkau berani memberontak terhadap Panjalu? Engkau
tidak boleh melakukan hal ini!”
“Hemm! Siapa yang hendak melarangku, Ibu? Tidak ada orang yang dapat melarangku!”
“Aku yang melarangmu!”
“Ibu, engkau sungguh tidak adil. Ingatlah semenjak kecil aku Ibu bawa
lari dalam kandungan sampai besar di Wilis ini, jauh dari ayah yang
tidak mempedulikan nasib kita. Ibu terlunta-lunta, dan bukan itu saja.
Aku mendengar riwayat Ibu sebagai mantu Jenggala yang disia-siakan,
dimusuhi oleh Kerajaan Jenggala dan Panjalu, difitnah, bahkan pangeran
yang menjadi suami ibu dibunuh! Ibu telah dihina dan dibikin sengsara
hidup Ibu, dan Ibu masih mau menjadi kawula Panjalu? Apakah kita ini
kalah oleh keluarga Kerajaan Panjalu dan Jenggala? Apakah kita harus
merangkak-rangkak di depan ayah yang telah menyia-nyiakan Ibu? Tidak,
seribu kali tidak! Aku berhasil mendapatkan ilmu, dan ilmu ini akan
kupergunakan untuk membalas dendam penderitaan Ibu. Akan kutaklukkan
Panjalu dan Jenggala. Akan kupaksa ayah bertekuk lutut di depan ibu.
Akan kuangkat Ibu menjadi ibu suri yang dimuliakan orang sejagat!
Akan...”
“Cukup omongan gila itu! Retna Wilis, anak siapakah engkau?”
“Anak Ibu, tentu saja kalau Ibu mau mengakuinya.”
“Hemm, kalau engkau masih ingat bahwa engkau adalah anakku, engkau harus
mentaati perintahku! Mulai hari ini juga, bubarkan Gerombolan Wilis
ini, bubarkan kerajaanmu dan engkau ikutlah bersamaku ke Panjalu,
bertemu dengan ayahmu, berkumpul dengan semua keluarga. Tahukah engkau
bahwa bibimu Setyaningsih kini telah menjadi ratu di Jenggala? Dia telah
menjadi permaisuri raja di Jenggala! Dan kita semua sekeluarga akan
menjadi satu, betapa bahagianya, Nak...”
Leher Endang Patibroto serasa tercekik oleh keharuan ketika ia mengeluarkan ucapan ini.
Akan tetapi Retna Wilis tersenyum pahit dan menggeleng kepalanya.
“Tidak, Ibu. Aku tidak sudi mengemis-ngemis anugerah orang lain. Aku
tidak sudi membonceng kemuliaan orang lain. Sebaiknya kalau Ibu merestui
cita-citaku dan ikut membantuku. Ingat, Ibu. Dahulu Endang Patibroto
merupakan tokoh wanita tanpa tanding. Kalau kini Endang Patibroto
bergerak di samping puterinya, Retna Wilis, kutanggung dunia ini akan
berada di telapak tangan kita!”
“Dan engkau hendak melawan dan menentang ayahmu yang menjadi patih di
Panjalu? Menentang bibimu yang menjadi permaisuri di Jenggala?”
“Kalau perlu, apa boleh buat. Aku akan terpaksa melawan dan menundukkan
siapa saja yang menentangku, yang menghalangi cita-citaku.”
“Anak durhaka, kalau begitu, apakah engkaupun hendak menentang aku?” Endang Patibroto sudah mulai marah lagi.
“Ibu, aku tidak akan menentang siapa saja, apa lagi Ibu. Aku hanya melawan siapa pun juga yang menentangku.”
“Bagus! Kalau aku melarangmu melanjutkan cita-cita gila ini? Kalau aku,
ibumu sendiri, menentangmu? Apakah engkau juga hendak melawan aku?”
Retna Wilis tersenyum dingin sehingga Endang Patibroto sendiri yang
biasanya amat digentari orang, kini merasa mengkirik. Senyum puterinya
itu amat manis, akan tetapi seperti senyum iblis yang mengandung ancaman
maut!
“Tidak ada seorang pun di dunia ini, juga lbu sendiri tidak, yang akan
dapat menghalangi cita-citaku, yang akan menghentikkan usahaku
menundukkan dunia, kecuali kematian.”
“Anak durhaka, kalau begitu aku lebih suka melihat anakku mati dari pada melihatnya hidup tersesat!”
“Dm hendak membunuhku? Tidak akan bisa, Ibu Ibu takkan dapat menangkan
aku. Lebih baik Ibu hidup mulia dan bahagia di sini, kusembah-sembah
menjadi junjunganku. Atau kalau Ibu lebih suka menjauhiku, kembalilah
saja Ibu kepada suami Ibu, dan harap jangan mencampuri urusanku.”
“Bocah iblis! Aku sudah melahirkan engkau, aku pula yang membunuh engkau!”
Endang Patibroto membentak dan meloncat maju mengirim serangan maut.
Wanita perkasa ini dengan hati hancur melihat kenyataan betapa anaknya
benar-benar telah terpengaruh watak yang aneh dan seperti iblis, dan
kalau dibiarkan, tentu akan menimbulkan malapetaka dan terutama sekali
akan merusak dan mencemarkan nama baik orang tuanya.
Dia mengenal puterinya dan tahu bahwa bujukan-bujukan takkan berhasil
lagi kalau Retna Wilis sudah mengambil keputusan seperti itu.
Dari pada melihat puterinya yang tercinta menyeleweng, menjadi
pemberontak, mengacaukan kerajaan-kerajaan, menimbulkan malapetaka dan
pembunuhan-pembunuhan akibat perang yang ditimbulkan, mendatangkan
kedukaan kepada semua keluarga, lebih baik ia melihat puterinya itu mati
di depan kakinya sendiri.
Karena ia dapat menduga bahwa sebagai murid Nini Bumigarba, puterinya
ini tentu memiliki kesaktian yang luar biasa, maka sekali menyerang
Endang Patibroto sudah meloncat dengan gerakan Bayutantra dan tangan
kanannya yang terbuka telah menampar muka Retna Wilis dengan Aji Gelap
Musti.
“Plakkk!”
Pipi kiri Retna Wilis yang berkulit halus itu kena ditampar karena
memang dara perkasa ini sama sekali tidak mengelak, hanya mengerahkan
kekuatan saktinya melindungi kepalanya. Akan tetapi ia tidak roboh,
hanya bergoyang sedikit. ia telah menerima tamparan sakti ibunya itu
dengan mata terbuka, berkedip pun tidak. Bibirnya sedikit pecah ujungnya
sehingga meneteslah darah dari ujung mulut.
“Retna Wilis... Anakku...!”
Endang Patibroto menjerit dan menubruk puterinya, merangkul, menciumi
muka anaknya, mencium beberapa tetes darah yang menitik di pipi itu.
“Retna Wilis...ah, betapa engkau menyiksa hati ibumu! Anakku, mengapa
engkau tidak mentaati permintaan ibumu? Marilah, Angger,anakku bocah
ayu, marilah engkau ikut bersama ibumu...!”
Dua titik air mata menetes dari sepasang mata Retna Wilis. Akan tetapi
mulutnya tersenyum dingin dan biar pun ia dipeluk dan dibelai, diciumi
ibunya, ia tetap tenang, hanya mengelus pundak ibunya.
“Ibu, mengapa pula ibuku sendiri yang hendak menghalangi cita-citaku? Mengapa Ibu hendak merusak kebahagiaanku?”
“Engkau keliru, Retna. Cita-cita itu tidak akan membawamu kepada
kebahagiaan, melainkan kesengsaraan karena pelaksanaannya akan
menimbulkan bencana hebat. Kebahagiaanmu adalah bersama ibumu, bersama
ayah dan keluargamu. Marilah Retna, percayalah bahwa ibu menentang
kehendakmu ini demi cintanya kepadamu. Marilah, Anakku, sebelum
terlambat...”
“Tidak Ibu Terserah penilaian Ibu, akan tetapi aku tetap akan melanjutkan cita-citaku ini.”
Perlahan-lahan Endang Patibroto melepaskan pelukannya dan melangkah
mundur. ia terisak menahan tangis, memandang tajam lalu berkata lirih,
“Kalau begitu, sebelum engkau menyebar kematian di antara manusiamanusia yang tidak berdosa, lebih dulu kaubunuhlah ibumu ini!”
Endang Patibroto kini sudah marah kembali, kemarahan yang bercampur dengan putus asa.
Hatinya sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk keris. Anaknya yang begini
cantik jelita, begini gagah perkasa, begini sakti sehingga tamparan
Gelap Musti diterimanya tanpa berkedip dan hanya membuat ujung bibirnya
berdarah sedikit.
Betapa akan bangga hatinya, betapa akan bahagia hatinya kalau dapat
menuntun anaknya ini dan memperkenalkannya kepada ayah anak ini, Ki
Patih Tejolaksono. Akan tetapi kenyataannya adalah sebaliknya, amat
pahit dan menyakitkan hatinya.
“Ibu, lebih baik Ibu pulang kembali saja ke Panjalu.”
Retna Wilis berkata dan sikapnya dingin sekali.
“Engkau atau aku harus mati di sini!”
Endang Patibroto membentak dan kini ia maju menyerang sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Wanita ini telah mengeluarkan Aji Sardulo Bairowo dan pekiknya
melengking tinggi menggetarkan permukaan lembah gunung Wilis. Semua anak
buah Wilis yang berdatangan di tempat itu, terkejut mendengar pekik
ini, jantung mereka tergetar dan mereka yang tidak kuat sudah jatuh
berlutut dengan tubuh menggigil, yang agak kuat masih berdiri dengan
muka pucat dan mata terbelakak memandang ibu dan puterinya yang hebat
itu.
Pekik Sakti Sardulo Bairowo sama sekali tidak mempengaruhi Retna Wilis,
dan melihat pukulan ibunya yang amat hebat dan ampuh menghantam
kepalanya, Retna Wilis menggerakkan lengan menangkis.
Dua lengan yang sama halusnya bertemu dahsyat dan akibatnya tubuh Endang
Patibroto terpelanting! Wanita perkasa itu mendengus marah dan
penasaran, meloncat bangun dan menerjang kembali.
Retna Wilis yang maklum akan kesaktian ibunya, sudah mengerahkan aji
kesaktiannya ke dalam kedua lengannya, lalu menangkis kembali. Dan
sekali lagi tubuh ibunya terpelanting.
Namun Endang Patibroto sudah bangkit dan menyerang lagi.
Wanita yang hancur hatinya ini sudah mengambil keputusan nekat untuk
mengadu nyawa dengan anaknya. Ia menyerang secara bertubi-tubi. Retna
Wilis hanya mengelak dan setiap kali ia menangkis ibunya tentu
terguling, akan tetapi tidak pernah ia balas memukul ibunya.
Pertandingan ini berjalan seru dan lama sekali, akan tetapi setiap kali
bertemu lengan, selalu Endang Patibroto yang terguling roboh. Makin lama
Endang Patibroto menjadi makin penasaran dan marah, akhirnya ia menjadi
mata gelap.
Sambil menyerang, ia melepaskan banyak panah tangan yang menyambar seperti kilat cepatnya menuiu tubuh anaknya.
Retna Wilis mengeluarkan suara pekik melengking dan semua anak panah
yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak sebatang pun dapat melukai
kalitnya!
“Ibu takkan menang melawanku, lebih baik ibu pergi.”
“Anak durhaka!” Endang Patibroto menyerang lagi, kini pukulan Wisangnolo
yang ia pergunakan amat dahsyatnya karena ia telah mengerahkan seluruh
tenaganya. Retna Wilis mendorongkan tangannya memapaki telapak, tangan
ibunya.
“Desss!”
Dua tenaga mujijat bertemu dan terdengar Endang Patibroto mengeluarkan
rintihan lirih dan tubuhnya yang terguling lagi tak dapat bangun kembali
karena ia telah roboh pingsan, tergetar oleh hawa pukulannya sendiri
yang membalik ketika terbentur hawa sakti dari tangan Retna Wilis.
Sejenak Retna Wilis berdiri termangu memandang tubuh ibunya. Ia
menggunakan ujung baju menghapus keringat di dahinya. Ibunya adalah
seorang lawan yang tangguh dan andai kata dia tidak memiliki tenaga
sakti yang hebat, tentu dia sendiri sudah terluka parah di sebelah dalam
tubuhnya.
Perlahan-lahan dihampirinya tubuh ibunya, dipondong dan diangkatnya,
dipeluk dan diciumnya dahi ibunya dengan kemesraan seorang anak kepada
ibunya.
Akan tetapi ia segera menekan perasaan dan pandang matanya berubah dingin kembali ketika ia berkata memerintah.
“Keluarkan kereta, dan antarkan ibu ini turun gunung. Tinggalkan kereta di bawah kaki gunung.”
Perintah ini ia tujukan kepada Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis.
Biar pun tiga orang ini masih sakit-sakit tubuhnya akibat
tendangan-tendangan Endang Patibroto tadi, mendengar perintah itu cepat
mereka bertiga mengambil kereta.
Retna Wilis memondong tubuh ibunya, membawanya ke dalam kereta,
membaringkan tubuh ibtunya di dalam kereta, sekali lagi mencium dahi
ibunya dan berbisik lirih, “Ibu!” kemudian ia turun dari kereta memberi
isyarat kepada ketiga orang tokoh Wilis itu untuk berangkat.
Lembuwilis dan Nogowilis duduk mengendarai kuda penarik kereta,
sedangkan Limanwilis yang ter tua duduk menjaga Endang Patibroto di
dalam kereta, kemudian kereta pun berangkat menuruni gunung Wilis.
Retna Wilis berdiri tegak memandang, dua titik air mata menetes turun.
Akan tetapi setelah menghela napas ia lalu menghapus air matanya,
memutar tubuhnya memandang anak buahnya yang berlutut dan berkata,
“Mulai hari ini, siapkan semua pasukan. Hei!, di mana Paman Patih?”
Tak seorang pun di antara para anak buah Wilis tahu ke mana perginya Patih Adiwijaya.
“Mungkin gusti patih sedang melakukan pemeriksaan di perbatasan, Gusti Puteri!” akhirnya terdengar jawaban seorang perwira.
“Biarlah, kalau sudah datang suruh ia menghadap. Beritahukan kepada
semua pasukan agar berkumpul, juga kerahkan seluruh rakyat yang sudah
takluk untuk siap membantu gerakan kita. Secepatnya kita akan menyerbu
Ponorogo!”
Para anak buah Wilis bersorak gembira. Penyerbuan ke suatu tempat
berarti perang, dan perang berarti pula kemungkinan-kemungkinan dan
kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk menikmati kesenangan, selain
membunuh musuh di bawah pimpinan orang-orang sakti, juga kesempatan itu
dapat mereka pergunakan untuk memperoleh barang-barang berharga dan
wanita-wanita cantik.
Di bawah sorak-sorai anak buahnya, Retna Wilis lalu lari naik ke puncak,
memasuki taman sari yang baru saja. dibangun, kemudian menjatuhkan diri
ke atas bangku di tengah-tengah taman sari.
Air matanya deras mengucur. Setelah berada seorang diri, tak dapat ia
menahan kekecewaan dan kedukaan hatinya mengenangkan sikap ibunya. Ia
menangis dan akhirnya karena tekanan batin dan kelelahan, ia tertidur
pulas di atas bangku taman sari, kedua pipinya masih basah air mata.
Sehari semalam Retna Wilis tertidur di taman itu. Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali ia terbangun dengan isak tertahan. Ia melihat Patih
Adiwijaya duduk bersila tak jauh dari bangku sambil menundukkan muka..
Wajah orang tua ini kelihatan berduka. Retna Wilis bangkit duduk dan
baru tahu ia bahwa tubuhnya telah diselimuti jubah luar patihnya.
“Paman Adiwijaya, ah, aku tertidur di sini...“ suaranya masih mengandung isak.
“berapa lama aku tertidur?” ia menyerahkan kembali jubah luar patihnya.
“Duh Gusti Puteri yang malang. Paduka tertidur semenjak kemarin siang.”
“Kenapa engkau tidak membangunkan aku, Paman?”
Patih itu memandang wajah Retna Wilis dengan pandang mata penuh iba hati dan prihatin.
“Hamba baru pulang siang kemarin dari memeriksa keadaan penjagaan di
tapal batas timur, untuk mendengarkan gerak-gerik Ponorogo. Baru hamba
mendengar akan kunjungan Ibunda Paduka dan... ah, sungguh kasihan sekali
Paduka, Gusti. Hamba... ikut berduka dengan peristiwa yang menyedihkan
itu...”
Retna Wilis tersenyum, memandang pembantunya itu dengan sinar mata
berterima kaksih. “Dan semenjak kemarin siang, engkau menungguku di
sini?”
“Hamba tak berani membangunkan Paduka yang tidur pulas sambil
kadang-kadang terisak. Ampunkan hamba yang berani menyelimuti Paduka dan
hamba menjaga di sini, menanti Paduka terbangun.”
Retna Wilis mengulurkan tangan dan menyentuh pundak patihnya.
“Paman, engkau baik sekali. Agaknya engkaulah orang yang paling baik
terhadap diriku. Adapun ibuku... ah, benar-benar aku bingung, Paman.”
“Mengapa Paduka bingung? Hendalcnya Paduka tenang karena setelah hamba
mendengar akan semua peristiwa, hamba merasa yakin akan kebenaran
paduka. Setiap manusia di dunia ini berhak untuk mencari kemuliaan, apa
lagi seorang sakti mandraguna seperti paduka. Hanya si manusia sendiri
yang akan dapat menetukan nasib hidupnya. Paduka benar, dan hamba
bersumpah untuk bersetia, untuk membela dan membantu paduka dengan
taruhan nyawa hamba.”
Ucapan ini keluar dari hati nurani Adiwijaya karena entah bagaimana,
baru sekali ini selama hidupnya ia mencinta seseorang, mencinta yang
sungguh-sungguh murni, bukan cinta nafsu, melainkan cinta seorang ayah
terhadap puterinya. ia merasa kagum akan kesaktian dara ini, merasa
kagum akan kecantikannya, dan timbullah rasa sayang dan setia yang belum
pernah ia rasakan selama hidupnya.
“Terma kasih, Paman. Aku tidak akan melupakan kebaikan hatimu.”
“Aduh Gusti Puteri Retna Wilis yang bijaksana dan sakti mandraguna.
Hamba hanyalah seorang yang rendah, hamba seorang yang penuh dosa, hamba
seorang yang banyak dimusuhi orang lain, seorang yang jahat dalam
pandangan orang lain.”
“Bagiku, engkau seorang yang baik, dan itu bagiku sudah cukup. Aku tidak peduli pendapat orang lain.”
“Mungkin ibunda paduka pun menganggap hamba seorang jahat, Gusti.”
“Hemm, mengapa, Paman?”
“Mungkin... hamba disangka sebagai orang yang membujuk-bujuk paduka...”
“Ah, biarlah. Biar andai kata ibuku sendiri membencimu dan menganggapmu
orang jahat, aku tetap menganggapmu seorang baik. Sekarang, Paman.
Siapkan bala tentara kita. Kita serbu Ponorogo, terus ke timur.”
“Terus menyerbu Jenggala, Gusti?” tanya Adiwijaya penuh gairah.,
“Benar, Paman. Ke Jenggala! Kita tundukkan Jenggala secara baik-baik,
mengingat bahwa yang menjadi raja di sana adalah Paman Pangeran Panji
Sigit, dan permaisurinya adalah Bibi Setyaningsih, adik ibu sendiri.
Kalau mereka menghadapi kita dengan kekerasan, terpaksa akan kutundukkan
Jenggala dengan kekerasan pula. Setelah itu, baru kita menengok ke
Panjalu!”
“Balk sekali, Gusti. Hamba siap dan sekarang juga hamba akan
mengumpulkan seluruh barisan Wilis!” kata Adiwijaya penuh kegembiraan.
Sementara itu, jauh dari puncak Wilis, di sebelah timur kaki gunung
Wilis, sebuah kereta berhenti di dalam sebuah hutan. Limanwilis,
Lembuwilis, dan NogoWilis duduk di atas tanah bersila dan tak bergerak
seperti arca. Tadi mereka menghentikan kereta, melepaskan kuda yang
mereka biarkan makan rumput, kemudian mereka duduk menanti di bawah
kereta.
Retna Wilis, dan juga Ki Walangkoro sendiri, ternyata hanya dapat
mempengaruhi Lembuwilis, Limanwilis dan Nogowilis untuk sementara saja.
Mereka bertiga ini tunduk karena terpaksa dan tidak berani melawan. Akan
tetapi begitu melihat Endang Patibroto, hati ketiga orang ini tergetar
dan watak baik mereka yang sudah lama dipupuk oleh Endang Patibroto
selama wanita itu memimpin Padepokan Wilis, bangkit kembali.
Mereka merasa terharu sekali, apa lagi menyaksikan nasib bekas junjungan
mereka yang amat menyedihkan. Memang harus diakui bahwa sebelum menjadi
anak buah Endang Patibroto, tiga orang ini adalah tokoh-tokoh Wilis
yang bekerja sebagai perampok.
Namun, kekejaman hati mereka sudah menipis oleh gemblengan-gemblengan
Endang Patibroto dan kini menyaksikan kekejaman hati Retna Wilis yang
tega melawan ibunya sendiri, mereka menjadi penasaran dan di dalam hati,
mereka berpihak kepada Endang Patibroto.
Begitu siuman dari pingsannya, Endang Patibroto teringat akan puterinyaj dan ia mengerang, lalu menangis tersedu-sedu.
Sampai lama ia menangis, kemudian barn ia mendapatkan dirinya berada di
dalam sebuah kereta yang berhenti. Cepat ia meloncat keluar dari dalam
kereta dan melihat Limanwilis dan kedua orang adiknya duduk bersila
dengan kepala tunduk.
“Eh, kalian bertiga mengapa berada di sini?”
Limanwilis menyembah dan berkata,
“Hamba bertiga diutus oleh Gusti Puteri Retna Wilis untuk mengantar
Paduka dengan kereta sampai di kaki Wilis, kemudian hamba bertiga
disuruh meninggalkan kereta. Akan tetapi, hamba tidak tega meninggalkan
Paduka di sini, Gusti. Dan, jika kiranya Paduka sudi mengampuni hamba
bertiga kakak-beradik, hamba ingin bersuwita (menghamba) kepada Paduka,
ingin mengiringkan Paduka kembali ke Panjalu. Hamba tidak sanggup lagi
menjadi kawula Wilis yang ternyata menyeleweng dari pada kebenaran,
Gusti.”
Endang Patibroto menarik napas panjang dan menghapus air matanya.
“Kehendak Hyang Widdhi Wisesa tak dapat diubah dan dibantah. Retna Wilis
telah menyeleweng jauh sekali setelah dia menjadi murid Nini Bumigarba
dan memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Kalian bertiga telah
mengalami dan melihat perkembangan semenjak dia lahir di puncak Wilis
sampai dia diculik Nini Bumigarba. Aduh, Kakang Limanwilis... apakah
yang harus kulakukan...?”
Endang Patibroto menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangannya.
Tiga orang tokoh Wilis itu memandang bekas junjungan, mereka dengan muka
keruh, penuh keharuan. Belum pernah selama mereka menghamba kepada
wanita sakti ini yang terkenal keras hati, mereka melihat wanita ini
menangis seperti itu.
“Duh, Gusti Puteri Endang Patibroto. Memang sesungguhnyalah Sang Hyang
Widdhi tak dapat diubah dan dibantah, karena itu manusia hanya dapat
menyerahkan kepada kekuasaanNya. Akan tetapi, manusia berwenang untuk
berusaha dan berikhtiar. Kalau Paduka suka menurut anjuran hamba, lebih
baik Paduka hamba antar kembali ke Panjalu dan melaporkan hal ini kepada
Kerajaan Panjalu.”
Endang Patibroto mengangguk, lalu memasuki kereta kembali. Tiga orang
kakek itu pun naik ke atas kereta seperti tadi dan kuda-kuda yang telah
dipasang di depan kereta sebelum mereka naik, dijalankan melaju ke
timur.
“Andika bertiga belum tahu, Kakang Wilis. Suamiku, ayah Retna Wilis adalah Ki Patih Tejolaksono di Panjalu.”
“Ahhh...!”
Tiga orang itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sudah mendengar akan
nama Tejolaksono, seorang tokoh yang memiliki kesaktian lebih tinggi
dari pada Endang Patibroto sendiri.
Ibunya seorang wanita yang tiada bandingnya, ayahnya seorang tokoh sakti
di kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala, gurunya seorang nenek sesakti
iblis sendiri, pantas saja Retna Wilis menjadi seorang dara yang
hebatnya sampai mengerikan hati para jagoan Wilis ini!
Dengan sikap yang amat gagah, Retna Wilis berdiri di tempat yang
menonjol tinggi. Di bagian bawah, memenuhi lereng sekitar puncak,
berkumpullah ribuan orang prajurit Wilis yang sudah bergabung dengan
sebagian rakyat dari daerah-daerah yang sudah ditaklukkan.
“Para prajuritku yang setia!”
Suara dara itu melengking tinggi dan dapat terdengar sampai jauh
sehingga prajurit yang berdiri paling belakang dapat mendengar dengan
jelas.
“Karena Ponorogo menentang kekuasaan kerajaan kita, kini tiba saatnya
bagi kita untuk menggempur Ponorogo! Kita hams dapat membuktikan bahwa
Kerajaan Wilis adalah kerajaan terbesar di seluruh jagat!”
Sorak-sorai gegap-gempita, menyambut ucapan Retna Wilis ini. Setelah
semua persiapan dilakukan, berangkatlah barisan besar ini turun dari
lereng Wilis, dipimpin oleh Retna Wilis yang didampingi oleh Patih
Adiwijaya.
Biar pun kehilangan pembantu-pembantu yang pandai, yaitu Ki Walangkoro
yang tewas di tangan Endang Patibroto, juga Lembuwilis dan kedua orang
adiknya yang tidak kembali ke Wilis ketika mengantar Endang Patibroto
turun dari puncak, namun sedikit pun Retna Wilis tidak menjadi gentar.
Melihat sikap dara ini, Adiwijaya yang tadinya merasa ragu-ragu apakah
mereka akan dapat menundukkan Ponorogo yang terkenal memiliki barisan
kuat dan banyak orang sakti, menjadi besar hati dan yakin bahwa di bawah
pimpinan seorang seperti Retna Wilis, mereka akan dapat mengalahkan
Ponorogo.
Mula-mula Retna Wilis tidak mau menunggang kuda. Semenjak kecil is belum
pernah naik kuda dan ketika menjadi murid Nini Bumigarba di pantai
Taut, yang biasa dijadikan binatang tunggangan hanyalah seekor kura-kura
raksasa! Akan tetapi Adiwijaya menasehatinya,
“Paduka pada saat seperti ini merupakan panglima besar barisan Wilis.
Bagaimanakah seorang panglima memimpin bala tentaranya dengan berjalan
kaki. Hal ini akan merendahkan nama Paduka, Gusti.”
Karena nasehat ini, terpaksalah Retna Wilis menunggang seekor kuda putih
dan biar pun ia tampak makin gagah mengagumkan, namun sesungguhnya ia
merasa kurang leluasa harus menunggang kuda. Akan tetapi setelah
menunggang sehari lamanya, ia mulai terbiasa dan merasa lebih enak,
sungguh pun ia akan seribu kali memilih jalan kaki dalam menghadapi
lawan dari pada di punggung seekor kuda.
Sementara itu, Kadipaten Ponorogo yang tentu saja tidak sudi tunduk
terhadap perintah Retna Wilis yang amat hina, sudah pula melakukan
persiapan untuk berperang. Barisan-barisan telah disiapkan, bala bantuan
sudah datang, hanya bantuan dari Panjalu yang belum datang karena Ki
Patih Tejolaksono menahan pengiriman bantuan spasukan ke Ponorogo,
menanti kembalinya Endang Patibroto yang hendak mencegah puterinya
melakukan penyerbuan-penyerbuan yang merupakan pemberontakan itu.
Di Ponorogo telah berkumpul orang-orang sakti untuk membantu perjuangan
kadipaten ini menghadapi ancaman Kerajaan Wilis yang baru sekali itu
mereka dengar.
Akan tetapi para orang sakti ini tidak lagi berani memandang rendah dara
remaja yang kabarnya menjadi ratu di Wilis ketika mereka mendengar
sendiri dari mulut Panembahan Ki Ageng Kelud betapa saktinya dara itu di
waktu masih kecil dahulu.
Apa lagi ketika mendengar bahwa dara itu adalah murid Nini Bumigarba,
tengkuk mereka meremang dan tahulah mereka bahwa bukan hanya Ponorogo
yang terancam, juga nyawa mereka sendiri. Akan tetapi, sebagai
orang-orang berilmu yang membela kebenaran, mereka tidak merasa gentar
dan siap menghadapi lawan.
Bentrokan pertama antara kedua pasukan Ponorogo dan Wilis teijadi di
tapal batas. Ternyata oleh barisan Wilis bahwa ketenaran nama barisan
Ponorogo memang tidak kosong belaka. Semenjak bentrokan pertama,
pasukanpasukan Ponorogo mengadakan perlawanan sengit dan mereka itu
selain memiliki anak buah yang kuat-kuat dan pantang mundur, juga
dipimpin oleh perwira-perwira yang berpengalaman dan pandai mengatur
barisan.
Untung bagi bala tentara Wilis bahwa di pihak mereka ada Ki Patih
Adiwijaya. Seperti telah diketahui, patih ini adalah seorang prajurit
kawakan yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam perang.
Pernah menjadi perwira Jenggala, menjadi panglima Blambangan, kemudian
menjadi patih di Jenggala pula. Maka Patih Adiwijaya dapat mengimbangi
siasat perang pihak lawan.
Adapun untuk pertandingan perang campuh itu sendiri, semua prajurit
Wilis menjadi besar hatinya menyaksikan sepak terjang ratu mereka, Retna
Wilis.
Dara ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia
mengajukan kudanya, pasti barisan lawan segera cerai-berai dan korban
jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk.....!
Komentar
Posting Komentar