PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-90
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terdorong mundur, memandang dengan
mata terbelalak, hampir tidak kuat menentang lama-lama sinar yang
memancar dari sepasang mata Bagus Seta, mereka menggerakkan kaki
mundurmundur perlahan. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring yang
keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik,
“Retna Wilis, tolong...!”
Ni Dewi Nilamanik telah jatuh teijengkang disambar tendangan Joko
Pramono, kebuatannya mencelat dan kini Joko Pramono sudah meloncat maju
untuk mengirim pukulan maut yang terakhir ketika Ni Dewi Nilamanik
menjerit minta tolong kepada Retna Wilis saking takutnya menyaksikan
jangkauan tangan maut yang hendak mencabut nyawanya.
Jerit melengking itu seolah-olah menyadarkan Retna Wilis dari keadaannya
yang seperti dalam mimpi. ia terkejut, sekaligus menangkis pukulan tiga
orang pengeroyoknya sehingga Tejolaksono, Endang Patibroto dan
Pusporini terlempar ke belakang, kemudian tubuh Retna Wilis melesat ke
dekat Ni Dewi Nilamanik dan sekali tangannya mendorong ke depan, tidak
saja pukulan maut Joko Pramono tertangkis, bahkan tubuh Patih Muda
Jenggala ini pun terlempar dan terbanting ke atas tanah dalam keadaan
nanar dan matanya berkunang!
Endang Patibroto memekik marah, lalu bersama-sama Tejolaksono dan
Pusporini, ia menerjang maju menghantam Retna Wilis dengan aji
pukulannya yang paling ampuh, yaitu Wisangnolo, sedangkan Tejolaksono
memukul dengan pukulan Bojrodahono, dan Pusporini menampar dengan aji
pukulan Pethit Nogo. Kini dalam keadaan marah sekali, tiga orang gagah
ini sekaligus menyerang dengan sepenuh tenaga.
“Bukk! Plakk! Plakk!”
Tiga pukulan itu diterima oleh Retna Wilis yang mengerahkan kesaktiannya, dan kedua tangannya mendorong.
Tubuhnya terkena hantaman tiga pukulan sakti itu dan tergetar, akan
tetapi tiga orang lawannya terlempar seperti daun kering tertiup angin
dan terbanting roboh keras sekali dalam keadaan pingsan!
“Terlalu!” Bagus Seta berkelebat datang, namun terlambat karena tiga
orang sakti itu telah terlempar. Melihat kedatangan Bagus Seta, Retna
Wilis kembali mendorongkan kedua tangannya. Bagus Seta menerima dengan
telapak tangan pula.
“Dessss!” Kini tubuh Retna Wilis yang terpental ke belakang dan roboh terguling.
Pada saat itu terdengar pekik nyaring sekali yang keluar dari mulut Wasi
Bagaspati dan tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh uap hitam seperti
mendung tebal.
Para prajurit Jenggala dan Panjalu menjadi panik, apa lagi ketika dari
gumpalan uap hitam itu menyambar-nyambar kilat yang merobohkan. banyak
orang, dan terdengar desis menyeramkan dari ratusan ekor ular yang
merayap-rayap dan menyerang prajurit-prajurit itu! Mereka menjadi
ketakutan, menjerit-jerit dan ada pula yang lari.
Bagus Seta cepat memejamkan mata mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian
bertepuk tangan tiga kali. Tepukan tangan ini menimbulkan bunyi seperti
guntur menggelepar dan seketika lenyaplah uap hitam yang ditimbulkan
oleh ilmu hitam Wasi Bagaspati, dan ular-ular yang diciptakan Wasi
Bagaskolo kini ternyata hanya segenggam daun kamboja kering! Para
prajurit tidak panik lagi dan dengan penuh semangat mereka menyerbu ke
atas.
Bagus Seta memandang dan ternyata Retna Wilis, Wasi Bagaspati, Wasi
Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik telah lenyap dari situ. Akan tetapi dia
tidak ingin mengejar karena is harus cepat menolong Tejolaksono, Endang
Patibroto, dan Pusporini yang masih pingsan. Joko Pramono juga cepat
menghampiri isterinya.
Setelah memeriksa sebentar, Bagus Seta menarik napas panjang.
“Hebat sekali tenaga saktinya, akan tetapi syukur kepada Dewata bahwa
dia tidak sampai membunuh ayah bundanya sendiri. Paman, harap jangan
khawatir. Mereka hanya pingsan oleh getaran hawa sakti, sebentar lagi
tentu siuman kembali.”
Benar solo, tak lama kemudian tiga orang sakti itu siuman dan tidak
mengalami luka. Mereka lalu memimpin pasukan menyerbu terns ke puncak
Wilis. Bala tentara Wilis yang kehilangan pimpinan, bahkan Patih
Adiwijaya juga lenyap tanpa pamit, segera membuang senjata dan berlutut,
menakluk.
Tejolaksono lalu memerintahkan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis
untuk mengatur keadaan Wilis dan memulihkan keamanan, karena ketiga
orang tokoh itu lebih mengenal keadaan. Kemudian ia membicarakan tentang
lenyapnya Retna Wilis.
“Apakah yang terjadi, Puteraku?” tanyanya kepada Bagus Seta. “Bagaimana Retna Wilis dapat lenyap?”
Bagus Seta menceritakan keadaan tadi dan dia sendiri tidak tahu ke mana
perginya Retna Wilis, kedua orang Wasi, dan Ni Dewi Nilamanik. Seorang
di antara Para prajurit taklukan yang ditanya segera mengaku bahwa tadi
ia melihat Retna Wilis dalam keadaan pingsan dipondong pergi oleh Wasi
Bagaspati yang melarikan diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik
dan Ki Patih Adiwijaya, memimpin pasukan siluman yang terdiri dari
beberapa ratus orang, menuju ke selatan.
“Kita harus mengejarnya! Aku amat mengkhawatirkan keadaan Retna Wilis,” kata Tejolaksono mengerutkan kening.
“Hemm, bocah durhaka macam itu perlu apa ditolong? Biarkan dia bersama
sekutunya yang jahat!” dengus Endang Patibroto dengan hati sakit.
Tejolaksono memegang kedua pundak isterinya dan memaksa isterinya
bertemu pandang dengan dia. “Diajeng, betapa mungkin hati orang tua bisa
menegakan anaknya? Aku tahu bahwa engkau pun hanya terdorong oleh
kemarahan, akan tetapi di dasar hatimu, engkau amat mencinta puteri kita
itu.“
Endang Patibroto tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya,
menangis terisak-isak. Joko Pramono dan Pusporini memandang penuh
keharuan. Bagus Seta menghela napas panjang.
“Memang tepat apa yang diucapkan Kanjeng Rama. Kita hams menolongnya,
bukan semata-mata karena dia keluarga kita, melainkan tenitama sekali
untuk menghalangi perbuatan keji manusia sesat seperti Wasi Bagaspati
dan kawan-kawannya. Marilah kita mengejar ke selatan sebelum terlambat.”
Serentak keluarga yang sakti itu berangkat mengejar, menuju ke selatan,
tidak ingat lagi akan tubuh mereka yang lelah sehabis mengalami
pertandingan yang dahsyat itu.
Apakah yang telah terjadi dengan Retna Wilis? Ke mana perginya? Seorang
yang memiliki watak keras, angkuh, dan aneh sekali seperti dara perkasa
itu memang tidak mungkin kalau melarikan din menghadapi kekalahan dalam
pertandingan. Endang Patibroto maklum akan hal ini karena dia sendiri
pun dahulu merupakan seorang wanita keras hati yang tidak pernah mau
kalah atau menyerah, apa lagi melarikan diri! Padahal watak puterinya
lebih keras lagi, dan jauh lebih aneh.
Memang Retna Wilis sama sekali tidaklah melarikan diri, melainkan
dilarikan oleh Wasi Bagaspati. Kakek ini sejak pertama kali dikecewakan
Retna Wilis, yaitu ketika mereka menyerbu ke Jenggala dan Retna Wilis
tidak mau terns menduduki Kota Raja Jenggala, telah menaruh curiga
kepada Retna Wilis. Diam-diam ia menyatakan ketidakpuasan hatinya itu
kepada Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik, menyatakan bahwa sungguh
pun Retna Wilis memiliki kesaktian yang boleh diandalkan, namun dara itu
bukan merupakan sekutu yang baik dan masih mempunyai hati sungkan dan
sayang kepada keluarganya, maka ia memesan agar pembantu-pembantunya
berhati-hati.
Ketika barisan Jenggala dan Panjalu datang menyerbu, diam-diam ia sudah
mengatur siasat dengan para pembantunya, menyatakan bahwa apa bila
keadaan tidak menguntungkan, agar melarikan diri dan ia akan berusaha
menculik Retna Wilis.
Maka ketika ia melihat bahwa tepat seperti dugaannya, Retna Wilis yang
menghadapi ayah buda dan bibinya itu tidak bertanding sungguh-sungguh,
tidak mau membunuh mereka, bahkan tidak mau membantu kedua orang kakek
melawan Bagus Seta, apa lagi ketika ternyata betapa barisan Wilis tidak
mampu membendung penyerbuan barisan musuh yang jauh lebih kuat, Wasi
Bagaspati lalu mempergunakan siasat.
Dia harus mengakui bahwa menculik seorang yang sakti mandraguna seperti
Retna Wilis bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi ia melihat kesempatan
yang baik ketika Retna Wilis terlempar dalam benturan tenaga sakti
melawan Bagus Seta.
Maka ia menggunakan ilmu hitamnya, membuat tempat itu menjadi gelap oleh
awan hitam, kemudian secepat kilat ia mendekati Retna Wilis yang roboh
terguling dan masih pening itu dan menggunakan kesaktiannya untuk
mengetok tengkuk Retna Wilis dengan jari tangannya sehingga dara perkasa
yang sudah nanar dan tidak menyangka-nyangka karena mengira bahwa kakek
itu hendak menolongnya, menjadi pingsan.
Dengan mudah Wasi Bagaspati lalu memondong tubuh Retna Wilis, kemudian
pergi melarikan din bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan
Adiwijaya yang telah berhasil menarik kepercayaan Wasi Bagaspati.
Karena kakek ini menganggap bahwa Adiwijaya seorang yang cerdik dan
pandai mengatur siasat, pula yang telah ia ketahui “sepak terjangnya”
semenjak menjadi Patih Warutama di Jenggala, maka ia tidak ragu-ragu
lagi bahwa Adiwijaya bukanlah orang setia kepada Retna Wilis.
Dalam hal ini, Wasi Bagaspati telah salah duga dan kembali membuktikan
pandainya Adiwijaya bermain sandiwara sehingga seorang seperti Wasi
Bagaspati yang sudah kawakan dan berpengalaman pun dapat ia kelabui.
Sebelah utara pantai laut selatan terdapat barisan gunung-gunung, yang
memanjang dari barat sampai ke utara dan lajim disebut pegunungan
Seribu. Memang amat banyak gunung-gunung dalam barisan ini, sukar
dihitung jumlahnya dan mungkin lebih dari seribu gunung kecil-kecil yang
sebagian besar adalah gunung batu gamping.
Kekuasaan alam memang hebat dan aneh. Barisan gunung Seribu ini
seolah-olah merupakan tanggul yang menjaga daratan Pulau Jawa agar
jangan sampai diamuk ombak laut kidul yang dahsyat!
Sisa pasukan yang melarikan diri bersama Wasi Bagaspati bersembunyi di
sebuah di antara pegunungan ini, di daerah yang tidak begitu tandus
sehingga mereka dapat tinggal di sutu tanpa dapat dilihat orang dari
jauh. Retna Wilis yang dilarikan Wasi Bagaspati juga dibawa ke gunung
kecil ini.
Dalam perjalanan melarikan diri, Retna Wilis telah diberi minum jamu
buatan Ni Dewi Nilamanik yang disebut “madu perampas semangat”, sehingga
ketika Retna Wilis siuman dari pingsannya, ia seperti orang yang tidak
mempunyai semangat dan kemauan lagi. Ia lupa segala dan hanya menurut
apa yang dikatakan Ni Dewi Nilamanik atau Wasi Bagaspati.
Adiwijaya yang menyaksikan keadaan junjungannya itu, menjadi gelisah dan prihatin sekali.
Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa dan ia setiap saat memutar
otak untuk mencari akal agar dapat membebaskan Retna Wilis. Kalau saja
tidak untuk membela gadis itu, tentu dia tidak sudi ikut melarikan diri
bersama Wasi Bagaspati, dan sudah pergi sendiri merantau ke tempat jauh.
Namun, tak mungkin ia dapat meninggalkan Retna Wilis dan kalau perlu ia
berani mempertaruhkn nyawa untuk menyelamatkan dara itu.
Tentu saja ia tidak mau berbuat sembrono mempergunakan kekerasan, karena
kalau hal ini ia lakukan, ia tidak akan berhasil menyelamatkan Retna
Wilis, juga berarti ia hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia
belaka. Ia hams menggunakan akal, dan memang amatlah sukar untuk melawan
orang-orang yang sakti dan cerdik seperti Wasi Bagaspati dan
kawankawannya. ia harus menanti kesempatan baik untuk itu.
Retna Wilis bersandar di batang pohon dalam keadaan terikat. Ia
menundukkan mukanya yang agak pucat, tubuhnya lemas dan pandangan
matanya tidak hidup, seperti mata orang mimpi atau termenung dalam
sekali. Ia berada dalam pengaruh jamu yang setiap hari diminumkan
kepadanya secara paksa oleh Ni Dewi Nilamanik.
Biar pun dara perkasa ini sudah tidak berdaya karena semangatnya
tertutup atau seperti dirampas ramuan jamu mujijat itu, namun Ni Dewi
Nilamanik yang gentar menghadapi kesaktian Retna Wilis masih merasa
perlu untuk membelenggunya.
Pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik duduk di atas batang pohon yang telah
ditebang, bersama Wasi Bagaspati, di depan Retna Wilis yang terikat di
pohon. Wasi Bagaspati kelihatan muram wajahnya dan ia mendengarkan
keterangan yang diberikan oleh Ni Dewi Nilamanik.
“Dia ini memang hebat sekali, Kakangmas Wasi! Semangat dan kemauannya
dapat kupengaruhi, akan tetapi nafsunya tak dapat kubangkitkan. Sudah
banyak jamu kuminumkan, bahkan madu asmara sudah banyak ia minum, akan
tetapi keadaannya sama saja. Ia tidak terangsang. Lalu bagaimana
baiknya?”
Dengan wajah murung Wasi Bagaspati mengelus jenggotnyaa.
“Sudah tiga hari kita berada di sini. Kalau sampai mereka datang
menyusul, kita bisa celaka. Aku hams dapat menguasai bocah ini, karena
dengan bantuan kesaktiannya, bam aku akan dapat menghadapi si keparat
Bagus Seta, bersama adi Bagaskolo. Akan tetapi kalau dia ini tidak dapat
dikuasai, tentu celaka. Hemm, siapa tahu keadaan hati bocah ini. Kalau
ia membalik, mengkhianati dan melawan kita, bisa konyol kita! Dari pada
demikian, lebih baik kubunuh saja dia sekarang!”
Ni Dewi Nilamanik mengerlingkan matanya yang indah dan bibirnya yang merah merekah.
“Kakangmas Wasi, dari dulu juga aku tidak suka kepadanya dan menaruh
curiga. Memang kurasa lebih baik dibunuh saja bocah ini, karena kelak
hanya akan menimbulkan kesusahan saja bagi kita.”
Tiba-tiba Wasi Bagaspati menoleh ke arah pohon-pohon di belakangnya dan membentak,
“Siapa di sana?”
Pendengaran kakek ini memang tajam sekali sehingga ia dapat mendengar
suara napas Adiwijaya yang tersentak kaget mendengar betapa Retna Wilis
akan dibunuh. Adiwijaya cepat muncul keluar dan menghadap mereka, duduk
di atas tanah.
“Saya sengaja mencari Paduka, karena merasa cemas mengapa sampai
sekarang masih belum diambil keputusan mengenai bocah liar ini.” Ia
menuding ke arah Retna Wilis yang masih menunduk seolah-olah tidak
mendengar apa yang dibicarakan di depannya.
“Kalau tidak segera diambil keputusan mengenai dirinya, tentu akan
berbahaya sekali. Saya berani bertaruh bahwa saat ini pihak Panjalu dan
Jenggala tentu sedang berusaha keras untuk mencari kita dan
menolongnya.”
Wasi Bagaspati termenung dan mengomel,
“Memang aku dan Ni Dewi sedang membicarakan tentang dia. Aku mengambil keputusan untuk membunuh saja bocah ini!”
Sambil berkata demikian, kakek itu menatap wajah Adiwijaya dengan penuh
perhatian, amat tajam dah seolaholah hendak menjenguk isi Kati
Adiwijaya. Laki-laki ini menekan keras batinnya yang terguncang dan dia
menggeleng-geleng kepala.
“Kalau saja ia tidak berguna, memang lebih baik dibunuh. Akan tetapi
kalau dia dibunuh, rencana kita akan macet semua, Sang Wasi. Kita sudah
kehilangan banyak tenaga pembantu yang cakap, bahkan Cekel Wisangkoro
pun sudah gugur. Bocah ini merupakan tenaga yang amat cakap, memiliki
kesakitan yang kiranya akan dapat menandingi Bagus Seta. Kalau dibunuh,
berarti kita merugikan diri sendiri.”
“Hemm, kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana baiknya?”
Sejenak Adiwijaya bingung. Dia pun tidak tahu bagaimana baiknya dan tadi
ia mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk mencegah gadis ini dibunuh.
Otaknya bekerja cepat. Pokoknya asal gadis ini terhindar dari pada
bahaya maut lebih dulu, pikirnya.
“Bukankah saya telah menganjurkan agar Paduka menundukkan dia dengan
pengaruh kesaktian Paduka, agar dia menjadi isteri Paduka sehingga
dengan demikian dia akan membantu segala usaha Paduka dengan penuh
kesetiaan?”
“Aahhh, usaha itu telah kami lakukan,” kata Ni Dewi Nilamanik sambil
memandang wajah Adiwijaya yang masih tampan dan gagah itu. “Sudah banyak
obat gunaguna kumasukkan, akan tetapi agalcnya dasar hati bocah ini
masih terlalu kosong dan bersih sehingga tidak mempan. Jamu-jamu
perangsang pun tidak ada gunanya, agaknya dia tidak mempunyai nafsu
berahi!”
Adiwijaya memandang Ni Dewi Nilamanik dengan hati ngeri dan bulu tengkuk
meremang. Betapa cantiknya wanita ini dan dia sendiri sudah beberapa,
kali merasakan kelembutan dan kenikmatan bersama wanita cantik ini
berenang dalam cinta, bersama-sama mereguk madu asmara yang memabukkan.
Betapa indah sepasang mata itu, betapa menantang dan menggairahkan mulut
yang merah itu, betapa halus kuning kulitnya. Tetapi betapa keji
hatinya.
Teringat Adiwijaya akan buah mangga yang melihat kehalusan dan warna
kulitnya menimbulkan gairah, akan tetapi yang kemudian ternyata betapa
di balik kulit yang halus kemerahan dan sedap maunya itu tersembunyi
daging busuk yang masam dan banyak ulatnya!
Betapa pun benci hatinya mendengar perlakuan wanita ini terhadap Retna Wilis, is memaksa diri tersenyum dan berkata,
“Ni Dewi, dan Sang Wasi. Betapa pun juga, hams diusahakan agar bocah
liar ini dapat tunduk dan menurut kepada Paduka. Dengan kekerasan kita
gagal, namun kalau dia ini dapat dikuasai, kemudian secara halus Paduka,
dibantu oleh Sang Wasi Bagaskolo, dan Retna Wilis ini mendatangi
Panjalu dan Jenggala, membunuh para tokoh yang berkuasa di sana, saya
kira tidak akan sukar lagi kalau kemudian kita mengerahkan barisan untuk
menaklukkan dua kerajaan itu. Saya sendiri sanggup untuk menghimpun
pasukan yang cukup besar.”
“Akan tetapi bagaimana? Dia tidak mudah dipengaruhi dengan guna-guna,“
kata kakek itu kehilangan akal karena belum pernah dia menghadapi
seorang korban yang demikian ulet seperti Retna Wilis.
“Kenapa tidak dapat, Sang Wasi? Saya pernah menyaksikan pengaruh gaib
yang datang mempengaruhi jiwa para wanita pada waktu diadakan upacara
pemujaan Sang Bathari Durgo. Mengapa tidak mengandalkan kekuasaan dan
bantuan Sang Bathari? Andai kata pengaruh gaib itu masih tidak mempan,
Paduka dapat melakukan kekerasan dan saya rasa, sekali dia ini telah
Paduka renggut kehormatan tubuhnya, kemudian saya sendiri akan
mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat, percayalah, dia boleh dibebaskan
dari pengaruh jamu perampas semangat dan dalam keadaan sadar itu dia
tentu akan tunduk. Kalau dia, biar pun terjadi di luar kehendaknya,
telah menjadi isteri Paduka, dan mendengarkan nasehat-nasehat saya,
kiranya dia akan melihat kenyataan bahwa tidak ada jalan lain baginya
kecuali melanjutkan cita-citanya dengan bantuan Paduka Sang Wasi.”
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk dan lenyaplah sedikit kecurigaannya terhadap Adiwijaya yang muncul secara tiba-tiba itu.
“Kurasa benar apa yang ia katakan itu, Ni Dewi. Buatlah persiapan, malam
nanti kita adakan upacara pemujaan Sang Bathari dan kita lihat
hasilnya!”
“Akan tetapi, malam hari ini bulan belum purnama, Kakangmas Wasi, dan pengaruh hikmat itu tidaklah amat kuat!”
“Tidak apa. Kalau terlalu lama ditunda, khawatir terlambat. Siapa tahu
Bagus Seta sudah mencari sampai dekat tempat ini. Andai kata tidak
berhasil, masih belum terlambat untuk membunuhnya!”
Demikianlah, pada malam hari itu, di sebuah lapangan terbuka di puncak
gunung kecil, dikelilingi pohon-pohon jarang yang tumbuhnya tidak subur
di daerah kapur itu, diadakan tari-tarian seperti biasa dilakukan pada
upacara pemujaan Sang Bathari Durgo.
Sebuah arca Bathari Durgo berdiri di sudut, di samping ldri kursi tempat
duduk Sang Wasi Bagaspati. Karena mereka tidak ingin menarik perhatian,
maka dalam upacara tari-tarian ini tidak diitingi suara gamelan,
melainkan diiringi suara wanita-wanita cantik bertembang dengan tepuk
tangan dan berkerincingnya gelang kaki.
Upacara tari-tarian ini amat sederhana, akan tetapi karena sekali ini
yang menari-nari, di samping tiga orang gadis cantik, juga diikuti oleh
Ni Dewi Nilamanik sendiri yang ternyata amat pandai menari dengan
pakaian setengah telanjang sehingga tampak lekuklengkung tubuhnya yang
menggairahkan dan amat mengherankan karena usianya yang sudah tua itu
ternyata tidak menghilangkan keindahan tubuhnya, maka tari-tarian itu
benar-benar menggairahkan.
Selain Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang pembantunya, juga tampak seorang
gadis yang amat cantik jelita, kecantikannya cemerlang dan menyuramkan
kecantikan wanita lain, bahkan Ni Dewi Nilamanik kelihatan tidak
menarik. Akan tetapi sungguh sayang, kalau Ni Dewi Nilamanik dan tiga
orang pembantunya menari-nari dengan gerakan lemah-gemulai dan
menimbulkan rangsangan berahi dengan gerakangerakan leher, pundak,
perut, dan pinggul, adalah dara cantik ini menari-nari dengan gerakan
lucu dan kaku.
Dia bukan menari, melainkan bersilat! Kalau empat orang penari lain
melakukan gerakan dengan lengan lemas seperti orang melambai dan
mengajak disertai senyum memikat, dara ini menggerakkan tangan ke depan
dengan kaku, jarijarinya terbuka dan bukan melambai, melainkan lebih
tepat memukul atau menampar musuh!
Kalau penari yang membuang sampur ke sisi dengan gerakan lincah dan mata
mengerling mulut tersenyum, dara ini membuang lengan ke sisi dengan
gerakan cepat seperti orang menangkis pukulan atau tendangan lawan!
Dara cantik jelita yang memiliki tubuh indah menggairahkan seperti bunga
sedang mekar atau buah sedang ranum ini bukan lain adalah Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik menari-nari di depan Retna Wilis, membujuk-bujuk dan
memberi contoh gerakan tari yang dikuti dengan patuh oleh Retna Wilis
dengan gerakannya yang kaku.
Dari tempat duduknya, Wasi Bagaspati yang mengenakan pakaian merah serba
baru itu memandang penuh perhatian dan ia tersenyum gembira. Biar pun
tarian dara perkasa itu tidak indah, namun gerakan-gerakan tubuhnya
membayangkan kelemasan dan kelembutan yang tersembunyi tenaga mujijat.
Melihat betapa mulut yang segar dan manis itu mulai tersenyum-senyum,
dengan hati girang Wasi Bagaspati mengerti bahwa biar pun tidak
sepenuhnya, namun dara itu mulai terkena pengaruh hikmat gairah nafsu
berahi yang amat merangsang di saat itu, terbawa oleh asap dupa dan
dibangkitkan oleh taritarian yang membayangkan dorongan nafsu berahi. Ia
akan berhasil, pikirnya.
Kalau Retna Wilis menyerahkan kehormatannya tanpa paksaan, tentu dara ini setelah sadar akan tunduk dan mudah ia kuasai.
Tari-tarian mencapai puncaluiya menjelang tengah malam.
Ni Dewi Nilamanik yang mengerahkan aji mantera guna-guna sambil
menari-nari menyentuh, mengelus dan membelai bagian tubuh Retna Wilis
yang mudah terangsang, untuk membangkitkan berahi gadis itu.
Suasana di situ penuh dengan pengaruh mujijat sehingga Adiwijaya sendiri
yang duduk menonton, tak dapat menahan getaran yang merangsang dan
membangkitkan nafsu. Ia memandangi penari-penari itu dengan mata lapar
dan liar seolah-olah hendak dilahapnya tubuh-tubuh yang montok setengah
telanjang itu.
Akan tetapi kalau ia melihat Retna Wilis, seketika nafsu berahinya
lenyap terganti rasa gelisah. Ia menanti saat sebaiknya untuk bertindak.
Sampai malam ini, ia telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis pujaannya
itu, sehingga tidak sampai dibunuh.
Akan tetapi ia tahu bahwa nasib yang lebih mengerikan menanti diri Retna
Wilis dan ia harus merenggut dara itu dari tangan Wasi Bagaspati, kalau
perlu ia akan berkorban nyawa.
Retna Wilis yang menjadi murid Nini Bumigarba dan sudah digembleng
dengan segala macam ilmu, yang keras hati dan berperasaan dingin, betapa
pun juga hanya seorang manusia dari darah daging. Kini ia berada di
bawah kekuasaan yang tidak wajar, di bawah pengaruh jamu perampas
semangat sehingga ia seperti orang kehilangan ingatan dan kemauan.
Kemudian, di bawah hikmat malam pemujaan Sang Bathari Durgo yang seperti
ayunan ombak laut memabukkan, perlahan-lahan ia hanyut dan terbawa, apa
lagi ditambah belain-belaian tangan Ni Dewi Nilamanik, mendengarkan
bisikan-bisikan tentang cinta nafsu, tentang kenikmatan badani, ia makin
hanyut dan sepasang matanya mulai bersinar-sinar dan seperti mata orang
mengantuk, tanda bahwa ia mulai terangsang.
Sambil menari, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat kepada Wasi Bagaspati
yang tertawa lebar, bangkit berdiri dan menghampiri tempat tarian,
mendekati Retna Wilis dan memegang tangan gadis itu yang memandangnya
dengan mata sayu.
“Marilah, Retna Wilis, marilah isteriku yang tercinta. Mari kuberikan
cintaku untuk pemuas dahaga hatimu,“ ia berkata lalu menuntun Retna
Wilis turun dari tempat tarian menuju ke sebuah pondok yang dibangun di
tempat itu.
Retna Wilis hanya menurut saja, kedua lengannya masih bergerak-gerak
seperti orang menari, tidak membantah sedikit pun juga seperti seekor
domba yang dituntun ke tempat penyembelihan!
Perbuatan Wasi Bagaspati ini seolah-olah merupakan pertanda bagi para
penari dan yang hadir di situ untuk mulai dengan pesta gila-gilaan.
Tiga puluh orang wanita anggota pasukan Ni Dewi Nilamanik menyerbu ke
tempat tari-tarian diikuti anggota pasukan pria dan mereka mulai menari
sambil berpelukan, berdekapan dan berciuman. Ni Devil Nilamanik sendiri
yang sudah terangsang hebat, mencari-cari dengan pandang matanya.
Akan tetapi Adiwijaya yang dicarinya tidak tampak di situ, maka ketika
Wasi Bagaskolo sambil tertawa memeluk pinggangnya, ia pun balas memeluk
leher kakek itu sambil mengeluarkan suara merintih seperti seekor kucing
dielus-elus punggungnya!
“Sang Wasi Bagaspati...! Celaka...!”
Pintu pondok itu didorong terbuka dari luar oleh Adiwijaya. Wasi
Bagaspati yang sudah membuka jubahnya itu cepat membalikkan tubuh dengan
sikap marah karena terganggu. ia mengikatkan lagi ikat pinggangnya di
luar jubah dan membentak,
“Keparat, Adiwijaya! Apa kehendakmu?”
Adiwijaya melirik ke arah Retna Wilis yang tergolek terlentang di atas
pembaringan dan diam-diam mengucap syukur bahwa ia tidak terlambat,
hanya selendang yang tadi menutupi dada Retna Wilis yang sudah terbuka.
Gadis ini memejamkan mata dan bibirnya tersenyum lebar!.
“Celaka, Sang Wasi... ada serbuan... dipimpin oleh Bagus Seta...
Mereka... mereka datang dari lereng di timur... cepat... biar saya
berusaha menyadarkan Retna Wilis dan membujuknya agar ia dapat membantu
ldta!”
“Sialan...!”
Wasi Bagaspati mendengus, lalu melompat ke pintu, akan tetapi ia
teringat, mengeluarkan sebungkus obat dari saku jubahnya kepada
Adiwijaya, “Nih, kausadarkan dia dan bujuk sampai dia dapat membantu!”
lalu tubuhnya berkelebat keluar dari pondok
Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis, dengan jarijari tangan gemetar
ia memasangkan kembali selendang menutupi dada yang terbuka itu,
kemudian membuka bungkusan obat dan setengah memaksa membuka mulut Retna
Wilis, menuangkan isi bungkusan yang berwarna bubuk putih ke mulut dara
itu.
Retna Wilis tidak membantah, dan sambil tersenyum menelan obat itu dan lengannya yang halus itu merangkul leher AdiwiJaya ,
“Aduh... Gusti Puteri sadarlah...ahhh, lekas sadar dan mari lari bersama hamba!”
Dengan halus ia melepaskan rangkulan lengan itu dari lehernya, menarik
tangan Retna Wilis bangkit dan turun dari pembaringan, kemudian terns
menyeretnya keluar. Ketika Retna Wilis terhuyung seperti orang lemas,
bahkan kini matanya dipejamkan dan napasnya menjadi panjang teratur
seperti orang tidur, ia cepat memondong tubuh Retna Wilis dan membawanya
lari keluar, menghilang di tempat gelap
Wasi Bagaspati dengan marah menendangi para pengikut yang sedang bermain
asmara secara tidak tahu malu di sembarang tempat, bahkan menyeret
bangun Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik dari bawah pohon di mana
kedua orang itu tenggelam dalam lautan cinta berahi.
“Bedebah semua! Keparat sembrono, tidak tahu ada musuh menyerbu! Cepat,
siapkan semua orang. Bagus Seta dan pasukannya menyerbu dari lereng di
timur. Cepat!”
Bentakan Wasi Bagaspati ini mengagetkan semua orang. Disebutnya nama
Bagus Seta sekaligus mengusir semua rangsangan berahi yang mempengaruhi
mereka dan sekarang mereka sudah meloncat bangun dan siap bertempur.....
Komentar
Posting Komentar