PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-87


“Justeru karena ayah bunda beliau berada di Panjalu dan akan berpihak kepada musuh maka gusti ratu ingin bekerja sama dengan Sang Wasi.
“Gusti puteri sanggup menghadapi dan mengalahkan siapa pun juga, termasuk Bagus Seta kakaknya sendiri. Akan tetapi untuk menghadapi rama ibunya, tentu saja merasa tidak enak dan menyerahkan hal itu kepada Sang Wasi.
“Dengan kerja sama antara Sang Wasi berdua berikut semua pembantu Sang Wasi yang sakti mandraguna dengan gusti ratu yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, saya yakin bahwa Jenggala dan Panjalu akan mudah ditaklukkan.”
“Kalau sudah berhasil, bagaimana?”
Wasi Bagaspati memandang tajam, akan tetapi dalam hal kecerdikan menggunakan akal dan tipu muslihat, kiranya Adiwijaya tidak akan kalah terhadap kakek sakti Itu.
“Kalau sudah berhasil? Tentu saja berarti Kerajaan Cola akan menjadi kerajaan sahabat dan gusti puteri tentu akan memberi kebebasan kepada Sang Wasi untuk menyebarkan agama dan kepada Kerajaan Cola untuk menikmati hasil bumi Nusa Jawa...”
“Uuhhh...! Kerajaan kami yang besar bersahabat dengan kerajaan yang diperintah oleh seorang ratu perawan belasan tahun? Betapa memalukan!” kata Sang Wasi Bagaspati sambil memandang tajam.
Adiwijaya maklum akan isi hati kakek itu yang mencobanya, maka is pun balas memandang dan berkata,
“Kalau Sang Wasi berpendirian seperti itu dan andai kata akan lebih suka kalau kerajaan di sini dipimpin oleh seorang pria yang mempunyai minat yang sama,umpamanya seorang pria seperti... eh, saya sendiri, hemm... apa sukarnya mengenyahkan seorang dara yang belum berpengalaman? Serahkan saja kepada saya, karena saya sendiri pun tidak begitu bangga menjadi patih dari seorang ratu wanita yang amat muda. Merendahkan sekali namanya! Dan beliau amat percaya kepada saya, maka hal itu kelak akan dapat kita bicarakan lagi, Sang Wasi.”
“Ha-ha-ha-ha! Andika memang seorang yang amat cerdik dan aku suka sekali bersekutu dengan Andika, wahai Ki Patih Adiwijaya! Kapankah ratumu itu akan mengunjungi kami di sini?”
“Maaf, Sang Wasi. Gusti ratu minta dengan hormat agar Sang Wasi yang datang mengunjunginya di Wilis.”
Adiwijaya bersikap cerdik tidak menggunakan kata-kata minta kakek itu datang menghadap ratunya. Akan tetapi “undangan” yang sudah diperlunaknya ini masih membuat wajah yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi.
“Apa? Kerajaan kecil Wilis itu minta aku yang datang berkunjung? Aku utusan Kerajaan Cola yang besar? Dan ratu bocah itu? Tuanya masih tua aku, saktinya masih sakti aku, tingginya kedudukan masih tinggi aku!”
“Ratu perawan cilik itu sombong amat!” kata pula Wasi Bagaskolo geram.
Hemm, kalian ini dua orang kakek yang sombong tak tahu diri, di dalam hatinya Adiwijaya memaki, akan tetapi wajahnya tersenyum dan suaranya halus ketika berkata,
“Harap Sang Wasi berdua yang mulia sudi bersabar dan memikirkan secara mendalam. Ratu Wilis adalah seorang wanita yang masih muda, tentu saja bersikap manja, apa lagi memang sakti mandraguna. Kita saling membutuhkan, Kerajaan Wilis membutuhkan bantuan Sang Wasi, sebaliknya Sang Wasi juga membutuhkan bantuan Wilis, kalau yang tua dan yang bijaksana tidak sudi mengalah, bagaimana jadinya? Mengalah bukan berarti kalah dan bila kelak sudah tercapai cita-cita, masih banyak kesempatan untuk membalas kesombongan itu, bukan?”
Sang Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, kembali kepanasan hatinya menjadi dingin dan kemarahannya mereda oleh ucapan Adiwijaya ini.
“Baiklah, memang ada kalanya akal lebih penting digunakan dari pada okol (kekerasan). Andika pulanglah, Patih Adiwijaya dan sampaikan kepada ratumu bahwa sebulan lagi kami akan datang berkunjung ke Wilis.”
Girang bukan main hati Adiwijaya. Tugasnya berhasil baik dan demi tercapainya cita-cita yang terkandung dalam hati ratu gustinya, betapa pun sulitnya cita-cita itu, ia siap sedia untuk melakukan apa juga.
Dan dengan bantuan dua orang kakek itu dan ditambah pembantu-pembantu mereka yang sakti seperti Ni Dewi Nilamanik, ia merasa yakin bahwa cita-cita ratu gustinya pasti akan tercapai.
Adapun untuk dia sendiri, sungguh aneh sekali dan ia merasa heran sendiri.
Dia tidak mencita-citakan sesuatu, tidak seperti dulu lagi, tidak menginginkan wanita cantik, tidak menghendaki kedudukan tinggi, maupun harta benda dan kemuliaan.
Baginya, kalau ia dapat melihat Retna Wilis berbahagia, dapat mengabdi kepada dara itu, dapat selalu memandang wajahnya, melihat dara itu tersenyum bahagia, ia sudah merasa cukup bahagia hidupnya!
Dengan dada lapang dan hati gembira Adiwijaya lalu kembali ke WilIs dan setelah menghadap Ratu Wilis, ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Wasi Bagaspati dan menutup penuturannya dengan kata-kata menasehati,
“Harap Paduka berhati-hati menghadapi Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo. Di samping mereka itu memiliki kesaktian yang luar biasa, ahli ilmu hitam, juga Wasi Bagaspati amat cerdik dan palsu sedangkan hamba lihat Wasi Bagaskolo sangat keras hati dan kejam. Tentu saja hamba yakin bahwa Paduka lebih sakti dari pada mereka, tetapi di samping Paduka semestinya menahan harga din sebagai Ratu Kerajaan Wilis yang jaya dan tidak sangat mengharapkan bantuan mereka, namun hendaknya Paduka tidak menyinggung mereka... sehingga... mereka mengundurkan diri kembali. Bagaimana pun juga bantuan mereka selain amat perlu untuk menghadapi anggota keluarga yang mendatangkan rasa hati tidak nyaman apa bila paduka sendiri yang maju, juga agar mereka itu tidak menaruh curiga dan kelak lebih mudah bagi Paduka untuk mengenyahkan mereka setelah kita tidak memerlukan lagi tenaga mereka.”
Retna Wilis yang mendengarkan penuh perhatian, mengangguk-angguk.
“Baik Paman. Akan kuingat dan kulaksanakan pesanmu, dan aku girang sekali bahwa Paman telah berhasil menghubungi mereka.”
“Kalau mereka datang menghadap nanti, sebaiknya Paduka menerima mereka di ruangan besar seorang diri agar percakapan di antara Paduka dan mereka tidak sampai bocor keluar. Hamba sendiri dengan diam-diam akan mengerahkan tenaga-tenaga pilihan untuk memasang barisan pendem sehingga kalau terlihat gejala tidak baik, dengan mudah dan cepat hamba akan dapat mengerahkan pasukan menyergap mereka.”
“Ah, mengapa demildan, Paman? Aku sendiri tidak takut menghadapi mereka dan tidak memerlukan bantuan barisan pendam.”
“Paduka adalah seorang ratu, tidak semestinya turun tangan sendiri kalau masih ada pasukan pengawal. Biar pun hamba yakin Paduka tidak memerlukan bantuan, namun kalau ada marabahaya lalu pasukan pengawal muncul, hal ini akan menambah wibawa dan keangkeran Kerajaan Wilis sebagai kerajaan yang besar.”
Kembali Retna Wilis mengangguk-angguk dan ia merasa bersyukur dan girang sekali bahwa dia mendapatkan seorang patih yang begini pandai dan yang agaknya mengerti akan seluk-beluk kerajaan. Seorang pembantu yang tidak saja pandai, akan tetapi juga setia dan boleh dipercaya.
Sebulan kemudian, sepasukan kecil terdiri dari tujuh orang wanita cantik anak buah Ni Dewi Nilamanik mendaki puncak Wilis dan menyampaikan berita bahwa Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo datang berkunjung dan minta berjumpa dengan Ratu Wilis.
Mendengar berita ini, Adiwijaya lalu mempersiapkan pasukan yang menyambut tujuh orang wanita cantik itu, menerima mereka di paseban luar dan menjamu mereka, sedangkan Retna Wilis sudah siap duduk di atas kursi gading berukir yang berada di ruangan besar sebelah dalam.
Ratu muda belia ini duduk sendiri tanpa pengawal dan tanpa abdi, sengaja menanti kedatangan dua orang tamu agung itu.
Di luar, pasukan penghormatan sudah siap menyambut kedatangan dua orang kakek itu. Akan tetapi sampai lama, yang ditunggu-tunggu belum juga muncul.
Ketika Adiwijaya bertanya kepada pasukan wanita itu, mereka hanya tersenyum penuh rahasia dan menjawab bahwa mereka hanya bertugas menyampaikan berita akan kedatangan dua orang kakek itu, adapun cara mereka datang bagaimana, pasukan wanita itu menyatakan tidak tahu.
Mendengar ini, Adiwijaya menjadi waspada dan cepat is memberi tanda rahasia kepada pasukan pendam agar siap dan waspada, dan dia sendiri pun lalu bersembunyi tak jauh dari ruangan besar sebelah dalam, siap membela junjungannya yang duduk sendirian kalaukalau terancam marabahaya.
Para pasukan pengawal yang menjadi barisan rahasia itu tidak ada yang dapat melihat ruangan itu, mereka hanya bersembunyi dan menanti isyarat dari Ki Patih Adiwijaya.
Yang bisa mengintai ke ruangan itu dan mendengarkan semua yang akan dipercakapkan hanyalah Adiwijaya sendiri. Tiba-tiba mata Adiwijaya terbelalak penuh keheranan ketika ia mendengar suara Wasi Bagaspati yang terdengar dekat sekali, terdengar dari dalam ruangan, padahal orangnya tidak tampak!
“Ha-ha-ha! Sang Ratu yang muda belia, cantik jelita dan sakti mandraguna. Kami telah datang berkunjung, apakah Paduka belum mengetahui?”
Ki Patih Adiwijaya membelalakkan mata, jelilatan memandang ke sana ke mari, dan bulu tengkuknya bangun satu-satu karena ia sungguh tidak melihat di mana adanya kakek yang suaranya amat dikenalnya itu. ia lalu memandang kepada ratunya penuh harapan, dan melihat betapa Retna Wilis duduk dengan sikap angkuh dan tenang, kemudian ratu muda belia itu tanpa menggerakkan tubuh, tanpa menoleh, menjawab, suaranya lantang dan halus, namun penuh wibawa seorang ratu besar,
“Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Permainan kanak-kanak yang kalian perlihatkan ini tidak ada artinya bagiku. Sudah sejak tadi kalian berdiri di dekat tiang di sebelah kanan itu, siapakah yang tidak melihatnya? Sang Wasi Bagaspati, Andika mengangkat tinggi-tinggi tongkat Andika sehingga gelang emas tangan kanan Andika turun sampai ke siku, mau apakah? Dan mengapa Andika meraba-raba jenggot Andika yang sudah putih? Wasi Bagaskolo, mengapa Andika menggunakan tusuk konde untuk menghias kepala? Tusuk konde Andika itu dari emas, apakah Andika masih suka bersolek? Biar pun pesolek kalau pikun sehingga tidak merasa betapa baju Andika di pundak kiri robek sedikit tidak dijahit, apa artinya?”
Ucapan Retna Wilis itu tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati Adiwijaya yang kini mengejap-ngejapkan mata dan terbelalak memandang ke arah tiang yang disebut oleh ratu gustinya, akan tetapi tidak melihat apa-apa!
Yang lebih kaget lagi adalah dua orang kakek yang mengerahkan aji kesaktian. Ternyata ratu yang begitu muda itu hebat, dapat melihat mereka dengan jelas tanpa menengok sehingga dapat mengikuti gerak-gerik mereka dan melihat keadaan mereka dengan sejelasnya!
Sambil menarik napas panjang penuh kagum mereka lalu melepaskan aji panglimuman sehingga kini Adiwijaya dapat pula melihat mereka.
Berdiri bulu tengkuk ki patih ini dan ia pun menghela napas. Semua kesaktian yang pernah ia pelajari, kalau dibandingkan dengan kedua orang kakek ini sungguh tidak ada artinya!
Namun, dengan hati bangga ia memandang ratunya yang biar pun masih begitu muda belia, ternyata tidak kalah saktinya oleh kedua kakek itu sehingga biar pun kedua orang kakek itu seperti siluman dapat “menghilang”, Retna Wilis dapat melihat mereka!.
“Heh-heh, benar-benar awas sekali pandanganmu, Sang Ratu yang muda belia!” kata Wasi Bagaspati yang kini sudah tampak dan di belakang kakek ini Wasi Bagaskolo memandang kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak penuh keheranan.
“Sebelum kita berkenalan dan bicara lebih lanjut, ingin aku menguji sampai di mana kesaktianmu, Sang Ratu,” kata pula Wasi Bagaspati.
“Terserah kepadamu, Sang Wasi Bagaspati. Aku adalah pemilik rumah dan lebih muda, sedangkan Andika adalah tamu dan lebih tua. Aku siap melayani segala kehendakmu,” jawab Retna Wilis tanpa menoleh, masih duduk dengan tegak di atas kursinya.
Akan tetapi sebelum Wasi Bagaspati bergerak, lengan kirinya disentuh Wasi Bagaskolo,
“Biar aku mengujinya, Kakang Wasi,” bisiknya. Kemudian, setelah kakak seperguruannya mengangguk, ia melangkah maju dan memutar, menghadapi ratu yang muda belia itu.
Sejenak mereka bertemu pandang dan jantung Wasi Bagaskolo berdebar ketika sinar mata Retna Wilis seolah-olah menembus dadanya dan menjenguk hatinya, apa lagi kalau dia teringat bahwa dara perkasa ini adalah murid tunggal Nini Bumigarba yang sangat ditakutinya.
“Sang Ratu, sebagai tamu, perkenankantah aku menghadiahkan tusuk konde yang kau sebut tadi kepadamu, harap Paduka suka menerimanya!”
Sambil berkata demikian, Wasi Bagaskolo mencabut tusuk kondenya sehingga rambutnya yang hanya sedikit dan digelung di atas kepala menjadl gelung kecil itu terurai.
Sejenak ia memandang tusuk konde kecil itu, kemudian membuka kepalan tangannya dengan telapak tangan di atas. Tusuk konde yang terletak di atas telapak tangannya itu tiba-tiba saja bergerak dan terbang ke atas!
Melihat ini, dari tempat persembunyiannya, Ki Patih Adiwijaya memandang terbelalak penuh keheranan. Pandang matanya mengikuti gerakan tusuk konde yang mengeluarkan sinar cemerlang dan yang kini terbang ke atas berputar-putaran, makin lama makin cepat dan berputaran di seluruh ruangan itu, mengeluarkan bunyi mengaung seolah-olah seekor burung beterbangan.
Dengan bibir tersenyum akan tetapi matanya tetap dingin, Retna Wilis melirik ke atas, kemudian menggapai dengan tangan kirinya ke arah benda kecil yang beterbangan itu.
“Cringggg...!”
Tusuk konde yang tadinya beterbangan itu tiba-tiba runtuh di atas lantai, mengeluarkan bunyi berkerincing, jatuh ke depan kaki Wasi Bagaskolo yang memandang dengan muka merah.
“Wasi Bagaskolo, biar pun Andika jauh lebih tua dari pada aku, patutkah kalau seorang tamu menghaturkan persembahan dengan menaruh benda itu di atas lantai?”
Wajah Wasi Bagaskolo menjadi makin merah. Ucapan itu halus, akan tetapi selain mengandung suara dingin sekali, juga jelas merendahkannya, menyebut bahwa dia “menghaturkan persembahan”! Ia telah memperlihatkan kesaktiannya yang berdasarkan tenaga batin, namun ternyata ratu muda belia itu dapat mengatasinya, maka kini ia ingin menguji kedigdayaan atau ketangkasannya.
“Maaf, Sang Ratu, kalau tadi saya bersikap kurang hormat,” katanya sambil membungkuk dan karena tusuk konde itu berada di lantai depan kaki Retna Wilis, maka ketika membungkuk untuk mengambil benda itu seolah-olah ia menghaturkan sembah kepada ratu muda itu.
Retna Wilis menggerakkan lengan kanan dengan sikap seorang ratu menerima dan membalas. penghormatan itu.
“Sang Ratu Wilis, terimalah persembahanku Tiba-tiba Wasi Bagaskolo menggerakkan jari telunjuk kanannya yang menyepit tusuk konde dan tusuk konde itu meluncur ke depan, ke arah tenggorakan Retna Wilis secepat melesatnya anak panah dari busurnya. Jarak antara mereka hanya lima meter kurang lebih, maka dapat dibayangkan betapa berbahayanya serangan ini!
Patih Adiwijaya yang menyaksikan serangan ini hampir saja mengeluarkan seruan kaget kalau saja ia tidak cepat menahan hatinya dengan penuh kepercayaan akan kesaktian Ratu Wilis.
Akan tetapi betapa kecut dan gelisah rasa hatinya ketika ia melihat betapa Retna Wilis sama sekali tidak menggerakkan tangan untuk menangkis atau menggerakkan tubuh untuk mengelak.
Tusuk konde yang berubah menjadi sinar cemerlang itu seolah-olah tak dapat dihindarkan lagi akan menancap di kerongkongannya!
Setelah sinar itu datang dekat sekali, hanya satu jengkal lagi jauhnya, bibir yang merah dan berbentuk indah itu tiba-tiba diruncingkan dan ditiupkan.
Sinar menyilaukan dari tusuk konde itu tiba-tiba membalik dan kini menyambar ke arah pemiliknya, ke arah tenggorokan Wasi Bagaskolo sendiri!
“Hebat...”
Wasi Bagaskolo berseru kaget dan cepat ia menggunakan jari tangannya untuk menyentil tusuk konde yang akan menjadi senjata makan tuan. Terpaksa ia harus mengirim kembali tusuk konde itu karena kalau ia menerimanya, sama artinya dengan tidak rela “mempersembahkan” benda itu kepada sang Ratu!
“Tringgg...!”
Hebat sekali sentilan jari tangan kakek ini karena tusuk konde itu melesat kembali ke arah Retna Wilis.
“Andika memaksa menghaturkan persembahan, sungguh sungkan sekali, Wasi Bagaskolo. Biarlah aku menerimanya!” kata Retna Wilis, tangan kirinya diangkat dan tusuk konde itu menancap ke tangannya sampai tembus di punggung tangan!
Adiwijaya hampir berteriak kaget, akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa benda kecil runcing itu bukan menancap di telapak tangan, melainkan terselip dan terjepit di antara dua bush jari tangan yang kecil mungil!
Diam-diam ia menjulurkan lidah. Kakek itu hebat, akan tetapi ratunya lebih hebat lagi. Siapa orangnya berani menerima serangan tusuk konde seperti itu? Meleset sedikit saja tentu tangan yang berkulit putih halus itu akan terluka!
Retna Wilis sudah menancapkan tusuk konde di lengan kursinya dan ia sudah duduk tegak dengan sikap angkuh dan berwibawa, menghadapi Wasi Bagaspati yang kini berdiri di hadapannya, menggantikan Wasi Bagaskolo yang agaknya sudah puas menguji kesaktian murid tunggal Nini Bumigarba itu.
“Ternyata Paduka tidak mengecewakan sebagai murid Nini Bumigarba, Sang Ratu. Akan tetapi hati saya tidak akan puas kalau tidak menguji sendiri. Sekutu tidak hanya harus mengenal kekuatan lawan, akan tetapi juga perlu sekali mengenal kekuatan kawan sehingga dapat sama-sama mengatur sepak terjang dan siasat dalam menghadapi lawan.”
“Silakan, Sang Wasi,” jawab Retna Wilis dengan suara tenang, akan tetapi kini ratu muda ini turun dari kursinya dan berdiri tegak menghadapi Wasi Bagaspati.
Agaknya Retna Wilis maklum bahwa ilmu kesaktian kakek ini tentu jauh lebih hebat dari pada kesaktian Wasi Bagaskolo, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan siap untuk menghadapi musuh asing yang hendak ditarik menjadi sekutu sementara ini.
Seperti juga ketika berhadapan dengan Wasi Bagaskolo tadi, kini Retna Wilis beradu pandang mata dengan Wasi Bagaspati.
Kakek itu mengerahkan tenaga yang timbul dari dasar batin, dari kemauan dan ciptanya, sehingga sepasang matanya seolah-olah memancarkan cahaya berapi-api yang panas membakar, juga mengandung daya yang menggetarkan.
Baru pandang mata ini saja tentu akan dapat melumpuhkan lawan dan memang kakek ini hendak menguji ratu muda belia itu, karena musuh yang hendak mereka hadapi adalah musuh berat di mana terdapat banyak sekali manusia-manusia sakti.
Akan tetapi, dara remaja yang sakti mandraguna ini menghadapi pandang mata kakek itu dengan tenang dan dingin, seperti air telaga yang amat dalam, sedikit pun tidak terpengaruh, bahkan kekuatan mujijat yang terpancar keluar dari sepasang mata kakek itu seolah-olah tenggelam dalam sinar mata dara ini!
“Sang Ratu, bagaimana Paduka akan menghadapi tongkat ularku ini?”
Wasi Bagaspati melepaskan tongkatnya ke atas lantai dan tongkat itu berubah menjadi seekor ular cobra yang berkulit hitam, yang “berdiri” di atas perutnya dan mendesis-desis mengembangkan leher amat menyeramkan.
Adiwijaya terbelalak penuh kekhawatiran menyaksikan peristiwa ini. Biar pun ia maklum bahwa bantuannya tidak akan ada artinya, namun ia sudah siapsiap untuk mengerahkan barisan pasukan pengawal, dan kalau perlu seluruh bala tentara Wilis untuk melindungi junjungannya.
Retna Wilis menunduk, memandang tongkat yang telah berubah menjadi seekor ular itu dengan tenang dan bibir tersenyum, kemudian ia berkata,
“Sang Wasi, permainanmu ini baik sekali. Kalau dia ini benar seekor ular, seharusnya kuinjak hancur kepalanya dengan tumit kakiku, akan tetapi ular ini berasal dari tongkat maka kembahlah menjadi tongkat!”
Ucapan ini dibarengi dengan gerakan kaki kirinya menyambar ke arah ular itu.
Ular Cobra yang kelihatan buas dan galak itu menyambut kaki Retna Wilis dengan gigitan, akan tetapi gerakan ular kalah cepat dan kaki itu sudah mengelak lalu menginjak kepala ular dari atas.
Begitu kepala ular itu kena diinjak, seketika berubah lagi menjadi sebatang tongkat!
Menyaksikan pertandingan ilmu yang seperti sihir atau sulap ini, hampir saja Adiwijaya bersorak girang. Mampus kau, kakek yang sombong, makinya di dalam hati sambil mengintai dan memandang wajah Wasi Bagaspati yang mengerutkan kening dan matanya menjadi merah.
Ketika patih ini mengalihkan pandangnya kepada wajah Retna Wilis, pandang matanya berubah penuh kagum dan takut, seolah-olah ia melihat seorang Dewi dari Kahyangan.
“Terimalah kembali tongkat Andika, Sang Wasi Bagaspati!”
Retna Wilis berkata dan jari kakinya yang menginjak tongkat bergerak menyentil tongkat itu yang meluncur ke arah pemiliknya. Akan tetapi Wasi Bagaspati sudah mendorongkan tangan kanannya dengan telapak tangan ke depan.
Angin pukulan yang dahsyat sekali menyambar ke depan ke arah tongkatnya yang terhenti luncurannya, bahkan membalik dan meluncur ke arah Retna Wilis.
“Paduka telah menundukkan ularku, harap tangkis tongkatku, Sang Ratu!” kakek itu berkata nyaring.
Retna Wilis tiba-tiba mendorongkan tangan kanannya pula ke depan seperti yang dilakukan Wasi Bagaspati dan serangkum tenaga yang halus meniup ke depan, ke arah tongkat.
Seketika tongkat itu berhenti di tengah udara, di antara kedua orang sakti yang mendorongkan lengan ke depan itu.
Tongkat itu tidak bergerak seperti terjepit oleh tenaga yang tak tampak, terhimpit di tengah-tengah dan kalau diperhatikan betul, baru tampak betapa tongkat itu kadang-kadang menggeser ke kanan kadang-kadang ke kiri dan barulah diketahui bahwa sesungguhnya memang ada dua tenaga sakti yang saling mendorong sehingga tongkat yang berada di tengah itu terhimpit!
Dalam pertandingan mengadu kekuatan tenaga sakti ini, kedua pihak diam-diam menjadi kagum dan tahu bahwa lawan memiliki kesaktian yang hebat dan merupakan lawan yang kuat akan tetapi merupakan kawan yang boleh diandalkan.
Betapa pun juga, keduanya memiliki kekerasan hati dan tidak mau mengalah, merasa penasaran, maka mereka mengerahkan tenaga sehebatnya pada saat yang berbareng.
“Krekk! Krekk!”
Tongkat itu hancur berkeping-keping dan keduanya lalu menurunkan lengan tangan masingmasing. Satu-satunya tanda bahwa mereka tadi telah mengerahkan tenaga hanya tampak pada kulit muka Retna Wilis yang menjadi kemerahan dan beberapa titik keringat yang membasahi dahi Wasi Bagaspati.
“Maaf, Sang Wasi. Aku telah membikin rusak tongkatmu,” Retna Wilis berkata, teringat bahwa ia harus bersikap baik terhadap dua orang kakek yang akan dijadikan sekutu itu.
Wasi Bagaspati menyeringai dan memandang tongkatnya yang sudah hancur dan berserakan di atas lantai.
“Bukan kesalahan Paduka, Sang Ratu. Pula, mudah saja membuat tongkat pengganti yang rusak dan senjata saya bukanlah tongkat itu, melainkan ini!”
Sambil berkata demikian, Wasi Bagaspati meraba di balik jubahnya dan tiba-tiba tampak sinar menyilaukan ketika tangannya sudah memegang sebuah senjata yang bentuknya seperti Cakra.
Mata Adiwijaya menjadi silau dan kedua kakinya gemetar. Demikian hebat pengaruh mujijat yang keluar dari senjata di tangan kanan kakek itu!
“Senjatamu ampuh sekali, Sang Wasi. Akan tetapi aku pun mempunyai sebuah pusaka yang patut kuperlihatkan kepada orang-orang sakti seperti Andika berdua. Inilah pusakaku Pedang Sapudenta!”
Adiwijaya tak dapat mengikuti gerak tangan Retna Wilis karena tangan kanan ratu itu demikian cepatnya bergerak sehingga tahu-tahu tangannya telah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya berkilauan.
Adiwijaya sampai memejamkan mata karena sinar yang amat terang seperti menusuk matanya.
Ketika ia membuka matanya kembali, kakinya menggigil. Pedang pusaka di tangan ratunya itu benar-benar amat ampuh dan mengeluarkan hawa mujijat. Kini ruangan itu penuh dengan hawa mujijat yang keluar dari kedua buah senjata pusaka ampuh itu.
Biar pun kedua kakinya menggigil dan wajahnya pucat terkena perbawa (pengaruh) kedua senjata mujijat itu, Ki Patih Adiwijaya memaksa diri dan memberanikan hatinya untuk keluar dari tempat sembunyi, memasuki ruangan itu dan langsung menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan ratunya sambil berkata,
“Mohon ampun atas kelancangan hamba. Akan tetapi kini bukan saatnya senjata pusaka ampuh dilolos keluar dari warangka (sarung). Dengan sepasang pusaka yang amat ampuh ini hamba yakin kelak semua musuh dapat ditundukkan!”
“Ha-ha-ha-ha! Andika terlalu curiga, Ki Patih Adiwijaya!” Wasi Bagaspati berkata. “Kesaktian dan senjata ratu gustimu benar-benar hebat, hatiku puas sekali!”
Tiba-tiba hawa panas dingin yang menyeramkan lenyap dari ruangan itu dan sukar dikatakan siapa yang lebih cepat menyimpan kembali kedua pusaka itu karena tiba-tiba saja kedua pusaka itu lenyap dari tangan masing-masing.
“Sang Wasi berdua, silakan duduk!” kata Retna Wilis, menunjuk ke arah kedua buah kursi yang memang sudah disediakan di ruangan itu.
Dua orang kakek itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan Ratu Wilis, sedangkan Ki Patih Adiwijaya tetap duduk bersila penuh hormat.
Dimulailah perundingan antara Retna Wilis dan Wasi Bagaspati dan dengan terus terang Retna Wilis menceritakan cita-citanya untuk menaklukkan seluruh kerajaan dengan janji bahwa jika Wasi Bagaspati sebagai utusan Negeri Cola suka membantunya sehingga citacitanya berhasil, kelak ia akan menganggap Kerajaan Cola sebagai negara sahabat dan memberi kebebasan kepada Wasi Bagaspati untuk menyebarkan agamanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar