PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-88
“Mengapa utusan Sriwijaya tidak ikut datang berkunjung?” Patih Adiwijaya
bertanya. “Bukankah Sriwijaya juga mempunyai utusan yang dipimpin oleh
Sang Biku Janapati? Kalau kekuatan kita semua digabung, tentu akan lebih
mudah menundukkan Jenggala dan Panjalu yang terkenal kuat.”
“Hemm, pendeta gundul itu sungguh menjemukan!” Wasi Bagaspati mengepal
tinju dan giginya berkerot. “Dari seberang lautan kami datang sebagai
sekutu, akan tetapi setelah tiba di sini, dia menyeleweng. Sesungguhnya
semua kegagalan kami adalah karena si gundul itu! Kalau dia membantu,
tentu sudah berhasil usaha kami.”
“Sriwijaya adalah negara yang besar dan kuat, sejak lama menaruh dendam
permusuhan dengan Mataram dan hanya berhenti sebentar karena mendiang
Gusti Sinuwun Airlangga menikah dengan Puteri Sriwijaya. Akan tetapi
dendam lama masih ada, mengapa sekarang utusan Sriwijaya tidak membantu
Sang Wasi dalam menghadapi Jenggala dan Panjalu yang menjadi pecahan
dari Kerajaan Mataram lama?” tanya Ki Patih Adiwijaya yang dalam
perundingan ini mewakili gustinya karena dialah yang lebih tahu akan
persoalan kerajaan.
“Kakek gundul menjemukan itu memang tak tahu diri. Mereka mengira bahwa
Sriwijaya amat besar dan kuat,lupa betapa dahulu Raja Sriwijaya, Sinuwun
Tunggawarman pernah dikalahkan dan ditawan oleh raja kami, Sinuwun
Rajendracola. Setelah tiba di sini, pendeta gundul itu hanya bergerak
memperkembangkan agamanya secara diam-diam, bahkan kini merantau ke
ujung Nusa Jawa, ke pantai timur dan menyeberang ke Balidwipa.
Menjemukan sekali!”
Retna Wilis tersenyum, memandang rendah menyaksikan betapa kakek sakti ini masih mudah dikuasai nafsu amarah.
“Sang Wasi, mengapa mengharapkan bantuan orang yang tidak suka
bersekutu? Kurasa, dengan kesaktian yang dimiliki oleh Andika berdua,
sudah cukup untuk menundukkan musuh yang bagaimana pun juga.”
Kesempatan ini ditunggu-tunggu oleh Sang Wasi Bagaspati, maka ia segera
mempergunakannya untuk “membakar” hati Retna Wilis. ia menarik napas
panjang dan berkata,
“Ahh, kalau menghadapi orang-orang sakti yang mana pun juga di seluruh
Panjalu dan Jenggala, saya sanggup mengalahkannya. Akan tetapi...ah,
usaha kita akan gagal kalau tidak ada yang dapat melawan Bagus Seta!”
Retna Wilis mengerutkan kening. “Bagus Seta?” ia teringat akan cerita
ibunya bahwa ramandanya masih mempunyai seorang putera yang bernama
Bagus Seta.
“Tentu Paduka mengenal nama itu karena dia adalah rakanda Paduka
sendiri. Terus terang saja, kesaktian Bagus Seta amat hebat, tidak ada
manusia yang akan mampu menandinginya.”
“Apakah Andika sudah kalah olehnya, Sang Wasi?”
Merah wajah Wasi Bagaspati, akan tetapi karena ia cerdik, ia menunduk dan menjawab,
“Pernah kami bertanding dan saya tidak mampu mengatasinya. Saya
mendatangkan adik seperguruan saya, Wasi Bagaskolo ini, akan tetapi
masih saya ragukan apakah tenaga kami berdua akan mampu menandinginya.
Bahkan Paduka yang memiliki kesaktian tinggi, kiranya belum tentu akan
dapat menang...”
“Apa? Sang Wasi, seorang yang memiliki kesaktian seperti Andika, mengapa berhati begin kecil? Aku akan menandingi Bagus Seta!”
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, menekan hatinya yang merasa girang akan hasil pembakarannya, dan ia berkata lesu,
“Saya percaya akan kesaktian Paduka, akan tetapi masih saya ragukan
apakah paduka akan dapat menangkan murid Bhagawan Ekadenta itu!”
Tiba-tiba Retna Wilis tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi
menyeramkan sehingga Adiwijaya berdongak memandang dengan bulu tengkuk
meremang.
“Hi-hi-hik! Murid Ekadenta? Sang Wasi, tahukan Andika bahwa pusakaku
Sapudenta ini khusus untuk menandingi Bhagawan Ekadenta? Kalau dia tidak
ada dan yang muncul adalah muridnya, aku yang akan menandingi dan
menyapunya dari permukaan bumi!”
Adiwijaya bergidik dan diam-diam merasa prihatin sekali mendengar betapa
orang yang dijunjungnya, yang dikasihinya, kini mengancam kepada
kakaknya sendiri, kakak seayah!
“Bagus! Kalau begitu, ada sedikit harapan di hati saya. Dengan majunya
kita bertiga, biar pun Ekadenta sendiri muncul, akan dapat kita
hancurkan! Jangan khawatir, Sang Ratu. Biar pun sekarang pasukanku hanya
tinggal seribu orang yang sudah digembleng oleh muridku, Cekel
Wisangkoro, akan tetapi tanpa adanya Bagus Seta, Kita akan dapat dengan
mudah menaklukkan Jenggala dan Panjalu sekali pun! Senopati-senopati
sakti mereka, serahkan saja kepada kami berdua, akan kami binasakan
semua!”
Perundingan ditanjutkan dan rencana penyerbuan ke Jenggala dibicarakan.
Penyerbuan akan dilakukan dalam waktu singkat setelah
persiapan-persiapan dibuat dan Wasi Bagaspati menyanggupi untuk
menggabungkan pasukannya ke Wilis dalam waktu dekat.
Kemudian, setelah kedua orang kakek itu menikmati hidangan yang
disajikan, mereka kembali ke gunung Arjuna diiringkan tujuh orang
prajurit wanita.
Malam itu bulan purnama siddhi menerangi permukaan bumi di pegunungan
Wilis, menciptakan pemandangan yang amat indah dan menyejukkan. Namun,
keindahan saat itu tidak tampak oleh Retna Wilis yang sedang duduk
termenung seorang diri di dalam taman bunga di belakang istananya dengan
hati yang sama sekali tidak sejuk.
Ratu muda belia yang gagah perkasa ini sedang duduk dan gelisah
memikirkan keadaan keluarganya. Betapa pun ia telah mewarisi watak
gurunya, akan tetapi dia tetap manusia dan kalau ia mengenangkan ibunya,
hatinya tergerak dan menggetar juga.
Dan kini dia sedang mempersiapkan pasukan untuk menggempur Jenggala,
untuk berhadapan sebagai musuh ayah bundanya, para bibinya, dan bahkan
ia telah mengambil keputusan untuk menandingi Bagus Seta, kakaknya!
Semua ini tidak menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia teringat
akan ibunya, hatinya trenyuh juga sungguh pun tidak begitu mendalam
karena tertutup oleh sifatnya yang dingin seperti dasar taut kidul.
Ia tidak peduli kalau harus bermusuh dengan ayahnya. Dia tidak suka
kepada Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungnya yang belum pernah
dilihatnya karena dia menganggap bahwa Tejolaksono telah menyia-nyiakan
ibunya sehingga ibunya terlunta-lunta sampai ke Wilis.
Ia tidak peduli akan Bagus Seta karena pemuda itu adalah putera Tejolaksono dari lain ibu.
Bahkan ia harus memperlihatkan bahwa sebagai putera Endang Patibroto,
dia tidak akan kalah oleh putera Ayu Candra! Apa lagi kalau ia ingat
bahwa Bagus Seta adalah murid Bhagawan Ekadenta, hal ini justeru
mendorongnya untuk mengalahkan pemuda itu.
Ia tidak mempedulikan pula bermusuh dengan para bibinya Setyaningsih dan
Pusporini karena kalau mereka itu menentangnya, menghalangi
citacitanya, berarti mereka pun musuh. Akan tetapi, bagaimana ia akan
dapat memusuhi ibu kandungnya?
Dengan pikiran melayang-layang dalam renungan, Retna Wilis memandang
bulan yang tampaknya bergerak perlahan, berenang di antara ombak-ombak
mega putih di lautan langit biro.
Kadang-kadang bulan yang bundar cemerlang itu bersembunyi di balik awan
hitam tipis sehingga tampak seperti wajah puteri jelita bersembunyi di
balik tirai sutera hitam, kemudian tirai itu terbuka lagi dan tampaklah
senyum yang cerah.
Namun Retna Wilis tidak melihat bulan, melainkan melihat wajah ibunya
menggantikan Sang Dewi Candra. Kemudian sejalan dengan pikirannya yang
mengenangkan wajah-wajah keluarganya, bulan itu berubah menjadi wajah
ibunya, Setyaningsih yang tersenyum-senyum dan membelainya di waktu ia
masih kecil.
Ia cepat mengusir kenangan ini dan membayangkan wajah keluarganya yang
belum pernah ia lihat, bibi Pusporini dan terutama wajah ramandanya.
Seperti apakah wajah ayahnya, Ki Patih Tejolaksono yang terkenal seorang
pria yang tampan dan gagah perkasa itu? Sukar baginya untuk
membayangkan wajah ayahnya.
Tiba-tiba bulan yang ia bayangkan sebagai wajah seorang pria yang
direka-rekanya patut menjadi wajah ayahnya itu berubah menjadi wajah
seorang pria muda yang tampan, yang tersenyum bibirnya akan tetapi yang
memandang dengan sinar mata tajam menembus jantung. ia terkejut sekali
ketika wajah itu dapat bergerak, mata itu hidup.
“Ahhhh...“ Retna Wilis sadar dari lamunannya dan ketika ia meloncat
bangun dari bangku yang didudukinya dan berdiri memandang, kiranya di
depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang sikapnya tenang dan
sabar sekali, berpakaian serba putih yang amat sederhana.
Pemuda yang memandangnya dengan sinar mata lemah lembut namun amat tajam
menjenguk isi hatinya! Kiranya wajah yang dilihatnya menggantikan bulan
itu adalah wajah pemuda inilah!
Dalam kagetnya, Retna Wilis merasa marah dan penasaran sekali, rasa
penasaran yang timbul dari rasa malu betapa dia, seorang yang memiliki
aji kesaktian tinggi dan yang memiliki penglihatan dan pendengaran lebih
tajam dari pada manusia biasa, sampai tidak tahu, tidak melihat maupun
mendengar akan kedatangan seorang pemuda di depannya!
“Si keparat kurang ajar berani engkau datang tanpa dipanggil dan
bersikap begin tak tahu aturan dan lancang?” Ia mengira bahwa pemuda ini
tentu seorang di antara kawula Wilis, akan tetapi siapa pun juga,
termasuk patihnya sendiri, kalau datang menghadap tentu berlutut dan
menyembah, tidak seperti pemuda ini yang berdiri seperti arca, sama
sekali tidak ada tampak sikapnya menghormat!
“Aku bernama Bagus Seta dan kalau aku tidak salah menduga, Andika
tentulah adikku Retna Wilis, puteri kanjeng rama dan kanjeng ibu Endang
Patibroto. Benarkah dugaanku?”
Retna Wilis terkejut sekali dan beberapa detik pandang matanya
menjelajahi wajah dan tubuh pemuda itu penuh selidik. Jantungnya
berdebar, akan tetapi suaranya terdengar dingin ketika ia menjawab,
“Benar, aku Retna Wilis, Ratu Kerajaan Wilis! Jadi engkau inilah yang
bernama Bagus Seta, putera Tejolaksono dan Ayu Candra? Hemmm...”
Bagus Seta mengerutkan keningnya, akan tetapi sikapnya masih tenang dan ia berkata halus,
“Adinda Retna Wilis, aku rakandamu, kita saudara seayah...”
“Aku tidak peduli akan hal itu! Bagus Seta, engkau datang seperti siluman mau apakah?”
“Adikku sayang Retna Wilis. Aku sengaja datang mejumpaimu dengan maksud
ingin mengingatkanmu akan kesalahan langkah hidup yang kau tempuh.
Engkau telah salah melangkah, Adikku, dan kini masih belum terlambat.
Sadarlah bahwa apa yang sedang kau rencanakan bersama Wasi Bagaspati
bukanlah hal yang benar, Adikku.”
“Huh! Ke mana pun juga aku melangkahkan kaki, apa pun juga yang akan
kuperbuat, ada sangkut-pautnya apakah dengan engkau? Segala langkah dan
perbuatanku ditentukan oleh aku sendiri dan segala akibatnya pun akan
kutanggungkan sendiri. Aku tidak membutuhkan peringatanmu!”
“Benar sekali, Retna Wilis. Memang seharusnya demikianlah, setiap
perbuatan ditentukan oleh diri pribadi dan ditanggungkan akibatnya oleh
diri sendiri pula. Aku pun tidak ingin mempengaruhi, apa lagi memaksamu.
Akan tetapi manusia telah dianugerahi akal budi dan pertimbangan yang
menciptakan kewaspadaan dan kebijaksanaan, maka sudah sepatutnya pula
kalau manusia berpikir dan mempertimbangkan lebih dulu sebelum melangkah
sehingga setiap perbuatannya tidak terdorong oleh nafsu semata.”
Segala kata-kata yang keras dan kasar dan sudah berkumpul di ujung lidah
Retna Wilis tertahan saking herannya melihat keadaan kakaknya ini. Dia
mendengar bahwa kakaknya yang bernama Bagus Seta ini adalah seorang yang
memiliki kesaktian luar biasa, maka tadinya ia menggambarkan bahwa
kakaknya tentu seorang pria yang gagah dan tampak gagah dan kuat.
Akan tetapi kini ia berhadapan dengan seorang pemuda lemah lembut
sikapnya, halus tutur sapanya, bahkan yang mengeluarkan ucapan
mengandung penuh kesabaran dan ketenangan, sikap yang sepantasnya hanya
dimiliki oleh kaum pendeta atau pertapa yang sudah tua rena dan pikun!
Saking herannya, ia hanya dapat memandang dan mendengarkan pemuda itu bicara terus tanpa dapat mencela atau menjawab.
“Retna Wilis, Adikku sayang. Apakah sesungguhnya yang kaucari? Apakah
yang kau cita-cita dan idamkan? Apa yang tersembunyi di dalam usahamu
menghimpun tentara,menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan ini?
Apakah engkau mengejar kedudukan sebagai seorang ratu besar yang oleh
manusia dianggap kemuliaan? Itukah kemuliaan? Ah, engkau akan kecewa,
Adikku, apa pun hasilnya dari pada kekerasan yang hendak kaulakukan.
Bukan di sanalah letak kebahagiaan, Adikku. Selama engkau menuruti
hasrat dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan, engkau takkan pernah
merasakan kepuasan. Nafsu mengejar kesenangan untuk dinikmati merupakan
kehausan manusia, dan hal ini adalah manusiawi dan menjadi hak manusia
pula untuk memuaskan dahaga mereka. Akan tetapi, dahaga tidak akan
lenyap dan puss apa bila diminumi air yang terlalu manis, bahkan makin
banyak diberi yang manis-manis akan menjadi makin haus. Demikian pula
dengan nafsu. Makin dituruti tanpa dikendalikan sampai berlebihan, akan
menjadi makin besar membakar seperti api diberi umpan kayu kering.
Adikku, insyaflah dan jangan menurutkan kata hati yang dikuasai nafsu.”
Retna Wilis sudah dapat mengatasi keheranannya dan ia marah sekali.
“Bagus Seta! Kiranya engkau yang disohorkan orang memiliki kesaktian
yang hebat ternyata hanya memiliki lidah yang pandai bergoyang! Aku tahu
mengapa engkau berpidato sepanjang itu. Engkau tentu diutus Panjalu
yang gentar menghadapi ancaman penyerbuanku, untuk membujuk aku karena
kalian menganggap aku ini adikmu yang sepatutnya tunduk dan taat kepada
engkau yang merasa sebagai kakakku! Engkau kecelik, Bagus Seta. Tentu
saja engkau berpihak kepada Jenggala dan Panjalu karena seluruh
keluargamu menghamba di sana, bahkan ayahmu menjadi Patih Panjalu, dan
mereka yang duduk di kursi pimpinan Jenggala juga keluargamu. Akan
tetapi, aku tidak akan tunduk oleh obrolanmu yang kosong! Nah, engkau
mau apa sekarang? Mau menggunakan kesaktian yang kata orang kau miliki
itu? Keluarkanlah semua kesaktianmu, aku tidak takut!”
Bagus Seta tetap tenang sungguh pun senyumnya mengandung keprihatinan.
“Adikku, keliru pendapatmu bahwa aku datang sebagai pembela keluarga
maupun Kerajaan Panjalu dan Jenggala, sungguh pun tidak kusangkal bahwa
aku memang membujukmu agar engkau sadar. Ini menjadi kewajibanku.
Ketahuilah bahwa aku hanya membela kebenaran, Adikku. Biar keluarga
sendiri, biar Panjalu maupun Jenggala, kalau tindakannya menyeleweng
dari pada kebenaran, adalah menjadi kewajibanku untuk menentang, karena
aku bukanlah seorang punggawa kerajaan mana pun. Berbeda dengan kanjeng
rama, kanjeng ibu atau para kanjeng paman dan bibi, mereka terikat oleh
tugas kewajiban sebagai punggawa, sebagai prajurit sehingga yang dikenal
hanyalah melaksanakan tugas tanpa pamrih berdasarkan kesetiaan terhadap
kerajaan sebagai sifat setap satria. Engkau telah bersekutu dengan Wasi
Bagaspati, Adikku, dalam hal ini saja sudah tidak benar. Wasi Bagaspati
adalah seorang manusia yang menyeleweng dari pada kebenaran, bahkan
menentang kebenaran demi nafsu-nafsunya. Sekarang engkau bersekutu
dengan dia untuk menaklukkan jenggala dan Panjalu, hal ini merupakan
penyelewengan hidup yang amat besar, apa lagi kalau diingat engkau
adalah puteri Patih Panjalu, sedangkan kanjeng ibu Endang Patibroto
seorang tokoh yang amat dihormati dan disegani di Panjalu dan Jenggala.
Sadar dan insyaflah sebelum terlambat, Retna Wilis adikku.”
“Heh si keparat Bagus Seta! Tak perlu banyak cakap lagi karena aku tidak
sudi mendengarnya! Ketahuilah bahwa aku adalah murid tunggal Nini
Bumigarba dan engkau adalah murid Bhagawan Ekadenta! Aku telah berjanji
kepada guruku untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta dan Sekarang biarlah
engkau menjadi wakilnya. Hayo kerahkan semua aji kesaktianmu dan
lawanlah aku, Retna Wilis yang juga menjadi Ratu Wilis, aku hanya
Perawan Lembah Wilis bocah gunung, tidak seperti engkau putera Patih
Jenggala, seorang priyayi, seorang bangsawan agung. Hayo kita mengadu
aji kesaktian!”
Melihat Retna Wilis bertolak pinggang dan menggerakgerakkan lengan kanan
menantangnya, wajah tampan Bagus Seta menyuram, akan tetapi sikapnya
masih sabar.
“Tugasku bukan menentang Nini Bumigarba atau Retna Wilis melainkan
menentang kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan kepada manusia,
Adikku. Aku tidak berniat untuk bertanding melawanmu.”
“Eh, Bagus Seta, kiranya engkau hanya seorang pengecut! Engkau takut
melawanku, engkau takut kepadaku! Katakanlah bahwa engkau takut kepadaku
dan aku akan mengampunimu!”
Bagus Seta tersenyum penuh kesabaran, dan memandang adiknya seperti
Pandang mata seorang dewasa melihat seorang anak kecil yang nakal.
“Aku tidak takut kepadamu, Adikku, juga tidak takut terhadap diri
sendiri dan segala tindakanku. Rasa takut adalah tidak wajar dan dibuat
sendiri, dan setiap perbuatan yang dilakukan karena takut adalah
perbuatan yang tidak wajar, karenanya tidak benar. Manusia yang sadar
akan kekuasaan Yang Maha Kuasa, yang maklum dengan penuh keyakinan bahwa
segala sesuatu yang terjadi adalah wajar, dan yang dengan segala
kewajaran hatinya mengerti akan benarnya setiap perbuatan yang
dilakukannya, akan terbebas dari pada rasa takut.”
“Sombong! Bagus Seta, hanya ada dua pilihan bagimu. Melawan aku atau
engkau menyatakan bahwa. engkau takut kepadaku, baru aku akan
membiarkanmu pergi tanda mengganggumu.”
“Kalau keduanya tidak kulakukan?”
“Aku akan membunuhmu!”
Bagus Seta menarik napas panjang.
“Ah, berkali-kali terbukti olehku betapa kekuasaan Sang Hyang Widhi
tidak dapat dilawan oleh siapa pun, bahwa keputusan Sang Hyang Widhi
tidak dapat diubah oleh manusia. Aku telah berusaha secukupnya, namun
keputusannya terserah kepada Sang Hyang Widhi Wisesa!”
Pada saat itu, Retna Wilis sudah menerjang maju dan mengirim pukulan
dengan kedua tangannya berturut-turut sampai tujuh kali. Cepat sekali
gerakannya ini karena dia mempergunakan gerakan Ilmu Pukulan Pancaroba,
seperti sambaran kilat kedua tangannya dengan jari terbuka menghantam ke
arah bagian-bagian tubuh Bagus Seta.
Pemuda ini dengan sikap tenang sekali, tanpa mengubah kedudukan sepasang
kaki yang terpentang, memutar kedua lengan di depan tubuhnya dan
berturut-turut dapat menangkis tujuh kali pukulan ampuh itu.
Dua tenaga yang dahsyat bertemu, dan akibatnya Bagus Seta terpaksa
melangkah mundur tiga tindak saking hebatnya tenaga serangan Retna akan
tetapi dara sakti ini terdorong oleh tenaga tangkisan lawan dan ditambah
dorongan tenaga serangan sendiri yang membalik, terhuyung ke belakang
dan hampir terpelanting!
“Aiiihhhh!”
Retna Wiles menjerit, meloncat ke atas mematahkan tenaga dorongan dan
tubuhnya dari atas menukik ke arah Bagus Seta sambil memukul dengan aji
pukulan Wisalangking. Bagus Seta miringkan tubuh mengelak sehingga angin
pukulan menyambar rumputrumput yang segera menjadi layu dan membusuk!
“Kasihan engkau, Adikku!”
Bagus Seta berkata, manaruh kasihan melihat betapa adiknya dikuasai
nafsu amarah sehingga menjadi mata gelap. Akan tetapi Retna Wilis yang
sudah diperhamba kemarahan itu, menerima ucapan ini sebagai ejekan, maka
ia lalu memekik dan mencabut pedang pusaka Sapudenta!
Tampak sinar berkilat di bawah sinar bulan itu ketika pedangnya
berkelebat menyambar tubuh Bagus Seta. Pemuda ini maklum akan kesaktian
adiknya, maklum pula akan ampuhnya pusaka itu, maka ia menggunakan
kepandaiannya melesat jauh dan terus pergi melarikan diri dari tempat
itu.
“Bagus Seta keparat! Jahanam pengecut! Jangan lari t”
Retna Wilis mengejar cepat. Namun ia telah kehilangan jejak pemuda itu
yang lenyap di antara bayang-bayang hitam di malam terang bulan itu dan
setelah mengejar cukup jauh, Retna Wilis berhenti, dadanya berombak,
napasnya terengah saking marahnya.
Matanya beringas memandang ke kanan kiri, kemudiati mulutnya memekik,
tubuhnya bergerak dan pedang pusaka di tangannya digerak-gerakkan
menjadi gulungan sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar dan membentuk
lingkaran-lingkaran menerjang di antara pohon-pohon.
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika banyak batang pohon tumbang oleh
sinar pedangnya. Setelah menumbangkan pohon-pohon di sekelilingnya, barn
agak mereka kemarahan yang menyesak di dada.
Retna Wilis berdiri seperti patung di tengah-tengah tumpukan batang,
cabang, dan daun pohon yang berserakan di sekelilingnya, pedang pusaka
masih di tangan kanan, mukanya menunduk.
“Gusti Puteri... ahh, apakah yang teijadi... Hati hamba tercekap rasa
khawatir... mengapa Paduka marah dan seperti orang berduka...?”
Patih Adiwijaya muncul dari balik daun-daun pohon yang bertumpuk,
sedangkan dari jauh, para pengawal hanya memandang bingung, tidak berani
mendekat.
Bagaikan baru sadar dari sebuah mimpi buruk, Retna Wilis membalikkan
tubuhnya, memandang beringas dan dengan pedang di tangan. Akan tetapi
ketika ia mengenal patihnya, ia menghela napas dan perlahan-lahan
menyarungkan pedang pusakanya di punggung, kemudian memejamkan mata
sebentar, membukanya lagi dan menggerakkan pundak.
“Aku hanya berlatih, Paman. Paman, kirimlah utusan kepada Sang Wasi
Bagaspati, minta agar pengiriman pasukan dipercepat karena aku ingin
secepat mungkin menyerbu Jenggala!”
Retna Wilis meninggalkan patihnya yang melongo di tempat itu sambil
memandangi pohon-pohon yang tumbang. Dalam pandang mata patih ini, di
bawah sinar bulan purnama yang berselimut awan hitam, cabang-cabang
pohon yang berserakan itu seperti tubuh-tubuh manusia yang tidak utuh
lagi, mayat-mayat bergelimpangan akibat amukan Retna Wilis dengan pedang
pusaka Sapudenta.
Adiwijaya bergidik. Banyak sudah ia menyaksikan perang, banyak
menyaksikan manusia-manusian saling menyembelih dalam perang, akan
tetapi belum pernah menyaksikan keganasan yang luar biasa seperti yang
pasti akan dapat ia saksikan jika Retna Wilis mengamuk di medan perang
dengan pedangnya!
Peristiwa di malam terang bulan ini pertemuan antara kakak dan adiknya
yang teijadi amat aneh tanpa disaksikan manusia lain, ternyata merupakan
dorongan yang mempercepat penyerbuan bala tentara Wilis ke Jenggala.
Tentu saja peristiwa penyerbuan ke Jenggala ini menimbulkan geger dan
seperti telah lajim terjadi semenjak manusia mengenalnya sampai kini,
perang selalu mendatangkan malapetaka dan sengsara bagi rakyat jelata.
Penduduk dusun-dusun yang dilanda barisan Wilis lari pontang-panting
pergi mengungsi, menyelamatkan nyawa meninggalkan segala benda miliknya
yang didapatnya dengan cucuran peluh setiap hari. Para iblis dan siluman
mengamuk, menggunakan kesempatan itu untuk mempengaruhi batin manusia
yang tidak kuat sehingga di mana-mana terjadi pelangggaran
perikemanusiaan dan hukum rimba merajalela.
Pihak Jenggala segera mendengar berita akan datangnya bala tentara Wilis
yang hendak menyerbu, maka persiapan-persiapan lalu dibuat,
pasukan-pasukan penjaga diatur ketat, bahkan Tejolaksono dan Endang
Patibroto telah mohon perkenan dari sang prabu di Panjalu untuk membantu
Jenggala karena suami isteri ini berprihatin sekali, merasa bertanggung
jawab atas penyerbuan tentara Wilis yang dipimpin oleh putera mereka.
Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak baik, Ayu Candra tidak diperkenan ikut.
Demikianlah, ketika pasukan-pasukan Wilis sudah tiba di perbatasan kota
raja Jenggala, Tejolaksono dan Endang Patibroto sudah slap pula
memperkuat barisan Jenggala, bahkan mereka berdua memimpin pasukan inti
di samping Joko Pramono yang menjadi patih dan merangkap senopati
Jenggala di samping isterinya yang sakti Pusporini.
Pasukan terdepan dari Wilis adalah pasukan bantuan dari Sang Wasi
Bagaspati, pasukan yang dipimpin oleh Cekel Wisangkoro dan pasukan yang
dipimpin oleh seorang senopati pembantu Ki Patih Adiwijaya. Penyerbuan
pasukan terdepan dari Wilis ini menghadapi sambutan yang panas dan keras
dari pasukan yang dipimpin sendiri oleh Joko Pramono dan Pusporini.
Hebat bukan main perang campuh ini, tanpa upacara dan tanpa banyak cakap
lagi.
Perang campuh yang terjadi selama setengah hari, dari tengah hari sampai
menjelang senja ini mendatangkan korban amat banyak, baik di pihak
Jenggala maupun di pihak pasukan Wilis.
Akan tetapi, amukan Joko Pramono dan Pusporini yang amat dahsyat itu
membangkitkan semangat para prajurit Jenggala sehingga pihak Wilis
kocar-kacir dan didesak mundur.
Bahkan mendekati petang hari, ketika pasukan Wilis terdesak dan Cekel
Wisangkoro yang menjadi penasaran dan marah itu mengamuk, merobohkan
banyak prajurit lawan dengan tongkat ular hitamnya sehingga semangat
pasukannya bangkit kembali, perang menjadi makin menghebat.
Ceker Wisangkoro tentu saja merasa takut kepada Wasi Bagaspati dan
merasa malu kepada Ratu Wilis kalau sampai pasukannya kalah dalam perang
campuh pertama ini, maka ia lalu berteriak-teriak membangkitkan
semangat pasukannya dan dia sendiri maju sampai ke tengah medan
pertempuran, menggunakan segala aji kesaktiannya untuk membunuh pihak
musuh sebanyak mungkin.
Menghadapi amukan Cekel Wisangkoro yang mengeluarkan semua ilmu hitamnya
ini, pihak pasukan Jenggala mawut. Empat orang perwira Jenggala yang
terkenal gagah perkasa roboh tewas di tangan Cekel Wisangkoro.
Ketika Ki Patih Joko Pramono mendengar akan hal ini, ia menjadi marah
sekali dan cepat ia menerjang ke tengah medan pertempuran sehingga
setelah membuka jalan berdarah, merobohkan banyak prajurit musuh,
akhirnya ia dapat menemukan Cekel Wisangkoro yang mengamuk itu.
Memang sepak teijang murid Wasi Bagasati ini sangat hebat. Tubuhnya
diselimuti asap menghitam sehingga sukar bagi pihak lawan untuk
menerjangnya, sebaliknya dari dalam asap hitam itu, tongkat kakek itu
menyambar-nyambar merupakan cakar maut yang setiap kali menyambar tentu
merenggut nyawa seorang lawan.
“Cekel Wisangkoro, akulah lawanmu!”
Joko Pramono membentak yang menggunakan kedua tangannya mendorong sambil
melompat ke depan. Terkena dorongan kedua tangan itu, asap hitam
membuyar dan tampaklah kakek itu mengobat-abitkan tongkatnya yang
berbentuk ular hitam. Kini dua orang sakti itu berhadapan, saling
pandang dengan mata beringas.
Cekel Wisangkoro segera mengenal orang muda itu yang pernah bertanding
dengannya ketika Joko Pramono, Pusporini, dan Bagus Seta dahulu menolong
Tejolaksono dan kedua orang isterinya yang tertawan oleh Wasi
Bagaspati.
Dahulu Cekel Wisangkoro terpaksa melarikan diri karena tidak kuat
menghadapi Joko Pramono dan Pusporini, akan tetapi sekarang, menghadapi
Joko Pramono seorang diri saja, apa lagi dalam sebuah perang campuh, ia
tidak menjadi gentar dan ia menudingkan tongkatnya sambil membentak,
“Babo-babo, Joko Pramono! Engkau telah menjadi patih Jenggala, ya?
Bersiaplah engkau untuk mampus bersama Jenggala yang sekali ini pasti
akan kami hancurkan!”
“Ha-ha-ha, Cekel Wisangkoro dukun lepus! Berkali-kali engkau dan
kawan-kawanmu menurutkan angkara murka, tidak tahu malu dan lupa bahwa
engkau dahulu telah menjadi pecundang, lari terbirit-birit ketika
melawanku. Sekarang engkau datang menyerahkan nyawa, bagus, majulah!”
“Lihat ular saktiku menelanmu!”
Tiba-tiba Cekel Wisangkoro melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi
seekor ular besar sekali, dengan mulut yang lebar penuh gigi dan siung
beracun, menyemburkan uap hitam hendak menerjang Joko Pramono.
Ki patih tersenyum, merendahkan tubuhnya dengan kedua lutut agak ditekuk, kemudian ia membentak,
“Permainan ini menjemukan. Heiiittt!”
Kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah ular dengan pengerahan aji
pukulan Cantuka-sekti. Serangkum hawa pukulan sakti menyambar ke depan
kemudian “ular” itu terpelanting, terlempar ke depan Cekel Wisangkoro,
berubah menjadi tongkat hitam lagi.
“Keparat!”
Cekel Wisangkoro menyambar tongkatnya dan bagaikan gila ia menerjang ke
depan dengan tongkatnya. Tetapi sambil tersenyum Joko Pramono berhasil
mengelak dan balas memukul.
Seperti biasa, murid Sang Resi Mahesapati ini tidak mempergunakan
senjata dalam menghadapi lawan, hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya
dan keampuhan pukulan dan tendangannya.
Dalam waktu tak begitu lama ia telah berhasil mendesak Cekel Wisangkoro
yang menjadi kempas-kempis napasnya. Kakek ini berusaha untuk mainkan
tongkatnya sehebat mungkin, tapi tusukan dan hantamannya selalu mengenai
tempat kosong dan beberapa kali ia terhuyung karena pukulan
Cantuka-sekti yang biar pun tidak mengenainya dengan tepat, akan tetapi
hawa pukulan yang dahsyat itu membuat ia hampir-hampir tidak dapat
menahannya.
Pertandingan hebat antara dua orang sakti yang memimpin pasukan pertama
ini dijadikan tontonan oleh para prajurit kedua pihak sehingga mereka
yang tadinya bertanding di dekat tempat itu, otomatis menghentikan
pertandingan mereka dan menjadi penonton sambil berteriak-teriak dan
bersorak-sorak menjagoi pimpinan masing-masing. Mereka yang berada jauh
dari medan pertandingan ini masih terns berperang penuh semangat,karena
kini pihak Wilis telah bangkit kembali semangatnya oleh sepak-terjang
Cekel Wisangkoro tadi.
Di lain tempat, di ujung kin, Pusporini juga mengamuk, bahkan lebih
hebat dari pada suaminya. Berbeda dengan Joko Pramono yang mendapatkan
tandingan kuat, wanita perkasa ini hanya dikeroyok oleh lawan-lawan yang
baginya terlalu lunak sehingga pihak musuh roboh berserakan seperti
sekumpulan laron menyerbu api.
Kembali pihak Wilis menjadi mawut dan cerai-berai setiap kali Pusporini
menerjang maju. Para perwira Wilis sudah roboh semua dan tiba-tiba
majunya Ni Dewi Nilamanik merupakan pendorong bagi prajurit Wilis untuk
tidak lari.
Ni Dewi Nilamanik maju dan menyambut amukan Pusporini sehingga kembali
perang tanding berlangsung makin seru. Seperti juga suaminya, Pusporini
menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang mengamuk dengan senjata kebutannya itu
dengan tangan kosong saja.
Kalau dibuat perbandingan, tingkat kesaktian Ni Dewi Nilamanik masih
lebih tinggi dari pada kepandaian Cekel Wisangkoro. Apa lagi setelah
wanita cabul ini menerima banyak petunjuk dari Wasi Bagaspati, ia
merupakan lawan yang berat bagi Pusporini.
Maka pertandingan antara kedua orang wanita sakti ini lebih dahsyat dan
sungguh pun aji kesaktian Pusporini “murni”, tapi dia kalah pengalaman,
juga kebutan di tangan wanita itu benar-benar ampuh. Agaknya, biar pun
tidak terancam dan tidak terdesak oleh lawannya, Pusporini harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan makan banyak waktu untuk dapat
merobohkan wanita yang mengaku sebagai penitisan Bathari Durgo ini.....!
Komentar
Posting Komentar