PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-92

'Gress! Bresss!”
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terpelanting, lalu bergulingan menjauhkan diri dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang.
Tangkisan mereka berhasil menyelamatkan mereka, akan tetapi tidak cukup kuat untuk menahan getaran tenaga sakti sehingga mereka terpelanting.
Mereka tidak kuat menghadapi Bagus Seta, kedua orang kakek itu tanpa bersepakat lebih dulu, keduanya lalu meloncat jauh dan melarikan diri.
“Ke mana Andika berdua akan melarikan diri?”
Bagus Seta berseru halus dan melompat untuk mengejar.
Kedua orang kakek itu mengerahkan seluruh ilmu kesaktian mereka untuk lari secepatnya.
Mereka maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti Bagus Seta, akan percuma saja andai kata mereka menggunakan ilmu hitam untuk menghilang maka mereka kini mengandalkan kedua kaki mereka dan dorongan tenaga sakti mereka untuk berlari congklang seperti dua ekor kuda dikejar harimau.
Napas mereka sampai menjadi senin-kemis, akan tetapi hati mereka lega karena mereka tidak mendengar lagi suara kaki Bagus Seta mengejar. Mereka telah tiba di puncak sebuah di antara Pegunungan Seribu dan karena mereka merasa betapa napas mereka hampir putus, mereka berhenti.
“Kalian baru tiba?”
Kalau halilintar menyambar di siang hari itu, agaknya kedua orang kakek itu tidak akan sekaget itu. Mereka menoleh ke kiri dan... kiranya Bagus Seta telah berdiri di dekat mereka sambil memandang dengan mata tajam dan bibir tersenyum.
“Keparat...setan iblis bukan manusia!”
Wasi Bagaspati menyumpah-yumpah dan kemarahannya memuncak. ia menggosok-gosok senjata cakra di kedua tangannya dan tiba-tiba cuaca menjadi gelap dan dari dalam kegelapan itu menyambar api menyala-nyala ke arah Bagus Seta.
Sekarang Wasi Bagaspati telah menjadi nekat dan hendak menguras segala ilmu hitamnya untuk mengalahkan lawan yang masih amat muda, patut menjadi cucunya akan tetapi' memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa itu.
Wasi Bagaskolo juga membaca mantera, menggosok-gosok keris hitamnya lalu melontarkan keris itu ke udara yang cegera berubah menjadi ratusan batang banyaknya, semua menyambar ke arah tubuh Bagus Seta yang sudah diselimuti kegelapan yang diciptakan Wasi Bagaspati!
Dengan tenang Bagus Seta menghadapi serangan yang luar biasa ini. ia pun maklum bahwa sekali ini kedua orang pendeta itu akan menggunakan segala daya upaya untuk melawannya dengan nekat.
“Oouumm... sadhu-sadhu-sadhu... kalian benar-benar telah tersesat jauh sekali!”
Serunya lirih sambil memejamkan mata sebentar, memegang kembang cempaka putih di atas kepala, mengheningkan cipta kemudian mengerahkan semua tenaga batin melalui kembang cempaka putih.
Terdengar ledakan-ledakan keras dan kilat menyambar dari kembang putih itu.
Seketika kegelapan terusir dan ratusan batas keris hitam lenyap berubah menjadi sebatang keris yang melayang ke arah Bagus Seta, adapun api yang menyala-nyala itu lenyap berubah menjadi senjata cakra yang juga menyambar ke arah pemuda itu.
Bagus Seta menyimpan kembali kedua senjatanya, kemudian mengulur kedua tangan menyambut cakra dan keris hitam yang menyambarnya, dengan gerakan indah namun cepat sekali ia berhasil menangkap dua buah senjata ampuh itu dan berkata, suaranya halus namun penuh wibawa,
“Segala sesuatu berasal dari tanah dan kembali ke tanah!”
Sambil berkata demikian, ia membanting kedua senjata itu ke bawah. Tampak dua sinar berkelebat ketika dua buah senjata itu meluncur ke bawah dan lenyap, amblas ke dalam tanah entah ke mana!
“Heh si keparat Bagus Seta! Senjata hanya alat, tidak bersalah, mengapa engkau melenyapkan mereka?”
Wasi Bagaspati berteriak sambil menudingkan telunjuknya ke arah Bagus Seta.
Pemuda itu tersenyum.
“Benar ucapanmu. Senjata tetap senjata, benda mati yang tidak benar tidak salah. Akan tetapi kalau dipergunakan untuk kejahatan, dia menjadi alat kejahatan. Sungguh kasihan, dari pada dijadikan alat kejahatan lebih baik kembali ke asalnya. Demikian pun dengan Andika berdua, dari pada menjadi abdi nafsu angkara murka, lebih baik kembali ke asal!”
“'Bedebah, sombong amat wawasanmu! Akulah wakil Sang Hyang Shiwa, Maha Pembasmi dan bukan aku yang akan kaubunuh, melainkan engkau yang akan kukembalikan ke asalmu, Bagus Seta!” seru Wasi Bagaspati dan kini wajahnya seperti bukan wajah manusia lagi, selain merah juga terselimuti hawa kemarahan bagaikan api bernyala, kemudian ia mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka dan menubruk maju dan menghantamkan kedua tangannya ke dada Bagus Seta.
Pemuda ini tetap berdiri tidak bergerak, berkedip pun tidak menerima hantarran pada dadanya ini.
“Dessss!”
Pukulan itu datangnya seperti serudukan seekor gajah yang akan dapat menumbangkan pohon besar dan menghancurkan batu karang, akan tetapi ketika mengenai dada pemuda itu, bukan Bagus Seta yang roboh, melainkan Wasi Bagaspati sendiri yang terbanting ke belakang dan ia mengeluh dengan napas terengah-engah karena tenaga pukulan yang didorong kemarahan hebat tadi membalik dan melukai isi dadanya sendiri.
“Jahanam!”
Wasi Bagaskolo marah sekali melihat kakak seperguruan roboh. Ia menerjang maju hendak mencekik leher Bagus Seta sambil mengerahkan aji kesaktiannya.
Namun tingkat kesaktiannya masih kalah oleh Wasi Bagaspati sehingga baru raja tangannya menyentuh kulit leher Bagus Seta yang berdiri tak bergerak, ia kalah wibawa, menggigil dan tubuhnya seperti lumpuh, kemudian ia pun roboh terjengkang di samping Wasi Bagaspati.
Bagus Seta mengeluarkan kembang Cempaka putih, mengangkatnya tinggi-tinggi dan berbisik,
“Duh Sang Hyang Bathara Shiwa, perkenankanlah hamba mewakili Paduka mengembalikan mereka ini ke asal mereka!”
Akan tetapi sebelum ia menurunkan tangannya memberi pukulan terakhir, tiba-tiba terdengar seruan,
“Sadhu-sadhu-sadhu... Bagus Seta, demi kasih sayang di antara semua mahluk dan Benda, harap jangan membunuh mereka!”
Bagus Seta seperti sadar dari keadaan biasa, mengangkat muka dan memandang.
Kiranya di situ telah berdiri seorang kakek gundul yang bertubuh gemuk pendek, tangan ldri membawa seuntai tasbih dan tangan kanan memegang sebatang tongkat cendana yang panjang, wajahnya alim dan penuh kesabaran, mulutnya seperti tersenyum ramah selalu.
“Siapakah gerangan Andika, wahai sang Biku yang bersih lahirnya?”
Pertanyaan Bagus Seta yang dikeluarkan dengan suara halus ini merupakan siridiran tajam yang membuat muka pendeta itu menjadi merah. Dia dikatakan “bersih lahirnya”, adakah pemuda ini melihat bahwa dia tidak bersih lahir batinnya? Akan tetapi ia tetap bersabar dan menjawab sambil tersenyum,
“Nama saya Biku Janapati, saya sedang bertugas melakukan dharma bakti terhadap perikemanusiaan, memberi penerangan dan petunjuk kepada manusia di pantai timur untuk menyadarkan mereka dan menghilangkan kesengsaraan. Ketika mendengar akan sepak terjang sahabat saya Wasi Bagaspati di daerah ini, saya bergegas datang dan mendengar pula akan nama Andika, orang muda yang sakti mandraguna. Untung bahwa kedatangan saya tidak terlambat.”
“Ah, kiranya Andika adalah Sang Biku Janapati utusan Kerajaan Sriwijaya? Membawa pelajaran agama dengan pamrih memberi penerangan kepada manusia adalah sebuah usaha yang amat mulia, Sang Biku. Akan tetapi kalau dipaksakan dengan kekerasan, selain tidak akan ada manfaatnya, juga hanya akan mendatangkan permusuhan belaka, seperti yang dilakukan Wasi Bagaspati dan kawankawannya. Aku pun hendak membasminya demi membersihkan tanah air dari pada pengaruh buruk, mengapa Andika menghadang? Apakah Andika yang katanya membawa pelajaran tentang kasih sayang antara segala mahluk dan Benda, menyetujui cara-cara yang dilakukan oleh Wasi Bagaspati maka merasa perlu melindungi nya?”
Biku Janapati tersenyum lebar dan menjawab,
“Bukan demikian, orang muda. Hanya perlu Andika ketahui, seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha bahwa tidaklah mungkin memadamkan permusuhan dengan permusuhan pula. Permusuhan hanya dapat dipadamkan dengan sikap tidak bermusuh. Ini merupakan hukum abadi.”
Bagus Seta mengangguk-angguk.
“Benar sekali pelajaran itu. Akan tetapi hendaknya engkau mengerti pula, Sang Biku, bahwa aku tidak memusuhi Sang Wasi Bagaspati dan Wasi bagaskolo. Aku tidak menganggapnya sebagai musuh dan aku tidak ingin membasminya sebagai musuh pribadi, melainkan hendak membasminya sebagai orang membasmi penyakit yang akan membahayakan keselamatan manusia umumnya. Aku tidak dipengaruhi oleh nafsu pribadi, tidak memiliki dasar pamrih untuk diri pribadi, melainkan hanya melaksanakan tugas sebagai manusia. Bukankah manusia dikurniai hak dan diberi kewajiban? Manusia merupakan titik api, sebagian kecil sekali dari pada nyala api kekuasaan yang merupakan Trimurti, Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pemelihara, dan Sang Maha Pembasmi yang bersifat Maha Kasih dan Maha Kuasa. Biar pun hanya setitik api, namun merupakan bagian dari api itu sendiri dan karenanya manusia berkewajiban untuk memanfaatkan dirinya membantu dalam mencipta, memelihara, dan kalau perlu membasmi asal tidak didasari pamrih untuk diri pribadi.”
Mendengar ini, Biku Janapati merangkapkan kedua tangan di depan dada dan berkata,
“Namo Tasa Bhagawato Arahato Samma Sambudhasa (Terpujilah Dia yang telah mencapai Perangai Sejati dan Kebijaksanaan Sempurna)! Andika adalah murid Sang Maha Bhagawan Ekadenta, bukan? Sungguh saya harus tunduk dan kagum. Memang tak dapat saya sangkal bahwa sahabat Wasi Bagaspati telah menyeleweng dari pada jalan benar. Demikian pula dengan Wasi Bagaskolo. Akan tetapi, oleh mereka sendirilah kejahatan dilakukan dan biarlah mereka sendiri yang akan memetik buahnya. Bagi saya, tidak boleh saja melalaikan tugas kewajiban demi kepentingan orang lain, dalam hal ini demi kepentingan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo sendiri. Melihat mereka terancam bahaya maut, betapa mungkin saya harus mendiamkan mereka begitu saja? Duhai Bagus Seta, kalau Andika percaya akan kekuasaan tak terbatas dan tak terlawan oleh Yang Maha Kuasa, anggap sajalah bahwa kedatanganku mencegah engkau membunuh mereka ini merupakan kehendak Dia yang belum menghendaki mereka mati “
Bagus Seta menghela napas panjang dan diam-diam ia harus mengakui kebenaran ucapan ini,
“Akan tetapi, Sang Biku yang bijaksana. Tahukah Andika bahwa pencegahan Andika ini merupakan tanggung jawab Andika pula terhadap kebenaran dan keadilan? Bahwa kalau mereka dibebaskan dan kelak melakukan kejahatan, maka kejahatan itu sebagian adalah akibat dari pada perbuatan Andika saat ini?”
“Sebenarnyalah apa yang Andika katakan, wahai Bagus Seta. Dan saya pun bertanggung jawab sepenuhnya terhadap mereka ini kalau kelak mereka menimbulkan kekacauan dengan perbuatan sesat lagi. Saya sendiri yang kelak akan menghadapi mereka sebagai pertanggungan jawab saya. Sekali ini, demi Tuhan Yang Maha Kasih, Yang Maha Pengampun, yang memberi berkah kepada segala makluk dan tanpa pilih kasih dan tanpa Pandang bulu, yang memberi sinar kehidupan kepada seluruh alam mayapada dan isinya, saya mohon sudilah kiranya Andika membebaskan Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo.”
Didesak seperti ini, Bagus Seta merasa tidak baik untuk bersikeras. Ia menarik napas panjang dan menyerahkan segala akibat kepada Hyang Widhi Wisesa, maka ia mengangguk dan berkata,
“Biarlah terjadi seperti yang Andika minta, Sang Biku yang mulia. Kuserahkan mereka berdua kepadamu.”
Ia membungkuk dengan hormat dan meninggalkan tempat itu, menghampiri Pusporini dan Joko Pramono yang telah menyelesaikan pertempuran sejak tadi,merobohkan dua puluh orang anggota pasukan siluman dan sejak tadi menonton dari jauh pertandingan hebat antara Bagus Seta melawan dua orang wasi sampal munculnya Biku Janapati.
“Mari kita turun dan menemui kanjeng rama,” kata Bagus Seta perlahan kepada bibi dan pamannya.
Mereka berdua mengangguk, tidak berani mencampuri urusan antara Bagus Seta dan pendeta-pendeta sakti itu.
“Terima kasih, sahabatku Biku Janapati” kata Wasi Bagaspati sambil bangkit berdiri, diturut oleh Bagaskolo yang masih meraba-raba dadanya yang terasa sesak.
Biku Janapti mengerutkan keningnya,
“Sahabatku Wasi Bagaspati, berterima kasihlah kepada Tuhan bahwa Andika masih diperkenan kan hidup untuk menebus segala dosa dan sadar atas kesesatanmu. Dia yang tadinya lengah dan tidak sadar melakukan kesesatan, kemudian menjadi sadar dan merendahkan hati, dia akan menerangi dunia laksana bulan yang terbebas dari pada gumpalan awan hitam. Maka, insyaf dan sadarlah, sahabatku, bahwa perbuatan jahat menuruti hawa nafsu angkara murka tidak akan membawamu ke alam kebahagiaan lahir batin.”
Wasi Bagaspati mendongkol sekali, akan tetapi karena ia telah ditolong, ia lalu menghela napas dan berkata,
“Salahnya aku kurang tekun mempelajari ilmu, akan tetapi, sudahlah... biar kucoba untuk mencari jalan kebenaran. Sampai jumpa kembali, Sang Biku Janapati!”
Setelah berkata demikian, Wasi Bagaspati dan adik seperguruannya lalu melesat pergi meninggalkan tempat itu. Biku Janapati memandang dengan mata termenung dan menarik napas panjang, maklum bahwa ia memikul tanggung jawab berat sekali, kemudian ia pun melangkah pergi dengan tongkatnya, menuju ke arah larinya dua orang kakek itu.
Tejolaksono dan Endang Patibroto mengamuk di samping Retna Wilis, mereka bertiga seakan-akan berlomba membunuhi anak buah pasukan musuh sehingga pasukan menjadi gentar dan melarikan din cerai-berai
Setelah jumlah lawan menipis, barulah Tejotaksono dan Endang Patibroto melihat bahwa selain mereka bertiga, maslh ada seorang pria lagi yang juga mengamuk hebat.
Kini mereka berdekatan, tiba-tiba Endang Patibroto berseru,
“Sindupati...!”
Adiwijaya menengok terkejut sekali dan hendak melarikan diri bersembunyi namun terlambat karena Endang Patibroto yang telah mengenalinya itu tiba-tiba lari menghampiri dan tanpa banyak cakap lagi telah menerjangnya dengan pukulan maut Gelapmusti.
Karena wanita sakti ini meloncat dengan Aji Bayu Tantra, maka gerakannya tangkas dan cepat laksana kilat menyambar, sukar untuk dihindari lagi.
Terpaksa Adiwijaya menangkis, akan tetapi karena hatinya gentar dan ia merasa bersalah, ia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaganya dan begitu lengannya bertemu dengan lengan Endang Patibroto, ia terjengkang dan roboh bergulingan.
Untung ia cepat mempergunakan aji kesaktiannya yang amat ia andalkan, yaitu Trenggiling-wesi sehingga begitu tubuhnya menyentuh tanah, ia sehat kembali dan sudah menjauhkan diri.
Kalau tidak tentu kepalanya sudah remuk kena diinjak Endang Patibroto. Wanita ini makin marah dan terus mengejar tubuh yang bergulingan itu dengan loncatan-loncatan cepat.
“Sindupati, manusia terkutuk! Saat ini engkau pasti akan mampus di tanganku!”
Dengan sebuah lompatan cepat, kembali Endang Patibroto menerjang dan Adiwijaya sudah gugup sekali, bahkan sudah bangkit dan seolah-olah tidak mau melawan lagi, menyerahkan mati hidupnya kepada Endang Patibroto.
“Plakkk!”
Tubuh Endang Patibroto terhuyung ke belakang ketika hantamannya itu tertangkis oleh lengan Retna Wilis.
“Jangan bunuh dia...!” teriaknya dan ia segera membangunkan Adiwijaya.
Endang Patibroto terbelalak memandang,
“Retna... dia... dia ini manusia jahat! Manusia terkutuk! Dia... dia musuh besar ibumu...!”
Retna Wilis menggeleng kepalanya dan berkata lirih,
“Agaknya jalan kita selalu harus bersimpang. Boleh jadi dia kauanggap jahat dan menjadi musuhmu. Akan tetapi bagiku dia seorang manusia baik dan menjadi satu-satunya sahabatku. Mari Paman, kita pergi.”
Retna Wilis menggandeng tangan Adiwijaya dan mengajaknya pergi cepat dari tempat itu.
Endang Patibroto mengepal tinju dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya... dipegang oleh Tejolaksono.
“Diajeng, jangan memaksa dia...!”
Suaranya penuh keharuan. Endang Patibroto membalik, hendak meronta, akan tetapi ketika melihat pandang mata suaminya penuh keharuan dan kasihan, ia menangis dan Tejolaksono hanya dapat mengelus rambut isterinya itu sambil menghela napas dan matanya pun menjadi basah.
Demikianlah, ketika Bagus Seto, Joko Pramono dan Pusporini datang ke pantai tempat pertempuran itu, mereka bertiga ini mendapatkan Tejolaksono dan Endang Patibroto sedang bertangisan di antara tumpukan mayat anak buah Wasi Bagaspati yang berserakan dan malang melintang!
Pusporini segera merangkul Endang Patibroto dan Tejolaksono dengan wajah muram dan berulang kali menghela napas menceritakan keadaan Retna Wilis yang meninggalkan ayah bundanya.
Tentu saja dia tidak menceritakan tentang Adiwijaya yang sesungguhnya adalah bekas Patih Warutama atau dahulu bernama Sindupati, karena menyebut nama orang ini tentu akan terpaksa menceritakan bahwa Endang Patibroto pernah diperkosa oleh manusia laknat itu!
Bagus Seta menghela napas dan berkata,
“Harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu suka bersabar dan menyerahkan segala sesuatunya dengan penuh kepercayaan kepada Tuhan. Kalau kita menerima segala sesuatu yang menimpa kita, baik hal itu menguntungkan atau merugikan kita, dengan penuh kesabaran dan penyerahan, Sang Hyang Widdhi (Tuhan) pasti akan memberkahi karena Dia adalah Maha Adil, Maha Kasih, dan Maha Kuasa. Peristiwa menguntungkan kita terima sebagai anugerah Tuhan dan karenanya patut kita terima dengan rasa syukur dan hormat tanpa menjadi mabuk kesenangan dan melupa kan bahwa keuntungan itu hanya teijadi karena Tuhan menghendaki. Sebaliknya peristiwa merugikan kita terima sebagai hukuman atas penyelewengan kita dan sebagai ujian, karenanya kita patut meneliti diri pribadi dan bertobat atas segala kesalahan kita, mohon ampun kepada Dia Yang Maha Adil.”
“Ahhh... Puteraku... betapa aku akan dapat menahan batin yang berat ini...”
Endang Patibroto terisak.
“Mengapa tidak dapat, Kanjeng Ibu? Manusia yang menyerahkan segala sesuatu, mati hidupnya, dengan penuh kerelaan dan penuh kepercayaan kepada Sang Hyang Widdhi akan sanggup menanggung derita yang bagaimana pun juga, karena penyerahan mendatangkan kekuatan gaib yang akan mengubah derita menjadi sesuatu yang wajar, bukan derita lagi.”
“Bijaksana sekali ucapanmu, puteraku Bagus Seta. Sekarang, menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya?”
Tejolaksono berkata sambil memandang puteranya penuh kagum, juga dengan hati kosong melompong karena ia tidak tahu siapakah sesungguhnya yang jauh meninggalkan ayah bundanya.
Retna Wilis ataukah Bagus Seta!
Retna Wilis hanya terpisah lahirnya dan dara itu selama masih hidup dan berada di atas bumi, sekali waktu pasti dapat bertemu dan mungkin sekali dapat berkumpul kembali sebagai puteri dan orang tuanya.
Akan tetapi Bagus Seta ini sungguh pun kini berada di depannya, bercakap-cakap seperti seorang putera, namun sesungguhnya pemuda ini seperti melayang di angkasa, sukar sekali dijamah karena keadaan Bagus Seta seolah-olah tidak lagi terikat oleh dunia apa lagi oleh hubungan keluarga!
“Karena musuh telah dihalau dan adinda Retna Wilis telah dapat diselamatkan, sebaiknya Paduka berdua Kanjeng Ibu kembali ke Panjalu memimpin pasukan untuk memberi pelaporan kepada gusti sinuwun di Panjalu. Demikian pula dengan Paman Patih dan Kanjeng Bibi sebaiknya memimpin pasukan kembali ke Jenggala.”
“Dan engkau sendiri?”
Tejolaksono bertanya, suaranya kosong, sekosong hatinya yang makin merasakan betapa “jauhnya” puteranya yang kini berdiri di depannya itu.
“Hamba akan pergi merantau, melanjutkan perjalanan melakukan dharma bakti hamba seperti yang telah diajarkan oleh eyang guru...”
“Dan ibumu? Tentu akan kehilangan engkau... betapa akan berduka hatinya...!”
Bagus Seta tersenyum dan mengeluarkan setangkai bunga Cempaka Putih, menyerahkannya kepada Tejolaksono,
“Harap Kanjeng Rama sudi menyerahkan bunga ini kepada Kanjeng Ibu, dan dengan kekuasaan Sang Hyang Widdhi, hati ibunda akan terhibur.”
Tejolaksono menerima kembang itu teringat akan masa dahulu di waktu puteranya memberi setangkai kembang pula untuk diserahkan kepada Ayu Candra.
Setelah menyimpan kembang itu ia berkata, “Puteraku Bagus Seta, mendekatlah, Anakku.”
Bagus Seta menghampiri ramandanya dan Tejolaksono memeluknya, memeluk erat-erat dan mendekap pemuda itu, seolah-olah hendak menanam pemuda itu dalam dadanya agar jangan dapat pergi lagi.
Akan tetapi ada hawa yang hangat keluar dari dada Bagus Seta yang menjalar ke seluruh tubuh Tejolaksono dan yang mengingatkan patih sakti ini akan sinar Sang Surya, sinar matahari yang tidak hanya bertugas menghidupkan dia seorang.
Sadarlah dia bahwa memang menjadi tugas puteranya untuk berjuang sebagai seorang sakti, sebagai seorang satria, demi menegakkan peri-kemanusiaan, demi kebenaran dan keadilan, berguna bagi manusia khususnya dan dunia umumnya. Tidak hanya bertugas menyenangkan hati kedua orang tuanya belaka ia melepaskan pelukannya dan dengan mata basah akan tetapi wajah berseri dan mulut tersenyum ia berkata,
“Pergilah, Anakku. Pergilah dengan hati lapang dengan doa restu yang rela dariku.”
Setelah memberi hornet kepada Endang Patibroto yang memeluknya dan kepada Joko Pramono dan Pusporini, pemuda itu lalu berjalan pergi menyusuri pantai laut selatan, diikuti pandang mata empat orang itu sampai bayangannya lenyap ditelan kesuraman cuaca hari yang mulai sore.
Kemudian mereka berempat pun meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Wilis di mana pasukanpasukan mereka masih berkumpul membersihkan sisa perang di bawah pimpinan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis.
Retna Wilis duduk di atas sebuah batu besar di dalam hutan yang lebat. ia duduk bersila di atas batu bawah pohon tanjung yang besar dan lebat sekali, dengan muka tunduk dan kedua mata dipejamkan, dalam keadaan hening karena dara perkasa ini bersamadhi.
Kalau tidak dipandang dengan penuh perhatian, orang akan mengira bahwa ia tidak bernyawa lagi, demikian halus pernapasannya sehingga hampir tidak tampak dadanya bergerak. Hanya bedanya dengan biasanya, kalau sedang bersamadhi itu biasanya Retna Wilis hening dan tenang, wajahnya menjadi seperti kosong tidak mengandung perasaan apa-apa.
Akan tetapi pada saat itu, wajahnya diselimuti kesuraman seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Bahkan ada bekasbekas air mata yang sudah hampir mengering di atas sepasang pipinya, di bawah pelupuk mata. Juga sepasang alisnya yang kecil hitam itu agak berkerut, tanda bahwa dia biar pun sedang bersamadhi, namun tidak dapat mengheningkan cipta, dan tidak dapat.. membebaskan diri dari panca indrianya.
Tidak jauh dari tempat dara itu duduk bersamadhi di atas batu, tampak Adiwijaya duduk pula bersila di atas tanah, di depan gadis itu.
Akan tetapi Adiwijaya tidak bersamadhi, semenjak tadi ia memandang wajah dara itu dengan penuh keprihatinan dan penuh perhatian. Entah sudah berapa puluh kali Adiwijaya menghela napas panjang dan pikirannya melayang-layang mengenangkan semua peristiwa yang terjadi, dan makin dipikir makin trenyuh hatinya, merasa amat kasihan dan terharu terhadap dara perkasa itu.
Adiwijaya maklum bahwa Retna Wilis menderita tekanan batin yang hebat, bahwa dara itu berduka sekali. Tadi dara itu bersila semenjak pagi sekali di atas batu, dan kalau Retna Wilis bersamadhi seperti biasanya, kiranya Adiwijaya tidak akan gelisah dan tersiksa seperti itu batinnya. Akan tetapi gadis itu bersila memejamkan mata, biar pun tidak pernah bergerak dan pernapasannya seperti orang tertidur atau bersamadhi, namun Adiwijaya yang juga biasa bersamadhi itu maklum bahwa dara ini memaksa diri untuk menyembunyikan perasaannya yang tertekan dan tersiksa.
Bahkan dara itu tidak sadar bahwa beberapa tetes air mata keluar melalui bulu matanya menitik turun ke atas pipi sampai mengering kembali, tidak sadar bahwa keningnya selalu berkerut dan wajahnya diselimuti kemuraman yang mengharukan.
“Aku berdosa...“ pikirnya dengan trenyuh. “Aku berdosa kepada ibunya, kepadanya..., kalau tidak karena aku, mungkin dia sudah dapat berkumpul kembali dengan ayah bundanya, hidup berbahagia sebagai puteri Patih Panjalu, sebagai puteri suami isteri yang menjadi tokoh terkenal, sakti mandraguna dan gagah perkasa. Akan tetapi dia membelaku, rela pergi bersamaku!”
Ingin Adiwijaya memukul kepalanya sendiri penuh penyesalan terhadap diri sendiri, terhadap semua perbuatannya dan kesesatannya yang lalu.
Patutkah seorang manusia jahat, manusia terkutuk seperti dia, mendapatkan pembelaan dari seorang seperti Retna Wilis?
Menjelang tengah hari Retna Wilis bergerak perlahan dan membuka matanya.
Mata yang suram, sayu dan membayangkan hati yang kosong dan perasaan yang tertindih penyesalan dan kedukaan. Melihat Adiwijaya duduk bersila di atas tanah, memandangnya dengan muka sedih, Retna Wilis bertanya,
“Paman, sudah lamakah aku bersamadhi?”
Suara itu! Begitu memelas, tergetar dan lirih. Begitu mengharukan dan menusuk perasaan Adiwijaya dan tak tertahankan lagi Adiwijaya menangis!
Laki-laki yang dahulu menghadapi perbuatan keji sekeji-kejinya sambil tertawa itu kini menangis seperti anak kecil!
“Aduh Gusti Ayu Puteri Retna Wilis..., mengapa Paduka membela hamba dan rela menentang rama ibu Paduka...?“ katanya di antara isaknya.
Retna Wilis memandang terbelalak sambil menurunkan kedua kakinya dari atas batu.
“Paman Adiwijaya! Andika... menangis? Betapa anehnya...! Mengapa aku membelamu? Tentu saja! Tidak boleh orang membunuhmu, biar ayah bundaku sendiri pun tidak boleh. Engkau satu-satunya orang yang baik kepadaku, satu-satunya sahabatku, bahkan kuanggap sebagai pengganti orang tuaku!”
“Aduh Dewa...betapa kejinya Sindupati...ah,tidak layak aku hidup di dunia ini...”
Adiwijaya atau Sindupati makin tertusuk hatinya. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Retna Wilis, kata demi kata merupakan keris berkarat yang menikam jantungnya.
“Sindupati? Apa maksudmu, Paman Adiwijaya?”
“Aduhai, Gusti Puteri yang mulia. Paduka bunuhlah hamba ini, untuk melepaskan hamba dari pada siksaan batin karena dosa-dosa hamba yang setinggi langit. Bunuhlah hamba, Sang Puteri!”
Melihat pria setengah tua itu menangis mengguguk, Retna Wilis membuka matanya lebar-lebar.
“Paman, makin aneh saja kata-katamu. Biar pun orang sedunia mengatakan engkau jahat dan berdosa, bagiku engkau adalah orang yang paling baik.”
“Tidak! Tidak! Paduka tidak tahu. Hamba sesungguhnya dahulu bernama Sindupati, dua puluh tahun lebih yang lalu hamba adalah seorang perwira Kerajaan Jenggala yang dikasihi gusti sinuwun sepuh di Jenggala. Akan tetapi hamba berani mempersunting bunga dalam taman terlarang, melakukan hubungan asmara dengan puteri sinuwun, sehingga hamba menjadi seorang pelarian yang terkutuk.”
“Hemm, kesalahanmu tidak berapa hebat, Paman.”
“Itu hanya permulaan saja. Hamba lalu menjadi perwira Blambangan, dan hamba bersama pasukan Blambangan melakukan fitnah kepada ibunda Paduka, melakukan fitnah kepada Puteri Endang Patibroto yang dahulu menjadi puteri mantu gusti sinuwun, isteri dari Pangeran Panji Rawit. Hamba melakukan fitnah dengan maksud-maksud melemahkan Jenggala yang menjadi musuh Blambangan karena tokoh Jenggala yang ditakuti adalah ibu Paduka.”
Sindupati lalu menceritakan semua peristiwa ketika Endang Patibroto terfitnah sehingga mengakibatkan tewasnya Pangeran Panji Rawit. Retna Wilis mendengarkan dengan penuh perhatian.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar